Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan

10 Februari 2017

Bumerang Dana Desa

"Kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa.”

Dana Desa

Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tetapi tak ada kesempatan, tidak jadi korupsi. Ada kesempatan tetapi tidak ada niat, juga tidak akan terjadi korupsi. Adanya niat dan kesempatan itulah yang menyebabkan banyak kepala desa (kades), misalnya, melakukan korupsi dana desa. 

Seperti disampaikan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, setelah KPK menerima kunjungan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo untuk koordinasi pencegahan penyimpangan dana desa, Rabu (1/2), ada indikasi penyimpangan dana desa yang disebabkan oleh sistemnya.

Bolong-bolong sistem dalam pengelolaan dana desa itulah yang menjadi kesempatan penyimpangan dana desa. Sepanjang 2016, KPK menerima 362 laporan masyarakat terkait dengan dana desa. Dari 362 laporan itu, 141 laporan direkomendasikan ditelaah, dan dari keseluruhan yang telah ditelaah, ada 87 laporan yang dikaji lebih dalam. Sebanyak 87 laporan inilah yang akan diusut KPK. Pasal 11 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang; a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penagak hukum atau penyelenggara negara; b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar. Apakah kades termasuk penyelenggara negara?

Sesuai dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kades tidak termasuk pejabat negara. Adapun Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan, ”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Apakah kades termasuk ke dalam Pasal 1 angka 1 UU No 28/1999 tersebut? Masih debatable.

Katakanlah tidak termasuk penyelenggara negara, dan nilai korupsinya pun tak sampai Rp1 miliar, namun bila kasusnya menarik perhatian yang meresahkan masyarakat, kades tetap bisa dijerat oleh KPK, bahkan meskipun terjadi di sebuah desa terpencil nun jauh dari Jakarta. Bagaimana dengan niat?

Niat ini relatif, karena adanya di dalam hati. Namun, bila melihat besarnya dana desa, bisa jadi seseorang yang semula tidak berniat korupsi kemudian timbul niat.

Tiap Tahun Naik

Setiap tahun Presiden Joko Widodo dan DPR RI menaikkan anggaran dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2015, dana desa sebesar Rp 20,8 triliun, tahun 2016 naik menjadi Rp 46,96 triliun, tahun 2017 ini naik menjadi Rp 60 triliun, dan tahun depan akan naik lagi menjadi Rp 120 triliun.

Saat ini, dana desa yang diterima rata-rata mencapai Rp 800 juta per desa, dan akan ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar per desa. Ini belum ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah per desa. Bayangkan, sebuah desa yang biasanya berkutat dengan anggaran puluhan atau ratusan juta rupiah, kini harus mengurus anggaran miliaran rupiah. Ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kades atau pejabat desa lainnya, sehingga kemudian timbul niat untuk korupsi. Apalagi, dana yang harus dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saat ini, terutama untuk ”serangan fajar”, ralatif tinggi, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah.

Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, seorang calon kades bisa menghabiskan uang hingga Rp 3 miliar. Bila dilihat dari gaji atau ìbengkokî dan fasilitas lainnya yang diterima kades, secara logika, tak mungkin dana sebesar itu bisa kembali atau break effent point (BEP) dalam 6 tahun masa jabatan kades. Satu-satunya jalan agar kembali modal adalah korupsi.

Maka tak heran bila saat ini banyak kades yang terlibat korupsi dana desa. Niat dan kesempatan kian sempurna bila berpadu dengan ketidakmampuan kepala desa dalam mengelola anggaran, dan kekuasaan yang dimiliki kepala desa yang hanya dikontrol oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) yang biasanya anggota dan pimpinannya adalah orang-orang dekat kades. Kesalahan administrasi saja bisa mengantarkan kades ke penjara. Di sisi lain, kekuasaan yang dimiliki kades, sebagaimana dalil Lord Acton (1834-1902) ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak cenderung korup mutlak pula), juga bisa mengantarkan kades ke penjara. Membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah satu poin Nawa Cita Presiden Jokowi.

Ini selaras dengan lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa yang sebelumnya tidak punya banyak dana, sekarang berlimpah dana. Akankah melimpahnya dana desa tersebut menjadi bumerang yang mencelakakan kades dan rakyatnya?

Bisa jadi, terutama bila kades kurang berhati-hati. Sebab itu, kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa. KPK juga sudah mengimbau agar masyarakat dilibatkan dalam pengawasan dana desa.

Pendampingan harus dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, termasuk dalam menyusun pelaporan dan pertanggungjawabannya. Di sisi lain, kita berharap para kades membekali diri dengan kemampuan manajemen dan administrasi keuangan. Melawan korupsi tidak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan pencegahan. Bahkan mencegah lebih baik daripada mengobati.[]

Oleh Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 
Peneliti Senior di LIPI, Koran Sindo, 10/02/2017.

30 Desember 2016

Resolusi Implementasi Dana Desa 2017

“Korupsi dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol dan partisipasi yang lemah masyarakat desa.”
Korupsi dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol dan partisipasi yang lemah masyarakat desa
Dana Desa/Ilustrasi
Pemerintah pusat berencana menaikkan volume dana transfer ke desa atau dikenal sebagai dana desa menjadi Rp 60 triliun pada 2017. Dengan anggaran Rp 60 triliun bagi 74.000 desa seluruh Indonesia, tiap desa minimal akan mendapatkan jatah anggaran Rp 800 juta/ tahun. Hal itu akan menambah pos pendapatan APBDes yang diperkirakan Rp 1,5 miliar - Rp 2 miliar.

Alokasi anggaran dana desa (DD) dari APBN 2016 sebesar Rp 46,7 triliun telah sukses berhasil memperkuat postur APBDes. APBDes untuk setiap desa di Jawa rata-rata memiliki pos pendapatan hampir Rp 1 miliar. Mengingat selain memperoleh dana desa dari Pemerintah Pusat, desa juga mendapat kucuran dana transfer daerah dari persentase dana alokasi umum minimal 10% dikurangi beban belanja pegawai. Rata-rata desa di Jawa Tengah pos pendapatan dana transfer daerah atau yang dikenal Alokasi Dana Desa ADD) minimal Rp 400 juta/desa.

Belum lagi dari pendapatan asli desa dan pendapatan bagi hasil pajak-retribusi daerah untuk desa yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pertanyaannya?

