Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

30 Agustus 2014

BABAK BARU BPD PASCA LAHIRNYA UU NO 6 ATHUN 2014 TENTANG DESA


Dengan ditetapkannya UU Desa No. 6/2014, kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengalam perubahan. Jika sebelumnya BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan maka sekarang menjadi lembaga desa. 

Dari fungsi hukum berubah menjadi fungsi politis. Kini, fungsi BPD yaitu menyalurkan aspirasi, merencanakan APBDes, dan mengawasi pemerintahan desa. Sedangkan tugasnya adalah menyelenggarakan musyawarah desa (musdes) dengan peserta terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok, dan tokoh masyarakat. Jumlah pesertanya tergantung situasi kondisi setiap desa. 

Musyawarah desa berfungsi sebagai ajang kebersamaan dan membicarakan segala kebijakan tentang desa. Dalam acara  Dialog Kebijakan Tugas dan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa Dalam UU Desa yang Baru yang diselenggarakan di Gedung PDAM Kabupaten Magelang, 16 Maret 2014, peserta mengutarakan sejumlah problematika yang dihadapi BPD. 

Pertama, BPD belum memahami tugas dan pokoknya. Untuk itu dirasakan perlu adanya, pembekalan, bimbingan bagi BPD, baik dari akademisi, camat, atau pihak yang ditunjuk. Kedua, rekrutmen BPD. Biasanya para anggota BPD berasal dari orang seadanya, jarang ada yang minat untuk mendaftarkan diri sebagai BPD. 

Ketiga, penggajian, Karena BPD tidak mendapatkan gaji seperti kepala desa dan perangkatnya. Ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan BPD tidak menjalakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Setiap kegiatan yang dilakukan BPD perlu menggunakan dana, tetapi tidak ada alokasi anggaran untuk itu.

Khusus mengenai anggaran,  Ahmad Muqowam, Pansus UU Desa DPR RI, menanggapi, selama ini dana yang dialokasikan  ke desa baru 3% dari yang diamanatkan UU No 32 tahun 2004. Dengan adanya UU Desa ini, desa akan mendapatkan alokasi lebih dalam penganggaran. Alokasi itu meliputi ADD (Alokasi Dana Desa) dan DAD (Dana Alokasi Desa). Harapannya, dengan adanya penambahan alokasi tersebut Desa menjadi maju dan mandiri.

Pada masa lalu, desa hanya menjadi objek pembangunan. Desa menjadi arena kepentingan negara. Masyarakat menerima jadi tanpa adanya partisipasi yang baik. Setiap hasil Musyawarah Desa yang diajukan, sering menghasilkan kebijakan yang berbeda. Terkadang SKPD terkait tidak membaca hasil Musyawarah Desa sehingga kebijakan yang turun berbeda dengan kebutuhan masyarakat. 

Sekarang berbeda, desa tidak lagi menjadi sistem pemerintahan daerah. Tetapi desa mandiri dengan mendapatkan otonomi sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kapasitas penyelenggara desa agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik.                 

UU Desa ibarat menyapih anak dan anak yang dimaksud adalah Desa. Ini merupakan babak baru bagi desa agar lebih maju dan mandiri. Kunci yang terkandung UU Desa adalah pemberdayaan. Saat ini bukan lagi memberikan ikan tetapi dengan memberikan kail. Desa menyusun perencanaan, mengawasi dalam pelaksanaan dan mengontrol dalam evaluasi. Perencanaan itu harus sesuai realitas bukan sekedar angan-angan belaka. 

Maka UU Desa memberikan penguatan bagi desa, mereka mandiri dalam menentukan rumah tangganya sendiri. Penguatan tersebut bukan hanya dilakukan bagi desa dan aktor-aktornya tetapi juga pemeritantah daerah, agar tidak setengah hati.

“UU Desa lahir dari perjuangan dan perjalanan yang panjang. Inti dari UU ini adalah mengenai alokasi dana untuk desa. Dalam kaitannya dengan gaji BPD, BPD berbeda dengan perangkat desa. Jika perangkat desa mendapatkan gaji dari tanah bengkok dan lainnya maka BPD tidak mendapatkan gaji. BPD merupakan panggilan jiwa bagi mereka yang peduli dengan desa,” jelas Sutoro Eko.

Inti dari UU ini adalah terletak pada alokasi dana untuk desa. Jika kemarin alokasi dana bagi desa hanya ADD maka saat ini ditambah dengan adanya DAD (Dana Alokasi Desa), selain itu ADD rata-rata juga akan naik. Jika kepala daerah tidak mengalokasikan dana tersebut, dana-dana akan ditarik oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola, tetapi hanya menjadi perantara antara desa dengan pusat.

Terdapat empat komponen bagi desa yaitu: kuat, mandiri, maju dan demokratis. Komponen awal dari sekian komponen ini adalah desa yang mandiri. Jika kemarin desa tergantung kebaikan kepala daerah maka sekarang desa harus memperkuat kedudukannya. Desa bukan lagi kepanjangan dari pemerintah tetapi menjadi pemimpin masyarakat.

Dalam pembangunan, dahulu desa adalah objek atau arena bagi negara, kini  Undang-undang Desa yang baru akan membentengi hal tersebut. Desa bukan lagi berkeliling mengajukan proposal namun kebutuhan dananya telah dicukup dari alokasi-alokasi yang telah dianggarkan dalam UU Desa. 

Negara memperkuat desa dengan alokasi dana sehingga pada waktu kampanye pemilih umum tidak aka ada calon-calon yang menjanjikan sesuatu karena desa telah berdaya. Bagi BPD, UU No.6/2014 tentang Desa diharapkan menjadi senjata agar BPD mampu menjalankan pokok dan fungsinya dengan baik.
                                                                                   
Penulis: Minardi Kusuma
Editor: Umi 
Sumber: www.forumdesa.org                                                                                                                                                                                            

24 Agustus 2014

Keanehan antara Orang Kota dengan Orang Kampung

Ilustrasi

Paska perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepintas terlihat bahwa pembangunan kampung (gampong) sudah terasa ada sayup-sayup. Biarpun jalan belum beraspal, listrik masih sering padam, infrastuktur pendidikan, kesehatan dan teknologi pertanian masih sekedar adanya, alias tradisional. 

Namun, hebatnya orang kampung, mereka tidak banyak protes. Misalnya, ketika mati lampu, orang-orang di kampung lebih konkrit dalam menyikapi situasi. Mungkin orang-orang kampung, mereka memiliki daya tahan sekaligus bisa menyiasati kehidupan bagaimanapun sulitnya.

Kondisi ini berbeda jauh dengan orang-orang kota. Misalnya, ketika listrik padam, orang-orang kota langsung meluapkan protesnya, melalui berbagai jenjaring sosial seperti twitter, facebook dan BlackBerry Messenger (BMM) mulai dengan "kata makian sampai sindiran". 

Hal lain yang saya lihat dari orang-orang kampung. Misalnya, saya juga tidak menemukan adanya pembahasan yang serius tentang hasil Pilpres di kalangan orang-orang kampung. Perdebatan tentang Pilpres biarlah menjadi konsumsi dan kegilaan orang-orang di kota.

Bagi masyarakat kampung, asalkan mereka bisa menyelenggarakan hidupnya sendiri, dengan damai, nyaman, dan aman tanpa diganggu oleh siapapun dan hak-hak mereka tidak diambil, maka cukuplah itu..?

Secara struktural, orang-orang kampung juga tidak memiliki ketergantungan yang berlebihan (penyakit terlalu berharap) kepada misalnya, anggota dewan, APBA, APBK, dana subsidi, dana pemerataan, dan lain-lain. 

Selama di kampung halaman, saya melihat warga kampung kini banyak yang sudah punya honda (motor roda dua, orang Aceh apapun jenis motor, menyebutnya dengan honda). Bahkan dalam satu keluarga ada yang sampai punya dua sampai tiga buah honda. Satu dipakai sang ayah pergi ke kebun, satu dipakai anaknya pergi ke sekolah. Pada sore hari menjelang magrib, honda-honda bisa kita lihat diparkir di depan rumah mereka, mungkin ini sebagai lambang kemajuan dan kesejahteraan paska damai..? 

Yang selalu mengasyikan saya, jika pulang kampung, anak-anak muda kampung tak sungkan-sungkan mereka memamerkan “kemajuan-kemajuan teknlogi” tertentu. Kalau kita duduk di warung-warung kopi, ponsel android dan smartphone tercanggih kini bukan lagi barang langka dikalangan anak-anak muda kampung. "Dulu tidak SMS-an, sekarang era BBM" 

Yang paling membuat saya asyik dengan orang-orang kampung. Bagaimana pun sistem nilai, moralitas, pola perhubungan, dan sikap masyarakat kampung terkadang selalu lebih jernih dan manusiawi dibanding dengan masyarakat modern yang hidup di kota-kota. Yang mana, sepahit apapun kondisi dan pertumbuhan ekonomi, kita tidak pernah mendengar ada gelandangan di kampung-kampung. Mungkin, orang-orang di kampung lebih memilih membanting tulang ketimbang berharap kasihan orang lain. 

Atas situasi kebatinan orang-orang kampung tersebut, kita-kita yang hidup di kota (kaum urban), acapkali memendam kerinduan kita. Setidaknya, sewaktu-sewaktu, bisa kembali atau tinggal di kampung. 

Apalagi kehidupan orang-orang kampung, mereka "saling bantu-membantu, tolong-menolong dan saling berkunjung." Sehingga persatuan orang kampung jauh lebih baik, dibandingkan dengan orang-orang kota. Walaupun kebiasaan baik ini, sedikit memudar, boleh jadi karena pengaruh wabah induvidualisme yang sering mengindap orang kota. 

"Orang-orang kota gampang bekerja untuk kemajuan dan prestasi dirinya". Kehidupan orang kota penuh dengan sekat-sekat sosial, dinding-dinding kultural dan pagar-pagar individual yang semakin mempersempit manusia untuk hanya melihat dirinya sendiri. 

Orang-orang kota selalu menyukai dan mengaku berpikiran positif tetapi mereka juga membangun pagar rumah dan mengunci pintu rumah bahkan walau hanya ditinggalkan sejenak.

Anehnya, orang-orang kota selalu merasa, kita-kita inilah yang paling berhak tentang segala jenis konsep tentang memanusiakan manusia. Sementara paradoks besar itu ada pada diri kita. 

Kota juga selalu identik, depenuhi dengan orang-orang terpelajar, baik yang bergiat di usaha-usaha perbaikan masyarakat, melakukan pendekatan ilmiah, melakukan diskusi-diskusi, mengolah data, memberikan analisa-analisa, kemudian mereka terlelap dalam labirin panjang teori mereka sendiri dan merasa telah berbuat sesuatu untuk kemanusiaan.

Orang-orang kota membuka diri untuk motivasi, menonton dan membaca buku-buku tentang pengembangan diri, sehingga merasa telah menjadi transhuman, lalu mengunci dirinya dalam ruang kedap suara yang tidak bisa dijangkau oleh manusia lain.

Saya sendiri merasa sebagai orang yang sudah lima belas tahun hidup di kota, pikiran saya sudah sangat rusak dengan prasangka. Begitu ada wacana kenaikan BBM saja, kita dilanda kepanikan dan memilih untuk memborong BBM sebisa-bisanya. Padahal kota itu banyak orang terpelajar, kenapa harus penuh dengan wajah-wajah yang khawatir...?? Entahlah 

17 Agustus 2014

Badan Usaha Milik Desa sebagai Penggerak Ekonomi Desa



BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial dan komersial.... 

Undang-Undang Desa membawa terobosan baru dalam cara kita membangun desa. Banyak aturan di dalamnya mengatur berbagai hal tentang desa yang belum diatur dalam peraturan-peraturan tentang desa sebelumnya. BUMDes didirikan atas kesepakatan masyarakat melalui musyawarah desa.  

Undang-Undang Desa mengamanatkan pengelolaan badan usaha milik desa (BUMDes). Aturan tentang BUMDes ada pada Bab X pasal 87 hingga pasal 90. Desa bisa menentukan jenis usahanya, apakah di bidang pertanian, perikanan, termasuk juga pariwisata. Dalam peraturan yang ada sebelumnya, badan usaha ini hanya sampai pada tinggkat kabupaten/kota, tetapi Undang-Undang Desa mendorong badan usaha bisa didirikan di desa. Dengan demikian, bila undang-undang itu dijalankan maka akan terjadi perkembangan yang cepat di desa. Ekonomi di desa akan bergerak. 

BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa. BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa dan merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi, yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteran ekonomi masyarakat desa melalui pengembangan usaha ekonomi mereka, serta memberikan sumbangan bagi peningkatan sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal. 

BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial dan komersial. BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. 

Melalui cara demikian diharapkan keberadaan BUMDes mampu mendorong dinamisasi kehidupan ekonomi di pedesaan. Peran pemerintah desa adalah membangun relasi dengan masyarakat untuk mewujudkan pemenuhan standar pelayanan minimal, sebagai bagian dari upaya pengembangan komunitas desa yang lebih berdaya. 

Di beberapa kabupaten telah banyak desa yang mempunyai BUMDes, ada yang secara mandiri mengembangan potensi ekonomi desa yang ada, ada juga yang didorong oleh Pemerintah Kabupaten setempat dengan diberikan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten melalui dana hibah dengan status dana milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUMDes.

Tetapi saat ini belum banyak BUMDes yang berkembang dengan baik. Penyebab utamanya antara lain adalah tidak dikelolanya BUMDes secara profesional. Undang-Undang Desa sudah membuka pintu untuk menggerakkan perekonomian di desa. Akan tetapi harus kita sadari bersama bahwa desa memerlukan peningkatan keahlian dan ketrampilan dalam mengurus badan usaha milik desa. Kita sangat bergembira dengan disahkannya Undnag-undang Desa ini. Dan hal ini dapat kita tunjukkan dengan bersiap diri dalam meningkatkan kapasitas masyarakat desa untuk dapat menjadi subjek dalam pembangunan di desanya.(*)

Disadur dari: revolusidesa.com

09 Agustus 2014

"STOP PENANAMAN SAWIT", DI KECAMATAN SAWANG ACEH UTARA


Kelapa sawit (Elaeis sp.) merupakan sejenis palma. Menurut sejarah Sawit masuk ke Indonesia, didatangkan oleh kolonial Hindia belanda pada era penjajahan. 

Kelapa sawit adalah tumbuhan industri penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar. Kelapa sawit juga dapat diolah menjadi beraneka ragam produk yang dihasilkan seperti minyak goreng, kosmetik, dan bahan bakar serta bernilai ekspor.

Karena bernilai ekspor, orang-orang yang memiliki modal besar seperti para pengusaha, investor, para pejabat, agent-agent perusahaan-perusahaan besar (dalam negeri da asing) berlomba-lomba untuk memperluas area kebun sawitnya. Dalam perluasan investasinya; "Adakalanya, banyak izin perkebunan sawit yang diloloskan tidak sesuai dengan prosedur yang baik".

Dibeberapa daerah, para petani lokal yang memiliki modal besar juga ikut-ikutan tergiur untuk melakukan usaha penanaman sawit di hutan-hutan baru. Ada juga yang melakukan konversi kebun lama menjadi perkebunan kelapa sawit, sekali lagi karena tergiur ekonomi yang menjanjikan.? 

Namun dibalik keuntungan finansial yang menjanjikan tersebut. Perkebunan kelapa sawit ternyata mempunyai dampak negatif bagi lingkungan alam sekitar dan "membunuh" pertanian masyarakat lokal. 

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).

Dampak lain yang timbul dari pekebunan Sawit antara lain; terjadi deforestasi (penurunan secara kualitas dan kuantitas sejumlah areal hutan), hilangnya habitat dan spesies tertentu, dan peningkatan yang signifikan dalam gas rumah kaca (emisi) akibat melepasnya karbon yang berlebih dari tanaman kelapa sawit. 

Tanaman Sawit juga dapat merusaknya kesuburan tanah oleh akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Tanaman Sawit juga akan memunculkan hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Dampak ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.

Dampak negatif lain yang sering terjadi yaitu terjadinya konflik horiziontal dan vertikal antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit. Ujung-ujungnya sering terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.

Bukan saya untuk berfikir sempit dan ingin memprovokasi masyarakat. Namun sebagai putra daerah, perluasan kebun atau area sawit di kawasan Sawang Kabupaten Aceh Utara ada bainnya segera distop. 

Pemerintah Aceh Utara, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Gampong harus menghentikan pembukaan lahan Sawit dikawasan Sawang. Karena kehadiran area Sawit lebih banyak muzaratnya ketimbang keuntungan bagi kehidupan masyarakat, khususnya dikawasan gampong Riseh Tunong Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara. 

Solusi Yang Ditawarkan..

Kalau Pemerintah ingin mensejahterakan masyarakat, menurut saya Sawit bukanlah salah satu solusi cerdas (tapi konyol..?). Apalagi sekarang curah hujan dikawasan hutan Sawang sudah sangat menipis. Debit air dibeberapa sugai, juga semakin menipis. Sumur-sumur warga juga semakin sedikit airnya. 

Bila perluasan kebun Sawit tidak di stop, yang datang dikemudian hari bukan kesejahteraan tapi bencana banjir, air bah dan erosi. Dalam waktu jangka panjang, dampak kerusakan ekologis juga akan semakin parah dan besar. Seperti kata pepatah; "lebih baik mencegah sebelum terjadi".

Solusi yang bisa ditawarkan "kepada Pemerintah" untuk membangun dan meningkatkan ekonomi masyarakat dikawasan kecamatan Sawang kabupaten Aceh Utara adalah dengan mendorong dan menggerakkan sektor pertanian/perkebunan yang sudah ada seperti pinang, kemiri dan durian dari metode penanaman secara tradisional, diarahkan kepada metode budidaya secara intensif. Apalagi pasar ketiga sektor tersebut sudah ada, tinggal dukungan pemerintah saja.!

Secara ekonomi, budidaya pinang, durian dan kemiri secara intensif selain menjanjikan juga dapat menjaga ciri khas kecamatan Sawang sebagai lumbung Pinang dan lumbung Durian terbaik di Kabupaten Aceh Utara. 

Menutup catatan ini, yang sudah lama ingin saya tulis. Sekali lagi saya mengajak kita semua, untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat petani dan alam dikecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara. Upaya preventisasi dari berbagai pihak harus segera dilaksanakan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh Sawit lebih besar muzaratnya. Sawit juga merusak kesuburan lahan petani (pinang, durian dan kemiri) serta merusak keseimbangan sistem ekosistem alam. 

Islam mengingatkan manusia. Apapun yang dilakukan oleh manusia diperlukan keseimbangan, yang disebut dengan i’tidal. Islam juga mengutamakan kemashlahatan yang disebut dengan istishlah.

Istishlah (kemashlahatan) dalam Islam merupakan salah satu pilar utama dalam syariah Islam termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Bahkan secara tegas Allah melarang manusia untuk melakukan perbuatan yang bersifat merusak lingkungan termasuk merusak kehidupan manusia itu sendiri. 

Wallahu A’lam 

Penulis: Sumadi Arsyah 

(Putra Asli, Gampong Riseh Tunong Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara)

Dikutip dari blog; http://gampongkita.blogspot.com/2014/08/stop-penanaman-sawit-di-kecamatan.html

15 Juli 2014

Menempatkan Desa Dalam Posisi Bermartabat


Regulasi yang mengaturnyapun, mesti menghormati posisi desa dalam lanskap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Jangan sampai, desa diakui secara administratif, tapi tak dihiraukan keberadaannya secara konkret. Politik pembangunan dan anggaran, mesti sungguh-sungguh memperhatikan sungguh-sungguh posisi desa. 
Saat ini tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR, sebuah rancangan regulasi yang khusus mengatur tentang desa, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa. Rancangan regulasi itulah yang akan dijadikan sebagai basis legal pengaturan desa di Indonesia. 
Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sudjito berpendapat, RUU Desa adalah sebuah momentum dan kesempatan mendorong pembaharuan desa yang sesuai cita-cita, yaitu mewujudkan desa yang demokratis dan sejahtera. Namun Arie melihat, dalam pembahasan RUU Desa terjadi pertarungan, yang hanya bersifat ideologi, tapi juga tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Menurut dia, pertarungan itu terasa kentara mewarnai dalam setiap pembahasan RUU Desa. “Karena itu pembahasan RUU Desa, harus dikawal, Publik, mesti mengawalnya,”kata Arie.
Arie yang juga peneliti senior di Institute for Research and Empowerment (IRE) ini mengatakan, jangan sampai RUU Desa dibajak oleh elite politik dan ekonomi, baik di aras local maupun nasional. Karena itu, substansi dari RUU Desa harus dicermati dengan ketat, misal soal kewenangan desa dalam sistem pemerintahan dan demokrasi Indonesia. Hal ini harus diperjuangkan agar masuk dalam regulasi Desa. “Subtansi lainnya, adalah pengakuan keragaman atau pluralitas struktur dan format desa (adat) di Indonesia sesuai konteks lokasi sebagai bentuk penghargaan pada entitas local,”kata dia. 
Selain itu, hal yang perlu dicermati juga terkait dengan reformasi perencanaan dan penganggaran pembangunan, serta redistribusi sumberdaya ke desa. RUU Desa menjadi salah satu elemen kunci pertaruhan masa depan desa. “Masyarakat sipil yang peduli atas nasib desa dituntut aktif mengawal RUU Desa ini agar tidak terdistorsi. Jangan sampai RUU Desa ini dibajak oleh kepentingan segelintir elit politik nasional maupun lokal, bahkan perangkat desa sekalipun,”katanya. 
Sementara itu, anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa DPR RI  Arif Wibowo mengatakan, salah satu poin yang perlu diatur dalam RUU Desa adalah alokasi anggaran untuk desa dari APBN. Alokasi anggaran untuk desa ini diharapkan dapat mendorong usaha masyarakat dalam rangka memajukan desa.
Persoalan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah pembangunan desa yang diharapkan dapat menekan angka urbanisasi penduduk dari desa ke kota. Fokus pembangunan desa ini juga diharapkan dapat meminimalisir kemerosotan aktivitas ekonomi di desa, diantaranya karena minimnya sumber daya manusia pedesaan yang bersedia bekerja di sektor-sektor ekonomi pedesaan. “Eksesnya adalah, tidak saja memerosotkan desa namun juga menggerogoti pembangunan perkotaan dengan masalah urbanisasi yang kian kompleks,”kata Arif. 
Terpisah,Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan, pemerintah pada dasarnya memiliki komitmen untuk memajukan serta mensejahterakan masyarakat desa. Namun, caranya tidak memberikan anggaran kepada desa secara langsung, seperti wacana Rp. 1 miliar satu desa. 
Anggaran negara untuk pembangunan desa sebaiknya ditransfer ke kas pemerintah daerah saja. Idealnya, kata Mendagri, transfer dana APBN untuk desa diserahkan kepada kabupaten/kota. Pasalnya, struktur organisasi desa berada dibawah kabupaten atau kota . “Itu nanti biar bupati/wali kota yang mengatur penyalurannya kedesa-desa,”katanya.
Sumber: http://www.kemendagri.go.id/

25 Juni 2014

Keujruen Blang dan Panglima Uteun



Dengan bangga saya ingin mengajak pembaca untuk menilik kembali suatu warisan budaya Aceh yang luar biasa penting dan strategis perannya dalam pemanfaatan dan konservasi sumber daya pertanian dan kehutanan. Lembaga/institusi adat tersebut adalah Keujruen Blang dan Panglima Uteun. Tidak cukup menjadi sebuah legenda pada masa kejayaan kesultanan Aceh, namun diharapkan menjadi aset berharga yang berkelanjutan sampai akhir hayatnya bangsa ini.

Keujruen Blang

Dalam pasal 1 ayat 22 Qanun No.10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Keujruen Blang didefinisikan sebagai orang yang memimpin dan mengatur kegiatan usaha di bidang persawahan. Merujuk pada pasal 25, fungsinya antara lain (1) menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah, (2) mengatur pembagian air ke sawah petani, (3) membantu pemerintah dalam bidang pertanian, (4) mengkoordinasikan khanduri blang atau upacara adat lainnya terkait dengan pengurusan pertanian sawah, (5) memberi teguran dan sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat bersawah (meugo) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian secara adat, dan (6) menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah. 

Dalam sebuah kajian di Kecamatan Sawang Aceh Utara, hirarki Keujruen Blang terdiri atas 3 tingkat yaitu Keujruen Chik (tingkat kecamatan), Keujruen Muda (tingkat desa), dan Keujruen Petak (Yulia dkk., Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12 No.2 Mei 2012).

Keujruen Blang adalah seorang spesialis di bidang penataan pertanian yang mempunyai posisi sebagai bagian dari tim asistensi kepala gampong (keuchik) dalam memakmurkan petani. Pengangkatan dilakukan melalui jalam musyawarah oleh masyarakat. Figur Keujruen Blang didasarkan pada kriteria petani yang berkepribadian tekun dan disiplin, berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan, menguasai hukum adat pertanian (meugo), dan memahami keadaan yang dipengaruhi oleh hidrologis wilayah (keuneunong).

Adat meugo ini merupakan hasil kesepakatan bersama yang ditetapkan dalam khanduri blang dimana sebagian isinya adalah warisan budaya. Contoh adat meugo yang merupakan warisan budaya adalah pantangan memasang bubu (bube) di sawah, menjemur dan menumbuk padi selama 7 hari terhitung sejak pelaksanaan khanduri blang. Adat meugo juga meliputi tentang waktu turun ke sawah, mekanisme pembagian air, dan perawatan jaringan air. Apabila terjadi pelanggaran maka Keujruen Blang akan turun memberikan sanksi yang sepatutnya kepada warganya. Sanksinya sangat sederhana misalnya denda Rp 10.000 untuk setiap pengambilan air secara tidak sah, atau perbaikan jaringan air yang seperti keadaan sebelum rusak. Namun demikian kekuatan sanksi sosial ini sangat besar untuk tertegaknya hukum adat meugo tersebut. Uniknya apabila terjadi sengketa antarpetani, Keujruen Blang akan memberikan sanksi yang bervariasi, mulai dari menyediakan kue apam sebanyak 1.000 buah sampai penyembelihan seekor kambing untuk dimakan bersama dalam acara kesepakatan damai.

Panglima Uteun

Berbeda dengan hirarki Keujruen Blang, Panglima Uteun merupakan unsur pemerintahan mukim yang bertanggung jawab kepada Imum Mukim. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh luasan hutan yang tidak dapat dipisahkan berdasarkan batas teritorial sebuah desa. Fungsi Panglima Uteun yang telah eksis juga sangat banyak yaitu (1) menyelenggarakan adat glee, (2) mengawasi dan menerapkan larangan adat glee, (3) pemungut cukai (wasee glee) sebesar 10% untuk raja, (4) menyelesaikan sengketa yang terkait dengan pelanggaran hukum adat glee (www.zuheimiaceh.blogspot.com, 2013).

Dalam Qanun No. 10 Tahun 2008, istilah yang digunakan adalah Pawang Glee (Pasal 30-31), bukan Panglima Uteun. Lebih jauh dalam qanun ini, fungsi Pawang Glee (yang dipilih per 6 tahun) sebagai pemungut cukai sudah tidak disebutkan lagi, dimana fungsinya hanya dibatasi pada memimpin dan mengatur adat istiadat terkait pengelolaan dan pelestarian hutan, membantu pemerintah dan menyelesaikan sengketa dalam urusan kehutanan tersebut.

Adat glee yang dimiliki oleh orang Aceh sangat menarik. Pertama, larangan menebang pohon dalam jarak 600 meter dari mata air, danau, waduk, alue, dan lain-lain. Kedua, larangan menebang pohon pada jarak 60 meter dari badan sungai besar. Ketiga, larangan menebang pohon pada jarak 30 meter dari badan anak sungai (alue). Keempat, larangan menebang pohon di puncak gunung, pada bagian yang terjal, dan pada jarak 2x kedalamannya dari sebuah jurang. Kalau dicermati maka adat glee ini mengandung nilai keilmuan yang modern dan sangatlah konservatif karena apabila diimplementasikan akan berdampak pada pelestarian hutan.

Keujruen Blang dan Panglima Uteun adalah modal besar bagi Aceh untuk mencapai kejayaan di bidang pertanian dan kehutanan. Menyikapi keberadaan lembaga adat dalam masyarakat, Pemerintah sudah berupaya mentransformasikan legalitasnya dengan pengesahan Qanun No.10 Tahun 2008. Hal ini dapat dikatagorikan sebagai sebuah upaya penguatan keberadaan lembaga adat. Terima kasih pada pemerintah. Harapan kita semua tentunya agar Aceh dapat mempertahankan warisan leluhur tersebut sebagai sebuah kebanggaan serta mendapatkan manfaat yang besar dari pelaksanaan fungsi-fungsinya. Namun ketika melakukan eksekusi di lapangan, pemerintah masih kurang sensitif atau lemah dalam melakukan analisa, sehingga menghasilkan ketidakefektifan dan bahkan cenderung menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi lembaga adat. 

