02 Desember 2018

Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Nafas baru pengelolaan desa melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menjamin kemandirian desa. Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, peran desa bergeser dari objek menjadi subjek pembangunan. Melalui kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, desa diharapkan menjadi pelaku aktif dalam pembangunan dengan memperhatikan dan mengapresiasi keunikan serta kebutuhan pada lingkup masing-masing.
Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Desa yang kini tidak lagi menjadi sub pemerintahan kabupaten berubah menjadi pemerintahan masyarakat. Prinsip desentralisasi dan residualitas yang berlaku pada paradigma lama melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, digantikan oleh prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Kedua prinsip ini memberikan mandat sekaligus kewenangan terbatas dan strategis kepada desa untuk mengatur serta mengurus urusan desa itu sendiri.

Membumikan makna desa sebagai subjek paska UU Desa bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Pelbagai ujicoba dilakukan oleh elemen pemerintah dan masyarakat sipil untuk dapat menggerakkan desa agar benar-benar menjadi subjek pembangunan. Berbagai praktik dan pembelajaran telah muncul sebagai bagian dari upaya menggerakkan desa menjadi subjek pembangunan seutuhnya. Idiom subjek tidak bermakna pemerintahan desa semata, melainkan juga bermakna masyarakat. Desa dalam kerangka UU Desa adalah kesatuan antara pemerintahan desa dan masyarakat yang terjawantah sebagai masyarakat pemerintahan (self governing community) sekaligus pemerintahan lokal desa (local self government).


Pemaknaan atas subjek tersebut masih kerap ada dalam situasi yang problematis akibat kuatnya cara pandang lama tentang desa di kalangan pemerintahan desa dan masyarakat. Pada pemerintahan desa, anggapan bahwa desa semata direpresentasikan oleh kepala desa (Kades) dan perangkat masih kuat bercokol. Hal ini berimplikasi minimnya ruang partisipasi yang dibuka untuk masyarakat agar dapat berperan dalam pembangunan desa. Sebaliknya, masyarakat masih bersikap tidak peduli atas ruang “menjadi subjek” yang sebenarnya telah terbuka luas.

Sebagai upaya untuk mendukung desa sebagai subjek. Buku ini dapat menjadi pegangan bagi pegiat dan elemen di desa. Buku ini merupakan salah satu sekuel dari rangkaian buku yang disusun oleh Tim Infest Yogyakarta. 

Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ini menyajikan pengetahuan tentang Satuan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Pembahasannya menyakut tentang tugas, hak dan kewenangan Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa.

Berikutnya menyajikan pengetahuan tentang Pedoman Pemilihan Kepala Desa, Pengangkatan Perangkat Desa dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) meliputi tentang Pemilihan Kepala Desa, Pengangkatan Perangkat Desa, dan Pengisian Keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Selanjutnya menyajika pengetahuan dan pedoman tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca sebagai pedoman dalam rangka memperkuat desa sebagai subjek pembangunan sebagaimana diamanatkan oleh UU Desa. Berminat buku saku seri UU Desa, silahkan donwload disini Buku Penyelenggraaan Pemerintahan Desa Desa

Sumber: http://digilib-insandesa.blogspot.com/2018/01/download-buku-penyelenggaraan.html

30 November 2018

Pengertian Badan Usaha Milik Desa

Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.


Pengertian Badan Usaha Milik Desa menurut UU Desa

Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.


BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.

BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.

Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.

BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU Desa

28 November 2018

Sejumlah Desa Terbaik Terima Penghargaan Kementerian Desa PDTT

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memberikan penghargaan kepada sejumlah desa terbaik dan pendamping desa teladan tahun 2018. 


Pemberian penghargaan tersebut sebagai bentuk apresiasi kepada desa atas keberasilannya dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan dana desa. 

Penyerahan penghargaan dilakukan pada kegiatan Simposium Desa Menjemput Asa dan Deklarasi Program Literasi Desa, Deklarasi Program Desa Bebas Narkoba dan Peluncuran Majalah Wanua, yang dibuka oleh Menteri Desa PDTT, Eko Putro Sandjojo di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis 29 November 2018 

Penghargaan desa terbaik dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni kategori penguatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, kategori prioritas penggunaan dana desa dan padat karya tunai, kategori prakarsa dan inovatif, dan kategori pelayanan informasi dan transparansi publik.

