- Desa sebagai garda terdepan dalam merespon ancaman dan dampak dari bencana iklim, dan membuka peluang terwujudnya desa yang tangguh, selain tentunya sebagai pihak yang selama ini menjadi korban dari climate disaster/climate catastrophe.
- Dari total desa di Indonesia yaitu 82.190 desa, desa yang tergolong rentan terhadap dampak perubahan iklim dengan kategori sangat tinggi berjumlah 2.400 atau 2.92%, dan kategori kerentanan tinggi sebesar 4.881 atau 5,94%.
- Masyarakat desa umumnya bergantung pada penghidupan subsisten atau mata pencaharian skala kecil yang rentan terhadap variasi iklim dan memiliki infrastruktur yang tidak memadai atau kurang terjaga.
- Penguatan kapasitas adaptasi dari perubahan iklim di desa menjadi hal yang krusial dan mendesak. Upaya menekan dampak bencana terkait iklim pendekatan berbasis masyarakat pada tingkat desa kurang dipopulerkan sebagai aksi yang masif dan sistematis.
Tulisan singkat sebagai dorongan kepada pemerintah khususnya dan pegiat/praktisi adaptasi perubahan iklim di Indonesia untuk meletakkan Desa sebagai garda terdepan dalam merespon ancaman dan dampak dari bencana iklim, sekaligus membuka peluang terwujudnya desa yang tangguh, selain tentunya sebagai pihak yang selama ini menjadi korban dari climate disaster/climate catastrophe yang mengakibatkan kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan.
Dalam konstelasi perundingan perubahan iklim dan beragam laporan ilmiah yang diterbitkan oleh bebrapa lembaga internasional, disebut dampak merugikan dari perubahan iklim akan semakin besar magnitude-nya, seiring ‘keterlambatan’ masyarakat global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global yang berakibat perubahan iklim.
Kaum imuwan mengingatkan bahwa kita hanya punya waktu 12 tahun untuk menjaga agar kenaikan suhu bumi dipertahankan dibawah 1,5 C demi menghindari dampak yang lebih buruk. Ditengah pesimisme atas upaya bersama negara-negara untuk menekan lepasan emisi gas yang mengemuka dalam pembicaraan di COP 25 Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa yang sedang berlangsung di Madrid, inilah saatnya merencanakan bagaimana bisa beradaptasi dengan segala konsekuensinya jika tidak bisa dihindari. Kenaikan suhu menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana alam.
Salah satu strategi yang sejalan adalah memperkuat ketahanan iklim pada tingkat mikro di desa. Upaya ini seringkali diabaikan karena skalanya. Namun, sebetulnya terdapat peluang besar membuatnya menjadi besar dan mengungkit dampaknya menjadi global.
Dari total desa di Indonesia yaitu 82.190 desa, desa yang tergolong rentan terhadap dampak perubahan iklim dengan kategori sangat tinggi berjumlah 2.400 atau 2.92%, dan kategori kerentanan tinggi sebesar 4.881 atau 5,94% (KLHK, 2017). Sementara itu, yang masuk kategori kerentanan sedang, 54.458 (72,34%), kerentanan rendah 7.085 (8,62%) dan sisanya sebesar 8.366 (10,18%) berkategori sangat rendah.
Desa saat ini dihadapkan dengan tekanan akibat eksploitasi dan penghancuran ekosistem, kerusakan dan penebangan hutan ilegal dan meningkatnya pencemaran oleh aktifitas di hulu yang meningkatkan kerentanan dan risiko. Fenonema perubahan iklim memberi tekanan baru dari kondisi yang sudah ada.
Masyarakat desa umumnya bergantung pada penghidupan subsisten atau mata pencaharian skala kecil yang rentan terhadap variasi iklim. Mereka memiliki infrastruktur yang tidak memadai atau kurang terjaga. Mereka memiliki sedikit aset dan sedikit untuk jatuh kembali saat krisis terjadi. Biasanya, mereka memiliki keterbatasan akses terhadap pengetahuan baru atau kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru. Di sisi lain, pengalaman dari ikatan sosial masyarakat desa menjadi modal optimisme dalam membangun ketahanan masyarakat desa dari ancaman perubahan iklim.
Penguatan kapasitas adaptasi dari perubahan iklim di desa menjadi hal yang krusial dan mendesak. Kuat atau lemahnya kapasitas desa dapat dilihat dari sisi eksternal seperti daya dukung ekosistem dan lingkungan, juga sisi internal yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan kelembagaan, pendanaan serta sumberdaya manusia.
Pertanian, perkebunan dan perikanan adalah contoh dari sektor utama pembangkit ekonomi desa sekaligus pilar penyangga ketahanan pangan. Sebab itu adanya faktor luar terhadap kondisi iklim yang dapat mengganggu sudah pasti berpengaruh buruk pada sumber-sumber ekonomi tadi. Dalam perspektif desa, adaptasi berbasis kepada masyarakat merupakan aktifitas yang pragmatis, namun berpotensi besar menjadi sistem yang terstruktur dan berlanjut. Kegiatan pada tingkat desa-berbiaya murah, sederhana, namun berdampak langsung upaya memperkuat daya lenting atau tingkat ketahanan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat.
Sayangnya, upaya menekan dampak bencana terkait iklim pendekatan berbasis masyarakat pada tingkat desa kurang dipopulerkan sebagai aksi yang masif dan sistematis. Padahal, instrumen pendukung untuk mewujudkan masyarakat pada level terendah seperti Undang-undang Desa yang memberi ruang kepada desa melalui anggaran yang diberikan untuk mengembangkan dan membangun program yang dapat berkontribusi pada pencapaian kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal ini program ketangguhan dalam merespon ancaman dan bencana terkait iklim. Kekuatan pendekatan berbasis masyarakat mampu menciptakan ruang kontrol, termasuk di dalamnya pemanfaatan ruang dan penggunaan sumber daya alam yang baik dan berkelanjutan, didasari oleh pemahaman, pengetahuan dan kesepakatan antar masyarakat tersebut.
Pengetahuan dan kearifan yang masih kental dan berlaku di beberapa daerah dalam memperlakukan lingkungan dan ekosistemnya sebagai bagian dari nilai-nilai hidup mereka dapat menjadi perekat dan memperkaya strategi dan respon terhadap perubahan iklim yang dikembangkan dalam mengatasi perubahan iklim. Kerja sama antar desa dalam satu kawasan yang terpapar dampak perubahan iklim dan bencana dimungkinkan melalui skema pembangunan kawasan perdesaan. Pendekatan lansekap untuk penanganan dampak perubahan iklim mendapatkan peluang melalui kerja sama antar kawasan dalam satu Kabupaten atau Kota.
Pada konteks modal sosial di tingkat desa, nilai kepercayaan tidak diukur dari lemah atau kuatnya ikatan antar individu masyarakat namun juga persepsi yang baik dan benar terhadap isu tertentu, penyampaian pesan informasi dan pengetahuan mengenai persoalan ini harus dipahami masyarakat desa, agar mereka mampu merespon isu tersebut dengan baik dan benar pula.
Sebaliknya, kemampuan kapasitas beradaptasi tidak ditentukan ketersediaan teknologi saja, namun kapasitas termasuk struktur pengambilan keputusan dalam masyarakat itu sendiri. Kebijakan perubahan iklim hakekatnya memprioritaskan kepada aspek penyelamatan sebuah wilayah, bangsa dan negara dari ancaman yang ditimbulkan. Secara mikro ketahanan perekonomian masyarakat desa menjadi pertaruhan dari rendah dan tingginya tingkat kerentanan. Dampak yang ditimbulkan akan bergeser pada tingkat ekonomi makro negara. Memobilisasi gagasan untuk mendapatkan respon dan pemahaman yang sama membutuhkan unsur perekat yang mampu mendorong masyarakat desa secara kolektif ke arah yang diinginkan.
*Ari Mochamad dan Suryani Amin. Keduanya adalah pegiat lingkungan dan adaptasi perubahan iklim. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis.