Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan

26 April 2017

Memilah Korupsi Desa

Korupsi desa mulai terungkap (Kompas, 3/3). Kini tengah disidik 0,06 persen desa atas sangkaan korupsi, rata-rata Rp 216,7 juta per desa. Angka ini senilai kucuran dana desa pada 2015.
Foto ilustrasi: Ayo Bangun Desa
Sebelum menggurita laksana korupsi pada 54 persen pemerintahan daerah (pemda) dan 35 persen kementerian, korupsi desa harus ditangani secara sistemis. Sayang, terdapat dua kelemahan mendasar, yaitu (1) minimnya regulasi korupsi desa dan (2) ketiadaan advokasi legal bagi pemerintahan desa.

Dari tahun ke tahun, tanggung jawab korupsi dana desa kian menukik ke level birokrasi lebih rendah. Saat prasangka korupsi dana desa berjemaah merebak pada 2014, Kemendagri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kemenkeu mementahkan korupsi tingkat kementerian. Alasannya, dana desa tersalur langsung dari bendahara negara ke kas pemda.

Mustahil menihilkan korupsi di tengah euforia dana desa. Pemda juga enggan menyalurkan dana desa karena berisiko tersangkut kasus korupsi. Kota Batu, misalnya, sempat diganjar pengurangan dana pusat karena menolak dana desa pada 2015 meskipun mulai 2016 menerimanya kembali.

Beban pemda menguap setelah pemerintah pusat mensyaratkan laporan penggunaan keuangan desa untuk pencairan dana desa berikutnya. Rincian laporan desa mengubah makna pelimpahan tanggung jawab kasus korupsi kepada kepala desa.

Pseudo-korupsi

Penyalahgunaan dana di desa perlu dipilah antara korupsi riil dan pseudo-korupsi. Kepala desa melakukan korupsi riil ketika ia menilap dana desa, melarikan uang tersebut, tertangkap tangan menerima suap, menggunakannya untuk konsumsi keluarga. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, mestinya terbukti motivasinya menggangsir dana desa. Akhirnya, pengadilan menetapkannya sebagai koruptor dengan hukuman pidana/perdata.

Namun, pendekatan sistem mendeteksi pseudo-korupsi sebagai sumber lain penyalahgunaan dana. Indikasi utamanya: tak ada motivasi kepala desa korupsi dan selama ini ia dikenal bersih.

Kepala desa terjerembap kasus pseudo-korupsi, terutama karena lalai menetapkan regulasi sebelum bertindak. Padahal, aparat pemerintah hanya legal bertugas sesuai aturan yang berlaku. Contohnya, kepala desa diciduk ketika meningkatkan kualitas bangunan penahan banjir dengan mengurangi panjang bangunan dari dana desa, tapi menambah panjangnya lewat pemasukan desa dan iuran warga. Sayang, ia lupa menulis pengembangan rencana dalam perubahan peraturan desa.

Kepala desa juga jadi pesakitan lantaran menetapkan penggunaan dana desa di luar Permen Desa PDTT. Pencairannya untuk perbaikan balai desa dan pemenuhan bahan serta peralatan birokrasi desa diharamkan. Padahal, disertasi Nata Irawan membuktikan pentingnya alat, bahan, dan ruangan untuk meningkatkan layanan masyarakat dan deliberasi keputusan desa.

Secara sistemis perlu digugat, sampai mana pemerintah desa dan warganya berhak memutuskan dana desa. Aturan tahunan menteri dan kepala lembaga di pusat, serta peraturan bupati di daerah, telah menyempitkan ruang keputusan desa. Akibatnya, kebutuhan desa tak terakomodasi dalam penggunaan dana desa.

Kritiknya, saat ini dana desa diperlakukan semacam anggaran kementerian dan anggaran tugas pembantuan. Ini dipamerkan pemerintah pusat dan daerah kala langsung memutuskan penggunaannya untuk embung, lapangan bola, holding atau perseroan terbatas badan usaha milik desa pada level kabupaten hingga nasional.

Kepala desa juga dituduh korupsi saat mengalihkan pendapatan desa atau meminta iuran warga guna mendanai proyek pemerintah pusat dan daerah. Padahal, UU No 6/2014 Pasal 22 menegaskan, setiap penugasan kepada pemerintah desa harus disertai tambahan anggaran. Kini kepala desa sedang meminta regulasi penggalangan dana di desa untuk menutupi ketiadaan anggaran program nasional sertifikasi tanah.

Kebijakan advokasi

Makna pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan aturan yang bertumpang tindih maupun berlawanan. Ketidakpastian hukum pun meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.

UU No 6/2014 telah melarang kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Namun, sanksi korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.

Karena itu, paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersama-sama mengharmoniskan aturan korupsi desa. Isinya indikator dan jenis korupsi desa, tata cara pelaporan dan perlindungan saksi, proses pencegahan dan pembuktian korupsi, dan sanksi bagi kepala desa, perangkat desa, serta anggota BPD.

Pada saat bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD yang disangka korupsi. Apalagi, peraturan Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan sesudah hukuman berkeputusan tetap. Inovasi nomor kepegawaian daerah bagi mereka, seperti di Serang dan Cirebon, bisa menjadi dasar advokasi oleh pemerintah daerah dan pusat. Asosiasi kepala desa, perangkat desa, dan BPD juga dapat mengadvokasi proses legal mereka.

Oleh Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Kompas, 26 April 2017

31 Maret 2017

Membangun Desa Secara Inklusif

Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi masalah khas perdesaan.
Membangun Desa Inklusif/Ilustrasi
Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial, dan eskalasi ancaman bencana lingkungan. Bakal bertambah runyam jika, misalnya, korupsi ikut merambah daerah perdesaan bersamaan dengan mengalirnya sejumlah besar dana ke desa-desa.

Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya karena di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.

Kompleksitas permasalahan perdesaan menjadikan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang dapat diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta mampu mengatasi berbagai permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pendekatan inklusif

Boleh jadi dibutuhkan waktu cukup panjang dan berbagai pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi masalah perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya adalah pendekatan inklusif. Pendekatan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.

Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.

Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif menentukan nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.

Dengan pendekatan dan proses seperti itu, para warga dari kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta kaum perempuan desa, akan merasa lebih "dimanusiakan" dan dihargai sebagai sesama warga desa yang ikut menentukan nasib desanya sendiri.

Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan difasilitasi oleh para ahli dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara inklusif.

Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi tepat guna, upaya konservasi lingkungan, mitigasi bencana lingkungan, dan pengembangan pranata sosial-ekonomi desa, khususnya badan usaha milik desa (BUMDesa) dan koperasi berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.

UU No 6/2014 telah memberikan solusi bahwa desa bisa mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan desa.

BUMDesa dan koperasi

Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan buruh tani, sangat mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan kontribusi signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa dan pemerintah desa.

Akan tetapi, setidaknya mereka akan dapat menerima manfaat dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program bantuan sosial tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya BUMDesa tersebut.

UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir sebagai lembaga kewirausahaan sosial perdesaan.

Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga dapat membangun wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.

Koperasi ini dapat menggarap bidang-bidang usaha penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta penyaluran program-program bantuan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali perempuan, memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.

Dengan demikian, akanterbangun suatu pola alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, ketika kelompok elite desa akan memperoleh tambahan pendapatan dari hasil "urun" modalnya di BUMDesa, sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.

Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya peluang-peluang usaha dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta program-program pemberdayaan masyarakat.

Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif, bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memberikan jaminan terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.(*)

Oleh Bambang Ismawan, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya. 

Sumber: Kompas.com

22 Maret 2017

Batas Desa, Kewenangan, dan Paradigma Baru Pemberdayaan

Mendiskusi kewenangan desa masih menjadi isu menarik terlebih ditingkat regulasi masih menyisakan beberapa permasalahan dan perbedaan cara pandang terhadap UU Desa, terutama Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang Penataan Desa yang dipandang telah menafikan prakarsa desa dalam penataan desa, serta beberapa permasalahan di tingkat daerah, masih minimnya daerah melakukan penataan kewenangan desa melalui peraturan kepala daerah. Persoalan tersebut semoga menjadi sebuah dinamika yang menjadi pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam implementasi UU Desa.
Penyusunan Peta Partisipatif/Foto: Pendampingdesa.or.id 
Hal menarik terkait kewenangan desa adalah terkait batas wilayah, sebagai dasar menata-kelola ruangan penguasaan dalam menjalankan serta menegakan kewenangan desa, yang berimplikasi kepada model pembangunan dan pemberdayaan di Desa.

Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 di definisikan yaitu Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, jelas bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

Dari defini Desa tersebut saya hanya ingin menggaris bawahi tentang batas wilayah dan kewenangan desa, kewenangan tanpa adanya batas wilayah adalah absurd. Adanya kepastian dan penegasan batas wilayah dan kewenangan desa menjadi faktor penentu dalam proses pembangunan dan pemberdayaan di Desa. Tentang kewenangan saya tidak mengupas lebih dalam karena Amanat UU Desa sudah jelas, tinggal bagaimana melanjutkan pada tingkat regulasi dan implementasi disetiap level.

Batas wilayah adalah persoalan yang sangat pelik sampai saat ini, bukan saja di dalam satu desa dan antar desa, tetapi dengan wilayah kawasan hutan, perkebunan, pertambangan, dll baik dikuasai oleh Negara maupun Swasta/Private. Persoalan yang muncul ditingkat masyarakat maupun kasasi sangat begitu komplek, dan senantiasa melahirkan permaslahan-permasalahan baru hingga saat ini belum mampu diselesaikan, dan hal tersebut menjadi konsern aktivis KPA dan jejaringnya untuk melakukan mediasi dan advokasi terhadap berbagai permaslahan yang seringkali muncul tidak saja oleh masyarakat, tetapi pelanggaran oleh aparat negara, hingga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, persoalan keamanan masyarakat, pelanggaran HAM, dll. Sehingga persoalan agraria bukan sekedar rebutan lahan, tetapi sejatinya adalah persoalan politik dan kedaulatan rakyat, bahkan kedaulatan Negara.

Desa selama ini mengenal batas wilayahnya sebagai batas administratif dari suatu wilayah daratan dan perairan yang ada di wilayah Desa dan Kecamatan, yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di dalam batas wilayahnya masing-masing berdasar kewenangannya. Penetapan dan penegasan batas desa merupakan cilkal bakal bagi penetapan dan penegasan batas wilayah yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan pembangunan dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Penegasan batas wilayah dilakukan dengan cara pemetaan yang dituangkan dalam bentuk peta desa adalah sebagai implementasi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Penegasan dan Penetapan Batas Desa menjadi strategis baik untuk kepentingan Desa, Pemerintah Daerah dan Pusat. Bagi Desa batas wilayah desa menjadi sangat penting dalam menerapkan pembangunan desa berbasis asset desa, batas wilayah desa menentukan seberapa penguasaan dan kepemilikan asset sebagai modal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Batas wilayah desa hanya bisa dilakukan dengan pemetaan dengan berbagai metode dengan melibatkan masyarakat, sehingga melahirkan peta partisipatif yang selanjutnya bisa dijadikan peta definitif oleh pemerintah daerah, dengan mengakui peta partisipatif sebagai peta indikatif, peta dasar untuk selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaidah pemetaan oleh pemerintah pusat dan daerah yang berperan sebagai walidata dalam pengelolaan peta dan data.

Seiring dengan Kebijakan Satu Peta yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan pembangunan khususmya Desa, dapat memahami kebijakan ini sebagai momentum bagi desa untuk melakukan pemetaan partisipatif karena kebijakan ini memberikan peluang adanya pengakuan (rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif, yang bermanfaat bagi pemerintah dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan konflik atas lahan dan ruang dalam wilayah Desa maupun kawasan perdesaan, sehingga sesuai amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 81 ayat 2 menegakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Selanjutnya pada pasal 84 ayat 1, Pembangunan kawasan perdesaan oleh Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga yang terkait pemanfaatan asset desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintahan Desa. Dalam hal penetapan batas desa pada pasal 8 ayat 3 poin f, disebutkan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa, ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Inilah hal regulasi strategis yang semakin membuka ruang bagi desa untuk mengambil bagian dan memiliki prakarsa dalam proses mengaktualisasikan Desa dalam kancah pembangunan daerah maupun Nasional.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Ketentuan Umum Pasal 1 mendefinisikan 2 konsepsi, yaitu: Pembangunan Desa dan Pemberdayaan desa. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12).

Menurut Bito Wikantosa, Subdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa, PDTT, pada Seminar Nasional Kebijakan Satu Peta yang diselenggarakan JKPP di Bogor menegaskan bahwa dalam kontek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, batas desa ataupun peta desa yang dilakukan secara partisipatif dapat membangun kesadaran kolektif di Desa, sekaligus mendorong perubahan kerangka pemberdayaan masyarakat desa serta membangun paradigma baru pembangunan desa yang selama ini cenderung bersifat “belanja anggaran” yang sekedar mengakomodir keinginan kelompok bahkan elite desa dalam memanfaatkan anggaran desa, tetapi melalui Kebijakan Satu Peta dengan pengakuan pemetaan partisipatif di Desa dapat mengarahkan penggunaan anggaran desa untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki sebagai asset desa untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa.

Cara pandang saat ini bahwa dalam proses perencanaan pembangunan desa senantiasa menitikberatkan pada pendekatan masalah dalam merumuskan program dan kegiatan pada prioritas pembangunan desa, sehingga tidak heran cara pandang “belanja anggaran” menjadi paradigma yang dianut melekat selama ini. Hal tersebut dapat kita cermati dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMDesa maupun RKPdesa yang belum menunjukan optimalisasi penggunaan potensi Desa, hal tersebut ditenggarai model fasilitasi dalam proses musyawarah pembangunan desa masih mengedepankan pembahasan yang bersifat usulan masalah, keluhan, keinginan kelompok mayarakat bahkan elite bukan lagi telaah terhadap kondisi realitas desa secara utuh untuk membangun kemakmuran desa.

Dana Desa sebagai bentuk Cash Transfer Negara seyogyanya dipandang sebagai instrumen yang mampu menjembatani masyarakat desa dalam mengoptimalkan pengelolaan atas asset yang dimiliki. Menurut Borni Kurniawan, dalam Buku Pengelolaan Asset Desa, setidaknya ada lima jenis asset desa yang saling komplementer dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat desa yaitu, 1. Sumber daya alam, 2. Sumber daya keuangan, (termasuk dana desa), 3. Modal Fisik berupa infrastruktur yang sudah ada, 4. Modal Sosial berupa nilai-nilaimkehidupan masyarakat (gotong royong,dll) dan 5. Sumber daya manusia, berupa kader-kader desa, pengusaha desa, dll.

Pemetaan di Desa mampu mengidentifikasi seluruh potensi asset sebagaimana disebut diatas, hanya bagaimana proses pemetaan ini dilakukan dalam ruang wilayah desa, dengan kepastian tata batas sebagai ruang kekuasaan desa dalam mengelola assetnya. Perlu adanya pengakuan atas kerja-kerja partisipastif yang dilakukan masyarakat dan perlunya sinkronisasi oleh pemerintah daerah dalam menentukan pelbagai tata batas desa, untuk memberikan kepastian hukum, serta koordinasi berbagai pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan pada saat proses pembangunan desa berlangsung. Pemetaan Desa partisipastif perlu political will pemerintah, sehingga baik pemerintah pusat dan daerah seyogyanya memberikan panduan sehingga pemetaan dilakukan dengan kaidah yang benar.

Peta partisipatif sesungguhnya pemosisian masyarakat desa dalam pembangunan nasional, batas desa di wilayah masyarakat adat lebih mudah karena batas teritorial secara geneolog masih hidup, sehingga untuk penataan desa adat lebih mudah karena salah satu syarat penataan desa adat adalah batas desa. Pada basis desa pada umumnya penanda batas tradisional sudah hilang, sehingga mengacu pada batas desa berdasarkan atas peta administrasi yang ditetapkan supra desa.

Peta desa partisipatif harus mampu mendorong deklarasi kewenangan desa dan batas desa, hal tersebut perlu mendapat dukungan berbagai pihak, sehingga adanya jaminan atas kedaulatan dalam mengelola dan memanfaatkan asset Desa. Kebijakan Satu Peta, Satu Perencanaan dan Satu Anggaran menjadikan perencanaan desa berbasis data tunggal untuk pembangunan desa berbasis asset serta memperkuat konsolidasi anggaran melalui dana transfer ke desa. Dengan demikian Peran Pendamping Desa dan Tenaga Ahli P3MD yang ditugaskan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sudah saatnya bergerak tidak pada wilayah kerja-kerja teknokratik dan administratif yang bersifat keproyekan, tetapi memperkuat Desa melalui penguatan basis data tunggal sebagai basis perencanaan desa, serta mendorong “Deklarasi Batas Desa dan Kewenangan Desa” untuk menjamin kepastian asset Desa dalam pembangunan desa berkelanjutan.[]

28 Februari 2017

APB Desa dan Kemiskinan

Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam. Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.

Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam. Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.

Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena desa juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa (ADD) serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah (DBHPRD).

Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Sayangnya, dari hasil review implementasi DD secara spesifik (baca: APBDes), sangat minim desa yang secara serius menggarap program penanggulangan kemiskinan. Hampir 99 persen desa di seluruh Indonesia lebih tertarik membiayai program pembangunan fisik yang mudah dalam perencanaan dan kasatmata dalam pelaksanaan. Program pembangunan fisik bahkan disebutkan sebagai solusi dalam penanggulangan kemiskinan. Sebuah alasan yang absurd dan sulit diuraikan dalam logika akal sehat.

Idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa didorong untuk jadi peranti dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan. Program kegiatan penanggulangan kemiskinan di desa akan maksimal jika jadi bagian dari program prioritas dalam rancangan pembangunan jangka menengah pedesaan (RPJMDes) atau dalam format rencana kegiatan pembangunan desa (RKPDes). Dengan begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang memadai.

Program prioritas ataupun superprioritas dalam implementasi APBDes cenderung mengabaikan itikad pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya terdapat inisiasi penanggulangan kemiskinan. Juga kegiatan rutin musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes) cenderung dominan oleh kepentingan elite desa yang tidak memiliki perspektif dalam visi penanggulangan kemiskinan.

Hasilnya sudah bisa diprediksi: semakin meningkatnya profil kucuran DD yang sekaligus membesarnya volume pendapatan APBDes tidak berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa meningkat 11,6 persen. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori miskin, 70 persen merupakan warga perdesaan.

Anggaran untuk si miskin

Kemiskinan di desa merupakan sesuatu yang ironis, mengingat desa adalah zona produksi pangan yang seharusnya mampu menyediakan segala aktivitas pekerjaan dan penambahan penghasilan yang memadai bagi warga desa. Demikian pula dengan formula APBDes yang besar, fasilitasi penangulangan kemiskinan oleh pemerintah desa idealnya bisa dilaksanakan dan memunculkan standar keberhasilan.

Indikator kemiskinan dalam definisi BPS dan Bank Dunia sebenarnya bisa dijadikan rujukan bagi desa untuk dicarikan resolusi melalui program/kegiatan yang masuk dalam APBDes. Indikator kemiskinan, seperti kriteria rumah tidak layak huni, bisa dijadikan basis keprograman rehabilitasi rumah warga miskin.

Minimnya pendapatan keluarga miskin bisa diselesaikan dengan program pemberian permodalan usaha melalui dukungan anggaran bagi badan usaha milik desa (BUMDes) melalui unit simpan- pinjam. Ketakmampuan warga miskin membayar anggaran kesehatan yang mahal bisa difasilitasi desa melalui subsidi premi BPJS yang dianggarkan dalam APBDes.

Desa ataupun pemerintah desa sudah saatnya mengembangkan paradigma anggaran yang progresif, semisal anggaran desa untuk si miskin. Paradigma itu meletakkan APBDes sebagai peranti untuk menjalankan program penanggulangan kemiskinan dalam perspektif pemberdayaan atau pengembangan usaha mikro perdesaan.

Profil APBDes mayoritas desa tahun 2017 semakin kuat karena volume DD meningkat jadi Rp 60 triliun dalam APBN. Setiap desa minimal akan mendapat jatah Rp 800 juta dan sangat memadai untuk digunakan bagi program prioritas penanggulangan kemiskinan di desa. Jangan sampai akhir 2017 persentase kemiskinan desa justru meningkat saat APBDes semakin gemuk oleh "guyuran" anggaran dari pemerintah pusat dan kabupaten.


Trisno Yulianto - Alumnus FISIP Undip, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran. (Kompas.com)

11 Februari 2017

Tiga Tahun UU Desa

Kebijakan ini saya pastikan gagal," ujar Didik J Rachbini suatu ketika. Dua tahun setelah itu, sebuah berita berkata lain: "Dana desa sudah bisa memperkuat daerah-daerah terpencil."
Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya.
Images: Kompas
Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya. Sejak awal tidak adabaseline data yang digunakan sebagai pijakan. Tak ada masalah baru dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, mulai dari pusat hingga kabupaten, gagal menangkap roh UU Desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas tidak ditaati.

Hasil survei yang menggunakan metodologi digital terhadap 24 sumber berita di pusat dan daerah lebih minor lagi. Dengan mengecualikan beberapa kata kunci, berita yang paling banyak diliput adalah soal pemilihan kepala desa. Disusul tentang badan usaha milik desa (BUMDes); rencana pembangunan jangka menengah desa; musyawarah desa; serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Dua kepentingan kelompok elite desa lebih dapat tempat ketimbang tiga urusan lain terkait kepentingan warga.

Lilitan regulasi
Urutan masalah selama dua tahun pelaksanaan UU Desa lebih panjang daripada catatan keberhasilannya. Begitu kesimpulan Taufik Madjid, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), sebagaimana dilaporkan berbagai media. Mudah diduga, ini implikasi langsung kebijakan Presiden Jokowi yang membagi urusan desa pada tiga kementerian.

Secara horizontal, kebijakan antar-kementerian tidak saling berkesesuaian. Secara vertikal, kebijakan yang lebih rendah tak taat asas. Ambil contoh regulasi tentang kewenangan desa. Semula ia diatur dalam Permendes PDTT Nomor 1 Tahun 2015. Setahun kemudian baru muncul Permendagri No 44/2016. Masalahnya, rincian kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa antara kedua kebijakan itu tak sama. Timbul kebingungan di lapangan. Padahal, kejelasan kewenangan desa ini penting untuk penyusunan dokumen perencana dan alokasi anggaran desa.

Isu lain: regulasi tentang penataan desa. Tiga tahun kebutuhan ini dibiarkan kosong. Akibatnya, inisiatif mendirikan sekitar 130 desa adat di tingkat daerah tidak bisa dilanjutkan dengan proses registrasi desa (Zakaria, 2015, dan Epistema Institute, 2017). Baru akhir Januari lalu, tanpa proses konsultasi publik, Kemendagri memberlakukan Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa.

Toh, persoalan tidak langsung selesai. Persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa. Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidak sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional kepada masyarakat adat yang tertunda selama 70 tahun itu tidak akan segera terlaksana.

Tidak taat asas
Sejatinya, substansi pengaturan yang ada pada Permendes PDTT No 1/2015 jauh lebih konsisten ketimbang Permendagri No 44/2016. Paling tidak, meski hanya mengatur soal kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, Permendes PDTT No 1/2015 setidaknya mengulangi apa yang telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 43/2015. Sementara Permendagri No 44/2016 cenderung lebih menyederhanakan karena itu menjadi multitafsir.

Persoalan jadi makin rumit di tingkat kabupaten/kota. Untuk bisa menyalurkan dana desa, misalnya, kabupaten terpaksa menetapkan kewenangan desa. Padahal, kebijakan induk belum tersedia. Di tingkat kabupaten/kota kewenangan desa itu menjadi jauh lebih sempit lagi.

Masalah koordinasi pun kemudian jadi kebutuhan. Namun, kebijakan yang menaungi pun tidak kunjung datang. Masalah lain yang menonjol soal prioritas penggunaan dana desa dan alokasi dana desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas juga belum diterapkan secara lebih konsisten. Faktanya, tiap tahun ada arahan dari pusat bagaimana dana desa pada tahun berjalan harus digunakan. Di tingkat lapangan, apa yang telah direncanakan dan diputuskan lewat musyawarah desa jadi teringkari.

Upaya peningkatan pelayanan publik pun lalu jadi polemik. Sebagian kalangan berpendapat, desa tidak berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang jadi tugas negara, tetapi meningkatkan layanan melaluipenyediaan. Sebagian kelompok lain memahami pelayanan publik desa tidak ada bedanya dengan pelayanan publik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebagian kelompok lagi menghendaki pelayanan publik desa harus diatursecara administratif, baku, dan ketat (rezim administratif) (Ahmad Rofiq, 2016).

Masalah korupsi
Di samping beberapa masalah yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat sejumlah masalah lain yang juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik (pemerintah) pusat maupun (pemerintah) daerah, dan juga para pihak yang peduli.

Pekerjaan rumah tersebut antara lain: (a) persoalan kapasitas aparatur aparat desa; (b) keragaman sistem aplikasi yang dipersiapkan untuk membantu administrasi dan keuangan desa; (c) masalah perekrutan dan kapasitas pendamping desa; (d) kejelasan pembagian kegiatan "desa membangun" di suatu sisi dan "pembangunan desa" di sisi lain; (e) alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang lebih peduli dengan masalah kemiskinan dan kepentingan kelompok marjinal di dalam desa; (f) partisipasi masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan terlebih lagi dalam proses pengawasan dari bawah; (g) masalah demokratisasi desa, utamanya keterwakilam kelompok-kelompok marjinal dan rentan dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa; serta (h) efektivitas dana desa, alokasi dana desa, dan aset desa (termasuk efektivitas BUMDes).

Kebijakan BUMDes yang jadi program utama Menteri Desa PDTT saat ini dianggap banyak pihak bertentangan dengan semangat UU Desa itu sendiri. "Kacau-balau! Sepertinya Pak Menterindak paham soal BUMDes yang seharusnya bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Bukan bagian dari tugas perbantuan sebagaimana yang dimaksudkan Pak Menteri," komentar seorang pegiat BUMDes dari Kabupaten Bantul.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian tentu saja soal korupsi. Merujuk jumlah kasus yang diterima (sekitar 362 kasus) dan yang layak ditindaklanjuti (87 kasus) KPK, secara persentase relatif rendah. Namun, menurut seorang mantan wali nagari di Sumatera Barat, kasus sejenis seharusnya jauh lebih luas. "Itu hanya puncak gunung es," kata sang mantan wali nagari itu menanggapi sebuahposting di laman Facebook.

Singkat kata, implementasi UU Desa, kecuali yang komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan aliran dana ke desa yang tahun anggaran 2017 ini mencapai angka Rp 60 triliun, memang masih jauh dari memuaskan. Maka, kritik tentang ambiguitas pengaturan desa oleh lebih dari satu kementerian itu perlu menjadi perhatian presiden dan para pembantunya. Waktu "belajar" tiga tahun rasanya cukup untuk menerapkan UU Desa ini secara lebih konsekuen di masa-masa yang akan datang.[*]

Oleh R YANDO ZAKARIA
Praktisi Antropologi, Anggota Tim Ahli DPR RI untuk RUU Desa. 
Harian Kompas, 11/02/2017

10 Februari 2017

Bumerang Dana Desa

"Kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa.”

Dana Desa

Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tetapi tak ada kesempatan, tidak jadi korupsi. Ada kesempatan tetapi tidak ada niat, juga tidak akan terjadi korupsi. Adanya niat dan kesempatan itulah yang menyebabkan banyak kepala desa (kades), misalnya, melakukan korupsi dana desa. 

Seperti disampaikan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, setelah KPK menerima kunjungan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo untuk koordinasi pencegahan penyimpangan dana desa, Rabu (1/2), ada indikasi penyimpangan dana desa yang disebabkan oleh sistemnya.

Bolong-bolong sistem dalam pengelolaan dana desa itulah yang menjadi kesempatan penyimpangan dana desa. Sepanjang 2016, KPK menerima 362 laporan masyarakat terkait dengan dana desa. Dari 362 laporan itu, 141 laporan direkomendasikan ditelaah, dan dari keseluruhan yang telah ditelaah, ada 87 laporan yang dikaji lebih dalam. Sebanyak 87 laporan inilah yang akan diusut KPK. Pasal 11 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang; a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penagak hukum atau penyelenggara negara; b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar. Apakah kades termasuk penyelenggara negara?

Sesuai dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kades tidak termasuk pejabat negara. Adapun Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan, ”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Apakah kades termasuk ke dalam Pasal 1 angka 1 UU No 28/1999 tersebut? Masih debatable.

Katakanlah tidak termasuk penyelenggara negara, dan nilai korupsinya pun tak sampai Rp1 miliar, namun bila kasusnya menarik perhatian yang meresahkan masyarakat, kades tetap bisa dijerat oleh KPK, bahkan meskipun terjadi di sebuah desa terpencil nun jauh dari Jakarta. Bagaimana dengan niat?

Niat ini relatif, karena adanya di dalam hati. Namun, bila melihat besarnya dana desa, bisa jadi seseorang yang semula tidak berniat korupsi kemudian timbul niat.

Tiap Tahun Naik

Setiap tahun Presiden Joko Widodo dan DPR RI menaikkan anggaran dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2015, dana desa sebesar Rp 20,8 triliun, tahun 2016 naik menjadi Rp 46,96 triliun, tahun 2017 ini naik menjadi Rp 60 triliun, dan tahun depan akan naik lagi menjadi Rp 120 triliun.

Saat ini, dana desa yang diterima rata-rata mencapai Rp 800 juta per desa, dan akan ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar per desa. Ini belum ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah per desa. Bayangkan, sebuah desa yang biasanya berkutat dengan anggaran puluhan atau ratusan juta rupiah, kini harus mengurus anggaran miliaran rupiah. Ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kades atau pejabat desa lainnya, sehingga kemudian timbul niat untuk korupsi. Apalagi, dana yang harus dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saat ini, terutama untuk ”serangan fajar”, ralatif tinggi, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah.

Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, seorang calon kades bisa menghabiskan uang hingga Rp 3 miliar. Bila dilihat dari gaji atau ìbengkokî dan fasilitas lainnya yang diterima kades, secara logika, tak mungkin dana sebesar itu bisa kembali atau break effent point (BEP) dalam 6 tahun masa jabatan kades. Satu-satunya jalan agar kembali modal adalah korupsi.

Maka tak heran bila saat ini banyak kades yang terlibat korupsi dana desa. Niat dan kesempatan kian sempurna bila berpadu dengan ketidakmampuan kepala desa dalam mengelola anggaran, dan kekuasaan yang dimiliki kepala desa yang hanya dikontrol oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) yang biasanya anggota dan pimpinannya adalah orang-orang dekat kades. Kesalahan administrasi saja bisa mengantarkan kades ke penjara. Di sisi lain, kekuasaan yang dimiliki kades, sebagaimana dalil Lord Acton (1834-1902) ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak cenderung korup mutlak pula), juga bisa mengantarkan kades ke penjara. Membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah satu poin Nawa Cita Presiden Jokowi.

Ini selaras dengan lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa yang sebelumnya tidak punya banyak dana, sekarang berlimpah dana. Akankah melimpahnya dana desa tersebut menjadi bumerang yang mencelakakan kades dan rakyatnya?

Bisa jadi, terutama bila kades kurang berhati-hati. Sebab itu, kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa. KPK juga sudah mengimbau agar masyarakat dilibatkan dalam pengawasan dana desa.

Pendampingan harus dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, termasuk dalam menyusun pelaporan dan pertanggungjawabannya. Di sisi lain, kita berharap para kades membekali diri dengan kemampuan manajemen dan administrasi keuangan. Melawan korupsi tidak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan pencegahan. Bahkan mencegah lebih baik daripada mengobati.[]

Oleh Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 
Peneliti Senior di LIPI, Koran Sindo, 10/02/2017.

30 Desember 2016

Resolusi Implementasi Dana Desa 2017

“Korupsi dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol dan partisipasi yang lemah masyarakat desa.”
Korupsi dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol dan partisipasi yang lemah masyarakat desa
Dana Desa/Ilustrasi
Pemerintah pusat berencana menaikkan volume dana transfer ke desa atau dikenal sebagai dana desa menjadi Rp 60 triliun pada 2017. Dengan anggaran Rp 60 triliun bagi 74.000 desa seluruh Indonesia, tiap desa minimal akan mendapatkan jatah anggaran Rp 800 juta/ tahun. Hal itu akan menambah pos pendapatan APBDes yang diperkirakan Rp 1,5 miliar - Rp 2 miliar.

Alokasi anggaran dana desa (DD) dari APBN 2016 sebesar Rp 46,7 triliun telah sukses berhasil memperkuat postur APBDes. APBDes untuk setiap desa di Jawa rata-rata memiliki pos pendapatan hampir Rp 1 miliar. Mengingat selain memperoleh dana desa dari Pemerintah Pusat, desa juga mendapat kucuran dana transfer daerah dari persentase dana alokasi umum minimal 10% dikurangi beban belanja pegawai. Rata-rata desa di Jawa Tengah pos pendapatan dana transfer daerah atau yang dikenal Alokasi Dana Desa ADD) minimal Rp 400 juta/desa.

Belum lagi dari pendapatan asli desa dan pendapatan bagi hasil pajak-retribusi daerah untuk desa yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pertanyaannya?

Efektifkah dan tepat ke programankah penggunaan dana desa dan alokasi dana desa bagi pelaksanaan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan? Sepanjang 2016 harus diakui penggunaan dana desa dan alokasi dana desa baru efektif untuk mendanai program pembangunan fisik yang dirumuskan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).

Program pembangunan desa menjadi orientasi pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa. Efek surat edaran Menteri Desa dan PDTT 2015 yang mendorong optimalisasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur desa masih dijadikan acuan dalam pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa untuk Tahun Anggaran 2016. Bagi desa penggunaan dana desa atau alokasi dana desa untuk proyek pembangunan fisik lebih mudah dalam eksekusi dan pelaporan administrasi.

Proyek pembangunan fisik dipersepsikan lebih jelas tolok ukur capaian dan dimensi keberhasilannya. Sekaligus sebagai media untuk memperbaiki fasilitas infrastruktur desa yang tidak layak di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pertanian. Paham developmentalisme dalam pengelolaan dana desa atau alokasi dana desa lebih merasuki pengambil kebjakan anggaran di desa.

Desa diprioritaskan menjadi ruang untuk segala program pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat desa. Hal itu tidak salah tapi belum sepenuhnya tepat dalam filosofi penganggaran desa. Sesuai dengan mandat UU Nomor 6 Tahun 2014, program transfer fiskal dari Pemerintah Pusat, dana desa digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat demi kesejahteraan sosial, ekonomi, selain pembangunan dan pembiayaan operasional pemerintah desa.

Kepentingan Birokrasi

Sayang penggunaan dana desa atau alokasi dana desa lebih berat pada kepentingan birokrasi pemerintahan desa, kewajiban penyerapan anggaran dana desa atau alokasi dana desa 30 % untuk belanja operasional pemerintah desa lebih diprioritaskan.

Demikian dengan anggaran untuk pembangunan fisik yang eksekutornya adalah pelaksana kegiatan yang keanggotannya juga terdiri atas aparatur desa. Namun, inovasi program dalam skema pemberdayaan masyarakat serta penanggulangan kemiskinan masih belum optimal.

Paradoks pengelolaan dana desa selama 2016 adalah partisipasi masyarakat yang minim dari mulai tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Sesuai dengan kaidah aturan dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, peran masyarakat sebatas pada usulan kegiatan dan anggaran dalam forum musyawarah pembangunan desa. Namun, dalam tahap krusial yakni penyusunan RPJMdesa, RKPdesa dan yang utama RAPBDes masyarakat desa kurang mendapatkan ruang untuk berpartisipasi.

Tim penyusun RPJMDesa, RKPDes, dan RAPBDes adalah aparatur pemerintah desa dan elite desa yang terpresentasikan dari keterwakilan LPM dan BPD. Sangat jauh dari konsep partisipasi keprograman di dalam PNPM Mandiri Perdesaan, pada 2007-2014 saat partisipasi masyarakat mendapatkan ruang optimal dalam tahapan musyawarah desa perencanaan, musyawarah desa sosialisasi, musyawarah desa penetapan sampai musyawarah desa pertanggungjawaban.

Partisipasi dan aspirasi masyarakat di dalam musyawarah desa yang menentukan dalam produksi kebijakan pembangunan desa. Pada era UU Nomor 6 Tahun 2014, partisipasi dan aspirasi masyarakat desa yang diwadahi dalam musrenbang desa berkesan formalitas dan tidak menentukan dalam kebijakan program dan anggaran.

Pengelolaan dana desa 2016 juga penuh dengan masalah penyalahgunaan. Banyak kepala desa dan aparatur desa yang terkena perkara hukum tindak pidana korupsi dana desa atau alokasi dana desa sebagai akibat pengawasan yang lemah dari pemangku kepentingan di desa dan masyarakat desa.

Oleh Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran Desa, Alumnus FISIP Undip. (Sumber: Suara Merdeka)

14 Desember 2016

Efektivitas Kelola Dana Desa

Pemerintah pusat merencanakan menambah alokasi anggaran dana desa untuk tahun 2017 jadi Rp 60 triliun. Alokasi anggaran Rp 60 triliun merupakan peningkatan signifikan dari volume anggaran Rp 46,7 triliun yang diperuntukkan bagi 74.000 desa selama tahun 2016. Belum cukup dengan rencana anggaran Rp 60 triliun, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT juga menebar janji akan mengalokasikan dana desa Rp 120 triliun tahun 2018.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT
Desa Berdaulat/Ilustrasi: Ist
Janji manis peningkatan besaran transfer fiskal dana desa merupakan simalakama politik. Pemerintah pusat terlampau menganggap mudah implementasi pengelolaan dana desa yang di tingkat bawah masih banyak kelemahan dalam hal teknis dan orientasi kepatuhan pada regulasi. Belum lagi, kucuran dana desa meningkatkan tendensi korupsi di lingkup pemegang kuasa pengelolaan dana desa.

Dalam realitas, pengelolaan dana desa yang diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2015 banyak dimensi kelemahan. Kelemahan ini membuat efektivitas pengelolaan dana desa tidak sesuai harapan. Dana desa yang diperuntukkan bagi 74.000 desa, di mana masing-masing mendapatkan "jatah" rata-rata Rp 550 juta-Rp 750 juta, tidak mampu untuk memfasilitasi program pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.

Kedua, ketidakpahaman regulasi dan kebijakan kelola dana desa. Banyak desa pemerintah desa yang tidak paham tentang substansi dan imperatif teknikalitas tentang aturan hukum dan panduan komprehensif dalam pengelolaan dana desa, sehingga pemahaman pengelolaan dana desa terbatas hanya seputar pengajuan pencairan dana desa, perumusan alokasi kegunaan dana desa, dan pelaporan administratif. Tidak memahami substansi dana desa sebagai media penguatan fungsi dan kinerja pemerintahan desa dan serangkaian program pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, lemahnya pengawasan publik. Dalam eksekusi dana desa selama 2015 dan 2016, banyak ditemukan praktik kecurangan dan tendensi penyimpangan. Hal ini akibat lemahnya pengawasan publik. Masyarakat desa, terutama pelbagai organisasi sektoral dan organisasi masyarakat sipil, belum memiliki kesadaran pengawasan anggaran. Standar melek anggaran masyarakat desa masih rendah sehingga tidak mengerti bahwa desa mereka memiliki alokasi dana yang besar yang seharusnya cukup untuk menjalankan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Angka kemiskinan meningkat 

Ketidakefektifan pengelolaan dana desa tecermin dari hadirnya realitas sosiologis berupa meningkatnya angka kemiskinan di desa. Angka kemiskinan di desa meningkat karena ketidakmampuan desa dalam mendorong peningkatan aktivitas ekonomi produktif bagi masyarakat miskin. Desa tidak mampu memfasilitasi program jaminan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin yang idealnya dianggarkan dalam skema dana desa (APBDes).

Dana desa justru lebih cenderung menjadi instrumen fiskal yang membawa kemakmuran atau peningkatan pendapatan aparatur pemerintah desa melalui pos belanja operasional dan formula tunjangan penghasilan tetap. Dana desa hanya efektif untuk pembiayaan belanja rutin pemerintah desa dan bukan untuk fasilitasi kebutuhan masyarakat desa.

Untuk meningkatkan efektivitas kelola dana desa, pemerintah pusat Kementerian Desa dan PDTT dituntut untuk membuat evaluasi menyeluruh tentang implementasi dana desa sepanjang 2015 dan 2016. Menemukan kegagalan sistemik, budaya dan aplikasi kelola dana desa. Selanjutnya, menetapkan skema regulasi teknis sebagai handbook (buku panduan) dalam pengelolaan dana desa yang jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun.

Program pengawasan terpadu kelola dana desa juga perlu dibuatkan landasan regulasi yang tegas dan jelas sehingga komunitas pendamping desa, organisasi masyarakat sipil di desa, dan representasi masyarakat desa bisa melaksanakan pengawasan tata kelola dana desa. Mereka memiliki posisi tawar untuk mengkritik dan mengoreksi penyimpangan kelola dana desa. Sangat sulit pengawasan kelola dana desa diserahkan kepada institusi penegak hukum dan lembaga pengawas birokrasi, seperti inspektorat atau BPKP.

Efektivitas kelola dana desa juga membutuhkan inovasi, seperti pelaksanaan program sistem informasi keuangan desa (Siskeudes), E-budgetingdana desa (APBDes), ataupun penguatan sistem informasi desa, sehingga tata kelola desa bisa terakses dan termonitor oleh masyarakat desa. Dana desa sangat penting menjadi piranti sosial untuk kesejahteraan masyarakat desa dan merealisasikan konsepsi membangun dari desa (pinggiran).

Oleh Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran (Forkata) Magetan. (Kompas edisi 13 Desember 2016).

21 November 2016

Reformasi Koperasi untuk Ekonomi Desa

Dalam visinya koperasi dicita- citakan sebagai "soko guru perekonomian Indonesia". Namun, dalam realitasnya hinggakini, koperasi baru hanya menjadi "sapu lidi" yang menghimpun yang kecil dan lemah. Padahal, menurutKetua Dekopin Nurdin Halid, koperasi "pilar negara". Bersama sektor negara dan sektor swasta, koperasi berada di buritan perkembangan ekonomi nasional.

Mengingat usinya yang hampir satu abad sejak tahun 1947, gerakan koperasi tidak bisa hanya merasa prihatin, tetapi juga harus memikirkan suatu gerakan reformasi dengan memahami persoalan yang dihadapi guna melakukan repositioning dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Pokok persoalan

Walaupun dalam kenyataannya, koperasi merupakan sektor yang paling tertinggal, pemerintah sering membanggakan "prestasi" koperasi, yang jumlah unitnya mencapai 209.488 dan anggotanya mencapai 36.443.953 pada tahun 2014. Namun, jika dihitung rata-rata jumlah anggotanya, hanya 174 orang per unit. Padahal, pada masa Orde Baru, jumlah anggota koperasi unit desa (KUD) ditargetkan minimal 2.000 orang per unit.

Jumlah unit yang aktif diklaim mencapai 70 persen. Namun, jika dilihat dari data yang melakukan rapat anggota tahunan, hanya 38 persen. Ini artinya yang aktif hanya 38 persen sehingga yang tidak aktif 62 persen. Yang tidak aktif ini karena tidak memiliki program yang dijalankan sehingga tidak ada yang bisa dilaporkan dalam rapat anggota tahunan. Atau manajemen tidak mampu melaksanakan program yang realistis. Yang tidak melakukan rapat anggota tahunan berarti tidak transparan dan akuntabel. Karena tidak memiliki kegiatan, sisa hasil usaha (SHU) per koperasi juga kecil, rata-rata Rp 71 juta per unit dan per anggota hanya Rp 408.000 per tahun atau Rp 34.000 per bulan per anggota. Dengan ukuran upah minimum regional, yang terkecil adalah di Provinsi Maluku Utara, yaitu Rp 1.681.266, dan tertinggi Provinsi DKI Jakarta Rp 3,1 juta. Hal tersebut menunjukkan koperasi Indonesia adalah organisasi "soko lidi" yang terdiri dari koperasi-koperasi kecil dan lemah.

Kunci kekuatan koperasi sebenarnya adalah persatuan dari yang lemah atau yang miskin apalagi yang pendapatan per kapita anggotanya besar, sebagaimana dikatakan ahli koperasi Jerman, Hanna. Koperasi dengan jumlah anggota minimal 2.000 orang adalah mungkin karena penduduk per kecamatan di Jawa 30.000-40.000 orang. KoperasiCredit Union (CU), umpamanya, jumlahnya hanya 917 unit. Namun, jumlah anggotanya mencapai 2.500-7.200 orangatau rata-rata 2.760 orang.

Koperasi CU terbesar adalah Lantang Tipo dari Kalimantan Baratdengan jumlah anggota 123.777 orang, sedangkan yang terkecil koperasi Papa Diwi dari Maumere,Nusa Tenggara Timur, dengan jumlah anggota 1.003 orang dengan nilai aset Rp 2,230 miliar, jadi hampir tiga kali lipat dari modalkoperasi nasional yang besarnya hanya Rp 958 juta. Jumlah anggota koperasi menunjukkan adanya semangat berkoperasi, justru di desa miskin di Kalimantan Barat atau NTT. Masalahnya adalah kemampuan mengorganisasikan anggota masyarakat.


Nilai aset CU total pada tahun 2015 sebesar Rp 23 triliun atau rata-rata Rp 23.191.276.Ini menunjukkan bahwa CU adalah unit usaha keuangan mikro, sebagai organisasi sapu lidi. Namun, dengan penggabungan koperasi primer dalam satuan kecamatan, koperasi akan bisa membentuk usaha skala menengah, bahkan besar dengan nilai aset kira-kira Rp 2,3 miliar. Demikian juga jika jumlah anggota bisa ditingkatkan.

Arah reformasi

Berdasarkan realitas di atas, maka arah reformasi koperasi, pertama-tama adalah peningkatan kapasitaskelembagaan(institutional capacity building) dengan perbaikan tata kelola koperasi yang baik (good cooperative governance), yaitu dengan penerapan prinsip-prinsip transparansi melalui rapat anggota, akuntabilitas dengan memilih tenaga-tenaga profesional, kewajaran (fairness) dengan memberikan renumerasi terhadap tenaga-tenaga profesional dan independensi dengan memilih ketua dan manajer koperasi kompeten dan berintegritas.

Dengan peningkatan tata kelola koperasi itu, target pertama yang perlu ditetapkan adalah peningkatan jumlah anggota minimal 2.000 orang. Berdasarkan pengalaman BMT INTI Yogyakarta yang berbasis usaha asuransi mikro, dengan cara menabung sedekah harian Rp 500, dapat dihimpun modal yang mencukupi untuk memberikan fasilitas kredit mikro hingga Rp 5 juta kepada 2.000 pengusaha mikro anggota koperasi sehingga jumlah anggota keseluruhan adalah 4.000 orang. Karena itu, target koperasi selanjutnya peningkatan aktivitas koperasi dengan cara menabung, dengan berbagai metode dengan cara mencontoh CU.

Berdasarkan pengalaman CU di daerah-daerah miskin, maka masyarakat memiliki banyak kesempatan usaha produktif di bidang pertanian dan kehutanan yang menghasilkan bahan mentah. Dengan hasil tersebut, keuntungan koperasi sangat terbatas. Karena itu, yang perlu dikembangkan di daerah perdesaan adalah industri pengolahan hasil- hasil pertanian dan kehutanan, sebagai disarankan oleh Bung Hatta, guna menciptakan nilai tambah. Dengan meningkatnya nilai tambah tersebut, volume usaha koperasi menjadi membesar sehingga, sebagaimana disarankan Bung Hatta, koperasi bisa berfungsi menjadi lembaga pembentukan modal (capital formation).

Dewasa ini, Bank Indonesia dan Bank Dunia memprihatinkan ketidakmampuan perbankan dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap pelayanan keuangan. Sebenarnya koperasi adalah lembaga ekonomi perdesaan yang mampu melakukan inklusi keuangan itu. Namun, koperasi harus mampu menghimpun modal murah. Dewasa ini permodalan koperasi masih 47 persen tergantung dari luar, khususnya pemerintah.


Karena itu, sasaran reformasi koperasi ketiga adalah memperkuat modal. Berdasarkan sistem perbankan, koperasi dewasa ini sebenarnya tidak memiliki modal karena yang dihitung sebagai modal adalah simpanan, kecuali simpanan pokok yang bisa dianggap sebagai modal yang jumlahnya kecil. Sebenarnya simpanan adalah dana pihak ketiga (DPK). Agar menjadi pruden, nilai modal paling tidak 12 persen dari nilai aset yang membentuk faktor kecukupan modal.

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yang sekarang masih berlaku sebelum ada UU pengganti yang baru,memberi kesempatan kepada koperasi untuk menerbitkan saham guna memperkuat permodalan.

Dalam pengalaman koperasi kelapa sawit rakyat Setia kawanBatulicin, Kalimantan Selatan, koperasi tidak berhasil memperoleh kredit start up dari bank untuk mendirikan industri pengolahan hasil kelapa sawit. Namun, dengan menerbitkan saham Rp 2,5 juta per lembar, terjual 52.000 lembar saham senilai Rp 130 miliar yang mencukupi sebagai modal mendirikan industri kelapa sawit skala besar. Di Israel, pemerintah mendirikan lembaga keuangan start up guna membiayai inovasi sehingga bisa melahirkan usaha baru lewat lembaga inkubasi. 

Dengan demikian, maka sasaran reformasi koperasi adalah, pertama, perbaikan tata kelola koperasi. Kedua, peningkatan jumlah anggota koperasi per unit. Ketiga, membentuk modal dan keempat membentuk industri pengolahan guna menciptakan nilai tambah. Kelima, membentuk lembaga inkubasi koperasi.

Dengan reformasi tersebut, pengembangan "koperasi sapu lidi" akan membuka jalan bagi terbentuknya koperasi "soko guru"ekonomi perdesaan.[]

Oleh M. Dawan Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta. 
(Sumber: Kompas, Edisi 21 November 2016).

18 November 2016

Korupsi Anggaran Desa

Praktik korupsi anggaran desa semakin meningkat sejalan dengan membesarnya kucuran dana transfer pusat dan daerah. Dana transfer dari pemerintah pusat, yakni dana desa, tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun yang diberikan bagi sekitar 74.000 desa seluruh Indonesia.
Ilustrasi/Anak Desa
Setiap desa denganrumus perhitungan anggaran mendapatkan kucuran dana desa (DD) rata-rata Rp 650 juta per tahun. Sementara kucuran dana transfer daerah dalam wujud alokasi dana desa (ADD) bervariasi besarannya. Di Jawa Tengah, besaran ADD setiap desa rata-rata Rp 100 juta-Rp 400 juta per tahun.

Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dari sisi penerimaan hampir mencapai Rp 1 miliar, yang bersumber dari DD, ADD, ataupun dana bagi hasil pajak daerah. Anggaran sebesar itu mendorong perilaku penyimpangan anggaran oleh jajaran aparatur desa, khususnya kepala desa. Alhasil, seperti diberitakan harian ini, praktik korupsi DD dengan aktor kepala desa dan perangkat desa kurun 2015-2016 semakin sering terjadi dan beberapa menjadi kasus hukum yang disidang di Pengadilan Tipikor (Kompas, 9/9).

Modus penyalahgunaan

Modus penyalahgunaaan APBDes, khususnya DD ataupun ADD, bisa dibedakan menjadi beberapa kasus. Pertama, pemangkasan anggaran publik untuk kepentingan perangkat pemerintahan desa. Anggaran publik yang dipangkas adalah anggaran dalam APBDes yang peruntukannya untuk mata anggaran pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Pemangkasan anggaran tak memperhatikan skema APBDes atau mengabaikan landasan ”ideal” anggaran, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa.

Kedua, penjarahan anggaran operasional pemerintahan desa. Penjarahan anggaran operasional pemerintahan desa biasanya dilakukan kepala desa. Kepala desa yang dalam aturan Permendagri No 113/2015 diposisikan sebagai pemegang kuasa pengelolaan keuangan desa dengan sewenang- wenang menggunakan anggaran yang peruntukannya untuk kepentingan membiayai administrasi program pemerintahan desa untuk kepentingan memperkaya diri. Sebagai catatan, pos mata anggaran untuk operasional pemerintahan desa termasuk untuk penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa persentasenya cukup besar, yakni 30 persen dari DD dan ADD.

Ketiga, permainan proyek anggaran kegiatan. Aktor pelaku korupsi dan penyimpangan anggaran desa (APBDes) mempermainkan proyek kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan fisik di desa. Modus yang digunakan, mengurangi volume anggaran untuk butir-butir kegiatan atau melakukan efisiensi dalam plafon anggaran yang tak sesuai perencanaan yang tertuang dalam APBDes ataupun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

Menyuburnya korupsi anggaran desa disebabkan lemahnya kontrol dan pengawasan dari masyarakat. Masyarakat desa belum memiliki kesadaran untuk ”melek” anggaran, termasuk mereka yang menjadi bagian organisasi masyarakat sipil di desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Alhasil, kekuasaan kepala desa yang begitu dominan dalam pengelolaan anggaran desa membuat fungsi BPD jadi lemah.

BPD seolah menjadi lembaga stempel kebijakan perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran desa, tetapi tak memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi sosial dan sanksi administrasi pemerintahan. BPD dalam skema UU No 6/2015 seolah hanya menjadi institusi partner pemerintah desa dan bukannya lembaga legislasi desa.

Sistem kelola anggaran

Korupsi atau penyalahgunaan anggaran desa sebenarnya bisa ditelisik dalam dimensi paradigma kelola anggaran desa. Paradigma kelola anggaran desa yang baik dan akuntabel adalah yang memiliki karakter transformatif pro yuridis: patuh, taat, dan disiplin sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan.

Acuannya teknis pelaksanaan adalah Permendagri No 113/2015 mengenai Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri No 114/2015 tentang Pembangunan Desa. Dimensi transformatifnya adalah dalam perencanaan anggaran desa yang melibatkan partisipasi masyarakat desa dalam forum musyawarah pembangunan desa. Masyarakat juga diberi ruang dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran desa.

Adapun paradigma kelola anggaran yang cenderung tidak berkembang adalah berwatak administratif-birokratis. Pengelolaan anggaran yang dilaksanakan kepala desa dan aparatur pemerintah desa kebanyakan orientasinya text book. Dari alur perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban disesuaikan dengan hal yang bersifat teknis dan rigid, yang diatur dalam regulasi pemerintah pusat, baik dalam peraturan pemerintah, permendagri, maupun permendesa.

Paling memprihatinkan adalah paradigma kelola anggaran yang bersifat distortif-koruptif. Pengelolaan anggaran oleh pemerintah desa kepala desa dan aparatur desa yang seolah mematuhi ketentuan regulasi pengelolaan anggaran, tetapi sesungguhnya sekadar artifisial, sekadar mematuhi tahapan pengajuan anggaran, penyusunan anggaran, dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran. Namun, dalam implementasi anggaran justru terjadi penyimpangan secara sistematis dengan ditutupi dokumen ”aspal” (asli tapi palsu). Kelincahan pelaku penyimpangan anggaran desa dalam menyusun pertanggungjawaban administrasi keuangan desa semakin membantu praktik korupsi DD.

Watak feodalisme kepemimpinan kepala desa secara tak langsung menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi dan penyimpangan anggaran desa. Kepala desa yang ”feodal” menganggap personalitas dirinya sebagai ”raja kecil” dalam struktur pemerintahan desa. Menginterpretasikan otonomi desa dan hak asal-usul desa sesuai kepentingan pribadi dan kelompok, bukannya masyarakat desa.

Untuk itulah, dalam rangka mencegah korupsi anggaran desa dan mengembalikan marwah anggaran desa untuk kepentingan masyarakat desa, dibutuhkan monitoring berbasis komunitas. Aktor yang harus aktif berperan adalah organisasi kepemudaan, organisasi sosial masyarakat, akademisi, dan media. Monitoring pengelolaan keuangan desa diperlukan untuk mengeliminasi anggaran desa yang semakin besar dari indikasi korupsi dan kebocoran. Monitoring berbasis komunitas adalah amanah konstitusi agar visi pembangunan desa memuliakan martabat dan hak masyarakat desa.

Yang lebih penting dari pembaruan paradigma anggaran desa dan monitoring masyarakat adalah aktualisasi dari semangat: stop korupsi anggaran desa!

Oleh Trisno Yulianto 
Koordinator Kajian Transparansi Anggaran Desa (FORKATA) Magetan, Alumnus FISIP Undip. (Sumber: Kompas cetak, 17 November 2016)

27 Oktober 2016

Desa dalam Rezim Pemerintahan

Seraya membuka pintu calon kepala desa dari luar wilayah, Mahkamah Konstitusi menegaskan desa sebagai mata rantai terbawah rezim pemerintahan. Tafsir MK ini condong kepada paradigma local self-government ketimbang self-governing community sebagaimana termaktub pada penjelasan UU No 6/2014 tentang Desa.
Ilustrasi
Tindak lanjut putusan MK dalam edaran Kemendagri terfokus pada kebebasan calon luar dalam pemilihan kepala desa. Ini tidak memadai karena MK menorehkan yurisprudensi tata kelola desa masuk hierarki pemerintahan. Guna mengantisipasi efek negatif birokratisasi atas ke bawah ini, deliberasi politik harus dikembangkan sampai ke desa.

Putusan MK

Sejak 1970-an, percepatan kemajuan desa dilumasi pihak luar, seperti pedagang dan penyuluh lapangan. Migran asal desa juga mengobarkan pembaruan. Inilah basis sosiologis saat MK menganulir Pasal 50 UU No 6/2014. Mulai 23 Agustus 2016, peserta pilkades boleh dari luar desa.

Di sisi seberang, putusan MK membuka peluang calon titipan pejabat kabupaten, provinsi, atau pusat. Apalagi, pencitraan calon baru kepada 4.000-an pemilih di wilayah sesempit desa mudah disusun selama 2-3 bulan.

Ini melengkapi kasus campur tangan pemerintah daerah dalam pilkades. Pengunduran waktu pilkades membuka hak bupati menempatkan aparat kabupaten sebagai pejabat sementara kepala desa.

Taktik ini memastikan kepentingan kabupaten dijalankan desa, tapi pada 2015 sempat menggagalkan pencairan dana desa (DD). Musababnya, pejabat sementara dilarang meresmikan rencana pembangunan jangka menengah desa, serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Padahal, kedua dokumen menjadi syarat pencairan DD.

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), gula-gula disalurkan ke desa, tapi ditarik kembali setelah kepala daerah terpilih. Nurul Syaspri Akhdiyanti (2015) mencatat, alokasi dana desa (ADD) dari kabupaten dan provinsi melonjak menjelang pilkada, tapi menguncup dua tahun berikutnya. Penerbitan peraturan bupati sebagai landasan legal pencairan DD juga sempat dipadati citra perhatian petahana kepada desa.

Intervensi pemerintah dalam politik desa bermula dari manipulasi kajian Clifford Geertz (1965), kala menemukan elite beserta rakyat desa masa bodoa (pasif) terhadap politik. Pemerintahan Soeharto menyucikan ruang kosong massa mengambang itu dari partai politik, tapi memenuhinya dengan kader politik pemerintah penggerak teritorial desa.

Selama masa reformasi, pendamping ganti menguasai desa melalui seleksi akses sumber daya pembangunan.

Agar udara politik desa kembali sehat, taktik pelambatan pilkades, ADD, dan DD harus dicegah melalui batasan waktu penyusunan turunan peraturan di daerah. Jika pemerintah daerah tidak mengatur hingga periode tertentu, maka otomatis berlaku aturan pemerintah pusat. Adapun pencitraan calon kepala desa dapat dilunturkan melalui luberan informasi dari berbagai media, sehingga warga berkesempatan membanding data yang satu dengan lainnya.

Deliberasi pemerintahan

MK mengonstruksi desa jadi kepanjangan tangan terbawah fungsi-fungsi resmi pemerintahan negara. Pemerintahan desa tidak lagi terpisahkan dari sistem pemerintahan Indonesia. Satuan pemerintahan desa berkedudukan sebagai unit terbawah organisasi pemerintahan daerah.

Konstruksi legal itu memusat pada peran Kemendagri sebagai poros pemerintahan dari pusat sampai daerah serta koordinator instansi teknis secara horizontal. Sayang, realitasnya sulit dilaksanakan karena sejak 2014 berdiri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sisa konflik antarkementerian masih menyisakan paradoks: Kemendagri berwenang atas 19 aspek penataan desa, tapi pendanaannya sepersepuluh Kemendesa PDTT yang mengelola tiga wewenang saja.

Kerja sama antar kementerian utama penataan desa terhalang posisi pada kementerian koordinator dan komisi legislatif yang berlainan. Sebenarnya, tata naskah tiap kementerian menyajikan celah koordinasi, yaitu seluruh aturan penataan desa disusun kembali sebagai peraturan bersama Mendagri, Mendesa PDTT, Menkeu, dan Bappenas. Alternatifnya, menetapkan peraturan presiden bagi 22 urusan penataan desa sebagaimana tercantum pada PP No 47/2015.

Mengikuti konstruksi MK tentang posisi desa, harmonisasi aturan harus dikaitkan dengan peran pemerintah provinsi dan kabupaten. Sesuai UU No 6/2014, peraturan bersama menteri atau peraturan presiden harus memastikan pemerintah daerah memenuhi hak desa atas status hukum, pencairan DD dan ADD, pilkades, serta pembangunan pedesaan.

Agar penguatan pemerintahan desa tak abaikan masyarakat, keputusan yang berkonsekuensi pada aset desa dan kesejahteraan rakyat harus dimusyawarahkan bersama warga. Norma yang diacu ialah partisipasi warga dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh: IVANOVICH AGUSTA, Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Sumber: Kompas cetak, 26 Oktober 2016