Dalam kesempatan yang sama Kemendes PDTT juga memberikan penghargaan kepada 9 orang Pendamping Desa (PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD) teladan tahun 2018.

Para kepala desa yang diundang dalam acara penerimaan penghargaan Kementerian Desa, yaitu Kepala Desa Kemadang, Kabupaten Gunung Kidul, Kepala Desa Pagerharjo Kabupaten Kulonprogo, Kepala Desa Wukirsari Kabupaten Sleman, Kepala Desa Sumber Mulyo Kabupaten Bantul.

Kepala Desa Meunasah Rayeuk Kabupaten Aceh Utara, Kepala Desa Kute Salang Alas Kabupaten Aceh Tenggara, Kepala Desa Blang Kreung Kabupaten Aceh Besar, Kelapa Desa Seulalah Baru Kota Langsa.

Kepala Desa Bungo II Kabupaten Boalemo, Kepala Desa Tanah Putih Kabupaten Boalemo, Kepala Desa Soginti Kabupaten Pohuwato, Kepala Desa Manunggal Karya Kabupaten Pohuwato, Kepala Desa Seberang Taluk Kabupaten Kuantan Singingi, Kepala Desa Dayun Kabupaten Siak, Kepala Desa Paya Rumbai Kabupaten Indragiri Hulu, Kepala Desa Kundur Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kepala Desa Suka Jaya Kabupaten Sukabumi.

Kepala Desa Karangpapak Kabupaten Sukabumi, Kepala Desa Cigentur, Kabupaten Bandung, Kepala Desa Mandalasari Kabupaten Bandung, Kepala Desa Adi Luhur Kabupaten Lampung Timur, Kepala Desa Mulyosari Kabupaten Pesawaran, Kepala Desa Hanura Kabupaten Pesawaran, Kepala Desa Banyuwangi Kabupaten Pringsewu, Kepala Desa Maluang Kabupaten Berau.

Kepala Desa Kertabakti, Kabupaten Paser, Kepala Desa Lowa Duri Ilir Kabupaten Kutai Kartanegara, Kepala Desa Bhuana Jaya Kabupaten Kutai Kartanegara, Kepala Desa Pejambon Kabupaten Bojonegoro, Kepala Desa Poko Kabupaten Pacitan, Kepala Desa Balunganyar Kabupaten Pasuruan, Kepala Desa Ngrance Kabupaten Tulungagung, Kepala Desa Terapung Kabupaten Buton Tengah.

Selanjutnya, Kepala Desa Jati Bali Kabupaten Konawe Selatan, Kepala Desa Mulya Jaya Kabupaten Kolaka Timur, Kepala Desa Mekar Jaya Kabupaten Buton Utara, Kepala Desa Karang Agung Kabupaten Bulungan, Kepala Desa Long Sule, Kabupaten Malinau, Kepala Desa Maspul Kabupaten Nunukan.

Kepala Desa Bukit Aru Indah Kabupaten Nunukan, Kepala Desa Toapaya Selatan Kabupaten Bintan, Kepala Desa Kote Kabupaten Lingga, Kepala Desa Kuala Maras Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepala Desa Sei Ungar Utara Kabupaten Karimun, Kepala Desa Mamuya Kabupaten Halmahera Utara, Kepala Desa Gilalang Kabupaten Halmahera Selatan, Kepala Desa Fukfew Kabupaten Kepulauan Sula, Kepala Desa Pohea Kabupaten Kepulauan Sula, Kepala Desa Karang Bunga Kabupaten Barito Kuala, dan Kepala Desa Malinau Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Kepala Desa Cabi Kabupaten Banjar, Kepala Desa Tirta Jaya Kabupaten Tanah Bumbu, Kepala Desa Teluk Empening Kabupaten Kubu Raya, Kepala Desa Kendawangan Kanan Kabupaten Ketapang, Kepala Desa Sungai Uluk Kabupaten Kapuas Hulu, Kepala Desa Mendolak Kabupaten Mempawah, Kepala Desa Rarang Selatan Kabupaten Lombok Timur, Kepala Desa Seruni Mumbul Kabupaten Lombok Timur, dan Kepala Desa Keselet Kabupaten Lombok Timur.

Selanjutnya, Kepala Desa Lompak Kabupaten Sumbawa Barat, Kepala Desa Cekolelet Kabupaten Serang, Kepala Desa Cigogong Selatan Kabupaten Lebak, Kepala Desa Warung Banten Kabupaten Lebak, Kepala Desa Muruy Kabupaten Pandeglang, Kepala Desa Bloro Kabupaten Sikka, Kepala Desa Motadik Kabupaten Timor Tengah Utara, Kepala Desa Bantala Kabupaten Flores Timur, Kepala Desa Tulakadi Kabupaten Belu, dan Kepala Desa Pakatto Kabupaten Gowa.

Kepala Desa Tottong Kabupaten Soppeng, Kepala Desa Timusu Kabupaten Soppeng, Kepala Desa Bontojai Kabupaten Bantaeng, Kepala Desa Buding Kabupaten Belitung Timur, Kepala Desa Cendil Kabupaten Belitung Timur, Kepala Desa Namang Kabupaten Bangka Tengah, dan Kepala Desa Simpang Tiga Kabupaten Bangka Barat.

Nama - nama Pendamping Desa (PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD) teladan tahun 2018, penghargaan diberikan kepada Ulil Hikmah, PLD Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Suksoro, PLD Kecamatan Malinau Kota, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, Haris Molle, PLD Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, Provinsi Maluku.

Asep Deni Wiliam, PDP Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Jusbal, PDP Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, Santi Hardianti, PDP Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Selanjutnya, Siti Mubarokah, PDTI Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, Monalisa, PDTI Kecamatan Paku, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Muhammad Dahri Is Takone, PDTI Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.

Cerita Sukses Dana Desa

Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.

Cerita Sukses Dana Desa  Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.  Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.  Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.  Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.  Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.  Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.  Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).  Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.  Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.  Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa     Persepsi Miring  Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.  Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.  Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).  Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.  Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.  Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.  Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.

Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.

Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.

Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.

Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.


Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.

Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).

Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.

Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.

Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa.

Persepsi Miring

Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.

Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.

Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).

Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.


Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.

Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.

Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.


Oleh Riza Multazam Luthfy
Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UII Yogyakarta
Sumber: koran-jakarta.com

Desa Ini Mampu Bayar Pajak Rp 3 Miliar, Kok bisa ya?

Ditengah berbagai tantangan, kendala dan pembenahan yang dilakukan  oleh pemerintah dalam upaya efektifitas pemanfaatan dana desa. Ternyata dibalik itu, terdapat banyak desa telah sukses memanfaatkan dana desa yang dikuncurkan sejak tahun 2014. 
Desa Ini Mampu Bayar Pajak Rp 3 Miliar, Kok bisa ya?
Sumber foto: http://www.desakutuh.badungkab.go.id
Melalui berbagai prestasi yang telah diraih, sehingga ada desa menjadi role model atau desa percontohan bagi desa - desa lainnya di seluruh pelosok tanah air, Indonesia.

Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali merupakan salah satu contoh desa yang berasil memanfaatkan dana desa.

Berdasarkan telusuran yang dihimpun blog ini, kesuksesan Desa Kutuh dalam membangun desanya dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya, terdapat karakter kepemimpinan desa yang kuat, penyusunan program program desa yang berkesinambungan, adanya peran serta masyarakat untuk mensukseskan program - program pemerintah desa dan adat, dan adanya keinginan untuk terus berbenah.

Berikut faktor - faktor yang mempengaruhi perkembangan Desa Kutuh sehingga sukses dalam membangun desanya. 

1. Karakter Kepemimpinan yang kuat

Berdirinya Desa Kutuh mulai dari pemekaran sampai dengan sekarang sudah pasti merupakan buah pikiran dan kerja keras tokoh – tokoh serta masyarakat Desa Kutuh Sendiri. Keadaan yang sangat kurang pada saat itu membuat pemimpin yang dipercaya masyarakat merasa “jengah” dan lebih agresif untuk melakukan terobosan – terobosan dalam upaya mensejahterakan masyarakat desa. Bahkan semangat tersebut diwariskan kepada pemimpin - pemimpin desa saat ini baik itu adat maupun di pemerintahan.

2. Program - Program Desa disusun secara Berkesinambungan

Untuk membuat sebuah terobosan tentunya melalui berbagai proses. Hal ini dijabarkan dalam program – program kerja pemimpin desa. Program – program yang dilakukan tentunya mengacu pada tujuan akhir yaitu untuk membuat masyarakat desa yang berdaya saing dan sejahtera.

3. Peran Serta Masyaralat untuk Mensukseskan Program - Program Pemerintahan Desa maupun Adat

Tentunya sebagus apapun program yang dilaksanakan oleh pemerintah jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat tidak akan berjalan dengan baik. Di Desa Kutuh peran serta masyarakat mulai dari perencanaan pembangunan hingga proses eksekusi terbilang sangat baik. Seperti dalam pengembangan sektor pertanian lahan basah "Rumput Laut" yang mulai menggeliat pada tahun 2007. 

Berkat dukungan dan peran serta masyarakat desa akhirnya Desa Kutuh dapat mengekspor ratusan ton rumput laut pertahunnya. Kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Hingga pada tahun 2011 Desa Kutuh berani mendeklarasikan dirinya sebagai Desa dengan 0% warga miskin. Hal ini merupakan prestasi yang luar biasa, mengingat desa diusia yang sangat muda selangkah lebih maju dari desa - desa lainnya.

4. Keinginan untuk Terus Berbenah

Desa yang memiliki visi, misi dan motto yang kuat, biasanya lebih cepat berkembang dan maju. Hal ini tercermin dalam motto Desa Kutuh yaitu "Kebersamaan untuk Mewujudkan Desa Kutuh yang Mandiri dan Sejahtera". 

Motto Desa Kutuh tak hanya sekadar tertulis dikertas saja, tapi benar-benar mengakar pada masyarakat desa dari sejak awal desa ini berdiri. Mereka juga mampu tunjukkan melalui berbagai inovasi – inovasi yang terus dilakukan oleh pemimpin desa bersama masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Salah satu inovasi Desa Kutuh yaitu keberasilannya dalam mengembangkan Pantai Pandawa yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa Adat (BUMDA) dan pendapatan yang diperoleh mampu mensejahterakan masyarakat desanya.

Dimana, pada tahun 2017 ada sekitar 1 juta wisatawan yang berkunjung ke pantai Pandawa dengan penghasilan desanya mencapai Rp 32 Miliar dengan penghasilan bersih sekitar Rp 14 miliar. Dengan penghasilan itu, mereka mampu membayar pajak sekitar Rp 3 milyar rupiah, padahal dana desanya sebesar Rp 800 juta.

Atas inovasi yang tinggi tersebut, Desa Kutuh dinobatkan sebagai salah satu desa yang memiliki inovatif yang dapat menjadi inspirasi desa - desa lainnya di Indonesia. 

Keberhasilan Desa Kutuh tentu tidak terlepas dari empat faktor yang telah kita uraikan diatas. Kita pun patut memberikan apresiasi yang luar pada desa ini yang mampu membayar pajak melebihi dari dana desa yang terimanya. 

Kiranya catatan ini dapat menambah motivasi bagi desa - desa lainnya.
Semoga bermanfaat.

27 November 2018

Prasyarat BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa

Pengetahuan teoritis badan hukum[1] masih didominasi oleh teori fiksi,[2] positivisme hukum,[3] dan teori hirarki (Hans Kelsen),[4] daripada teori entintas nyata atau teori organik yang lebih relevan dengan BUM Desa pada kontes kemandirian Desa di Indonesia.[5] Term 'teori organ' ditertibkan menjadi 'teori organik' pada konsep badan hukum Gierke[6] yaitu kesatuan masyarakat hukum yang nyata (Krperschaftsbegriff). Sebab itu, uraian berikut menganalisis Desa dan BUM Desa sebagai komunitas-organik. Terdiri dari anggota-anggota yang memutuskan dan bertindak sebagai satu kesatuan kolektif.


Prasyarat BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa
Teori moral-hukum Genossenschaft relevan secara normatif dan empiris untuk meneliti masyarakat perdesaan di Indonesia. Gierke menggunakan Teori Genossenschaft atas perdesaan Jerman abad ke-19.[7] Rizal Sofyan Gueci menggunakan teori yang sama untuk menganalisis Desa Pesanggarahan (Batu, Jawa Timur), Perkumpulan Tani, Nagari (Sumatra Barat), Desa Adat dan Subak (Bali) sebagai Genossenschaft tradisional Indonesia dalam pluralitas hukum dan otonomi Desa.[8]

Diskursus badan usaha dan badan hukum dibentuk dari filsafat personalitas (Philosophie der Personalitt). Ron Harris mengkategori filsafat hukum personalitas kedalam tipologi hukum inkorporasi, hukum kontraktual, dan hukum rekognisi.[9] Disisi lain Mulhadi dalam Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia mengutip berbagai teori badan hukum mencakup teori fiksi, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori kenyataan yuridis. 

Pilihan argumen-argumen hukumnya dibatasi pada Dogmatik-hukum. Mulhadi juga menyatakan bahwa Usaha Dagang (UD), Persekutuan Perdata, Persekutuan Komanditer, dan Firma bukan badan hukum.[10] Argumentasi hukumnya didasarkan pada perdebatan yang berlangsung diantara ahli hukum Belanda pada abad ke-19.

Teori organ kurang difungsikan sebagai kerangka analitis badan hukum. Dogmatik-hukum cenderung fokus pada ada tidaknya frasa "badan usaha milik desa adalah badan hukum" dalam suatu peraturan perundang-undangan. Diskursus badan hukum dalam paradigma Positivisme Hukum mempunyai keterbatasan berkaitan dengan kekuasaan negara yang belum tentu memihak badan usaha yang sudah eksis dalam realitas. Hampir seluruh diskursus teoritis tentang badan hukum di Indonesia bersumber pada disertasi Houwing.

[11] Pemikiran Houwing berada dalam batasan-batasan Dogmatik-hukum. Dogmatik-hukum hanya salah satu bagian kecil dari struktur teori hukum dalam arti sempit. Tindakan komunikatif dari masyarakat tidak diperhitungkan dalam pengetahuan teknis Dogmatik-hukum sebagai unsur pembentukan diskursus badan hukum sebagai subjek hukum.

BUM Desa merupakan bagian organik dari komunitas-organik Desa (Genossenschaft). Perkembangan badan-badan usaha di Desa merupakan bagian dari konsep kesatuan masyarakat hukum yang eksis dalam realitas sosial (Krperschaftsbegriff). Kesatuan masyarakat hukum diakui oleh negara menjadi badan hukum yang bersifat organik (Genossenschaft).

Konstruksi badan hukum organik atau Korporasi-organik berbeda dengan Korporasi-normatif (Korporationslehre; Jerman). Korporasi-normatif merupakan pengetahuan badan hukum yang mengabstraksikan personalitas-individu atau kelompok dan bersumber dari hukum positif saja. 

Kekuasaan negara membentuk dan menjamin Korporasi-normatif menjadi badan hukum seperti bank Desa, Badan Usaha Unit Desa (BUUD) berbadan hukum Koperasi, dan BUM Desa periode 1999-2014. Sutoro Eko memberi contoh Lembaga Perkreditan Rakyat (LPD) di Bali tidak punya keabsahan status badan hukum.[12] 

Keberadaannya didukung Adat dan menyumbangkan kemakmuran untuk krama Desa. Kondisi faktual LPD di Desa Adat di Bali merupakan bentuk konkret dari Republik Desa (Dorpsrepublieken) yang otonom dalam mengatur dan mengurus diri sendiri. Pendapat dari Sutoro Eko secara tidak langsung mengkritik badan hukum privat dan membuka peluang analitis terhadap badan hukum organik yang berkembang untuk diakui sebagai badan hukum publik bercirikan Desa.

Analisis pada bagian ini selanjutnya dibatasi tidak pada pendalaman diskursus teoritis tetapi menyusun gagasan mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap BUM Desa sebagai badan usaha bercirikan Desa yang diakui oleh kekuasaan negara sebagai badan hukum dengan uraian ringkas sebagai berikut:

Kewenangan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa merupakan alasan-alasan hukum bagi Pemerintah Desa dan BPD untuk mengakui BUM Desa sebagai badan hukum bercirikan Desa (Badan Hukum Desa) yang dibentuk berdasar kesepakatan dalam Musyawarah Desa, Peraturan Desa, dan penetapan AD/ART BUM Desa melalui keputusan kepala Desa.

Wewenang (bevoegheid) lembaga negara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang dilegitimasikan dari hukum publik, merupakan alasan-alasan hukum bagi kewenangan Menteri Desa untuk mengakui dan menjamin kedudukan BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik bercirikan Desa.

Kedudukan BUM Desa baik sebagai Badan Hukum Desa maupun Badan Hukum Publik Bercirikan Desa berhak melakukan usaha bersama (co-operative) dan wajib tunduk pada prinsip, semangat, dan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Hukum pengakuan dan penghormatan terhadap BUM Desa pada susunan organik BUM Desa lebih spesifik diuraikan sebagai berikut.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa dibentuk oleh Desa sebagai badan hukum publik. Dasar legitimasinya yaitu asas rekognisi-subsidiaritas, musyawarah, dan kekeluargaan-gotong royong. Asas hukum ini melandasi kewenangan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa dimana BUM Desa masuk sebagai kategori kewenangan dimaksud.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa dibahas dan disepakati dalam proses deliberatif (Musyawarah Desa), ditetapkan dengan Peraturan Desa mengenai pendiriannya, dan AD/ART ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa yang mengalir dari norma hukum Peraturan Desa.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa memiliki kekayaan yang dipisahkan dari Desa. Kekayaan BUM Desa merupakan kekayaan Desa yang dipisahkan.

Neraca dan pertanggungjawaban pengurusan BUM Desa dipisahkan dari neraca dan pertanggungjawaban Pemerintah Desa. Kekayaan (aset) BUM Desa bersumber dari penyertaan modal dari Pemerintah Desa dan penyertaan modal dari masyarakat Desa (tidak berupa saham).

Kebijakan dari Kementerian Desa PDTT memposisikan Dana Desa sebagai dana rekognisi-subsidiaritas dan bukan dana bantuan (medebewind), sehingga dalam perspektif standar akuntansi lebih tepat diposisikan khusus sebagai modal penyertaan modal dari Desa. Pada konteks Dana Desa digunakan sebagai penyertaan modal untuk BUM Desa melalui pemerintah Desa, maka BUM Desa berwenang menggunakan dana rekognisi-subsidiaritas itu untuk menambah kegiatan pengembangan, pengelolaan pemasaran, dan lainnya.

Desa berwenang memutuskan BUM Desa membeli aset-aset yang dibutuhkan untuk pengembangan usahanya. Tetapi aset-aset tersebut tetap digunakan untuk kepentingan kolektif. Hal ini diputuskan bersama dalam Musyawarah Desa.

Penyertaan modal dalam bentuk saham dari warga Desa lebih tepat sebagai modal penyertaan individu warga Desa pada Unit Usaha berbadan hukum PT yang dibentuk oleh BUM Desa. 

Konsekuensinya, BUM Desa harus stabil pendapatan usahanya dan legitim secara hukum agar berikutnya mampu melakukan penyertaan modal-saham pada Unit Usaha berbadan hukum privat (PT). Adapun bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak ketiga lebih tepat diposisikan sebagai kewajiban BUM Desa dalam perspektif standar akuntansi keuangan. Karena BUM Desa terikat kewajiban sebagai pelaksana bantuan yang mengalir dari keuangan publik.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa berhak memperoleh Dana Desa untuk penyertaan modal dan kegiatan pengembangan usaha bersama, mengelola aset Desa melalui pemanfaatan aset Desa, menjalankan usaha bersama (holding) untuk mengorganisir dan mengkonsolidasi usaha-usaha dari warga Desa, dan melakukan kerjasama kemitraan strategis dengan pihak lain dari luar Desa. 

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa wajib memberikan informasi tentang kinerjanya secara terbuka kepada publik berkaitan dengan penggunaan Dana Desa, aset Desa, dan hasil kerjasama kemitraan strategis untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. 

Disinilah struktur organisasi BUM Desa tidak hanya semata terdiri dari Penasihat, Pelaksana Operasional, dan Pengawas, tetapi meliputi Musyawarah Desa, Penasihat, Pelaksana Operasional, Pengawas dan seterusnya sebagai satu kesatuan organik.

Berkaitan dengan Organ, BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik bercirikan Desa berwenang melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum privat, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan. Direktur Utama BUM Desa berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

Unit usaha BUM Desa yang berstatus perseroan terbatas, diakui sebagai unit usaha BUM Desa (satu kesatuan dengan BUM Desa), melalui Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa yang diuraikan sebelumnya. Hukum rekognisi ini membentuk BUM Desa dalam teori organik sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa.

Unit usaha BUM Desa berbentuk perseroan terbatas diradikalisasi menjadi entitas hukum yang baru (the new legal entity) dibawah kekuasaan BUM Desa sebagai organisasi payung (holding). Unit usaha BUM Desa diakui berdasar hukum kontraktual dan diabsahkan dihadapan notaris. Tetapi pengabsahannya tidak memerlukan akta penegasan karena akta penegasan berakibat hukum pada delegitimasi Peraturan Desa tentang Pendirian BUM Desa.

Modal-saham yang telah dilepaskan terbuka oleh BUM Desa dan/atau unit usaha PT bentukannya, tidak relevan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa karena BUM Desa dibedakan tegas dengan badan hukum PT. Untuk mengantisipasi konflik diantara pemegang saham, akta pendirian PT bentukan BUM Desa dicermati kembali. 

Saham tetap dipertahankan dalam pola mobilisasi modal yang telah dilakukan selama ini oleh BUM Desa, tetapi hal ini harus diungkapkan secara terbuka bahwa modal-saham dijalankan oleh Unit Usaha PT dan bukan secara langsung oleh BUM Desa. Publik akan mengetahui karakter baru BUM Desa tipe holding yang memayungi unit-unit usaha berbadan hukum privat tersebut. 


Selain itu akta pendirian Unit-unit usaha perlu dicermati ulang, berkaitan dengan hubungan-hubungan antara Kepala Desa, Direktur BUM Desa, Direktur Unit Usaha (PT), dan warga Desa sebagai pihak pemegang saham. Hubungan antara kepentingan kolektif dalam Musyawarah Desa dan kepentingan individual-kelompok dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Direktur Unit Usaha PT bertanggungjawab kepada Direktur Utama BUM Desa.

1] Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Cetakan Ketiga, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2012).

[2] Friedrich Carl von Savigny, System des heutigen Romischen Rechts, (Berlin: Bei Deit und Comp, 1840).

[3] Tilman Altwicker, "Rechtsperson im Rechtspositivismus," dalam Grschner et.al., Person und Rechtsperson: Zur Philosophie der Personalitt, (Tbingen: Mohr Siebeck, 2015).

[4] Badan Hukum (juristic person) dalam Hans Kelsen, The Pure Theory of Law, diterjemahkan Max Knight dari Reine Rechtslehre, unvernderter nachdruck, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1970). Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press dan Syaamil Cipta Media, 2006).

[5] Otto von Gierke, Das deutsche Genossenschaftsrecht, Erster Band, Rechtsgeschichte der deutschen Genossenschaft, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1868) (selanjutnya disingkat Otto von Gierke I). Untuk penelitian hukum dengan menggunakan teori Genossenschaft terhadap Nagari atau Desa, lihat Rizal Sofyan Gueci, Verfassungsstaat, traditionelles Recht und Genossenschaftstheorie in Indonesien: eine Studie zu den Verbindungen zwischen Otto von Gierkes Genossenschaftstheorie und Supomos Staats- und Gesellschaftstheorie, (Europische Hochschulschriften: Reihe 2, Rechtswissenschaft; Bd. 2386). Zugl.: Frankfurt (Main), Univ. Diss., 1997, (Frankfurt am Main; Berlin; Bern; New York; Paris; Wien: Lang, 1999).

[6] Otto von Gierke, Das deutsche Genossenschaftsrecht, Zweiter Band, Geschichte des deutschen Krperschaftsbegriffs, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1873)

[7] Otto von Gierke, Die Genossenschaftstheorie und Die Deutsche Rechtsprechung, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1887)

[8] Rizal Sofyan Gueci, op.cit., hlm. 54-61.

[9] Ron Harris, "The Transplantation of The Legal Discourse on Corporate Personality Theories: From German Codification to British Political Pluralism and American Big Business," Journal: Wash & Lee L. Rev, Volume 63, hlm. 1427.

[10] Mulhadi, Perusahaan, Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Cetakan Kedua, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017).

[11] Philippus Abraham Nicolaas Houwing, Subjectief Recht, Rechtssubject, Rechtspersoon, (Zwolle: N.V. Uitgevers-Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, 1939).

[12] Sutoro Eko bersama Tim FPPD, "Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan," Policy Paper BUM Desa, 2 Desember 2013.

Sumber: https://www.kompasiana.com/anomsuryaputra