Hal ini perlu menjadi perhatian supaya ke depan kita bisa hasilkan capaian yang lebih baik. Kalau pada langkah pertama Pemerintah sudah melakukan penguatan, maka pada langkah selanjutnya Pemerintah tidak boleh menyebabkan pelemahan dari fungsi-fungsi lembaga adat. Sebaliknya Pemerintah harus mampu menerjemahkan konsep pelaksanaan lapangan yang meningkatkan kapasitas dan kualitas kerja lembaga adat, dengan tetap mempertahankan nilai sosial lembaga adat yang selama ini mendapatkan penghargaan dari rakyatnya atas dasar cinta dan keikhlasan. Lembaga adat jangan sampai terkontaminasi dengan virus komersial. 

Sebagai bukti masih belum efektif, penelitian Yulia, dkk (2012) mengidentifikasikan bahwa para Keujruen Blang ada yang belum mendapatkan sosialisasi tentang qanun, para Keujruen Muda gagal membangun koordinasi yang baik, dan belum ada mekanisme baik untuk menghargai jasa Keujruen Blang. Atas dasar penemuan ini, pemerintah (Dinas terkait) harus segera mengagendakan program sosialisasi dan koordinasi untuk para Keujruen Blang. Qanun tidak boleh hanya menjadi dokumen mati, namun rohnya qanun perlu diarusutamakan dalam panduan teknis pelaksanaan lembaga adat Keujruen Blang. 

Tidak boleh gagal

Pemerintah tidak boleh gagal dalam program penguatan Keujruen Blang dan Panglima Uteun, hanya karena mereka tidak dapat membaca dan menulis. Kinerja Keujruen Blang maupun Panglima Uteun sudah sangat nyata dirasakan manfaatnya dari masa ke masa. Sepatutnya Pemerintah melakukan interaksi sosial menggali keilmuan alamiah dari Keujruen Blang dan Panglima Uteun yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan dokumen dan program yang berkualitas. Pemerintah dapat melibatkan akademisi untuk mencari metode transfer ilmu pengetahuan tanpa harus memaksa para Keujruen Blang dan Panglima Uteun untuk bisa membaca dan menulis. Misalnya dapat menggunakan metode sosialisasi qanun dengan sistem sekolah lapang, talk show interaktif di radio terkait isu Keujruen Blang dan Panglima Uteun, dan lain sebagainya. 

Selain koordinasi internal Keujruen Blang, Pemerintah perlu juga sensitif menyelesaikan masalah koordinasi dengan lembaga lain seperti dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di bawah Dinas Pengairan dan dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Bahkan yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah P3A diperlukan di Aceh yang sudah mempunyai lembaga Keujruen Blang? Karena apabila fungsi P3A sama dengan Keujruen Blang, sama artinya pemerintah telah membunuh identitas Keujruen Blang itu sendiri dengan menghilangkan peran dan fungsinya. Pemerintah juga harus menjamin koordinasi yang baik antara Panglima Uteun dan Polisi Hutan agar dapat bersama-sama saling menguatkan dalam proses menjaga hutan Aceh.

Keuangan adalah soal na heik na hak, yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Menurut saya, pemberian penghargaaan (award) bagi Keujruen Blang dan Panglima Uteun terbaik setiap tahunnya akan berdampak lebih baik  pada kinerja mereka dibandingkan dengan pemberian honorarium bulanan. Pada saat ini, pemerintah melalui Dinas Kehutanan telah memberikan honorarium kepada seluruh Panglima Uteun. Ironisnya, kemudian pemerintah tidak mempunyai alokasi dana untuk membantu operasional atau program kerja mereka. 

Seharusnya Pemerintah memahami bahwa perannya adalah untuk meningkatkan kinerja Panglima Uteun sehingga prioritas program pembangunan diarahkan ke bantuan di bidang operasional. Misalnya saja alokasi dana untuk patroli atau pengawasan di hutan, atau biaya untuk membeli mercon yang digunakan untuk mengusir gajah. Yang sangat kita kuatirkan adalah rusaknya mentalitas Panglima Uteun akibat kebijakan honorarium tersebut, melahirkan iklim bahwa posisi Panglima Uteun adalah posisi yang basah, dan seterusnya. Semoga saja hal ini tidak terjadi. Amin.

Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc., Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: rkhathir79@gmail.com

(Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/06/25/keujruen-blang-dan-panglima-uteun)