05 Desember 2018

Inilah Uang Rupiah yang Tidak Berlaku lagi Tahun 2019, Sebarkan Informasi ini ke Masyarakat

Pada tanggal 31 Desember 2008, Bank Indonesia (BI) mengumumkan telah mencabut empat jenis pecahan mata uang rupiah dan dinyatakan tidak berlaku lagi pada tahun 2019.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/33/PBI/2008 - Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 20.000 (Dua Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 50.000 (Lima Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999, dan 100.000 (Seratus Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999.

Pencabutan dan penarikan pecahan mata rupiah lama dilakukan Bank Indonesia berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/33/PBI/2008 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 20.000 (Dua Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 50.000 (Lima Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999, dan 100.000 (Seratus Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999.

Informasi lengkap daftar mata uang kertas pecahan rupiah lama yang dicabut atau ditarik dari peredaran oleh Bank Indonesia, sebagai berikut:

1. Uang kertas rupiah Rp10.000 Tahun Emisi (TE) 1998 (Gambar Muka: Pahlawan Nasional Tjut Njak Dhien).

Uang pecahan Rp 10.000 tahun emisi 1998 bergambar pahlawan nasional wanita Cut Nyak Dien yang di sisi sebaliknya menampilkan pemandangan Sagara Anak di Gunung Rinjan.

2. Uang kertas rupiah Rp20.000 Tahun Emisi (TE) 1998 (Gambar Muka: Pahlawan Nasional Ki Hadjar Dewantara)

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/33/PBI/2008 - Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 20.000 (Dua Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 50.000 (Lima Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999, dan 100.000 (Seratus Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999.
Uang pecahan Rp 20.000 tahun emisi 1998, terdapat gambar Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional yang terkenal dengan semboyan “Tut Wuri Handayani".

3. Uang kertas rupiah Rp50.000 Tahun Emisi (TE) 1999 (Gambar Muka: Pahlawan Nasional WR. Soepratman)

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/33/PBI/2008 - Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 20.000 (Dua Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 50.000 (Lima Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999, dan 100.000 (Seratus Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999.
Uang kertas pecahan Rp 50.000 tahun emisi 1999 terdapat gambar Wage Rudolf (WR) Soepratman yang merupakan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

4. Uang kertas rupiah Rp100.000 Tahun Emisi (TE) 1999 (Gambar Muka: Pahlawan Proklamator Dr.Ir.Soekarno dan Dr. H. Mohammad Hatta).

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/33/PBI/2008 - Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 20.000 (Dua Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1998, 50.000 (Lima Puluh Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999, dan 100.000 (Seratus Ribu) Rupiah Tahun Emisi 1999.
Uang Rp 100.000 tahun emisi 1999 bergambar pasangan presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia, yakni Soekarno-Hatta yang ditemani gambar gedung MPR di sisi sebaliknya.

BI menghimbau kepada masyarakat Indonesia, siapa saja yang memiliki uang kertas tersebut untuk melakukan penukarannya sebelum tanggal 31 Desember 2018 di seluruh kantor Bank Indonesia hingga 30 Desember 2018. 

Bank Indonesia juga membuka layanan khusus pada tanggal 29-30 Desember 2018 di seluruh kantor Bank Indonesia. 

Bank Indonesia secara rutin melakukan pencabutan dan penarikan uang rupiah. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan antara lain masa edar uang, adanya uang emisi baru dengan perkembangan teknologi unsur pengaman (security features) pada uang kertas.

Informasi ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia, terutama yang ada di perdesaan. Karena ada faktanya, masih terdapat warga desa yang suka menyimpan uang dibawah kasur dan batal.

Inilah Uang Rupiah yang Tidak Berlaku lagi Tahun 2019, Sebarkan Informasi ini ke Masyarakat. Berbagi itu Indah.

(Informasi ini diolah dari sumber Bank Indonesia dan goodnewsfromindonesia.id)

04 Desember 2018

INSPIRASI: Perjalanan Optimis Para Pengelola BUMNag

Kebangkitan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) sebagai pilar kemandirian ekonomi desa masa depan terus menggelinding dihampir seluruh penjuru Desa yang ada di Indonesia.

Atas beragam cerita kesuksesan sejumlah BUMDes di berbagai daerah dalam mengembangkan dan mengelola potensi desanya, telah memantik semangat dan optimismi desa - desa lainnya untuk belajar pengetahuan cerdasnya.

