25 Juni 2014

Keujruen Blang dan Panglima Uteun

Tags



Dengan bangga saya ingin mengajak pembaca untuk menilik kembali suatu warisan budaya Aceh yang luar biasa penting dan strategis perannya dalam pemanfaatan dan konservasi sumber daya pertanian dan kehutanan. Lembaga/institusi adat tersebut adalah Keujruen Blang dan Panglima Uteun. Tidak cukup menjadi sebuah legenda pada masa kejayaan kesultanan Aceh, namun diharapkan menjadi aset berharga yang berkelanjutan sampai akhir hayatnya bangsa ini.

Keujruen Blang

Dalam pasal 1 ayat 22 Qanun No.10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Keujruen Blang didefinisikan sebagai orang yang memimpin dan mengatur kegiatan usaha di bidang persawahan. Merujuk pada pasal 25, fungsinya antara lain (1) menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah, (2) mengatur pembagian air ke sawah petani, (3) membantu pemerintah dalam bidang pertanian, (4) mengkoordinasikan khanduri blang atau upacara adat lainnya terkait dengan pengurusan pertanian sawah, (5) memberi teguran dan sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat bersawah (meugo) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian secara adat, dan (6) menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah. 

Dalam sebuah kajian di Kecamatan Sawang Aceh Utara, hirarki Keujruen Blang terdiri atas 3 tingkat yaitu Keujruen Chik (tingkat kecamatan), Keujruen Muda (tingkat desa), dan Keujruen Petak (Yulia dkk., Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12 No.2 Mei 2012).

Keujruen Blang adalah seorang spesialis di bidang penataan pertanian yang mempunyai posisi sebagai bagian dari tim asistensi kepala gampong (keuchik) dalam memakmurkan petani. Pengangkatan dilakukan melalui jalam musyawarah oleh masyarakat. Figur Keujruen Blang didasarkan pada kriteria petani yang berkepribadian tekun dan disiplin, berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan, menguasai hukum adat pertanian (meugo), dan memahami keadaan yang dipengaruhi oleh hidrologis wilayah (keuneunong).

Adat meugo ini merupakan hasil kesepakatan bersama yang ditetapkan dalam khanduri blang dimana sebagian isinya adalah warisan budaya. Contoh adat meugo yang merupakan warisan budaya adalah pantangan memasang bubu (bube) di sawah, menjemur dan menumbuk padi selama 7 hari terhitung sejak pelaksanaan khanduri blang. Adat meugo juga meliputi tentang waktu turun ke sawah, mekanisme pembagian air, dan perawatan jaringan air. Apabila terjadi pelanggaran maka Keujruen Blang akan turun memberikan sanksi yang sepatutnya kepada warganya. Sanksinya sangat sederhana misalnya denda Rp 10.000 untuk setiap pengambilan air secara tidak sah, atau perbaikan jaringan air yang seperti keadaan sebelum rusak. Namun demikian kekuatan sanksi sosial ini sangat besar untuk tertegaknya hukum adat meugo tersebut. Uniknya apabila terjadi sengketa antarpetani, Keujruen Blang akan memberikan sanksi yang bervariasi, mulai dari menyediakan kue apam sebanyak 1.000 buah sampai penyembelihan seekor kambing untuk dimakan bersama dalam acara kesepakatan damai.

Panglima Uteun

Berbeda dengan hirarki Keujruen Blang, Panglima Uteun merupakan unsur pemerintahan mukim yang bertanggung jawab kepada Imum Mukim. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh luasan hutan yang tidak dapat dipisahkan berdasarkan batas teritorial sebuah desa. Fungsi Panglima Uteun yang telah eksis juga sangat banyak yaitu (1) menyelenggarakan adat glee, (2) mengawasi dan menerapkan larangan adat glee, (3) pemungut cukai (wasee glee) sebesar 10% untuk raja, (4) menyelesaikan sengketa yang terkait dengan pelanggaran hukum adat glee (www.zuheimiaceh.blogspot.com, 2013).

Dalam Qanun No. 10 Tahun 2008, istilah yang digunakan adalah Pawang Glee (Pasal 30-31), bukan Panglima Uteun. Lebih jauh dalam qanun ini, fungsi Pawang Glee (yang dipilih per 6 tahun) sebagai pemungut cukai sudah tidak disebutkan lagi, dimana fungsinya hanya dibatasi pada memimpin dan mengatur adat istiadat terkait pengelolaan dan pelestarian hutan, membantu pemerintah dan menyelesaikan sengketa dalam urusan kehutanan tersebut.

Adat glee yang dimiliki oleh orang Aceh sangat menarik. Pertama, larangan menebang pohon dalam jarak 600 meter dari mata air, danau, waduk, alue, dan lain-lain. Kedua, larangan menebang pohon pada jarak 60 meter dari badan sungai besar. Ketiga, larangan menebang pohon pada jarak 30 meter dari badan anak sungai (alue). Keempat, larangan menebang pohon di puncak gunung, pada bagian yang terjal, dan pada jarak 2x kedalamannya dari sebuah jurang. Kalau dicermati maka adat glee ini mengandung nilai keilmuan yang modern dan sangatlah konservatif karena apabila diimplementasikan akan berdampak pada pelestarian hutan.

Keujruen Blang dan Panglima Uteun adalah modal besar bagi Aceh untuk mencapai kejayaan di bidang pertanian dan kehutanan. Menyikapi keberadaan lembaga adat dalam masyarakat, Pemerintah sudah berupaya mentransformasikan legalitasnya dengan pengesahan Qanun No.10 Tahun 2008. Hal ini dapat dikatagorikan sebagai sebuah upaya penguatan keberadaan lembaga adat. Terima kasih pada pemerintah. Harapan kita semua tentunya agar Aceh dapat mempertahankan warisan leluhur tersebut sebagai sebuah kebanggaan serta mendapatkan manfaat yang besar dari pelaksanaan fungsi-fungsinya. Namun ketika melakukan eksekusi di lapangan, pemerintah masih kurang sensitif atau lemah dalam melakukan analisa, sehingga menghasilkan ketidakefektifan dan bahkan cenderung menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi lembaga adat. 

Hal ini perlu menjadi perhatian supaya ke depan kita bisa hasilkan capaian yang lebih baik. Kalau pada langkah pertama Pemerintah sudah melakukan penguatan, maka pada langkah selanjutnya Pemerintah tidak boleh menyebabkan pelemahan dari fungsi-fungsi lembaga adat. Sebaliknya Pemerintah harus mampu menerjemahkan konsep pelaksanaan lapangan yang meningkatkan kapasitas dan kualitas kerja lembaga adat, dengan tetap mempertahankan nilai sosial lembaga adat yang selama ini mendapatkan penghargaan dari rakyatnya atas dasar cinta dan keikhlasan. Lembaga adat jangan sampai terkontaminasi dengan virus komersial. 

Sebagai bukti masih belum efektif, penelitian Yulia, dkk (2012) mengidentifikasikan bahwa para Keujruen Blang ada yang belum mendapatkan sosialisasi tentang qanun, para Keujruen Muda gagal membangun koordinasi yang baik, dan belum ada mekanisme baik untuk menghargai jasa Keujruen Blang. Atas dasar penemuan ini, pemerintah (Dinas terkait) harus segera mengagendakan program sosialisasi dan koordinasi untuk para Keujruen Blang. Qanun tidak boleh hanya menjadi dokumen mati, namun rohnya qanun perlu diarusutamakan dalam panduan teknis pelaksanaan lembaga adat Keujruen Blang. 

Tidak boleh gagal

Pemerintah tidak boleh gagal dalam program penguatan Keujruen Blang dan Panglima Uteun, hanya karena mereka tidak dapat membaca dan menulis. Kinerja Keujruen Blang maupun Panglima Uteun sudah sangat nyata dirasakan manfaatnya dari masa ke masa. Sepatutnya Pemerintah melakukan interaksi sosial menggali keilmuan alamiah dari Keujruen Blang dan Panglima Uteun yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan dokumen dan program yang berkualitas. Pemerintah dapat melibatkan akademisi untuk mencari metode transfer ilmu pengetahuan tanpa harus memaksa para Keujruen Blang dan Panglima Uteun untuk bisa membaca dan menulis. Misalnya dapat menggunakan metode sosialisasi qanun dengan sistem sekolah lapang, talk show interaktif di radio terkait isu Keujruen Blang dan Panglima Uteun, dan lain sebagainya. 

Selain koordinasi internal Keujruen Blang, Pemerintah perlu juga sensitif menyelesaikan masalah koordinasi dengan lembaga lain seperti dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di bawah Dinas Pengairan dan dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Bahkan yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah P3A diperlukan di Aceh yang sudah mempunyai lembaga Keujruen Blang? Karena apabila fungsi P3A sama dengan Keujruen Blang, sama artinya pemerintah telah membunuh identitas Keujruen Blang itu sendiri dengan menghilangkan peran dan fungsinya. Pemerintah juga harus menjamin koordinasi yang baik antara Panglima Uteun dan Polisi Hutan agar dapat bersama-sama saling menguatkan dalam proses menjaga hutan Aceh.

Keuangan adalah soal na heik na hak, yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Menurut saya, pemberian penghargaaan (award) bagi Keujruen Blang dan Panglima Uteun terbaik setiap tahunnya akan berdampak lebih baik  pada kinerja mereka dibandingkan dengan pemberian honorarium bulanan. Pada saat ini, pemerintah melalui Dinas Kehutanan telah memberikan honorarium kepada seluruh Panglima Uteun. Ironisnya, kemudian pemerintah tidak mempunyai alokasi dana untuk membantu operasional atau program kerja mereka. 

Seharusnya Pemerintah memahami bahwa perannya adalah untuk meningkatkan kinerja Panglima Uteun sehingga prioritas program pembangunan diarahkan ke bantuan di bidang operasional. Misalnya saja alokasi dana untuk patroli atau pengawasan di hutan, atau biaya untuk membeli mercon yang digunakan untuk mengusir gajah. Yang sangat kita kuatirkan adalah rusaknya mentalitas Panglima Uteun akibat kebijakan honorarium tersebut, melahirkan iklim bahwa posisi Panglima Uteun adalah posisi yang basah, dan seterusnya. Semoga saja hal ini tidak terjadi. Amin.

Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc., Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: rkhathir79@gmail.com

(Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/06/25/keujruen-blang-dan-panglima-uteun)

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon