28 Oktober 2018

Diplomasi Desa

Desa menapaki kancah diplomasi ekonomi internasional sepanjang Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali (8-14/10/2018). Isu memusat pada peran dana desa untuk pemerataan sosial, pencapaian pembangunan berkelanjutan, dan inovasi kolaborasi bisnis perdesaan.
Indonesia mengajukan kaidah bahwa pembangunan desa tidak melulu teknokratis, tetapi padat oleh nilai-nilai humanisme
Indonesia mengajukan kaidah bahwa pembangunan desa tidak melulu teknokratis, tetapi padat oleh nilai-nilai humanisme: menanggulangi kemiskinan, memeratakan manfaat, memajukan masyarakat. Menteri Desa Pembangunan Desa, Daerah Terpencil, dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo mendudukkan ekonomi perdesaan sebagai landasan awal. Di ujung, dibidik cakrawala peningkatan kapasitas warga desa lewat ekosistem pendidikan dalam makna terluas.

Pada 2008 tercatat hanya 31 persen desa yang tersentuh proyek pemerintah. Setelah proyek nasional pemberdayaan diluncurkan, sebanyak 56 persen desa terliput pada 2011, kemudian 78 persen desa pada 2014. Kala dana desa mengucur ke seantero Nusantara sejak 2015, kue pembangunan menyebar merata ke seluruh desa.

Ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, secara khusus mengamati jenis dan besaran pembangunan yang berbeda-beda di antara 74.957 desa. Baginya, ini menginformasikan rincian pembangunan desa yang paling sesuai dengan keragaman kebutuhan warga desa.

Bukannya mengadopsi one policy fits for all, musyawarah desa mengambil keputusan sendiri-sendiri demi mengatasi masalah lokal. Di tingkat nasional kemudian terlukis mosaik pembangunan wilayah beraneka warna, seperti badan usaha milik desa (BUMDes) marak di Aceh, sementara prasarana mendominasi di NTT.

Keputusan musyawarah desa terangkum di dokumen APBDes. Situs www.sipede.ppmd.kemendesa.go.id mengompilasi APBDes dari 74.000 desa. Ternyata, 98 persen pengeluaran untuk pembangunan fisik dan nonfisik bersumber dari dana desa.

Belanja dana desa pada 2015-2018 guna menopang aktivitas ekonomi warga berupa bangunan 158.619 kilometer jalan desa, 7.421 unit pasar desa, dan 39.565 unit irigasi. Pembangunan fasilitas penunjang peningkatan kualitas hidup berujud 942.927 bangunan air bersih, 178.034 bangunan MCK (mandi, cuci, kakus), 48.694 bangunan pendidikan anak usia dini (PAUD), 8.028 bangunan pondok bersalin desa (polindes).

Presiden Center for Global Development Masood Ahmed mendapati harmonisasi pembangunan fasilitas ekonomi dan sosial menjadi fondasi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di perdesaan Indonesia. Manfaat berbagai prasarana ekonomi terhadap capaian SDGs di desa mencakup konsistensi penurunan kemiskinan hingga jadi 13 persen pada 2018.

Pekerja informal menurun dari 56 persen (2015) menjadi 55 persen (2017). Sementara tenaga kerja formal meningkat dari 24 persen pada 2015 menjadi 27 persen setahun kemudian. Upah pekerja meningkat dari Rp 8.785 per jam jadi Rp 10.840 per jam. Pengangguran terbuka menurun dari 5 persen menjadi 4 persen. Rasio gini perdesaan turun dari 0,33 (2015) menjadi 0,32 (2018).

Prasarana sosial juga menunjang pencapaian SDGs perdesaan, yaitu kelaparan menurun drastis dari dialami 13 persen warga (2015) jadi 8 persen (2017). Penduduk pengakses air bersih meningkat dari 60 persen (2015) menjadi 62 persen (2017). Kelahiran yang dibantu dokter dan bidan meningkat dari 86 persen menjadi 88 persen. Hunian terjangkau meningkat bagi 88 persen jadi 90 persen warga desa. Sepanjang 2014-2017, angka partisipasi murni (APM) SD dan SMP di desa meningkat masing-masing dari 96 persen menjadi 97 persen, dan semula 75 persen menjadi 77 persen.

Kolaborasi produktif

Presiden The International Fund for Agricultural Development (IFAD) Gilbert Houngbo berminat menyesuaikan pendekatan IFAD sesuai model transformasi perdesaan Indonesia karena memastikan semua pihak mendapatkan manfaat. Ini dilakukan dengan memetakan potensi produk unggulan, memampukan desa mencipta nilai tambah komoditas, sehingga daya jual komoditas mencuat. Sepanjang memicu pembesaran pendapatan warga, model pembangunan desa dipercaya berkelanjutan.

Menteri Eko mengenalkan istilah common interest guna memadukan kepentingan segenap pihak dalam kluster Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades). Proposisi nilainya ialah mempertemukan jaringan potensi antardesa dengan swasta sebagai ujud pasar. BUMDes- BUMDes sekabupaten bekerja sama mengelola produk unggulan. Mitra swasta mengakses lahan produksi berskala ekonomis guna berproduksi. Elektabilitas kepala daerah mencuat kala pendapatan warga meningkat.

Hasilnya, pada 2018 terbentuk 343 prukades pada 148 kabupaten. Sebanyak 30 offtaker bermitra dengan BUMDes Bersama. Dari potensi investasi Rp 47 triliun, telah dicairkan Rp 6 triliun ke desa.

Luasan lahan produktif pertanian meningkat. Di Pandeglang, lahan jagung meluas dari 8.000 ha tahun 2016 jadi 66.000 ha pada 2017. Produk perikanan dari pelosok desa di Maluku Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara dipasarkan secara daring sampai Jakarta.

Langkah cepat pasca-diplomasi Bali ialah menyiapkan kunjungan dari mancanegara. Tur studi banding perlu serius digarap agar delegasi negara lain cepat belajar kebijakan dana desa dan perencanaan partisipatif. Show case perlu disiapkan, dan disajikan sesuai dengan karakteristik tamu asing.

Oleh: Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa PDTT
Sumber: Kompas.com

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon