12 Januari 2016

Mencari Kunci Pembangunan Desa


Desaku yang kucinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan, tak mudah bercerai
Selalu ku rindukan, desaku yang permai

Bait lagu anak ciptaan L Manik di atas bercerita betapa eratnya hubungan emosional masyarakat dengan desa. Lagu ini juga menggambarkan desa sebagai identitas, bukan hanya tempat tinggal.

Dalam antropogogi bahkan kesatuan masyarakat berbentuk desa menjadi entitas yang dikenal jauh lebih tua ketimbang hampir semua bentuk kesatuan lain. Aktivis pergerakan desa Budiman Sudjatmiko bahkan menyebut bahwa peradaban desa sebenarnya lebih dulu ada sebelum kehadiran negara.

Namun, pria yang sudah bergerak bersama penduduk-penduduk desa Indonesia jauh sebelum duduk di parlemen selama dua periode ini melihat desa dengan perasaan miris. Sebab, persepsi negatif justru melekat pada desa dan masyarakatnya.

“Sampai sekarang kita selalu mendeskreditkan orang desa. Merendahkan masyarakat desa,” ujar Budiman Sudjatmiko di Jakarta, seperti dilansir oleh metrotvnews.com, Kamis (4/1/2016).

Antara lain dengan stigma tentang orang yang kelakukannya norak atau tidak bisa gaya sebagai orang kampung. “Bahkan orang bermuka jelek dibilang ndeso,” kata anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan ini sembari menggelengkan kepala.

Desa juga selalu diidentikan dengan sarang kemiskinan, kebodohan, serta berbagai cap buruk lainnya. Padahal, menurut Budiman, kemuliaan desa jauh melebihi kota. Walau kota tempat uang bersarang, tetap orang desa yang memberi makan.

Kenyataan bahwa kemiskinan desa memang tidak dapat dipungkiri. Secara spasial, setidaknya ada dua pola kemiskinan yang mencolok di Indonesia. Pertama, kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Selama 2004-2014, persentase penduduk miskin di perdesaan berkisar antara 14-20%, sementara di perkotaan hanya sekitar 8-14%. Kedua, kantong kemiskinan terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI), pantai selatan Jawa, dan pantai Barat Sumatra.

Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan masih ada 183 kabupaten yang tergolong tertinggal di Indonesia pada tahun 2015, dengan 70 persen di antaranya berada di KTI. Jumlah tersebut terdiri dari 149 kabupaten yang masih berstatus daerah tertinggal selama 2004-2009 dan 34 daerah kabupaten baru hasil pemekaran.

Data Kementerian Desa itu juga menyebut ada 20.182 desa tertinggal di Indonesia atau sekitar 27,23% dari total 74.093 desa yang ada.

Jumlah desa yang dianggap masih berkembang pun masih sangat besar. Sebanyak 51.010 desa di Indonesia dinilai masih dalam status berkembang atau sekitar 68,84% dari total desa yang ada di Tanah Air. Baru 2.901 desa di Indonesia yang benar-benar sudah dapat dibilang mandiri secara ekonomi, sosial, dan pemerintahan.

“Sangat aneh kalau semisalnya desa menjadi sarang kemiskinan. Penduduk desa yang dikelilingi sawah dan kebun bisa kelaparan. Karena apa? Karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena mereka tidak diberi petunjuk bagaimana memperbaiki diri,” kata Budiman.

Mengubah Pola Pikir 

Budiman mengatakan selama ini desa hanya disuapi sebagian kecil keuntungan dari sumber daya yang mereka hasilkan. Produk mereka yang diperoleh dengan susah payah tidak bernilai jual tinggi. Tidak jarang pula hasil pertanian yang mereka miliki pada akhirnya tidak mereka kuasai sendiri.

Beberapa desa di Sumatera dari hasil dari program transmigrasi pemerintahan Orde Baru misalnya. Mereka hidup di tengah lahan sawit dan bergantung dari sawit. Namun, lahan sawit tersebut tidak mereka miliki langsung. Penduduk hanya menjadi buruh, sedangkan keuntungan besar yang dinikmati si pemilik lahan.

