27 Januari 2019

Bisnis Sosial BUMDesa

Salah satu perbedaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dengan badan usaha yang lain, terletak pada kemauan dan kemampuannya dalam menjalankan bisnis sosial. Esensi bisnis sosial adalah menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ditangani dengan manajemen bisnis. BUMDesa dalam tataran bisnis sosial tidak menekankan pada sisi profit, akan tetapi benefit. Ukurannya adalah berapa masalah sosial di desa yang mampu ditangani secara bisnis.

Bisnis Sosial BUMDes

Setiap layanan dasar sosial di desa yang mampu dikelola secara profesional dengan menekankan nilai manfaat daripada surplus, itu lah bisnis sosial. Yang seyogyanya dilakukan oleh BUMDesa. Ini artinya kehadiran BUMDesa dalam menyelesaikan masalah sosial dengan tetap memperhatikan kemampuan operasional menjadi tujuan yang diharapkan.

Pertanyaannya bolehkah BUMDesa mengambil pembayaran dari pemanfaatnya? Boleh.

Akan tetapi besaran tarif yang dikenakan dihitung sekedar cukup untuk membiayai operasional BUMDesa, termasuk gaji karyawan, dan sedikit cadangan resiko. Rencana bisnis yang disusun oleh pengurus BUMDesa tetap menekankan efektifitas dan efisiensi. Sedangkan surplus tidak menjadi skala prioritas, sehingga penilaian kelayakan usaha tidak didasarkan atas hitung-hitungan dalam laporan keuangan semata. Bahkan, lebih dominan pada seberapa manfaat yang diterima oleh masyarakat desa yang terkena masalah sosial tersebut.

Solutif dan Kolektif

Usaha yang dijalankan BUMDesa dalam bisnis sosial harus bersifat solutif. Ketika ada masalah yang dialami oleh masyarakat, yang belum cukup dilakukan dengan program kerja desa, bisa dilakukan atau dilanjutkan oleh BUMDesa. Jauhi pikiran tentang berapa surplus atau Pendapatan Asli Desa (PADes) yang didapatkan dengan jenis bisnis ini. Karena disamping sebagai penghasil PADes, BUMDesa memiliki peran sebagai kepanjangtanganan Kepala Desa dalam mensejahterakan masyarakat. Titik fokusnya pada kesejahteraan masyarakat, dengan cara menambah pendapatan, mengurangi pengeluaran, atau meminimalisir dampak buruk dari permasalahan sosial yang perlu ditangani.

Ketika penyediaan air bersih menjadi jenis usaha BUMDesa, maka tarif yang dikenakan tidak terlalu tinggi. Cukuplah untuk menggaji karyawan secara layak, biaya perawatan jaringan, cadangan perbaikan jaringan. Untuk pemasangan jaringan baru, bisa dianggarkan melalui APBDes pada pos belanja. Pemanfaatan air untuk usaha lain seperti air minum kemasan atau kolam ikan, harus memperhatikan betul kecukupan ketersediaan air bagi masyarakat yang lebih urgen. Jangan karena tergiur keuntungan yang lebih besar, maka layanan dasar masalah air diabaikan. Maka yang harus disadari pada jenis usaha ini, bagi pengurus, utamanya tentang kemanfaatan usaha ini bagi masyarakat.

Permasalahan sampah pun demikian. Seyogyanya, iuran yang ditarik dari warga untuk pengelolaannya, sekedar cukup untuk mengurangi dampak dari sampah. Pemerintah Desa bisa menganggarkan biaya guna tempat pengolahan sampah baik yang kering atau basah. Selain itu, upaya re-use, reduce, dan recylce penting untuk terus dikampanyekan. Masyarakat didorong, melalui keteladanan tentunya, untuk memanfaatkan sampah sebelum benar-benar tak digunakan lagi.

Aneka pelatihan pengolahan sampah menjadi barang bernilai lebih tinggi, sebaiknya kontinu. Dirikan tempat-tempat workshop guna daur ulang. Kampanye menggunakan kembali barang yang masih layak pakai, membawa tas sendiri saat berbelanja, dan mengurangi penggunaan plastik menjadi contoh kegiatan-kegiatan dalam meringankan dampak sampah. Tanamkan pula pemahaman bahwa membayar iuran bulanan guna pengelolaan sampah, bukan berarti tuntas masalah sampah.

Penanganan masalah sosial baik yang dilakukan secara konvensional maupun bisnis sosial, tak bisa bersifat parsial. Pelaksanaannya melibatkan banyak pihak. Meski BUMDesa bisa dijadikan motor penggerak, lembaga lain, dan masyarakat dengan kepemimpinan Kepala Desa lah yang bisa menyelesaikannya. Karenanya kerja-kerja kolaboratif secara massif mesti dilakukan secara berkesinambungan.

Memperbesar skala

Saat kita masih berpikir bahwa bisnis sosial yang dilakukan dalam kadar biasa-biasa saja, yakinlah keberhasilannya akan jauh panggang dari api. Bisnis sosial pun membutuhkan skala usaha yang lebih. Besaran skala semestinya lebih daripada sasaran masalah sosial itu sendiri. Karena hampir mustahil ada usaha yang berhasil 100% dari yang direncanakan. Selain terasa manfaatnya, skala usaha dalam bisnis sosial BUMDesa, akan terhindar dari jebakan‘mematikan’ usaha warga.

Tak sedikit BUMDesa yang latah menjalankan usahanya. Ketika usaha BUMDes Mart, pengelolaan sampah, wisata desa, pengelolaan air bersih, dan lain sebagainya berhasil, mereka ikut-ikutan. Tanpa memahami substansi dari bentuk kegiatan tersebut, pengurus BUMDesa pun menjalankan usaha yang sama. Maka tak jarang kehadiran BUMDes Mart justru tak jauh beda dengan toko modern lainnya, ikut andil mematikan usaha warga desa. Pengelolaan wisata desa dengan memanfaatkan alam, mungkin masih lebih baik. Akan tetapi titik jenuh pengunjung karena spot-spot yang tersedia dalam wahana tersebut, perlu diantisipasi. Karena saat titik jenuh itu muncul, penurunan pengunjung pun akan dialami.

Bisnis sosial yang dilakukan oleh BUMDesa harus mampu bekerja dalam berskala besar. Kebutuhan akan tempat tinggal yang selama ini disediakan oleh pengembang yang profit oriented, tak ada salahnya BUMDesa mengambil peran itu. Saluran distribusi produk-produk pertanian, peternakan, dan perikanan yang menjadi sasaran yang juga mesti di bidik, sehingga ketersediaan produk yang kadang dipermainkan pedagang besar, akan terpengaruhi keputusaannya saat BUMDesa bisa hadir dengan misi sosialnya.

Besaran skala bisa dilakukan dengan melakukan kerjasama antar desa dalam pelayanan usaha melalui BUMDesa Bersama. Keberadaan BPR BKD Banyumas sebagai lembaga intermedia dan konsolidasi modal yang dimiliki desa merupakan contoh bisnis sosial. Lembaga keuangan yang lahir satu tahun setelah BRI dan berbasis di desa ini, menjawab kesulitan akses permodalan masyarakat desa pada lembaga perbankan umum. Pengelolaan bersama antar desa mempermudah dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasinya karena sistem manajemen dibuat bercirikan desa.

Sumber: https://www.kikis.id/bisnis-sosial-bumdesa/

Rumus Mengembangkan Desa Wisata

Potensi wisata yang luar biasa yang dimiliki Indonesia seharusnya bisa menjadi andalan untuk mengangkat taraf hidup masyarakat. Sektor pariwisata bisa menjadi sektor penopang pemasukan negara di bidang non migas. Di era yang semakin maju semakin pula banyak cara dan strategi untuk mengangkat potensi wisata di suatu daerah. 

Mengembangkan Desa Wisata

Masing-masing daerah memiliki kekhasan atau penonjolan karakteristik alam maupun sosio kultural dan aspek lainnya. Desa memiliki segudang potensi bisnis yang menguntungkan untuk bisa diangkat menjadi komoditas dan dipoles dengan manajemen strategi yang tepat untuk menjadi desa wisata. 

Berikut langkah-langkah strategis untuk mengembangkan potensi desa menjadi desa wisata :
  1. Identifikasi potensi desa melalui rembug bersama seluruh komponen desa dari semua kalangan. Potensi yang bisa menjadi komoditas bisa bermacam-macam dari segala aspek. Bisa keindahan alam, hasil bumi, kekayaan flora fauna/hayati, sosio kultural, masyarakat, tradisi atau hal-hal yang bersifat khas/unik yang tak dimiliki daerah lain. Pastikan potensi unggulan yang akan dijadikan komoditas utama
  2. Identifikasi permasalahan yang bisa jadi penghambat bagi pengembangan potensi wisata desa, mulai dari yang bersifat fisik, non fisik atau sosial, internal dan eksternal. Atau bisa saja permasalahan tersebut jika diolah dengan cara tertentu justru permasalahan itu bisa menjadi potensi
  3. Perlunya komitmen yang kuat dari seluruh komponen desa untuk menyamakan pendapat, persepsi dan mengangkat potensi desa guna dijadikan desa wisata. Komitmen ini yang menjadi dukungan terkuat bagi terwujudnya dan keberlangsungan desa wisata.
  4. Identifikasi dampak baik dampak positif maupun negatif dari sebuah kegiatan wisata sesuai kekhasan masing-masing desa. Masing-masing desa memiliki karakteristik sendiri akan menghasilkan dampak yang juga berbeda satu sama lain terutama perubahan-perubahan sosial kultural
  5. Komitmen yang kuat dari seluruh komponen desa untuk menggandeng Pemerintah Daerah dan jika perlu menggandeng pihak swasta. Pikirkan dan identifikasi juga dampak jika bekerja sama dengan pihak swasta. Termasuk di sini untuk penganggaran guna pembangunan desa wisata dengan menggunakan seluruh sumber daya ekonomi yang ada. 
  6. Menyiapkan segala perangkat-perangkat aturan/regulasi norma yang lebih bertujuan untuk mengawal pengembangan desa wisata dan mengawasi potensi-potensi penyimpangan yang mungkin saja bisa terjadi. Regulasi disiapkan agar berjalannya aktivitas wisata beserta dampaknya tetap berada dalam koridor regulasi sebagai payung hukumnya
  7. Melakukan pelatihan-pelatihan bagi seluruh komponen desa, termasuk pemerintah desa tentang manajemen pariwisata, bagaimana mengelola tempat wisata, manajemen tamu/pengunjung, beserta inovasi-inovasi yang perlu dikembangkan mengingat sebagaimana sektor lainnya sektor pariwisata pun mengalami fluktuasi dan bisa mengalami “kejenuhan”.
  8. Gunakan segala media untuk memperkenalkan dan mempublikasikan potensi wisata di desa baik media konvensional maupun non konvensional, seperti media internet. Internet kini menjadi sarana publikasi yang sangat efektif yang bisa menjangkau seluruh belahan bumi. Tempat wisata yang lokasinya terpencil pun bisa diketahui oleh orang di belahan dunia lain pun berkat teknologi internet.
  9. Belajar pada kesuksesan desa wisata lain atau studi banding. Kita bisa belajar banyak pada keberhasilan desa wisata lain khususnya yang sejenis. Karena tipikal permasalahan dan tantangan masa depan yang bakal dihadapi kurang lebih sama. Hanya dengan manajemen profesional dan inovatif saja desa wisata akan eksis dan kompetitif dan dapat melalui ujian yang bersifat internal, eksternal maupun regional internasional.
Identifikasi Potensi Desa

Setiap desa memiliki potensi untuk dijadikan komoditas wisata unggulan. Keindahan dan keunikan alam akan menjadi wisata alam. Jika desa tersebut memiliki keunikan tradisi dan budayanya bisa menjadi destinasi wisata budaya. Jika desa tersebut memiliki menu makanan dan minuman khas tradisional yang unik baik dari bahan, rasa dan penyajiannya, bisa dijadikan destinasi wisata kuliner desa. Jika desa tersebut memiliki kerajinan-kerajinan khas nan unik bisa menjadi destinasi wisata suvenir desa. Atau jika desa tersebut memiliki peninggalan-peninggalan yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi atau situs sejarah/prasejarah bisa menjadi tujuan wisata sejarah desa. Bahkan jika desa itu memiliki keunggulan hasil bumi atau hasil laut misalnya pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain (contoh wisata petik apel, petik strawberry, petik tomat, cabai dan sayuran lain). Dunia wisata dalam kekinian banyak mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Apapun bisa dijadikan wisata yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi warga sekitar, asal jeli melihat dan memanfaatkan peluang.

Identifikasi Permasalahan

Biasanya permasalahan mainstream dari suatu desa yang memiliki potensi wisata seperti infrastruktur jalan, jembatan, listrik, pipanisasi air, jaringan komunikasi dan lain-lain. Selain itu permasalahan bisa juga bersifat non fisik, tapi bersifat sosial. Misalnya, bisa saja desa tersebut memiliki potensi keindahan alam namun dari sisi keamanannya kurang. Penanganan permasalahan sosial ini memerlukan pendekatan multidimensi tertentu yang tepat.

Komitmen Kuat Komponen Desa

Tidak sedikit komitmen tidak terbangun dengan kuat untuk menyamakan visi misi untuk menjadikan desa wisata. Ini tidak terlepas dari kekhawatiran terhadap dampak yang bisa terjadi dari kegiatan pariwisata. Sebagian komponen desa mungkin melihat contoh daerah lain yang dianggap gagal sebagai desa wisata karena menimbulkan dampak negatif misalnya menurunnya moralitas generasi muda desa, atau dampak lingkungan yang terjadi karena pembangunan fisik besar-besaran sarana penunjang wisata desa yang tanpa memperhatikan aspek lingkungannya, misal terjadi banjir atau tanah longsor di kawasan wisata alam.

Identifikasi Dampak Kegiatan Pariwisata

Setiap kegiatan pariwisata pasti menimbulkan dampak yang sudah bisa diperhitungkan, baik dampak positif maupun negatif. Harus dilakukan identifikasi, khususnya dampak negatif karena ini yang harus ditanggulangi agar potensi wisata tetap bisa berlangsung berkelanjutan. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dan lingkungan baik yang bersifat fisik maupun sosial dan ini harus dipersiapkan perangkat-perangkat untuk menanganinya. Perangkat-perangkat untuk penanganan dampak ini harus merupakan konsensus desa.

Komitmen Menggandeng Pemerintah Daerah

Perlu peran Pemerintah Daerah untuk membangun potensi desa menjadi desa wisata. Melalui dinas-dinas terkait, perangkat-perangkat baik berupa regulasi, perijinan, pajak dan sebagainya sehingga secara hirarkis administratif desa wisata berada di bawah pembinaan dan tanggung jawab Pemerintah.

Perangkat Regulasi/norma

Untuk menjadi desa wisata diperlukan perangkat regulasi/norma sebagai aspek legalitas dan yuridis formal. Dengan memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat, desa wisata diharapakan dapat beraktivitas tanpa ada gangguan misalnya keberatan dari pihak-pihak lain.

Pelatihan Manajemen Pariwisata

Sebesar apa pun dan sebagus apa pun potensi yang akan menjadi komoditas unggulan jika pelaku usaha pariwisata (desa) tidak siap dengan ilmu manajemen pariwisata, maka bisa dipastikan kegiatan pariwisata itu tak akan berlangsung lama, karena pariwisata dengan segala karakteristiknya tetap diperlukan pengelolaan yang profesional dan inovatif. Termasuk di sini adalah strategi pemasaran yang tepat untuk mengangkat angka kunjungan. Perlu diberikan pelatihan manajemen pariwisata yang sesuai dengan karakteristik desa. Banyak contoh tempat pariwisata yang akhirnya terpuruk, mangkrak karena tidak inovatif sehingga tidak kompetitif, tidak memperhatikan saran dan pendapat pengunjung, tidak ada kelanjutan perbaikan sarana dan prasarana, tidak menangani keluhan pengunjung dan akhirnya pengelola gulung tikar karena rugi.

Media sebagai sarana informasi dan publikasi

Salah satu media sebagai sarana informasi dan publikasi yang sangat efektif adalah sosial media, baik milik resmi pemerintah, swasta ataupun komunitas tertentu. Hampir semua jenis produk kini menggunakan sosial media dalam pemasarannya. Dengan sosial media semua belahan dunia bisa dijangkau dan potensi desa bisa diketahui oleh siapa saja bahkan di manca negara dengan biaya yang murah.

Studi Banding ke Desa Wisata Yang Berhasil

Studi banding akan menjadi sangat penting bila dilakukan pada desa wisata yang sejenis. Bagaimana desa wisata tersebut mengelola pariwisata, menyikapi dan menghadapi permasalahan dan tantangan baik yang bersifat internal dan eksternal. Akan penting juga belajar tentang tips dan trik desa wisata tersebut agar tetap eksis pada saat-saat musim wisata sedang sepi (low season) dengan berinovasi memasarkan produk lain yang masih berkaitan dengan wisata desa tersebut. Studi banding bisa dipilih pada desa wisata yang secara organisasi manajemen sudah mapan dan profesional serta sudah teruji oleh waktu.
Mari kita eksplorasi potensi desa kita dan kita kembangkan secara bijak menjadi komoditas yang mampu meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat.

Sumber: http://wisataaceh.id/2019/01/19/rumus-mengembangkan-desa-wisata/

25 Januari 2019

Jika Tidak Mampu Bekerja, Pendamping Desa Lebih Baik Mundur

Dalam rangka mendapatkan tenaga pendamping yang berkwalitas, maka kinerja pendamping desa akan di evaluasi, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa.

Pendamping desa adalah sebuah jabatan di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Desa, yang bertugas untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di sebuah desa.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh, Drs Bukhari MM, dalam kunjungan kerja ke desa - desa di kabupaten Aceh Utara dan Lhokseumawe, meminta kepada pendamping desa yang telah di SK-kan, tapi tidak mampu bekerja dan membangun desa di daerah tugasnya lebih baik mengundurkan diri sebelum diberhentikan.

Penegasan tersebut disampaikan Kadis DPMG Aceh, Drs Bukhari MM dalam rapat dengan pendamping desa Lhokseumawe, di Meunasah Gampong Lancang Garam, Kota Lhokseumawe, Jumat (25/1/2019).

Tujuan dirinya turun ke desa-desa selain dalam rangka melihat pelaksanaan program pembangunan desa juga dalam rangka mengevaluasi kinerja para pendamping desa yang berjumlah 2.77 orang, terdiri dari pendamping ahli kabupaten, pendamping kecamatan dan pendamping lokal desa.


Kunjungannya ke desa-desa juga terkait dengan rencana penggunaan dan pemanfaatan dana desa di tahun 2019, dimana pada tahun ini jumlah dana desa yang akan diterima Provinsi Aceh senilai Rp4,9 triliun.

Untuk itu, dana desa tahun 2019 ini harus bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat desa, sehingga angka kemiskinan di desa bisa berkurang.

Karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Aceh tahun 2018 sebesar 15.68 persen. Artinya, Aceh terbanyak penduduk miskin untuk pulau Sumatera, dan peringkat keenam secara nasional.

Padahal realisasi dana desa tahun 2018 lalu mencapai 99,9 persen atau senilai Rp4,4 trilun. Tapi, anehnya jumlah penduduk miskin Aceh malah meningkat.

Apa Tugas Pendamping Desa?

Secara umum pendamping desa bertugas mendampingi desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. 

Adapun uraian tugas pendamping desa, antara lain sebagai berikut:
  1. Mendampingi desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat Desa;
  2. Mendampingi desa dalam melaksanakan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana prasarana desa, dan pemberdayaan masyarakat desa;
  3. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Pemerintahan Desa, lembaga kemasyarakatan desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa;
  4. Melakukan pengorganisasian di dalam kelompok-kelompok masyarakat desa;
  5. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat desa dan mendorong terciptanya kader-kader pembangunan desa yang baru;
  6. Mendampingi Desa dalam pembangunan kawasan perdesaan secara partisipatif; dan
  7. Melakukan koordinasi pendampingan di tingkat kecamatan dan memfasilitasi laporan pelaksanaan pendampingan oleh Camat kepada pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(Diolah dari berbagai sumber)

24 Januari 2019

Upaya Pelemahan BPD?

Setelah empat tahun UU 6/2016 tentang Desa berlaku, praktis Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain tidak terurus dengan serius oleh pejabat yang bertanggung jawab atas keberadaannya. Hal ini mengesankan adanya kesengajaan dan upaya secara sistemik melemahkan keberadaan BPD sebagai bagian dari Sistem Pemerintahan di Desa.

Setelah empat tahun UU 6/2016 tentang Desa berlaku, praktis Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain tidak terurus dengan serius oleh pejabat yang bertanggung jawab atas keberadaannya. Hal ini mengesankan adanya kesengajaan dan upaya secara sistemik melemahkan keberadaan BPD sebagai bagian dari Sistem Pemerintahan di Desa.

Pengesanan tersebut dapat kita cermati indikatornya sebagai berikut:
  1. BPD di kasih insentif yang sangat rendah, bahkan sangat tidak berkelayakan bagi sebuah institusi pemerintahan dalam sistem ketatanegaraan NKRI.
  2. BPD hampir tidak pernah ditingkatkan kapasitasnya dalam bentuk pembinaan dan pelatihan.
  3. BPD oleh para pejabat yang berwenang lebih ditekankan pada posisi kemitraan pemerintah desa, bukan pada fungsi anggaran, fungsi legeslasi, dan fungsi aspirasi. 
Akibat dari tiga indikator di atas, antara lain:
  1. BPD dihargai sangat rendah oleh Pemerintah Desa.
  2. BPD rendah daya awas dan kontrolnya terhadap Pemdes.
  3. Tidak tercapainya keseimbangan kekuatan antara BPD dan Pemdes.
  4. BPD laksana pelengkap semata bagi Pemdes.
  5. Anggota BPD menjadi pesimis dalam menjalankan tupoksinya.
Solusi terhadap persoalan ini adalah:
  1. Pemberian insentif dan tunjangan kepada BPD yang ideal, yaitu setidaknya 50% dari siltap perangkat desa per bulan.
  2. Tersedianya anggaran operasional yang memadahi.
  3. Adanya kantor tersendiri dengan sarana pendukung yang mencukupi.
  4. Pembinaan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitasnya sebagai BPD.
  5. BPD sangat perlu membentuk atau membangun sistem jaringan dan informasi baik lokal, terlebih nasional.
Penulis: Nur Ruziq - Sumber: http://sungaibuluhungarnews.com/upaya-pelemahan-bpd/

23 Januari 2019

Gaji Kades dan Aparatur Desa di Kabupaten Aceh Barat Naik

Ditengan wacana kenaikan gaji aparatur desa yang akan disetarakan dengan gaji aparatur sipil negara (ASN) golongan IIA. Ternyata di Kabupaten Aceh Barat, oleh Bupati setempat sudah menaikkan gaji kades dan aparatur desa yang tersebar di 322 desa.

Ditengan wacana kenaikan gaji aparatur desa yang akan disetarakan dengan gaji aparatur sipil negara (ASN) golongan IIA. Ternyata di Kabupaten Aceh Barat, oleh Bupati setempat sudah menaikkan gaji kades dan aparatur desa yang tersebar di 322 desa.

Jika dilihat dari jumlahnya, mulai tahun 2019 gaji yang diterima kepala desa (kades) di kabupaten Aceh Barat melebihi gaji PNS golongan II A. Karena, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015, gaji PNS golongan IIA adalah Rp 1.926.000. 

Kenaikan gaji ini dalam rangka meningkatkan kesejahteraan aparatur pemerintah desa. 

Kenaikan gaji kades beserta seluruh perangkat desa termasuk yang pertama di Provinsi Aceh bahkan di Indonesia sejak tahun 2019 ini, sebut Bupati Ramli MS seperti di lansir antaranews.com. 

Hal ini juga dilakukan untuk merespon keputusan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang mengintruksikan adanya kenaikan gaji bagi aparatur desa.

Bupati Aceh Barat, Ramli MS berharap dengan adanya kenaikan jerih payah tersebut, aparat desa agar betul-betul mengelola dana desa dengan baik, serta menghindari setiap bentuk pelanggaran hukum dalam mengelola dana milik masyarakat yang sudah diserahkan oleh negara.

Adapun besaran kenaikan gaji masing-masing untuk Kepala Desa sebesar Rp2 juta/bulan, Sekretaris Desa Rp1,4 juta/bulan, kepala seksi Rp1,150 juta/bulan.

Baca: Desa tidak akan maju, kalau Sekdes tidak paham tugas

Kemudian untuk Kepala Urusan (Kaur) Rp1,1 juta perbulan, kepala dusun (kadus) Rp1,1 juta/bulan, dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa/Tuha Peut sebesar Rp500 ribu/bulan. 

Jika dibandingkan dengan honorarium tahun - tahun sebelumnya, tunjangan Tuha Peut di Aceh Barat meningkat sebesar 50%.

Sebelum dinaikkan besaran gaji kepala desa dan aparatur desa di kabupaten Aceh Barat, masing-masing untuk Kepala Desa
 sebesar Rp1,65 juta/bulan dan sekretaris Desa sebesar Rp990 ribu/bulan.

Selanjutnya untuk kepala Urusan (kaur) sebesar Rp825 ribu/bulan, Kepala Dusun sebesar Rp825 ribu/bulan, serta Tuha Peut sebesar Rp250 ribu/bulan.

Jumlah Pagu Dana Desa 2019 Aceh Utara Rp627,9 milyar

Jumlah pagu dana desa 2019 dari APBN untuk 852 gampong di Kabupaten Aceh Utara tercatat Rp627,9 milyar atau naik sekitar 65,4 milyar dari jumlah dana desa tahun 2018 senilai Rp562,2 milyar.

Jumlah Pagu Dana Desa 2019 Aceh Utara Rp627,9 milyar

Pada tahun 2019 dana desa setiap gampong di Aceh Utara rata-rata berkisar dari Rp750 juta sampai Rp1,6 milyar. Dari data yang diperoleh, dana desa 2019 terdiri dari atas tiga alokasi, yaitu alokasi dasar, afirmasi, dan formula.


Alokasi dasar adalah dana yang nilainya sama bagi setiap gampong. Sedangkan, alokasi afirmasi merupakan dana alokasi untuk gampong berklafikasi sangat tertinggal dan tertinggal.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengalokasian dana desa dapat dipelajari dalam tatacara penganggaran dan pengalokasian dana desa

Sementara itu, alokasi formula merupakan dana yang dialokasikan berdasarkan penghitungan jumlah penduduk miskin, luas wilayah, dan indek kesulitan geografis.


Dari 23 Kabupaten/kota di provinsi Aceh, kabupaten Aceh Utara merupakan daerah paling banyak menerima kuncuran dana desa dari APBN yaitu sebesar Rp.627,9 milyar.

Selanjutnya, kabupaten Pidie sebesar Rp525,9 milyar, Kabupaten Bireuen Rp453,9 milyar, dan Kabupaten Aceh Besar Rp438,5 milyar. Dan kota Sabang merupakan penerima terendah dana desa dari 23 kabupaten/kota di Aceh, yaitu sebesar Rp23,6 milyar.

Berdasarkan data kementerian keuangan, jumlah dana desa 2019 untuk seluruh desa di Indonesia sebesar Rp70 triliun. Penggunaan dana desa difokuskan untuk pemberdayaan masyarakat, peningkatan perekonomian desa, dan penguatan kapasitas SDM.