Berikut sebuah catatan perjalanan optimismi dari para pengelola BUMNag (Badan Usaha Milik Nagari) Sumatera Barat, bersama Tenaga Ahli, Pendamping Desa serta Dinas terkait, saat mengunjungi sejumlah BUMDes sukses di Yogjakarta dan Jawa Tengah.

Yok...kita ikuti catatan perjalannya. 

Dimulai dari Desa Panggungharjo, selepas magrib. Rombongan sampai di sebuah kawasan. Taman yang luas. Hutan yang lebat. Ada empat bangunan utama. Bangunan pertama yang terlihat setelah turun mobil, musala. Masuk ke dalam, ada tiga ruangan lain. Mirip bangunan tua. Salah satu tidak berdinding, tapi ada atapnya.

“Silakan, langsung saja,” kata seorang lelaki muda menyambut rombongan, lalu menuntun kami ke meja yang penuh berisi hidangan. Sistemnya, prasmanan. Ambil sendiri. Sesukanya. “Selesai diambil, jangan lupa dicatatkan ke mbak di sana ya,” pintanya sembari menunjuk dengan ujung jempol, di sudut depan meja prasmanan. Semua mengiyakan.

Selesai makan, saat diskusi perihal BUMDes yang dikelolanya, saya baru menyadari ujung kalimat Eko Pambudi, Direktur BUMDes Panggung Lestari, Desa Panggungharjo, Kec Sewon, Kabupaten Bantul – Yogjakarta, ketika menyambut rombongan dan mempersilakan makan tersebut.

Baca: Kisah Sukses BUMDes Panggung Lestari Desa Panggunghharjo

BUMDes Panggung Lestari didirikan Maret 2013. Diawal kehadirannya, Bumdes ini mengelola sampah. Masyarakat yang selama ini bebas membuang sampah begitu saja, kini justru bisa menghasilkan uang dari sampah tersebut. Lingkungan pun menjadi bersih, dan melibatkan secara langsung 20 orang tenaga kerja.

Ruangan yang ditempati ketika itu, adalah bangunan yang sengaja disediakan untuk tamu yang dijamu di Bumdes Panggung Lestari. Bedanya, makanan yang disuguhkan tersebut, harus dibayar oleh tamu sendiri. Tidak disediakan oleh tuan rumah.

“Kenapa tamu yang bayar, mas? Kok bukan jamuan tuan rumah?” tanya saya, disela-sela silaturrahmi tersebut.

Ia tersenyum. Lalu memandang sebentar ke arah Kepala Desa Wahyudi Anggoro Hadi, S. Farm, Apt, yang baru saja ditetapkan sebagai Kepala Desa Terbaik Indonesia. Disaat bersamaan, kemudian mereka memandang ke Staf Khusus Kebijakan Strategis Kemendes PDTT H. Febby Datuk Bangso.

“Kalau semua tamu yang datang ke sini, kami yang membiayai, mana sanggup kami?” kata Eko Pambudi.

Benar juga dia. Lalu Eko buka kartu. Ia sudah mengikrarkan, tidak akan ikut mengintai jabatan Kepala Desa. Ia dan pengelola BUMDes Panggung Lestari sudah bersepakat untuk bekerja fokus di BUMDes. Fokus bekerja di Bumdes. Tak akan berpaling ke tempat lain.

Salah satu unit usaha BUMDes Panggung Lestari, rumah makan dengan konsep taman. Arealnya sangat luas. Dikelilingi taman yang hijau. Bahan yang digunakan untuk rumah makan tersebut berasal dari masyarakat. Bumdes Panggung Lestari memberikan standar beras, sayur, ikan dan apa pun hasil panen masyarakat. Hasil panen tersebut dibeli dengan harga pantas, sedikit di atas harga pasar.

“Kalau ada yang bekerja sebagai karyawan di unit usaha, kami akan terima sesuai kebutuhan. Tak ada batasan usia. Tak butuh ijazah apa pun. Pokoknya bisa bekerja dan komit dengan aturan,” kata Eko sembari menyebutkan, untuk unit usaha rumah makannya ini saja sudah memberikan keuntungan di atas Rp 100 juta perbulan. Artinya, belum tuntas 2018, usaha ini sudah menembus keuntungan di atas satu miliar. Angka tersebut melampaui pencapaian tahun lalu.

Yani Setiadi, Sekdes Ponggok, mengakui Bumdes Tirta Mandiri yang ada di desanya memberlakukan makan, minum dan snack yang dibiayai sendiri oleh tamu. Kalau tamunya satu dua orang, tak ada masalah, tetapi tamu yang datang setiap hari mencapai puluhan hingga ratusan orang.


“Makan, minum dan snack yang disediakan sesuai dengan pesanan tamu tersebut,” kata Yani Setiadi, sembari menyebutkan, semuanya dikelola unit usaha catering. Ia menyebutkan, dari unit usaha ini saja, selain bisa mempekerjakan banyak warga desanya, juga telah menghasilkan keuntungan sampai triwulan III miliaran rupiah.


Ketua Forum Bumdes Indonesia H. Febby Datuk Bangso, menilai yang dilakukan kedua Bumdes tersebut, juga oleh Bumdes lain, merupakan hal biasa. Bumdes tersebut mengemas dengan format wisata.

“Langkah mereka adalah cara cerdas dalam menyikapi kehadiran tamu untuk menimba ilmu di Bumdes mereka, sehingga dikembangkan dengan konsep wisatanya,” kata pria yang akrab disapa Datuk Febby ini.

Menurutnya, langkah cerdas tersebut tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada dukungan penuh dari kepala desa dan perangkatnya, pengelola Bumdes mau pun masyarakat. Kalau pun pengelola Bumdes menjalankan unit usaha tersebut, sementara lingkungannya tidak merespon, diyakini pengelola Bumdes akan menemukan jalan buntu.

Ia memberikan apresiasi penuh terhadap langkah tersebut. Ia juga mengimbau agar perangkat desa menjadikan langkah Bumdes tersebut sebagai inspirasi. 

Ia juga berharap agar wali nagari, perangkat nagari, Banmus dan masyarakat bergandengan tangan untuk mewujudkan impian serupa sehingga memberikan kontribusi nyata untuk pemberdayaan ekonomi di nagari.

Febrian Alyuswar, Kasubit Pengembangan Unit Usaha BUMDes Kemendes PDTT membenarkan. Siapa pun bisa pula melakukan dan mengembangkan usaha seperti yang dilakukan unit usaha di dua BUMDes tersebut.

“Tinggal bagaimana komitmen, kesungguhan dan kepedulian semua pihak, terutama di lingkungan desa dan aparatur pemerintahan hinggga provinsi. Tak ada yang tak mungkin,” katanya. (Firdaus Abie/*)

02 Desember 2018

Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Nafas baru pengelolaan desa melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menjamin kemandirian desa. Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, peran desa bergeser dari objek menjadi subjek pembangunan. Melalui kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, desa diharapkan menjadi pelaku aktif dalam pembangunan dengan memperhatikan dan mengapresiasi keunikan serta kebutuhan pada lingkup masing-masing.
Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Desa yang kini tidak lagi menjadi sub pemerintahan kabupaten berubah menjadi pemerintahan masyarakat. Prinsip desentralisasi dan residualitas yang berlaku pada paradigma lama melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, digantikan oleh prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Kedua prinsip ini memberikan mandat sekaligus kewenangan terbatas dan strategis kepada desa untuk mengatur serta mengurus urusan desa itu sendiri.

Membumikan makna desa sebagai subjek paska UU Desa bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Pelbagai ujicoba dilakukan oleh elemen pemerintah dan masyarakat sipil untuk dapat menggerakkan desa agar benar-benar menjadi subjek pembangunan. Berbagai praktik dan pembelajaran telah muncul sebagai bagian dari upaya menggerakkan desa menjadi subjek pembangunan seutuhnya. Idiom subjek tidak bermakna pemerintahan desa semata, melainkan juga bermakna masyarakat. Desa dalam kerangka UU Desa adalah kesatuan antara pemerintahan desa dan masyarakat yang terjawantah sebagai masyarakat pemerintahan (self governing community) sekaligus pemerintahan lokal desa (local self government).


Pemaknaan atas subjek tersebut masih kerap ada dalam situasi yang problematis akibat kuatnya cara pandang lama tentang desa di kalangan pemerintahan desa dan masyarakat. Pada pemerintahan desa, anggapan bahwa desa semata direpresentasikan oleh kepala desa (Kades) dan perangkat masih kuat bercokol. Hal ini berimplikasi minimnya ruang partisipasi yang dibuka untuk masyarakat agar dapat berperan dalam pembangunan desa. Sebaliknya, masyarakat masih bersikap tidak peduli atas ruang “menjadi subjek” yang sebenarnya telah terbuka luas.

Sebagai upaya untuk mendukung desa sebagai subjek. Buku ini dapat menjadi pegangan bagi pegiat dan elemen di desa. Buku ini merupakan salah satu sekuel dari rangkaian buku yang disusun oleh Tim Infest Yogyakarta. 

Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ini menyajikan pengetahuan tentang Satuan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Pembahasannya menyakut tentang tugas, hak dan kewenangan Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa.

Berikutnya menyajikan pengetahuan tentang Pedoman Pemilihan Kepala Desa, Pengangkatan Perangkat Desa dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) meliputi tentang Pemilihan Kepala Desa, Pengangkatan Perangkat Desa, dan Pengisian Keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Selanjutnya menyajika pengetahuan dan pedoman tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca sebagai pedoman dalam rangka memperkuat desa sebagai subjek pembangunan sebagaimana diamanatkan oleh UU Desa. Berminat buku saku seri UU Desa, silahkan donwload disini Buku Penyelenggraaan Pemerintahan Desa Desa

Sumber: http://digilib-insandesa.blogspot.com/2018/01/download-buku-penyelenggaraan.html

30 November 2018

Pengertian Badan Usaha Milik Desa

Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.


Pengertian Badan Usaha Milik Desa menurut UU Desa

Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.


BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.

BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.

Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.

BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU Desa

28 November 2018

Sejumlah Desa Terbaik Terima Penghargaan Kementerian Desa PDTT

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memberikan penghargaan kepada sejumlah desa terbaik dan pendamping desa teladan tahun 2018. 


Pemberian penghargaan tersebut sebagai bentuk apresiasi kepada desa atas keberasilannya dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan dana desa. 

Penyerahan penghargaan dilakukan pada kegiatan Simposium Desa Menjemput Asa dan Deklarasi Program Literasi Desa, Deklarasi Program Desa Bebas Narkoba dan Peluncuran Majalah Wanua, yang dibuka oleh Menteri Desa PDTT, Eko Putro Sandjojo di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis 29 November 2018 

Penghargaan desa terbaik dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni kategori penguatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, kategori prioritas penggunaan dana desa dan padat karya tunai, kategori prakarsa dan inovatif, dan kategori pelayanan informasi dan transparansi publik.

Dalam kesempatan yang sama Kemendes PDTT juga memberikan penghargaan kepada 9 orang Pendamping Desa (PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD) teladan tahun 2018.

Para kepala desa yang diundang dalam acara penerimaan penghargaan Kementerian Desa, yaitu Kepala Desa Kemadang, Kabupaten Gunung Kidul, Kepala Desa Pagerharjo Kabupaten Kulonprogo, Kepala Desa Wukirsari Kabupaten Sleman, Kepala Desa Sumber Mulyo Kabupaten Bantul.

Kepala Desa Meunasah Rayeuk Kabupaten Aceh Utara, Kepala Desa Kute Salang Alas Kabupaten Aceh Tenggara, Kepala Desa Blang Kreung Kabupaten Aceh Besar, Kelapa Desa Seulalah Baru Kota Langsa.

Kepala Desa Bungo II Kabupaten Boalemo, Kepala Desa Tanah Putih Kabupaten Boalemo, Kepala Desa Soginti Kabupaten Pohuwato, Kepala Desa Manunggal Karya Kabupaten Pohuwato, Kepala Desa Seberang Taluk Kabupaten Kuantan Singingi, Kepala Desa Dayun Kabupaten Siak, Kepala Desa Paya Rumbai Kabupaten Indragiri Hulu, Kepala Desa Kundur Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kepala Desa Suka Jaya Kabupaten Sukabumi.

Kepala Desa Karangpapak Kabupaten Sukabumi, Kepala Desa Cigentur, Kabupaten Bandung, Kepala Desa Mandalasari Kabupaten Bandung, Kepala Desa Adi Luhur Kabupaten Lampung Timur, Kepala Desa Mulyosari Kabupaten Pesawaran, Kepala Desa Hanura Kabupaten Pesawaran, Kepala Desa Banyuwangi Kabupaten Pringsewu, Kepala Desa Maluang Kabupaten Berau.

Kepala Desa Kertabakti, Kabupaten Paser, Kepala Desa Lowa Duri Ilir Kabupaten Kutai Kartanegara, Kepala Desa Bhuana Jaya Kabupaten Kutai Kartanegara, Kepala Desa Pejambon Kabupaten Bojonegoro, Kepala Desa Poko Kabupaten Pacitan, Kepala Desa Balunganyar Kabupaten Pasuruan, Kepala Desa Ngrance Kabupaten Tulungagung, Kepala Desa Terapung Kabupaten Buton Tengah.

Selanjutnya, Kepala Desa Jati Bali Kabupaten Konawe Selatan, Kepala Desa Mulya Jaya Kabupaten Kolaka Timur, Kepala Desa Mekar Jaya Kabupaten Buton Utara, Kepala Desa Karang Agung Kabupaten Bulungan, Kepala Desa Long Sule, Kabupaten Malinau, Kepala Desa Maspul Kabupaten Nunukan.

Kepala Desa Bukit Aru Indah Kabupaten Nunukan, Kepala Desa Toapaya Selatan Kabupaten Bintan, Kepala Desa Kote Kabupaten Lingga, Kepala Desa Kuala Maras Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepala Desa Sei Ungar Utara Kabupaten Karimun, Kepala Desa Mamuya Kabupaten Halmahera Utara, Kepala Desa Gilalang Kabupaten Halmahera Selatan, Kepala Desa Fukfew Kabupaten Kepulauan Sula, Kepala Desa Pohea Kabupaten Kepulauan Sula, Kepala Desa Karang Bunga Kabupaten Barito Kuala, dan Kepala Desa Malinau Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Kepala Desa Cabi Kabupaten Banjar, Kepala Desa Tirta Jaya Kabupaten Tanah Bumbu, Kepala Desa Teluk Empening Kabupaten Kubu Raya, Kepala Desa Kendawangan Kanan Kabupaten Ketapang, Kepala Desa Sungai Uluk Kabupaten Kapuas Hulu, Kepala Desa Mendolak Kabupaten Mempawah, Kepala Desa Rarang Selatan Kabupaten Lombok Timur, Kepala Desa Seruni Mumbul Kabupaten Lombok Timur, dan Kepala Desa Keselet Kabupaten Lombok Timur.

Selanjutnya, Kepala Desa Lompak Kabupaten Sumbawa Barat, Kepala Desa Cekolelet Kabupaten Serang, Kepala Desa Cigogong Selatan Kabupaten Lebak, Kepala Desa Warung Banten Kabupaten Lebak, Kepala Desa Muruy Kabupaten Pandeglang, Kepala Desa Bloro Kabupaten Sikka, Kepala Desa Motadik Kabupaten Timor Tengah Utara, Kepala Desa Bantala Kabupaten Flores Timur, Kepala Desa Tulakadi Kabupaten Belu, dan Kepala Desa Pakatto Kabupaten Gowa.

Kepala Desa Tottong Kabupaten Soppeng, Kepala Desa Timusu Kabupaten Soppeng, Kepala Desa Bontojai Kabupaten Bantaeng, Kepala Desa Buding Kabupaten Belitung Timur, Kepala Desa Cendil Kabupaten Belitung Timur, Kepala Desa Namang Kabupaten Bangka Tengah, dan Kepala Desa Simpang Tiga Kabupaten Bangka Barat.

Nama - nama Pendamping Desa (PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD) teladan tahun 2018, penghargaan diberikan kepada Ulil Hikmah, PLD Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Suksoro, PLD Kecamatan Malinau Kota, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, Haris Molle, PLD Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, Provinsi Maluku.

Asep Deni Wiliam, PDP Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Jusbal, PDP Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, Santi Hardianti, PDP Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Selanjutnya, Siti Mubarokah, PDTI Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, Monalisa, PDTI Kecamatan Paku, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Muhammad Dahri Is Takone, PDTI Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.

Cerita Sukses Dana Desa

Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.

Cerita Sukses Dana Desa  Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.  Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.  Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.  Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.  Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.  Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.  Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).  Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.  Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.  Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa     Persepsi Miring  Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.  Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.  Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).  Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.  Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.  Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.  Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.

Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.

Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.

Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.

Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.


Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.

Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).

Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.

Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.

Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa.

Persepsi Miring

Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.

Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.

Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).

Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.


Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.

Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.

Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.


Oleh Riza Multazam Luthfy
Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UII Yogyakarta
Sumber: koran-jakarta.com