Pembangunan Indonesia selama ini berjalan dan desa hanya menjadi objek. Seharusnya, kata Budiman, program pemerintah dapat mendorong desa menjadi entitas yang dapat membangun dirinya sendiri. Jika desa dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri, maka desa menjadi sebuah kekuatan yang mampu menopang pembangunan Indonesia.

“Dengan begitu Indonesia dapat tumbuh dari bawah,” kata Budiman.

Pemerintahan Indonesia pasca-reformasi lambat laun memandang perlu ada perubahan pola pikir, dari desa sebagai objek menjadi desa sebagai pelaku pembangunan. Akhirnya undang-undang yang menjadi titik tolak perubahan ini dilahirkan.

“Lewat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa tidak lagi objek tetapi subjek dan pelaku pembangunan,” tutur Direktur Jenderal dan Pemberdayaan Masyararakat Desa Kemendes PDTT Ahmad Erani Yustika saat berbincang dengan metrotvnews.com di Jakarta, Jumat (5/1/2016).

UU Desa ini kemudian menjadi dasar pembentukan Kementerian Desa yang 
membawa pembaruan konsep desa dalam pemerintahan Indonesia. Desa tidak lagi menjadi bagian yang lebih kecil di bawah pemerintah daerah, akan tetapi memiliki peran yang lebih besar.

Desa semakin didorong untuk tumbuh secara mandiri dengan memperbesar peran masyarakat. Sedangkan pemerintah memastikan desa dapat semakin mandiri dengan stimulasi berbentuk Dana Desa.

“Jadi tugas dari Pemerintah Daerah itu tidak mengatur bagaimana desa tumbuh. Mereka harusnya membimbing dan menjadi tempat konsultasi bagaimana masyarakat desa membangun dirinya. Desa ibarat anak kecil, negara bukan bertugas untuk membuat mereka pintar karena pada dasarnya sudah pintar. Negara hanya perlu membimbing bagaimana desa memanfaatkan sumberdayanya untuk tumbuh,” kata Budiman.

Membangun dengan kekhasan Desa 

Dengan kehadiran UU Desa, kini masyarakat desa dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk membangun kemandiriannya sendiri. Selama ini desa hanya tumbuh sesuai dengan arah pembangunan yang disiapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara desa-desa di satu daerah dengan daerah lainnya semakin terlihat.

Seharusnya kesenjangan ini dapat dipersempit atau bahkan dihilangkan dengan perubahan konsep pembangunan desa. Ada empat penyebab utama suatu kabupaten tergolong daerah tertinggal. Pertama, letak geografisnya terpencil dan sulit dijangkau. Kedua, kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai. Ketiga,kegiatan investasi dan produksi masih minim. Keempat,berada di kawasan perbatasan antar negara.

Inilah asal muasal mengapa daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah “pinggiran” karena berada di kawasan perbatasan, sulit dijangkau bahkan terisolasi secara ekonomi, tingkat kesejahteraannya relatif rendah, dan memiliki infrastruktur seadanya.

Akibatnya, pola pembangunan yang tidak imbang di Indonesia masih terus terjadi. Tercermin dari kuatnya “pusat” (Jawa-Sumatra) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan “pinggiran” (KTI dan desa). Hingga akhir 2014, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi dan kabupaten/kota di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 58,51%, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sekitar 23,63%. KTI, sebagai kawasan pinggiran, hanya kebagian sisanya yaitu sekitar 17,96%.

Dalam UU Desa ada dua asas unik yang belum ada di aturan-aturan lain. Pertama, asas rekognisi atau pengakuan bahwa desa itu sebagai komunitas yang memiliki ciri khas. Kedua, asas subsidiaritas atau pengakuan bahwa desa dapat mengurusi pemerintahannya secara mandiri.

UU Desa memandatkan negara untuk membimbing desa agar tumbuh dan berkembang hingga mandiri. Terutama dengan memanfaatkan sumber daya, tradisi, dan kekhasan yang dimilikinya.

“Selama ini pembangunan kan tidak banyak perhatikan hal itu. Contoh sederhananya bentuk bangunan. Di Eropa, desa-desa mempertahankan kekhasan bangunannya. Bahkan dijaga. Tapi di Indonesia, kita jarang melihat desa yang membangun rumah adatnya,” kata Erani.