Efektifkah dan tepat ke programankah penggunaan dana desa dan alokasi dana desa bagi pelaksanaan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan? Sepanjang 2016 harus diakui penggunaan dana desa dan alokasi dana desa baru efektif untuk mendanai program pembangunan fisik yang dirumuskan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).

Program pembangunan desa menjadi orientasi pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa. Efek surat edaran Menteri Desa dan PDTT 2015 yang mendorong optimalisasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur desa masih dijadikan acuan dalam pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa untuk Tahun Anggaran 2016. Bagi desa penggunaan dana desa atau alokasi dana desa untuk proyek pembangunan fisik lebih mudah dalam eksekusi dan pelaporan administrasi.

Proyek pembangunan fisik dipersepsikan lebih jelas tolok ukur capaian dan dimensi keberhasilannya. Sekaligus sebagai media untuk memperbaiki fasilitas infrastruktur desa yang tidak layak di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pertanian. Paham developmentalisme dalam pengelolaan dana desa atau alokasi dana desa lebih merasuki pengambil kebjakan anggaran di desa.

Desa diprioritaskan menjadi ruang untuk segala program pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat desa. Hal itu tidak salah tapi belum sepenuhnya tepat dalam filosofi penganggaran desa. Sesuai dengan mandat UU Nomor 6 Tahun 2014, program transfer fiskal dari Pemerintah Pusat, dana desa digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat demi kesejahteraan sosial, ekonomi, selain pembangunan dan pembiayaan operasional pemerintah desa.

Kepentingan Birokrasi

Sayang penggunaan dana desa atau alokasi dana desa lebih berat pada kepentingan birokrasi pemerintahan desa, kewajiban penyerapan anggaran dana desa atau alokasi dana desa 30 % untuk belanja operasional pemerintah desa lebih diprioritaskan.

Demikian dengan anggaran untuk pembangunan fisik yang eksekutornya adalah pelaksana kegiatan yang keanggotannya juga terdiri atas aparatur desa. Namun, inovasi program dalam skema pemberdayaan masyarakat serta penanggulangan kemiskinan masih belum optimal.

Paradoks pengelolaan dana desa selama 2016 adalah partisipasi masyarakat yang minim dari mulai tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Sesuai dengan kaidah aturan dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, peran masyarakat sebatas pada usulan kegiatan dan anggaran dalam forum musyawarah pembangunan desa. Namun, dalam tahap krusial yakni penyusunan RPJMdesa, RKPdesa dan yang utama RAPBDes masyarakat desa kurang mendapatkan ruang untuk berpartisipasi.

Tim penyusun RPJMDesa, RKPDes, dan RAPBDes adalah aparatur pemerintah desa dan elite desa yang terpresentasikan dari keterwakilan LPM dan BPD. Sangat jauh dari konsep partisipasi keprograman di dalam PNPM Mandiri Perdesaan, pada 2007-2014 saat partisipasi masyarakat mendapatkan ruang optimal dalam tahapan musyawarah desa perencanaan, musyawarah desa sosialisasi, musyawarah desa penetapan sampai musyawarah desa pertanggungjawaban.

Partisipasi dan aspirasi masyarakat di dalam musyawarah desa yang menentukan dalam produksi kebijakan pembangunan desa. Pada era UU Nomor 6 Tahun 2014, partisipasi dan aspirasi masyarakat desa yang diwadahi dalam musrenbang desa berkesan formalitas dan tidak menentukan dalam kebijakan program dan anggaran.

Pengelolaan dana desa 2016 juga penuh dengan masalah penyalahgunaan. Banyak kepala desa dan aparatur desa yang terkena perkara hukum tindak pidana korupsi dana desa atau alokasi dana desa sebagai akibat pengawasan yang lemah dari pemangku kepentingan di desa dan masyarakat desa.

Oleh Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran Desa, Alumnus FISIP Undip. (Sumber: Suara Merdeka)

14 Desember 2016

Efektivitas Kelola Dana Desa

Pemerintah pusat merencanakan menambah alokasi anggaran dana desa untuk tahun 2017 jadi Rp 60 triliun. Alokasi anggaran Rp 60 triliun merupakan peningkatan signifikan dari volume anggaran Rp 46,7 triliun yang diperuntukkan bagi 74.000 desa selama tahun 2016. Belum cukup dengan rencana anggaran Rp 60 triliun, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT juga menebar janji akan mengalokasikan dana desa Rp 120 triliun tahun 2018.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT
Desa Berdaulat/Ilustrasi: Ist
Janji manis peningkatan besaran transfer fiskal dana desa merupakan simalakama politik. Pemerintah pusat terlampau menganggap mudah implementasi pengelolaan dana desa yang di tingkat bawah masih banyak kelemahan dalam hal teknis dan orientasi kepatuhan pada regulasi. Belum lagi, kucuran dana desa meningkatkan tendensi korupsi di lingkup pemegang kuasa pengelolaan dana desa.

Dalam realitas, pengelolaan dana desa yang diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2015 banyak dimensi kelemahan. Kelemahan ini membuat efektivitas pengelolaan dana desa tidak sesuai harapan. Dana desa yang diperuntukkan bagi 74.000 desa, di mana masing-masing mendapatkan "jatah" rata-rata Rp 550 juta-Rp 750 juta, tidak mampu untuk memfasilitasi program pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.

Kedua, ketidakpahaman regulasi dan kebijakan kelola dana desa. Banyak desa pemerintah desa yang tidak paham tentang substansi dan imperatif teknikalitas tentang aturan hukum dan panduan komprehensif dalam pengelolaan dana desa, sehingga pemahaman pengelolaan dana desa terbatas hanya seputar pengajuan pencairan dana desa, perumusan alokasi kegunaan dana desa, dan pelaporan administratif. Tidak memahami substansi dana desa sebagai media penguatan fungsi dan kinerja pemerintahan desa dan serangkaian program pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, lemahnya pengawasan publik. Dalam eksekusi dana desa selama 2015 dan 2016, banyak ditemukan praktik kecurangan dan tendensi penyimpangan. Hal ini akibat lemahnya pengawasan publik. Masyarakat desa, terutama pelbagai organisasi sektoral dan organisasi masyarakat sipil, belum memiliki kesadaran pengawasan anggaran. Standar melek anggaran masyarakat desa masih rendah sehingga tidak mengerti bahwa desa mereka memiliki alokasi dana yang besar yang seharusnya cukup untuk menjalankan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Angka kemiskinan meningkat 

Ketidakefektifan pengelolaan dana desa tecermin dari hadirnya realitas sosiologis berupa meningkatnya angka kemiskinan di desa. Angka kemiskinan di desa meningkat karena ketidakmampuan desa dalam mendorong peningkatan aktivitas ekonomi produktif bagi masyarakat miskin. Desa tidak mampu memfasilitasi program jaminan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin yang idealnya dianggarkan dalam skema dana desa (APBDes).

Dana desa justru lebih cenderung menjadi instrumen fiskal yang membawa kemakmuran atau peningkatan pendapatan aparatur pemerintah desa melalui pos belanja operasional dan formula tunjangan penghasilan tetap. Dana desa hanya efektif untuk pembiayaan belanja rutin pemerintah desa dan bukan untuk fasilitasi kebutuhan masyarakat desa.

Untuk meningkatkan efektivitas kelola dana desa, pemerintah pusat Kementerian Desa dan PDTT dituntut untuk membuat evaluasi menyeluruh tentang implementasi dana desa sepanjang 2015 dan 2016. Menemukan kegagalan sistemik, budaya dan aplikasi kelola dana desa. Selanjutnya, menetapkan skema regulasi teknis sebagai handbook (buku panduan) dalam pengelolaan dana desa yang jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun.

Program pengawasan terpadu kelola dana desa juga perlu dibuatkan landasan regulasi yang tegas dan jelas sehingga komunitas pendamping desa, organisasi masyarakat sipil di desa, dan representasi masyarakat desa bisa melaksanakan pengawasan tata kelola dana desa. Mereka memiliki posisi tawar untuk mengkritik dan mengoreksi penyimpangan kelola dana desa. Sangat sulit pengawasan kelola dana desa diserahkan kepada institusi penegak hukum dan lembaga pengawas birokrasi, seperti inspektorat atau BPKP.

Efektivitas kelola dana desa juga membutuhkan inovasi, seperti pelaksanaan program sistem informasi keuangan desa (Siskeudes), E-budgetingdana desa (APBDes), ataupun penguatan sistem informasi desa, sehingga tata kelola desa bisa terakses dan termonitor oleh masyarakat desa. Dana desa sangat penting menjadi piranti sosial untuk kesejahteraan masyarakat desa dan merealisasikan konsepsi membangun dari desa (pinggiran).

Oleh Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran (Forkata) Magetan. (Kompas edisi 13 Desember 2016).

21 November 2016

Reformasi Koperasi untuk Ekonomi Desa

Dalam visinya koperasi dicita- citakan sebagai "soko guru perekonomian Indonesia". Namun, dalam realitasnya hinggakini, koperasi baru hanya menjadi "sapu lidi" yang menghimpun yang kecil dan lemah. Padahal, menurutKetua Dekopin Nurdin Halid, koperasi "pilar negara". Bersama sektor negara dan sektor swasta, koperasi berada di buritan perkembangan ekonomi nasional.

Mengingat usinya yang hampir satu abad sejak tahun 1947, gerakan koperasi tidak bisa hanya merasa prihatin, tetapi juga harus memikirkan suatu gerakan reformasi dengan memahami persoalan yang dihadapi guna melakukan repositioning dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Pokok persoalan

Walaupun dalam kenyataannya, koperasi merupakan sektor yang paling tertinggal, pemerintah sering membanggakan "prestasi" koperasi, yang jumlah unitnya mencapai 209.488 dan anggotanya mencapai 36.443.953 pada tahun 2014. Namun, jika dihitung rata-rata jumlah anggotanya, hanya 174 orang per unit. Padahal, pada masa Orde Baru, jumlah anggota koperasi unit desa (KUD) ditargetkan minimal 2.000 orang per unit.

Jumlah unit yang aktif diklaim mencapai 70 persen. Namun, jika dilihat dari data yang melakukan rapat anggota tahunan, hanya 38 persen. Ini artinya yang aktif hanya 38 persen sehingga yang tidak aktif 62 persen. Yang tidak aktif ini karena tidak memiliki program yang dijalankan sehingga tidak ada yang bisa dilaporkan dalam rapat anggota tahunan. Atau manajemen tidak mampu melaksanakan program yang realistis. Yang tidak melakukan rapat anggota tahunan berarti tidak transparan dan akuntabel. Karena tidak memiliki kegiatan, sisa hasil usaha (SHU) per koperasi juga kecil, rata-rata Rp 71 juta per unit dan per anggota hanya Rp 408.000 per tahun atau Rp 34.000 per bulan per anggota. Dengan ukuran upah minimum regional, yang terkecil adalah di Provinsi Maluku Utara, yaitu Rp 1.681.266, dan tertinggi Provinsi DKI Jakarta Rp 3,1 juta. Hal tersebut menunjukkan koperasi Indonesia adalah organisasi "soko lidi" yang terdiri dari koperasi-koperasi kecil dan lemah.

Kunci kekuatan koperasi sebenarnya adalah persatuan dari yang lemah atau yang miskin apalagi yang pendapatan per kapita anggotanya besar, sebagaimana dikatakan ahli koperasi Jerman, Hanna. Koperasi dengan jumlah anggota minimal 2.000 orang adalah mungkin karena penduduk per kecamatan di Jawa 30.000-40.000 orang. KoperasiCredit Union (CU), umpamanya, jumlahnya hanya 917 unit. Namun, jumlah anggotanya mencapai 2.500-7.200 orangatau rata-rata 2.760 orang.

Koperasi CU terbesar adalah Lantang Tipo dari Kalimantan Baratdengan jumlah anggota 123.777 orang, sedangkan yang terkecil koperasi Papa Diwi dari Maumere,Nusa Tenggara Timur, dengan jumlah anggota 1.003 orang dengan nilai aset Rp 2,230 miliar, jadi hampir tiga kali lipat dari modalkoperasi nasional yang besarnya hanya Rp 958 juta. Jumlah anggota koperasi menunjukkan adanya semangat berkoperasi, justru di desa miskin di Kalimantan Barat atau NTT. Masalahnya adalah kemampuan mengorganisasikan anggota masyarakat.


Nilai aset CU total pada tahun 2015 sebesar Rp 23 triliun atau rata-rata Rp 23.191.276.Ini menunjukkan bahwa CU adalah unit usaha keuangan mikro, sebagai organisasi sapu lidi. Namun, dengan penggabungan koperasi primer dalam satuan kecamatan, koperasi akan bisa membentuk usaha skala menengah, bahkan besar dengan nilai aset kira-kira Rp 2,3 miliar. Demikian juga jika jumlah anggota bisa ditingkatkan.

Arah reformasi

Berdasarkan realitas di atas, maka arah reformasi koperasi, pertama-tama adalah peningkatan kapasitaskelembagaan(institutional capacity building) dengan perbaikan tata kelola koperasi yang baik (good cooperative governance), yaitu dengan penerapan prinsip-prinsip transparansi melalui rapat anggota, akuntabilitas dengan memilih tenaga-tenaga profesional, kewajaran (fairness) dengan memberikan renumerasi terhadap tenaga-tenaga profesional dan independensi dengan memilih ketua dan manajer koperasi kompeten dan berintegritas.

Dengan peningkatan tata kelola koperasi itu, target pertama yang perlu ditetapkan adalah peningkatan jumlah anggota minimal 2.000 orang. Berdasarkan pengalaman BMT INTI Yogyakarta yang berbasis usaha asuransi mikro, dengan cara menabung sedekah harian Rp 500, dapat dihimpun modal yang mencukupi untuk memberikan fasilitas kredit mikro hingga Rp 5 juta kepada 2.000 pengusaha mikro anggota koperasi sehingga jumlah anggota keseluruhan adalah 4.000 orang. Karena itu, target koperasi selanjutnya peningkatan aktivitas koperasi dengan cara menabung, dengan berbagai metode dengan cara mencontoh CU.

Berdasarkan pengalaman CU di daerah-daerah miskin, maka masyarakat memiliki banyak kesempatan usaha produktif di bidang pertanian dan kehutanan yang menghasilkan bahan mentah. Dengan hasil tersebut, keuntungan koperasi sangat terbatas. Karena itu, yang perlu dikembangkan di daerah perdesaan adalah industri pengolahan hasil- hasil pertanian dan kehutanan, sebagai disarankan oleh Bung Hatta, guna menciptakan nilai tambah. Dengan meningkatnya nilai tambah tersebut, volume usaha koperasi menjadi membesar sehingga, sebagaimana disarankan Bung Hatta, koperasi bisa berfungsi menjadi lembaga pembentukan modal (capital formation).

Dewasa ini, Bank Indonesia dan Bank Dunia memprihatinkan ketidakmampuan perbankan dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap pelayanan keuangan. Sebenarnya koperasi adalah lembaga ekonomi perdesaan yang mampu melakukan inklusi keuangan itu. Namun, koperasi harus mampu menghimpun modal murah. Dewasa ini permodalan koperasi masih 47 persen tergantung dari luar, khususnya pemerintah.


Karena itu, sasaran reformasi koperasi ketiga adalah memperkuat modal. Berdasarkan sistem perbankan, koperasi dewasa ini sebenarnya tidak memiliki modal karena yang dihitung sebagai modal adalah simpanan, kecuali simpanan pokok yang bisa dianggap sebagai modal yang jumlahnya kecil. Sebenarnya simpanan adalah dana pihak ketiga (DPK). Agar menjadi pruden, nilai modal paling tidak 12 persen dari nilai aset yang membentuk faktor kecukupan modal.

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yang sekarang masih berlaku sebelum ada UU pengganti yang baru,memberi kesempatan kepada koperasi untuk menerbitkan saham guna memperkuat permodalan.

Dalam pengalaman koperasi kelapa sawit rakyat Setia kawanBatulicin, Kalimantan Selatan, koperasi tidak berhasil memperoleh kredit start up dari bank untuk mendirikan industri pengolahan hasil kelapa sawit. Namun, dengan menerbitkan saham Rp 2,5 juta per lembar, terjual 52.000 lembar saham senilai Rp 130 miliar yang mencukupi sebagai modal mendirikan industri kelapa sawit skala besar. Di Israel, pemerintah mendirikan lembaga keuangan start up guna membiayai inovasi sehingga bisa melahirkan usaha baru lewat lembaga inkubasi. 

Dengan demikian, maka sasaran reformasi koperasi adalah, pertama, perbaikan tata kelola koperasi. Kedua, peningkatan jumlah anggota koperasi per unit. Ketiga, membentuk modal dan keempat membentuk industri pengolahan guna menciptakan nilai tambah. Kelima, membentuk lembaga inkubasi koperasi.

Dengan reformasi tersebut, pengembangan "koperasi sapu lidi" akan membuka jalan bagi terbentuknya koperasi "soko guru"ekonomi perdesaan.[]

Oleh M. Dawan Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta. 
(Sumber: Kompas, Edisi 21 November 2016).

18 November 2016

Korupsi Anggaran Desa

Praktik korupsi anggaran desa semakin meningkat sejalan dengan membesarnya kucuran dana transfer pusat dan daerah. Dana transfer dari pemerintah pusat, yakni dana desa, tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun yang diberikan bagi sekitar 74.000 desa seluruh Indonesia.
Ilustrasi/Anak Desa
Setiap desa denganrumus perhitungan anggaran mendapatkan kucuran dana desa (DD) rata-rata Rp 650 juta per tahun. Sementara kucuran dana transfer daerah dalam wujud alokasi dana desa (ADD) bervariasi besarannya. Di Jawa Tengah, besaran ADD setiap desa rata-rata Rp 100 juta-Rp 400 juta per tahun.

Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dari sisi penerimaan hampir mencapai Rp 1 miliar, yang bersumber dari DD, ADD, ataupun dana bagi hasil pajak daerah. Anggaran sebesar itu mendorong perilaku penyimpangan anggaran oleh jajaran aparatur desa, khususnya kepala desa. Alhasil, seperti diberitakan harian ini, praktik korupsi DD dengan aktor kepala desa dan perangkat desa kurun 2015-2016 semakin sering terjadi dan beberapa menjadi kasus hukum yang disidang di Pengadilan Tipikor (Kompas, 9/9).

Modus penyalahgunaan

Modus penyalahgunaaan APBDes, khususnya DD ataupun ADD, bisa dibedakan menjadi beberapa kasus. Pertama, pemangkasan anggaran publik untuk kepentingan perangkat pemerintahan desa. Anggaran publik yang dipangkas adalah anggaran dalam APBDes yang peruntukannya untuk mata anggaran pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Pemangkasan anggaran tak memperhatikan skema APBDes atau mengabaikan landasan ”ideal” anggaran, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa.

Kedua, penjarahan anggaran operasional pemerintahan desa. Penjarahan anggaran operasional pemerintahan desa biasanya dilakukan kepala desa. Kepala desa yang dalam aturan Permendagri No 113/2015 diposisikan sebagai pemegang kuasa pengelolaan keuangan desa dengan sewenang- wenang menggunakan anggaran yang peruntukannya untuk kepentingan membiayai administrasi program pemerintahan desa untuk kepentingan memperkaya diri. Sebagai catatan, pos mata anggaran untuk operasional pemerintahan desa termasuk untuk penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa persentasenya cukup besar, yakni 30 persen dari DD dan ADD.

Ketiga, permainan proyek anggaran kegiatan. Aktor pelaku korupsi dan penyimpangan anggaran desa (APBDes) mempermainkan proyek kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan fisik di desa. Modus yang digunakan, mengurangi volume anggaran untuk butir-butir kegiatan atau melakukan efisiensi dalam plafon anggaran yang tak sesuai perencanaan yang tertuang dalam APBDes ataupun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

Menyuburnya korupsi anggaran desa disebabkan lemahnya kontrol dan pengawasan dari masyarakat. Masyarakat desa belum memiliki kesadaran untuk ”melek” anggaran, termasuk mereka yang menjadi bagian organisasi masyarakat sipil di desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Alhasil, kekuasaan kepala desa yang begitu dominan dalam pengelolaan anggaran desa membuat fungsi BPD jadi lemah.

BPD seolah menjadi lembaga stempel kebijakan perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran desa, tetapi tak memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi sosial dan sanksi administrasi pemerintahan. BPD dalam skema UU No 6/2015 seolah hanya menjadi institusi partner pemerintah desa dan bukannya lembaga legislasi desa.

Sistem kelola anggaran

Korupsi atau penyalahgunaan anggaran desa sebenarnya bisa ditelisik dalam dimensi paradigma kelola anggaran desa. Paradigma kelola anggaran desa yang baik dan akuntabel adalah yang memiliki karakter transformatif pro yuridis: patuh, taat, dan disiplin sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan.

Acuannya teknis pelaksanaan adalah Permendagri No 113/2015 mengenai Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri No 114/2015 tentang Pembangunan Desa. Dimensi transformatifnya adalah dalam perencanaan anggaran desa yang melibatkan partisipasi masyarakat desa dalam forum musyawarah pembangunan desa. Masyarakat juga diberi ruang dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran desa.

Adapun paradigma kelola anggaran yang cenderung tidak berkembang adalah berwatak administratif-birokratis. Pengelolaan anggaran yang dilaksanakan kepala desa dan aparatur pemerintah desa kebanyakan orientasinya text book. Dari alur perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban disesuaikan dengan hal yang bersifat teknis dan rigid, yang diatur dalam regulasi pemerintah pusat, baik dalam peraturan pemerintah, permendagri, maupun permendesa.

Paling memprihatinkan adalah paradigma kelola anggaran yang bersifat distortif-koruptif. Pengelolaan anggaran oleh pemerintah desa kepala desa dan aparatur desa yang seolah mematuhi ketentuan regulasi pengelolaan anggaran, tetapi sesungguhnya sekadar artifisial, sekadar mematuhi tahapan pengajuan anggaran, penyusunan anggaran, dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran. Namun, dalam implementasi anggaran justru terjadi penyimpangan secara sistematis dengan ditutupi dokumen ”aspal” (asli tapi palsu). Kelincahan pelaku penyimpangan anggaran desa dalam menyusun pertanggungjawaban administrasi keuangan desa semakin membantu praktik korupsi DD.

Watak feodalisme kepemimpinan kepala desa secara tak langsung menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi dan penyimpangan anggaran desa. Kepala desa yang ”feodal” menganggap personalitas dirinya sebagai ”raja kecil” dalam struktur pemerintahan desa. Menginterpretasikan otonomi desa dan hak asal-usul desa sesuai kepentingan pribadi dan kelompok, bukannya masyarakat desa.

Untuk itulah, dalam rangka mencegah korupsi anggaran desa dan mengembalikan marwah anggaran desa untuk kepentingan masyarakat desa, dibutuhkan monitoring berbasis komunitas. Aktor yang harus aktif berperan adalah organisasi kepemudaan, organisasi sosial masyarakat, akademisi, dan media. Monitoring pengelolaan keuangan desa diperlukan untuk mengeliminasi anggaran desa yang semakin besar dari indikasi korupsi dan kebocoran. Monitoring berbasis komunitas adalah amanah konstitusi agar visi pembangunan desa memuliakan martabat dan hak masyarakat desa.

Yang lebih penting dari pembaruan paradigma anggaran desa dan monitoring masyarakat adalah aktualisasi dari semangat: stop korupsi anggaran desa!

Oleh Trisno Yulianto 
Koordinator Kajian Transparansi Anggaran Desa (FORKATA) Magetan, Alumnus FISIP Undip. (Sumber: Kompas cetak, 17 November 2016)

27 Oktober 2016

Desa dalam Rezim Pemerintahan

Seraya membuka pintu calon kepala desa dari luar wilayah, Mahkamah Konstitusi menegaskan desa sebagai mata rantai terbawah rezim pemerintahan. Tafsir MK ini condong kepada paradigma local self-government ketimbang self-governing community sebagaimana termaktub pada penjelasan UU No 6/2014 tentang Desa.
Ilustrasi
Tindak lanjut putusan MK dalam edaran Kemendagri terfokus pada kebebasan calon luar dalam pemilihan kepala desa. Ini tidak memadai karena MK menorehkan yurisprudensi tata kelola desa masuk hierarki pemerintahan. Guna mengantisipasi efek negatif birokratisasi atas ke bawah ini, deliberasi politik harus dikembangkan sampai ke desa.

Putusan MK

Sejak 1970-an, percepatan kemajuan desa dilumasi pihak luar, seperti pedagang dan penyuluh lapangan. Migran asal desa juga mengobarkan pembaruan. Inilah basis sosiologis saat MK menganulir Pasal 50 UU No 6/2014. Mulai 23 Agustus 2016, peserta pilkades boleh dari luar desa.

Di sisi seberang, putusan MK membuka peluang calon titipan pejabat kabupaten, provinsi, atau pusat. Apalagi, pencitraan calon baru kepada 4.000-an pemilih di wilayah sesempit desa mudah disusun selama 2-3 bulan.

Ini melengkapi kasus campur tangan pemerintah daerah dalam pilkades. Pengunduran waktu pilkades membuka hak bupati menempatkan aparat kabupaten sebagai pejabat sementara kepala desa.

Taktik ini memastikan kepentingan kabupaten dijalankan desa, tapi pada 2015 sempat menggagalkan pencairan dana desa (DD). Musababnya, pejabat sementara dilarang meresmikan rencana pembangunan jangka menengah desa, serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Padahal, kedua dokumen menjadi syarat pencairan DD.

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), gula-gula disalurkan ke desa, tapi ditarik kembali setelah kepala daerah terpilih. Nurul Syaspri Akhdiyanti (2015) mencatat, alokasi dana desa (ADD) dari kabupaten dan provinsi melonjak menjelang pilkada, tapi menguncup dua tahun berikutnya. Penerbitan peraturan bupati sebagai landasan legal pencairan DD juga sempat dipadati citra perhatian petahana kepada desa.

Intervensi pemerintah dalam politik desa bermula dari manipulasi kajian Clifford Geertz (1965), kala menemukan elite beserta rakyat desa masa bodoa (pasif) terhadap politik. Pemerintahan Soeharto menyucikan ruang kosong massa mengambang itu dari partai politik, tapi memenuhinya dengan kader politik pemerintah penggerak teritorial desa.

Selama masa reformasi, pendamping ganti menguasai desa melalui seleksi akses sumber daya pembangunan.

Agar udara politik desa kembali sehat, taktik pelambatan pilkades, ADD, dan DD harus dicegah melalui batasan waktu penyusunan turunan peraturan di daerah. Jika pemerintah daerah tidak mengatur hingga periode tertentu, maka otomatis berlaku aturan pemerintah pusat. Adapun pencitraan calon kepala desa dapat dilunturkan melalui luberan informasi dari berbagai media, sehingga warga berkesempatan membanding data yang satu dengan lainnya.

Deliberasi pemerintahan

MK mengonstruksi desa jadi kepanjangan tangan terbawah fungsi-fungsi resmi pemerintahan negara. Pemerintahan desa tidak lagi terpisahkan dari sistem pemerintahan Indonesia. Satuan pemerintahan desa berkedudukan sebagai unit terbawah organisasi pemerintahan daerah.

Konstruksi legal itu memusat pada peran Kemendagri sebagai poros pemerintahan dari pusat sampai daerah serta koordinator instansi teknis secara horizontal. Sayang, realitasnya sulit dilaksanakan karena sejak 2014 berdiri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sisa konflik antarkementerian masih menyisakan paradoks: Kemendagri berwenang atas 19 aspek penataan desa, tapi pendanaannya sepersepuluh Kemendesa PDTT yang mengelola tiga wewenang saja.

Kerja sama antar kementerian utama penataan desa terhalang posisi pada kementerian koordinator dan komisi legislatif yang berlainan. Sebenarnya, tata naskah tiap kementerian menyajikan celah koordinasi, yaitu seluruh aturan penataan desa disusun kembali sebagai peraturan bersama Mendagri, Mendesa PDTT, Menkeu, dan Bappenas. Alternatifnya, menetapkan peraturan presiden bagi 22 urusan penataan desa sebagaimana tercantum pada PP No 47/2015.

Mengikuti konstruksi MK tentang posisi desa, harmonisasi aturan harus dikaitkan dengan peran pemerintah provinsi dan kabupaten. Sesuai UU No 6/2014, peraturan bersama menteri atau peraturan presiden harus memastikan pemerintah daerah memenuhi hak desa atas status hukum, pencairan DD dan ADD, pilkades, serta pembangunan pedesaan.

Agar penguatan pemerintahan desa tak abaikan masyarakat, keputusan yang berkonsekuensi pada aset desa dan kesejahteraan rakyat harus dimusyawarahkan bersama warga. Norma yang diacu ialah partisipasi warga dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh: IVANOVICH AGUSTA, Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Sumber: Kompas cetak, 26 Oktober 2016

BPD, Lembaga Demokrasi Desa yang Terlupakan

Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances, sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan.

Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, UU No. 6/2014 tentang Desa (UU Desa) mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang dapat menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dimana warga desa memiliki kedudukan yang setara dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Dalam konteks ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi penting karena keberadaannya sebagai representasi warga desa.

Demokrasi desa sendiri sejatinya telah diafirmasi sejak awal reformasi bergulir, tepatnya melalui UU No. 22/1999. Didorong oleh semangat mengevaluasi pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik, UU No. 22/1999 mengusung penguatan tatakelola pemerintahan lokal melalui prinsip demokrasi, termasuk pemerintahan Desa di dalamnya. Dalam konteks itulah kemudian UU No. 22/1999 memandatkan pembentukan Badan Perwakilan Desa yang menjalankan fungsi sebagai parlemen desa. 

Di masa Orde Baru, dimana Desa diposisikan sebagai perpanjangan administrasi pemerintah pusat, dapat dipastikan tidak tumbuh demokrasi di level desa. Berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah desa tidak lain didasarkan sepenuhnya pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Meskipun sebenarnya pada saat itu di desa terdapat lembaga serupa BPD yaitu Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 5/1979, namun sebagaimana yang terjadi pada parlemen di level nasional, LMD pun menjadi lembaga demokrasi yang semu.

Keberadaan dan fungsi Badan Perwakilan Desa tetap dipertahankan setelah UU No. 22/1999 diganti menjadi UU No. 32/2004, meskipun secara harfiah mengalami perubahan sebutan menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Sebutan ini tetap dipertahankan di bawah pengaturan UU Desa sekarang ini. Mengingat keberadaannya yang sudah cukup lama, semestinya BPD telah menjadi lembaga yang relatif mapan dalam memperkuat proses demokrasi di desa. Terlebih setelah diperkuat secara normatif oleh UU Desa, BPD semestinya menjadi poinir dalam mendorong kemandirian desa sebagaimana yang dikehendaki oleh UU Desa.

Kurang Optimal BPD Menjalankan Fungsinya

Namun di sisi lain, meskipun memiliki posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO terhadap dua desa masing-masing di kabupaten Kebumen, Bantul dan Siak. Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, menurut UU Desa BPD memiliki tiga fungsi, yaitu 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. 
Penelitian PATTIRO menunjukkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut.

Dalam fungsinya sebagai pihak yang membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD tidak lebih proaktif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan dapat saja diajukan oleh BPD namun pada kenyataannya lebih sering rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada kasus yang lain, rancangan Perdes yang telah dirumuskan dan diajukan oleh Kepala Desa gagal disahkan karena BPD tidak kunjung membahasnya. Kondisi ini menyebabkan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Aanggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

Dalam hal menampung aspirasi warga, BPD masih kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Ini dapat dilihat dari kecenderungan warga desa yang lebih memilih menyampaikan aspirasinya kepada orang yang dianggap dekat secara kekuasaan dengan kepala desa, dengan harapan bahwa orang tersebut akan menyampaikannya langsung kepada kepala desa. Ada juga warga yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Panggungharjo, justru aspirasi warga disampaikan kepada para penarik sampah yang mendatangi rumah penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yang bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tersebut memang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Desa untuk menjalankan peran sebagai wakil desa untuk menampung aspirasi dan masalah warga. Menurut kepala desa Panggungharjo, melalui mekanisme semacam ini pemerintah desa pernah mengatasi masalah warga yang terjerat rentenir.

Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memberikan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban kepada bupati cenderung dianggap penting ketimbang kepada BPD, karena menganggap laporan kepada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dari data yang ada terungkap bahwa hubungan antara BPD dan Pemdes cenderung “harmonis”, tidak ada suatu wacana kritis yang dikedepankan oleh BPD dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa. Kantor BPD sendiri kebanyakan merupakan bagian dari kantor pemerintah desa. Memang pernah diakui oleh BPD, bahwa pihaknya melakukan pengawasan, namun dalam hal ini pengawasan yang dilakukan adalah berupa pengecekan terhadap proses pengerjaan pembangunan fisik, bukan pengawasan yang bersifat komprehensif terkait dengan spesifikasi material dengan dokumen perencanaan misalnya. Kalaupun ini dapat disebut sebagai menjalankan peran pengawasan, pengawasan yang dilakukan masih terbilang kurang substantif, karena tidak melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa secara keseluruhan.

Dalam kasus yang lain, yakni dalam hal menangkap rekomendasi, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Kasus kepala desa Berumbung pada saat hendak membangun gedung pertemuan dari dana ADD, agar tidak terkena aturan tender harus diturunkan dananya di bawah Rp 200 juta, harus konsultasi dengan BPMD Kabupaten. Pembangunan dijalankan setelah mendapatkan rekomendasi dari BPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan peran kontrol pemerintahan desa tidak dimintakan rekomendasi.

Masalah yang Dihadapi

Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances, sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan. Dominasi pemerintah desa ini lambat laun akan menggulung peran dan partisipasi warga desa, yang pada akhirnya akan memperlemah proses demokrasi di tingkat desa.

Terkait dengan kurang optimalnya fungsi BPD tersebut, kami mengindentifikasi beberapa masalah sebagai berikut. Pertama, lemahnya pengorganisasian. Sebagai sebuah lembaga, BPD tidak dikelola melalui mekanisme pengorganisasian yang baik. Dari pengamatan yang paling sederhana saja, hampir tidak ditemukan skema tentang struktur organisasi BPD. Pada hal yang lebih substantif, secara kelembagaan BPD kurang terlihat dalam mengorganisir para anggotanya, sehingga para anggota BPD terkesan bekerja secara asal-asalan. Dari keseluruhan BPD yang diteliti, pada umumnya hanya sedikit saja dari anggota BPD yang aktif. Bahkan ada BPD yang aktif hanya ketuanya saja. Di desa yang lain, ada salah satu anggota BPD yang tidak aktif hingga enam bulan, namun tidak ada upaya secara kelembagaan untuk mengatasi masalah tersebut.

Kedua, nihil dukungan staf dan kesekretariatan. Selain soal pengorganisasian, lemahnya fungsi BPD juga karena secara kelembagaan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat. Ketiadaan staf dan kesekretariatan menyebabkan BPD tidak dikelola secara baik sebagai sebuah lembaga. Hal ini berbeda dengan pemerintah desa yang memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk dukungan staf dan kesekretariatan. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa skema struktur Pemerintah Desa digambarkan secara jelas, dimana Pemerintah Desa didukung dengan Sekretariat Desa yang diketuai oleh Sekretaris Desa yang membawahi para Kepala Urusan.

Ketiga, hak bagi anggota BPD yang kurang jelas. Isu yang mengemuka dalam kajian ini juga termasuk hal yang terkait dengan hak anggota BPD. Muncul pendapat yang mengemuka yang beranggapan bahwa hak yang diterima oleh anggota BPD dirasa masih jauh dibanding dengan yang diterima oleh kepala desa. Meskipun sebenarnya banyak hak yang seharusnya diterima oleh BPD, namun dalam praktiknya hak-hak tersebut belum sepenuhnya diterima. Peraturan Pemerintah No. 43/2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47/2015 (PP Desa), pada pasal 78 diatur bahwa pimpinan dan anggota BPD mendapatkan hak untuk memperoleh tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsi dan tunjangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; biaya operasional; pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, dan kunjungan lapangan dan penghargaan dari pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota bagi pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Dari beberapa hak yang diatur oleh PP tersebut, baru hanya tunjangan tugas dan fungsi saja yang telah diberikan. Itupun dengan jumlah yang tidak menentu.

Keempat, minim kapasitas personal. Secara individual, anggota BPD tampak kurang memiliki kapasitas yang memadai terkait langsung dengan fungsinya. Sebut saja misalnya, dalam fungsinya sebagai pembahas rancangan Perdes, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan dalam bidang legal drafting. Namun dalam kenyataannya, hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar anggota BPD tidak memiliki kemampuan tersebut. Dengan demikian rancangan Perdes lebih banyak berasal dari kepala desa. Dalam hal pengawasan kepala desa, banyak anggota BPD yang kurang memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya, sehingga yang dilakukan hanyalah pengawasan secara parsial, yakni sebatas mengawasi pembangunan fisik. Pada hal yang paling mendasar, banyak juga ditemui anggota BPD yang kurang cakap dalam berkomunikasi. Padahal sebagai penyalur aspirasi masyarakat, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni, bahkan sampai pada tingkat dapat mempengaruhi orang lain.

Akar Masalah

Dari keseluruhan problem tersebut, akar masalah yang dapat ditarik adalah karena secara normatif, belum ada peraturan turunan yang mengatur secara spesifik tentang BPD. Dapat disampaikan di sini bahwa dari keseluruhan hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD termasuk lembaga yang belum memiliki aturan turunan secara spesifik, terutama aturan di tingkat lokal seperti Perda, SK Bupati/Walikota dan aturan sejenisnya. Ketiadaan aturan inilah yang menyebabkan BPD merasa kurang memiliki acuan jelas. Ketiadaan aturan di tingkat lokal bisa jadi karena belum ada peraturan yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana diatur dalam PP Desa pasal 79, Kementerian Dalam Negeri seharusnya menerbitkan peraturan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan tentang tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib BPD. Namun sampai sekarang peraturan sebagaimana dimaksud belum terbit.

Aturan turunan sebagaimana dimaksud adalah aturan lokal berupa Perda. Namun di sisi lain, pemerintah kabupaten/kota sulit untuk menerbitkannya karena mandat penerbitan peraturan menteri belum diterbitkan oleh Kemendagri. Ketiadaan Permendagri tentang BPD membuat BPD menjadi lembaga demokrasi yang terlupakan.[Sumber:datadesa.com]

23 Oktober 2016

Dana Desa dan Perlindungan Anak

Dengan diundangkannya Undang - Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka desa-desa di Indonesia memiliki kemandirian terutama dalam soal keuangan. Pada masa lalu desa hanya memiliki sumber pendapatan dari alokasi dana desa yang diberikan dari APBD Kabupaten dan pendapatan asli desa (PAD) yang dikelola menjadi APBDes. Kini desa juga mendapat dana desa yang merupakan kucuran dana dari pusat yang jumlahnya bervariasi antara Rp 600 juta sampai Rp 1 miliar.

Selain persoalan fisik desa, saat ini banyak desa berhadapan dengan masalah perlindungan anak yang kian kompleks terutama kekerasan kepada anak dan perempuan, Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi hingga penelantaran anak. Dalam kasus ini, desa menjadi ujung terdepan pelayanan pemerintah paling dekat berhubungan dengan anak. Kasus-kasus itu juga terjadi di desa dan mau tidak mau desa harus meresponsnya.

Komite Desa

Tidak bisa dihindari bila desa memiliki keterbatasan terkait dengan pengurangan risiko, pencegahan dan penanganan kekerasan kepada anak-perempuan. Meski marak kasus-kasus pelanggaran perlindungan anak yang berbasis desa, kenyataan desa tidak memiliki sumber daya memadai untuk merespons. Di sejumlah desa urusan terkait perempuan dan anak dimasukkan sebagai bagian tugas kepala urusan kesejahteraan rakyat atau kaur kesra. Yang di dalamnya terdapat hampir semua urusan sosial yang ada di desa dari ibu hamil, melahirkan sampai kematian.

Dalam praktiknya kaur kesra ini dibantu lembaga-lembaga yang ada di desa seperti PKK, karang taruna, dasa wisma dalam memberikan penyuluhan maupun pendidikan kepada masyarakat. Perlindungan anak mestinya berada di ranahnya untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan kepada anak. Sayangnya, aparat yang membidangi ini dan ujung tombak strategis kurang mendapat pelatihan dan pembekalan memadai untuk merespons kasus-kasus perlindungan anak.

Nyaris tidak banyak desa yang memiliki semacam komite, kelompok atau komisi yang membantu pemerintah desa merespons kasuskasus perlindungan anak. Sebutlah misalnya kelompok perlindungan anak desa (KPAD) yang membantu pemerintah membantu dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan kepada anak. Kedua, minimnya anggaran untuk perlindungan anak. Hampir semua kepala desa yang penulis temui menyatakan mereka tidak berani mengalokasikan dana desa untuk kegiatan-kegiatan terkait karena tidak ada petunjuk tertulis dari kabupaten.

Komitmen

Ketidakberanian ini terkait dengan lemahnya komitmen desa menyelenggarakan upaya perlindungan anak. Desa tidak melakukan terobosan karena dianggap menyalahi aturan yang lebih tinggi. Padahal jika merujuk Peraturan Menteri Desa No 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa, desa memiliki kesempatan untuk mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak. Di bidang pembangunan dana desa dapat dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti pengembangan pos kesehatan desa, polindes, posyandu dan PAUD.

Sementara di bidang pemberdayaan masyarakat dana desa dapat dipergunakan untuk kegiatan perlindungan anak oleh pemerhati perlindungan anak. Dari Permendes ini sebenarnya tidak ada alasan bagi desa untuk tidak mengalokasikan dananya bagi upaya-upaya perlindungan anak. Ketidaktahuan desa dan rendahnya komitmen terkait hal ini dapat difasilitasi oleh pihak lain terutama pemerintah kabupaten dengan melibatkan LSM, Perguruan Tinggi yang peduli pada pemenuhan hak anak.

Desa perlu didorong agar tidak hanya mengalokasikan dana desa untuk infrastruktur seperti membangun jalan, selokan, gorong-gorong, talut, jembatan dan sejenisnya. Tetapi juga untuk membangun manusia yakni mencegah dan melindungi anak-anak dan perempuan dari kekerasan. Apalah artinya infrastruktur bagus namun warganya menjadi pelaku dan korban kekerasan?

Aktivis perlindungan anak dan perempuan di desa perlu diperkuat dengan isu-isu perlindungan anak dan mengangkatnya dalam musrenbangdes. Pada tahun-tahun pertama mungkin masih kalah dengan isu infastruktur namun pada tahun-tahun berikutnya perhatian pemerintah desa dan BPD pasti akan berubah. Desa perlu terus didorong agar semakin berani dan peka menggunakan anggaran responsif anak dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak yang merupakan sepertiga jumlah penduduk desa.

Baca juga Artikel Desa Lainnya:



Ditulis Oleh: Paulus Mujiran, S.Sos, M.Si
Penyusun Modul Konvensi Hak Anak Provinsi Jawa Tengah, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang. [Sumber:http://krjogja.com/]