Tampilkan postingan dengan label Seni & Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni & Budaya. Tampilkan semua postingan

16 Oktober 2014

Suku - Suku Yang Mendiami Nanggroe Aceh

Suku - Suku Yang Mendiami Nanggroe Aceh
Suku Aceh, adalah suatu suku bangsa yang berada di paling ujung utara pulau Sumatra, tepatnya di provinsi Aceh. Populasi suku Aceh pada tahun 2013 diperkirakan lebih dari 4,5 juta orang yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota, 285 Kecamatan dan 6.497 gampong (desa) di seluruh Aceh.

Menurut cerita para leluhur, nenek moyang suku Aceh berasal dari keturunan berbagai suku-bangsa di dunia, seperti Arab, Cham (China), Eropa, Melayu dan Hindia (India). Suku Aceh adalah suku pertama di Indonesia yang memeluk agama Islam. Mereka mendirikan Kerajaan Islam pertama di Indonesia. 

Inilah suku - suku yang berada di provinsi Aceh

Suku Aceh


Suku Aceh tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh mulai Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan sebagian Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya, Nagan Raya dan Aceh Selatan. Bahasa yang dipertuturkan adalah Bahasa Aceh, dan penduduknya mencapai 4,5 juta dan mayoritas masyarakatnya beragama Islam, mata pencaharian utama adalah sektor pertanian, kelautan, perikanan, dagang dan perkebunan. Salah satu andalannya adalah Kakao, Pinang, Sawet, Karet dan kopi Ulee Kareng yang berkualitas ekspor.


Suku Gayo


Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di  Provinsi Aceh. Suku Gayo sebagian besar mendiami tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan kabupaten Gayo  Lues. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya.  Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo, Jumlah  populasinya mencapai 250.000 jiwa. 


Karena berada di daerah dataran tinggi, maka mata pencaharian utamanya adalah bertani dan berkebun dengan hasil utamanya kopi. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kerajinan lain yang cukup mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo, dengan motif yang khas.


Suku Alas


Suku Alas merupakan salah satu  suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara. Kata "alas" dalam bahasa  Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu  yang membentang datar seperti tikar di sela-sela pegunungan Bukit  Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu diantaranya  adalah Lawe Alas( Sungai Alas). Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk  daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan  kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar  dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.


Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktek perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.


Suku Aneuk Jamee


Suku  Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat  Aceh. Dari segi bahasa, mereka diperkirakan masih merupakan dialek dari  bahasa Minangkabau dan menurut cerita, mereka memang berasal dari Ranah  Minang. Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu  atau pendatang.


Umumnya mereka berkonsentrasi di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya dan sebagian kecil di Aceh Besar. Namun sebagian besar diantaranya berdiam di sepanjang pesisir selatan Aceh, meliputi Aceh Selatan hingga ke Aceh Barat Daya. Mata pencaharian penduduk disini sebagian besar adalah tani dan nelayan, ada juga yang berkebun dan hasil perkenunan disini yang berkualitas ekspor adalah Pala.


Suku Melayu Tamiang


Suku Melayu ini sebagian besar  berdiam di kabupaten Aceh Tamiang. Mereka mempunyai kesamaan dialek dan  bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat  Sumatra Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian  mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh.Dari segi kebudayaan,  mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera  lainnya. Jumlah penduduknya kurang lebih 200.000 jiwa. Mata pencaharian penduduk adalah dari segi perkebunan kelapa sawit.


Suku Kluet


Suku Kluet mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, yaitu kec.kluet utara, kec.kluet tengah dan kecamatan kluet selatan serta kecamatan kluet timur. Suku Kluet mayoritas beragama Islam. Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Wilayah kediaman orang Kluet ini terletak di pedalaman berjarak 20 km dari jalan raya, 50 km dari kota Tapak Tuan. bahasa Kluet terbagi atas 3 dialek yaitu Dialek Paya Dapur, Manggamat dan Krueng Kluet. Mata pencahariannya umumnya adalah bertani, berladang dan berkebun.


Suku Devayan


Suku Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami sebagian besar pulau simeulue di Kabupaten Simeulue. Dengan Jumlah penduduk sekitar 50.000 jiwa dan daerah yang masih terisolir maka sebagian besar penduduknya bermata pencaharian nelayan dan berkebun. Salah satu hasil perikanan yang terkenal adalah udang Lobster (udang laut)


Suku Sigulai


Suku Sigulai merupakan suatu suku bangsa yang mendiami sebagian kecil Kabupaten Simeulue. Dengan jumlah 20.000 penduduk, suku ini sebagian besar berada di pesisir barat pulau simeulue.


Suku Haloban


Suku Haloban merupakan suatu suku yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari 7 desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai. Bahasa Haloban masih bertalian erat dengan bahasa Devayan di pulau Simeulue. Belum di dapat keterangan yang jelas tentang suku ini.


Suku Julu


Suku Julu merupakan suatu suatu yang terdapat di kabupaten daratan. Suku ini lebih lazim dikenal sebagai suku Singkil. Belum di dapat keterangan yang jelas tentang suku ini. (Referensi dari berbagai sumber)

07 September 2014

Pariwisata Aceh Utara Sulit Berkembang

Kendati Pemerintah Aceh setiap tahun mencanangkan Visit Aceh Years, namun tidak terimplementasi dilapangan, sifatnya hanya slogan belaka tanpa ada kegiatan yang konkrit untuk mendukung peningkatan pariwisata di provinsi paling ujung pulau sumatera itu.

Padahal, Aceh Utara memiliki potensi wisata cukup luar biasa, layaknya seperti didaerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja di daerah luar Aceh potensi wisata dikelola dengan baik sehingga bisa menghasilkan uang dan masyarakat sekitar lokasi obyek wisata juga mendapat manfaatkan secara ekonomi dan finansial.


Berbeda di Aceh secara umum banyak obyek wisata dibiarkan begitu saja tanpa dikelola dengan baik, padahal Aceh juga memiliki puncak dengan obyek danau laut tawarnya di Aceh Tengah, ada juga tempat pemandian air panas di Kabupaten Bener Meriah.


Jika wisatawan ingin berkunjung ditempat obyek sejarah, Aceh Utara memiliki obyek sejarah Islam yang paling monumental yakni makam kerajaan Malikussaleh yang menyebarkan Islam pertama kali yang terletak di Desa Kuta Krueng Kecamatan Samudera Aceh Utara, begitu juga ada makam Ratu Nakhrisyah.


Kalau ingin melihat pahlawan nasional yang gagah perkasa di Aceh Utara tepatnya di Kecamatan Matangkuli ada peninggalan rumah pahlawan Nasional Cut Meutia dan juga makamnya di Kecamatan Pirak Timu.


Namun semuanya itu hanya sebutan saja tanpa dikelola dengan baik. “Buktinya obyek-obyek wisata yang bisa menghasilkan uang itu, justru saat ini tidak dikelola dengan baik,  obyek wisata tersebut  malah menjadi tempat sapi-sapi untuk mencari makan, akibatnya obyek wisata itu banyak kotoran sapi,” kata salah seorang pemerhati wisata Aceh Utara Drs HM Diah Sulaiman.


Seharusnya, tambah M Diah, jika Aceh ingin mendapat perhatian dan kunjungan wisatawan, obyek-obyek wisata itu harus dikelola dengan baik. “Pemerintah Aceh harus pro aktif melakukan pembenahan disemua obyek wisata termasuk akses jalan menuju lokasi itu.


“Bayangkan obyek wisata di dataran tinggi Gayo yakni danau laut tawar yang tampak begitu indah, namun akses jalan kupak-kapik, terutama melalui pintu masuk menuju kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah,tampak jalan masih amburadul, jangankan orang luar Aceh, orang Aceh sendiri enggan berwisata ke danau laut tawar, karena tidak didukung dengan berbagai sarana pendukung lainnya,” jelasnya.


Sebenarnya, papar M Diah kalau di danau toba ada istilah festival danau toba, seharusnya di Aceh juga ada festival danau laut tawar, apalagi disamping obyek wisata danau ada destinasi lain yang bisa memanjakan pengunjung yakni lomba pacuan kuda. “Namun peluang itu justru tidak berkembang sebagaimana mestinya, alhasil wisata Aceh sulit berkembang,” tuturnya.


Disisi lain, urainya, saat ini Aceh sudah menjalankan Syari’at Islam, seyogyanya akan menjadi daya tarik tersendiri. “Islam bisa menawarkan obyek wisata yang menarik, karena Islam juga cinta dengan keindahan, tentunya konsepnya harus wisata religious, sehingga kita memiliki ciri tersendiri, selama ini kesannya bahwa tempat wisata penuh dengan dunia glamour dan hura-hura, sebenarnya tidak juga, justru wisata bisa menjadi tempat pendidikan dan pencerahan bagi pengunjung,” jelasnya.


Salah satunya, kata Diah setiap obyek wisata dihadirkan polisi syari’at yang penuh dengan keramahan, sopan santun dan selalu mengarahkan kepada pengunjung jika kesulitan mencari tempat ibadah selalu dipandu dengan penuh kekeluargaan dan sebagainya.


“Jika peran seperti itu bisa diterapkan, saya yakin wisata di Aceh akan menjadi salah satu destinasi di Indonesia yang memiliki ciri khusus yang bersifat Islami dan menjadi daya tarik pengunjung, dan satu hal seluruh akses ketempat obyek wisata harus dibenah, apakah itu akses jalan, marka jalan maupun lokasi menginap bagi pengunjung terutama bagi pengunjung yang datang dari luar Aceh dan kenyamanan pengunjung juga harus menjadi prioritas utama,” urainya. (ogit)

Baca: Penemuan Candi Kuno Sawang Kabupaten Aceh Utara]

Sumber: www.acehutara.go.id