Hal ini juga terkait dengan kesiapan desa. Baik dari sisi pemerintahan desa hingga masyarakatnya. Baik Budiman maupun Erani mengakui kesiapan desa untuk membangun sejalan dengan konsep yang tertuang di dalam UU Desa masih sedikit bermasalah.

“Ini bicara kepercayaan diri desa untuk membangun dirinya. Karena kalau bicara pembagunan dari desa, itu bicara tiga hal: mimpi, kepemimpinan dan kreativitas,” kata Budiman.

Masih banyak desa-desa yang bingung ke arah mana mereka akan membangun. Secara kepemimpinan pun, masih ada kepala desa yang belum terbuka dengan masyarakatnya. Selain itu desa-desa juga masih terbiasa pakem pembangunan lama. Hal ini pun juga ditemukan oleh Kemendes PDTT.

Sebagai contoh dalam penggunaan Dana Desa yang nilainya Rp749 juta pada tahun 2015, masih ada desa yang menggunakannya untuk pembangunan tak produktif. “Ada sekitar delapan persen yang menggunakannya untuk membangun kantor kepala desa, membangun pagar penduduk, dan lain-lain. Tidak salah, tapi melenceng dari arahan prioritas,” ungkap Erani.

Dana Desa yang seharusnya dapat menjadi stimulan untuk pembangunan ekonomi dan penguatan sosial budaya masyarakat desa. Apalagi kerangka besar nilai Dana Desa akan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan setiap tahunnya akan meningkat.

“Karena itu, inovasi merupakan kata kunci dalam pembangunan desa saat ini,” kata Erani.

Penyaluran Desa Desa yang memiliki peran penting dalam pembagunan ekonomi desa ini memang tak lepas dari hambatan. Penyaluran dana yang dibagi ke tiga tahap ini terbentur pula dengan ketidaksiapan beberapa pemerintah daerah dalam membuat aturan turunan penyaluran dana desa. Beberapa kepala daerah juga masih melakukan intervensi dalam penyaluran dana desa.

Selain itu, beberapa desa juga masih belum menyiapkan struktur yang sesuai dengan aturan UU Desa. Beberapa desa belum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Pembangunan Desa (RPD). Akhirnya Dana Desa belum dapat cair sepenuhnya secara merata. Untuk mengatasi permasalah ini, akhirnya pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan tiga menteri (Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa PDTT) untuk mempermudah proses penyaluran dana desa tahun anggaran 2015 ini.

Pengawasan pelaksanaan juga menjadi masalah tersendiri karena belum ada instrumen yang cocok digunakan. Namun pembentukan instrumen ini akan menjadi prioritas perbaikan pelaksanaan UU Desa di tahun 2016.

Tidak hanya di penyaluran dana desa dan pelaksanaan di lapangan, sosialisasi UU Desa juga mendapat hambatan tersendiri. Erani tak memungkiri sosialisasi UU Desa, penggunaan Dana Desa, serta peningkatan kapasitas kepala dan warga desa belum maksimal.

“Jumlah desa sudah bertambah menjadi 74.543 desa di 2016. Tapi kita sudah sosialisasi hingga tingkat kabupaten dan perwakilan desa,” kata dia.

Hal ini semakin dipersulit faktor geografis Indonesia yang sangat luas. Ditambah lagi beberapa desa memiliki posisi yang sangat sulit dicapai. Kementerian Desa PDTT sendiri juga belum dapat bergerak maksimal karena mereka baru dapat bekerja maksimal pertengahan tahun kemarin. DIPA untuk Kemendes PDTT baru dipindahkan pada April. Sedangkan pejabat eselon I baru dilantik pada Juni 2015.

Belum lagi persoalan pendamping desa yang memiliki peran penting untuk membantu pertumbuhan desa. Untuk pendamping desa, Kemendes PDTT telah melatih 38 ribu tenaga pendamping. Namun angka ini masih kurang banyak dari jumlah desa yang ada.

Karena itu, seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat harus saling mendukung agar tujuan membangun desa menjadi pilar pembangunan ekonomi dapat tercapai. Hal ini pun diamini oleh Budiman.

“Kalau ibarat strategi sepakbola, harus total football. Semua elemen harus terlibat dalam mendorong pembagunan desa. Harus bergerak dan semuanya harus jemput bola,” tegas Budiman.

