Tampilkan postingan dengan label Adat & Tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adat & Tradisi. Tampilkan semua postingan

18 April 2015

Khanduri Blang Jino Hana Saban Lage Zameun

Keunduri blang merupakan satu dari puluhan kanduri yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh. Keunduri blang disebut jugga dengan keunduri troen u blang atau jak u blang. Blang dalam bahasa Indonesia adalah Sawah.
Kenduri blang merupakan sebuah tradisi masyarakat Aceh yang akan memulai menanam padi. Dalam sebuah kitab yang mengupas tentang Adat dan Tradisi Aceh, disebutkan, bahwa asal usul kenduri blang atau khanduri blang sudah ada sejak zaman nenek moyang. 

Lazimnya, sebelum kenduri blang dilaksanakan, masyarakat desa terlebih dahulu menggelar musyawarah di Meunasah untuk menyusun dan menyepakati tatacara turun ke sawah. Musyawarah dipimpin oleh keuchik/kepala desa bersama keujruen blang (orang yang dipertuakan atau diberi jabatan oleh warga untuk mengurus sektor pertanian).

Di Gampong Riseh Tunong Kecamatan Sawang Aceh Utara pelaksanaan khanduri blang dilaksanakan dengan memasak kuah beulagong manok (kuah belanga ayam) secara bersama-sama di daerah persawah. Sembari menunggu kuah manok masak, yang dipersiapkan oleh kaum ibu-ibu. Para kaum laki-laki melaksanakan baca yaasin sekali tamat seraya memanjatkan doa kepada Allah Swt, semoga tanaman padi warga dapat dizakatkan (trok zakeut).

Kemudian petua gampong (keuchik/kepala desa) membacakan petunjuk-petunjuk yang dibolehkan atau yang menjadi larangan (pantang jak u blang) kepada masyarakat yang hadir. 

Salah satu pantangan jak u blang adalah dilarang melaksanakan aktivitas pada hari jumat, dilarang berselisih atau meudawa-meudawa di sawah, wanita yang sedang haid tidak dibenarkan turun kesawah, dilarang berbicara takabur, dan berkelahi.

Selain khaduri turun ke sawang, masyarakat Riseh Tunong juga masih melaksanakan khanduri gunong (khanduri jak u glee) dan khanduri-khanduri lainnya. 


Seorang warga bercerita, "khanduri jak u blang jino hana saban lage khanduri blang zameun dilee, menyoe awai kuah beulagong pasti Manok gampong. "Jino ka meucampu-campu ngon manok potong". Hal ini, disebabkan karena kesediaan ayam kampung yang semakin langka, kalau stok ayam kampung ada pasti masyarakat akan memilih ayam kampung. 

22 Agustus 2014

Pelaksanaan Adat Perkawinan di Aceh Utara

PUTRI ADAT. Sejumlah remaja yang dinobatkan sebagai Putri Adat berpose untuk wartawan jelang penyambutan tamu kehormatan daerah di Pendapa Bupati Aceh Utara, Rabu (12/10). Putri Adat yang diperkaya dengan pakaian adat Aceh tersebut sering ditampilkan pada acara penyambutan tamu daerah sebagai bentuk kemuliaan adat istiadat di Aceh. Foto: Antara
Dalam pelaksanaan adat di Aceh tidak dapat dipisahkan dari Syariat Islam. Salah satunya adalah adat dalam memilih jodoh atau pasangan hidup. Tujuannya agar manusia saling mengenal satu sama lain dalam perbedaan budaya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an. 

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Hujarat : 13)”

Dalam mayoritas masyarakat Aceh, proses pemilihan jodoh merupakan kegiatan atau inisiatif dari pihak laki-laki (pihak linto), maka jarang sekali kita menemukan inisiatif pemilihan jodoh datang dari pihak perempuan (pihak dara baroe)

Bilamana ada yang datang dari pihak perempuan (dara baro), pelaksanaannya dilaksanakan dengan cara yang sangat rahasia, agar tidak menimbulkan ocehan-ocehan di masyarakat umum seperti terlukis dalam kiasan, “Lagee mon mita tima“, atau seperti sumur mencari timba (perempuan mencari suami).

Namun seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kemurnian pelaksanaan adat memilih jodoh (meminang) pada sebagian masyarakat Aceh ikut mengalami perubahan. Sehingga dalam masyarakat Aceh dewasa ini terdapat dua pola tata cara pemilihan jodoh: 

Pola pertama yaitu dilakukan oleh orang tua atas persetujuan anaknya. Pelaksanaan cara ini masih murni, belum terpengaruh oleh kemajuan zaman. Mereka masih memegang teguh dan menghormati ungkapan; "Adat Bak Po Teumeureuhom".

"Po Teumeureuhom" adalah sebuah kehormatan pada orang yang  telah meninggal dunia (Wafat) yaitu almarhum Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda adalah sebagai lambanng dari  pemegang kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam yang adil dan makmur dimasa jayanya. 

Pola kedua yaitu pemilihan dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan, setelah itu baru diminta persetujuan dari kedua orang tuanya. Pola ini lebih dominan terjadi dikalangan masyarakat perkotaan dan kemudian menyusup ke pelosok gampong (desa) di Aceh. Baik oleh akibat perkembangan teknologi, perkembangan pendidikan anak-anak desa dan urbanisasi pemuda-pemuda desa ke kota.

Jodoh adalah rahasia Tuhan. Bila tidak berjodoh, sedekat apa pun hubungannya, tetap tidak akan sampai ke pelaminan. Pun sebaliknya, bila berjodoh, sejauh apa jua hubungannya, pasti akan menikah. Bila Anda yang Allah takdirkan menemukan jodoh hidup dengan wanita Kabupten Aceh Utara, sebaiknya ada ketahui pelaksanaan Adat Perkawinan yang berlaku di daerah tersebut. Berikut pelaksanaan Adat Perkawinan di Kabupaten Aceh Utar yang kami sadur dari website http://www.acehutara.go.id/

1. Cah Rauh

Cah Rauh merupakan tahap awal perkenalan orang tua/ keluarga antar kedua belah pihak. Dalam adat Perkawinan Aceh Utara, Cah Rauh dilakukan oleh kerabat atau orang yang dipercaya oleh keluarga calon Linto Baro yang disebut juga Seulangkee. Saat berkunjung ke rumah calon Dara Baro, Seulangkee membawa bungong jaroe seperti gula, teh, kopi, susu, roti kaleng. Beberapa hal yang dibicarakan dan dipertanyakan  oleh Seulangkee pada proses ini adalah :
  • Menjelaskan mengenai maksud kedatangan Seulangkee;
  • Apakah calon Dara Baro masih single (belum menerima pinangan seseorang);
  • Apakah calon Dara Baro bersedia dipinang oleh calon Linto Baro.
2. Jak Meulakee (Jak Peuteunte)

Setelah prosesi adat Cah Rauh dilakukan, langkah selanjutnya adalah Jak Meulakee. Jak Meulakee ini dilakukan oleh Seulangkee, Ayah Linto Baro dan Ureung Tuha Gampong. Hal yang dibicarakan dalam proses ini adalah :
  • Menentukan berapa jumlah jeulamee (menentukan berapa mahar);
  • Kapan akan dilakukan proses Mee Ranub (Ba Tanda) ;
  • Berapa jumlah rombongan mee ranub.
Bungong jaroe seperti gula, teh, kopi, susu, roti kaleng (sama seperti saat Cah Rauh) menjadikan kedatangan rombongan Jak Meulakee lebih bersahaja.

3. Mee Ranub (Ba Tanda)

Rombongan Mee ranub terdiri dari anggota keluarga, Wali pihak Linto Baro, Ureung Tuha Gampong dan Seulangkee. Dalam proses ini, ditentukan lebih lanjut mengenai rencana pernikahan (penentuan tanggal pernikahan atau penentuan lamanya tenggang waktu). Jika waktu menikah ditentukan bersamaan dengan waktunya preh linto, maka dalam prosesi Mee Ranub ini juga ditentukan berapa jumlah rombongan yang akan Intat Linto nanti. Daftar barang bawaan yang wajib dalam adat ini adalah :
  • Ranub batee
  • Emas (cincin tunangan), diletakkan dalam bate (batu) yang dialasi dengan lima macam bibit seperti bibit labu ie, labu tanoh, bibit pik, reuteuk, kunyit, dll (bibit tanaman, lebih diutamakan tumbuhan yang menjalar). 
Hal ini mengisyaratkan bahwa proses Mee Ranub adalah tahap awal dimulainya proses perkenalan anak manusia yang diibaratkan seperti bibit tanaman yang nantinya akan hidup, tumbuh dan berkembang biak melahirkan generasi demi generasi yang berkelanjutan. Cincin tunangan yang dibawa tersebut, ada yang diberikan sebagai hadiah atau disesuaikan dengan jumlah keseluruhan jeulame.
  • Kue dalam dalong seperti dodoi, meuseukat, wajek, keukarah, bhoi, dll (sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga dan kepantasan).
  • Ija bajee sigoe treun yang diletakkan dalam talam yang berisi gula, kopi, susu, roti kaleng, limun/fanta/dll dengan disekelilingnya disusun bungkusan ranup sebanyak 21 bungkus. Ranup bungkus ini kemudian akan diserahkan kepada para wali Dara Baro, Geuchik, Imum dan Ureung Tuha Gampong sebagai pemberitahuan bahwa anak perempuannya sudah memiliki calon Linto Baro.
4. Pernikahan

Pernikahan ada yang dilakukan di mesjid, Kantor KUA dan dirumah Dara Baro. Jika dilakukan dirumah Dara Baro maka sebelumnya telah dikomunikasikan antara kedua belah pihak tentang jumlah rombongan Linto Baro yang akan hadir pada acara pernikahan tersebut. Ruang pernikahan didekorasi lebih sederhana dengan menggunakan ija tabeng, kasur, sprei kasab, dalong bu leukat dan dalong on seunijuk serta tikar tempat duduk rombongan jak peungen Linto. Pada tahapan ini, rombongan juga membawa beberapa perlengkapan seperti :
  • Ranub bate; 
  • Emas (mahar/sisa mahar) yang ditempatkan dalam batee dengan dibungkus kain kuning; 
  • Talam yang di isi dengan gula, kopi, susu, roti kaleng, limun/fanta/dll;
  • Kue dalam dalong seperti dodoi, meuseukat, wajek, keukarah, bhoi, dll (sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga dan kepantasan).
  • Ija bajee sigoe treun (ija krong, ija baje, ija sawak, silop)
Kira-kira 3 (tiga) hari sebelum dilakukannya acara preh linto di rumah Dara Baro, Utusan dari pihak Linto Baro akan mengirimkan keperluan seperti beras dan uang (menurut kemampuan ekonomi dan kepantasan) serta on gaca (daun inai). Adat ini dikenal dengan intat ranub gaca. On gaca (daun inai) tersebut, sebagian dihaluskan dan sebagian lagi disiangi dengan dibuang tulang daunnya. On gaca halus kemudian dibungkus dengan daun birah dan on gaca yang telah disiangi dibungkus dengan on teulayu (daun pisang).

5. Preh Linto Baro
  • Acara Preh Linto Baro  adalah pesta peresmian dirumah orang tua Dara Baro. Setibanya Linto Baro dirumah orang tua Dara Baro, maka Seumapa yang merupakan salam pembuka atas kedatangan rombongan Linto akan dimulai. Kedua belah pihak biasanya telah menyiapkan orang yang memiliki keahlian dalam bidang Seumapa.
  • Setelah Seumapa disudahi maka petugas yang telah ditunjuk dari kedua belah pihak akan melakukan tuka batee dan tuka payong. Hal ini menandakan bahwa rombongan Linto Baro telah diterima oleh pihak Dara Baro.
  • Acara kemudian dilanjutkan dengan tari Ranup Lampuan untuk menyambut kedatangan rombongan Linto Baro. Selesai tari Ranup Lampuan, maka Linto akan dituntun menuju pintu depan rumah orang tua Dara Baro (disini, keluarga Dara Baro dan Dara Baro telah menunggu didepan pintu).
  • Begitu Linto Baro sampai, maka keluarga dari pihak Dara Baro akan  geupeubreuh padee Linto Baro. Selanjutnya Ibu Peuganjo akan mencuci kaki Linto Baro.. Setelah itu Linto akan dibawa kepelaminan untuk disandingkan dengan Darabaro dan dipeusijuk oleh Ibu Imum  (Peutua Adat Perempuan). Peusijuk oleh Ibu Imum  ini menandakan bahwa Linto Baro telah diterima sebagai warga baru di desa tersebut. Sementara Linto dan Dara Baro dipeusijuk, tamu besan dipersilahkan dan diatur untuk menempati ruang hidangan besan. Jumlah tamu besan disesuaikan dengan luasnya ruangan, biasanya ±20 orang. (Hidangan untuk tamu besan merupakan hidangan khusus dan sedikit berbeda dengan hidangan tamu diluar).
  • Setelah tamu besan, Linto dan Dara Baro selesai menyantap hidangan, lalu Ranup Sigapu dan Narit Sinambot  yang merupakan suatu prosesi adat serah terima Linto Baro dan serah terima seserahan dari pihak Linto kepada Dara Baro pun dilakukan. Ranup Sigapu dan Narit Sinambot ini biasanya dilakukan oleh ureung tuha/orang yang dipercayakan dari kedua belah pihak yang ahli dibidang ini.
  • Selesai Ranup Sigapu dan Narit Sinambot, lalu Linto Baro akan dipeusijuk oleh keluarga Dara Baro (saudara Mamak dan saudara Ayah Dara Baro) dalam jumlah gasal yang telah ditentukan.
  • Prosesi selanjutnya adalah Peutujoh, yang dilakukan dalam adat ini adalah peuturi besan (seumah tuan) dari pihak Dara Baro kepada Linto Baro. Saat menyalami Linto Baro, keluarga dari Dara Baro telah siap dengan aso jaroe (salam tempel). Khusus ibu Dara Baro, saat perkenalan tersebut telah mempersiapkan ija sinalen (kain sarung atau pakaian) dan emas (biasanya cincin 1 mayam) untuk diberikan kepada Linto Baro.
Dalam Acara Preh Linto, selain adat-adat sebagaimana yang telah disebutkan diatas, juga terdapat  Adat pula u yaitu adat menanam kelapa bertunas (u timoh) yang telah dibawa oleh Linto Baro. Dahulu, adat pula u ini dilakukan di pagi hari pada keesokan harinya, namun seiring perkembangan zaman dengan mengingat kesibukan keluarga dan perubahan pola hidup dalam masyarakat saat ini maka adat pula u dilakukan juga pada hari preh linto.

Dalam acara Intat Linto, rombongan Intat Linto telah mempersiapkan seserahan dan barang-barang yang akan diberikan kepada Dara Baro berupa :
  • U Timoh, yaitu kelapa yang telah bertunas (biasanya 2 lembar) sebagai perlambang bahwa hari ini adalah titik awal membina bahtera keluarga dan diharapkan dapat tumbuh laksana tumbuhnya pohon kelapa dimana setiap bagiannya memiliki manfaat dan tidak ada yang sis-sia.
  • Peuleuman si aso, isinya yaitu padee leukat (padi ketan), tarok labu dan tarok ranub (tunas labu dan tunas sirih). Diletakkan dalam peuleuman (seperti mangkok keramik), nantinya peuleuman ini akan diletakkan dibawah tempat tidur kamar pengantin. Perlambangan dari hal ini adalah bahwa hidup berkeluarga itu dimulai pelan-pelan, dia akan terus tumbuh dan mengakar dalam masyarakat maka jadilah seperti labu atau sirih yang dapat beradaptasi dalam setiap kondisi dan tetap menonjol meskipun dalam semak belukar.
  • Pakaian, peralatan ibadah, kosmetik, sandal/sepatu, peralatan mandi, pakaian dalam, dll.
  • Peurakan, yaitu rumoh adat Aceh yang berisi didalamnya limun, gula, susu, teh, kopi, sabun cuci (untuk cuci piring kenduri), makanann ringan. Barang-barang ini biasanya dibagikan kepada geuchik, imum, ureung tuha gampong dan anak-anak sebagai pertanda persahabatan dari pihak Linto.
  • U teulason, yaitu kelapa yang tidak muda dan tidak tua yang dikupas tapi masih tetap memiliki sebagian kulit. Kelapa ini dimaksudkan untuk bahan memasak dirumah Dara Baro, pada keesokan harinya saat berbenah selesai acara Preh Linto. Biasanya untuk bahan memasak kuah leumak.
  • Pisang meuteundon, yaitu pisang bertandan. Dahulu, pisang yang dibawa adalah pisang klat barat (pisang raja). Kegunaannya sama seperti u teulason. Pisang ini dapat dijadikan makanan/snack (pisang goreng, leughok, dll) saat mereka bekerja.
  • Teubee Meu’on, yaitu tebu yang memiliki daun. Tebu ini akan dibagikan kepada anak-anak yang ibunya turut serta dalam  membantu benah-benah di rumah Dara Baro agar mereka tidak mengganggu pekerjaan ibunya.
6. Intat Dara Baro

Intat Dara Barao Yaitu proses adat mengantar Dara Baro ke rumah Linto baro. Biasanya dilakukan berselang 1 (satu) hari sesudah acara Preh Linto Baro. Dalam adat ini terdapat beberapa perlengkapan yang dibawa oleh rombongan Dara Baro kepada keluarga Linto Baro yaitu :
  1. Ranup batee;
  2. Kue dalam dalong seperti dodoi, meuseukat, wajek, keukarah, bhoi, dll (sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga dan kepantasan). Lebih bagus sebanyak-banyaknya.
  • Sebelum Dara Baro dibawa masuk kedalam rumah orang tua Linto, terlebih dahulu Dara Baro akan didudukkan dikursi yang diletakkan didepan pintu rumah orang tua Linto untuk geupeubreuh padee oleh Peutua Adat Perempuan setempat dan dicuci kakinya oleh ibu Peuganjoo (pendamping/yang mengurusi Dara Baro).
  • Lalu Dara Baro akan geupeugapit ie dalam serahi yaitu adat menggendong air yang diletakkan dalam suatu wadah berbentuk botol. Kemudian bersalaman dan menyerahkan botol serahi tersebut kepada Mak Tuan (Ibu Mertua). Sambil dituntun oleh Mak Tuan, Dara Baro menuju pelaminan.
  • Di atas pelaminan, Dara Baro dipeusijuk oleh keluarga Linto Baro (Saudara dari Bapak dan Saudara dari Mamak Linto Baro). Lalu Linto, Dara Baro dan rombongan tamu besan dipersilahkan untuk menyantap hidangan besan.
  • Peulhuek eumpang breuh, menjadi prosesi adat selanjutnya. Oleh Peutua Adat Perempuan dipihak Linto Baro, tangan Dara Baro diambil dan dimasukkan kedalam empang breuh (eumpang gampet yang didalamnya berisi beras, diatas beras diletakkan gelas yang didalamnya berisi garam dan telur dibagian paling atas) sambil diberi pesan “nyoe pat hai aneuk, breuh mangat ta tagun, ta bri keu Tuan teuh, keu Lako baro ta pajoh keudroe”
  • Kemudian Mamak Linto akan menyerakankan gelas, piring, sendok, mangkok dan kobokan kepada Dara Baro sebagai peralatan makan Linto nantinya. Sambil diserahkannya peralatan tersebut oleh Ibu Linto, ibu Peuganjoo berkata “nyoe pat hai aneuk, cawan ngen pingan keu gata, nyang lhok tab oh kuah yang deu taboh sira”
  • Sama seperti pada adat Preh Linto, pada acara Preh Dara Baro juga terdapat adat Seumah Tuan, disini Mak Tuan juga geumeubri, biasanya cincin emas atau bros emas. Setelah itu Dara Baro akan diperkenalkan kepada seluruh keluarga Linto Baro sambil bersalam-salaman (salam tempel).
Ditulis Oleh: Khamisna Zulaili, S.Si sebagaimana telah dituturkan oleh Narasumber: Ibu Misbahul Jannah (kabag Aset DPKKD Aceh Utara), Ahli Adat Istiadat Aceh Utara. H. Abdullah Basuki (Kabid Pusaka Adat/Budaya MAA Aceh Utara). T. Syamsul fajri, S.Sos (Sekretaris MAA Aceh Utara)

18 Juni 2014

Peradilan Adat Masih Terhambat

GampongRT - SECARA regulasi, Aceh sudah punya cukup syarat untuk mengimplementasikan peradilan adat tingkat gampong dan mukim. Namun, dukungan pemerintah yang masih minim membuat peradilan ini tak bisa berjalan efektif. Serambi mengurai liku-liku peradilan adat dengan sejumlah masalah yang dihadapi dalam laporan khusus edisi hari ini.

Peradilan adat adalah proses penyelesaian perkara masyarakat yang dilakukan oleh perangkat gampong atau mukim yang mengacu pada hukum adat yang berlaku. Ada beragam regulasi yang sudah tersedia untuk mendukung pelaksanaan pengadilan ini, antara lain Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008.


Di dalam pasal 98 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga ditegaskan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Pemerintah Aceh bahkan telah punya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, Kapolda, dan Ketua MAA tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim. 


Meskipun peradilan adat gampong telah diakui sebagai salah satu instrumen memperoleh keadilan, namun banyak hambatan dalam implementasinya, antara lain minimnya pengetahuan adat tokoh-tokoh  masyarakat, sikap masyarakat yang belum menerima sepenuhnya, hingga  politicall will yang masih setengah-setengah dari pemerintah.


Selama ini beragam persoalan yang dihadapi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana ringan, dilaporkan ke polisi. Namun, seperti halnya institusi penegak hukum lainnya di republik ini, proses mencari keadilan di sini bertele-tele, menguras banyak tenaga, pikiran, hingga uang.  Lebih dari itu, keadilan juga lazim tak kunjung digapai oleh kedua pihak.


Hasil penelitian UNDP beberapa waktu lalu cukup menarik. Dari 3.054 perkara yang diselesaikan di tingkat gampong dan mukim, berdasarkan survei tersebut, terungkap bahwa para pihak mengaku cukup puas dengan proses penyelesaian peradilan adat model begini. Sedangkan persentase masyarakat yang tidak puas terhadap proses peradilan ini terbilang kecil, hanya puluhan kasus dari 3.000 lebih kasus yang disurvei. Ini bermakna, pengadilan alternatif ini sangat menjanjikan di tengah turunnya kredibilitas berbagai institusi penegak hukum lainnya.


Ada contoh kasus yang cukup menarik pada 2010 di Lhokseumawe.  Berdasarkan data fotocopi BAP yang dimiliki Serambi, terungkap bahwa  ada kasus penganiayaan berat yang terjadi di Kota Lhokseumawe dan diselesaikan secara adat. Seorang pemuda yang babak belur dikeroyok, hingga korban harus berobat ke Penang, akhirnya rela kasusnya diproses di tingkat gampong. Berkas pengaduannya ke polisi pun dicabut. Meskipun harus membayar kompensasi biaya pengobatan hingga Rp 50 juta, pihak pelaku dan korban merasa proses hukum di tingkat gampong ini sudah mendekati keadilan, ketimbang menanti diproses pihak kepolisian.


Begtupun, hingga kini masih banyak persoalan yang melingkupi peradilan adat gampong dan mukim. Karena bersifat sukarela, sebagian warga memang tak mau memilih peradilan ini.


Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail SH MHum menyebutkan, peradilan adat ini sederhana, murah, dan cepat. Pelapor cukup mendaftar kasus, dilakukan olah TKP, lalu dilanjutkan dengan proses perdamaian hingga dicapai kata sepakat. “Cuma, kedua pihak harus sukarela memilih peradilan ini. Jika salah satu pihak saja tak setuju, ya tidak bisa diproses,” kata Badruzzaman.  


Di sisi lain, kata dia, masih butuh perhatian lebih dari pemerintah kabupaten/kota, khususnya pemberian insentif untuk para pengadil ini. “Kita mengusulkan insentif senilai Rp 300.000 untuk satu kasus yang diproses. Di Lhokseumawe dan Aceh Tengah sudah berjalan, sedangkan di kota/kabupaten lain masih secara ikhlas. Insentif itu dimaksudkan hanya  untuk sekadar uang minum,” paparnya.(*)


Sumber: Serambi