BUMDes sebagai pusat pertumbuhan desa

Perubahan konsep dari pembangunan desa menjadi desa membangun ini perlu memerhatikan tiga pilar utama. Jaring komunitas desa, lingkar budaya desa, dan lumbung ekonomi. Komunitas desa terkait dengan peningkatan kapasitas warga desa, sedangkan lingkar budaya memastikan kekhasan tradisi dan budaya desa tidak hilang seiring dengan semakin berkembangnya desa.

Lumbung ekonomi desa terkait dengan bagaiman desa dapat berkembang dengan dapat bertumbuh tanpa bergantung kepada pihak lain. Tapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan bergantung kepada perekonomian dan usaha yang mereka bangun.

“Hal ini bisa tercapai dengan memastikan sumber daya itu dikuasai oleh desa,” kata Erani. 

Salah satu elemen terpenting dalam pembangunan desa seiring dengan disahkannya UU Desa adalah Badan Usaha Milik Desa. Dengan memanfaatkan BUMDes, dana desa seharusnya dapat dikelola dengan baik untuk perkembangan ekonomi.

Mendorong terbentuknya BUMDes ini menjadi pekerjaan rumah penting bagi Kemendes PDTT. Erani yakin, BUMDes dapat memberikan dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi desa. Bahkan Indonesia.

“Kalau semisalnya satu BUMDes bisa memiliki omzet satu miliar saja, sekitar 4000 BUMDes yang ada sekarang sudah memberikan kontribusi Rp4 triliun. Coba dibayangkan kalau semisalnya seluruh desa di Indonesia punya BUMDes,” ujar Erani tersenyum lebar dengan pandangan jauh ke depan.

Bukan hal yang tidak mungkin sebuah BUMDes berkembang menjadi sebuah unit usaha yang omsetnya miliaran rupiah. Erani mencontohkan BUMDes yang dimiliki Desa Cangkudu, Balaraja, Banten. BUMDes yang dimiliki desa tersebut dapat memiliki pendapatan Rp 4 miliar pada hingga akhir tahun lalu. Keuntungan tersebut kemudian digunakan sebagai modal pembangunan desa. Akhirnya desa tersebut dijadikan salah satu percontohan untuk desa-desa di Indonesia.

Sementara itu Budiman juga mencontohkan beberapa desa di Jawa Tengah yang bekerja sama untuk membuat Sentra Peternakan Rakyat. “Di sana diajarkan bagaimana teknik beternak, pangan, segala macam. Ada kurikulum mirip sekolah peternakan untuk warga desa. Awalnya sih kita kasih nama Sekolah, tapi Mendikbud protes karena Sekolah kan patennya mereka,” gurau Budiman diiringi tawa terkekeh.

Tidak tanggungg-tanggung, SPR yang ikut dibinanya itu sudah menghasilkan sekitar 745 peternak. Peternak-peternak tersebut kemudian memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk desanya. Desa-desa yang terlibat pun saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Selain menjadi modal untuk pertumbuhan desa, BUMDes dapat memastikan sumber daya yang dimiliki desa dikelola langsung oleh masyarakat desa. Bukan seperti yang selama ini banyak terjadi. Masyarakat desa dapat bekerja untuk BUMDes yang ada tanpa harus menjadi buruh di kota atau luar negeri.

Potensi pengembangan BUMDes hampir tidak terbatas. Bahkan dana yang diputar dalam BUMDes dapat digunakan untuk semakin meningkatkan kualitas desa.

“Bisa saja kan, dana tersebut dipakai untuk menyekolahkan anak-anak pintar. Namun mereka diberi ikatan dinas di desa tersebut. 10 anak disekolahkan, setiap desa di Indonesia bisa punya dokter spesialis, insinyur, pakar pertanian, atau ahli apapun. Desa pun semakin diuntungkan,” kata Budiman.

Inovasi memang menjadi kata kunci desa memanfaatkan potensi yang ada. Bimbingan juga dibutuhkan untuk yang masih kaget dengan perubahan konsep desa. Walau demikian, masyarakat desa tetaplah harus diberi percaya. Sebab desa pasti bisa berubah untuk Indonesia.[]

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon