Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan

22 Agustus 2017

Meninjau Rencana Kenaikan Dana Desa

Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang menjadi Rp 120 triliun. Itu berarti, dana desa akan naik 100% dari anggaran dana desa di tahun ini yang mencapai Rp 60 triliun. Kenaikan serupa juga dilakukan oleh pemerintah di tahun-tahun sebelumnya. Yakni, dari Rp 20 triliun di tahun 2015 menjadi Rp 47 triliun di tahun 2017. Sehingga secara keseluruhan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir setidaknya pemerintah telah menggelontorkan anggaran untuk dana desa mencapai Rp 127 triliun.
Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang menjadi Rp 120 triliun.
Dalam penalaran yang wajar, dengan gelontoran dana sebesar itu tentu tingkat kesejahteraan masyarakat desa akan membaik. Tetapi faktanya, kesejahteraan bagi masyarakat desa masih saja jauh panggang dari api. Bukti yang tidak bisa dipungkiri, masyarakat desa masih mendominasi jumlah penduduk miskin di negara ini. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) termutakhir, jumlah penduduk miskin di desa tercatat mencapai 17,10 juta penduduk. Sementara, penduduk miskin di kota 'hanya' 10,67 juta penduduk.

Pun bila ditilik dari data serupa yang dikeluarkan oleh BPS pada Maret 2014 silam. Jumlah penduduk miskin di desa kala itu tercatat sebanyak 17,17 juta orang. Itu berarti, gelontoran dana desa mencapai Rp 127 triliun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, hanya mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di desa sekitar 70 ribu penduduk saja.

Rawan Dikorupsi

Boleh jadi, masifnya tindak korupsi terhadap dana desa menjadi salah satu masalah vital yang menyebabkan ketidakefektifan dana desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2016 hingga pertengahan 2017 setidaknya sudah ada 110 kasus korupsi dana desa yang tertangani oleh penegak hukum. Jumlah kasus tersebut sangat berpotensi meningkat secara signifikan mengingat laporan dugaan korupsi dana desa yang diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari periode Januari-Juni 2017 saja sudah mencapai 459 laporan.

Besaran dana desa yang menggiurkan, ditambah kurangnya sumber daya manusia (SDM) aparatur desa memang membuat dana desa menjadi rawan untuk dikorupsi. Jamak disadari, di tahun ini setiap desa rata-rata menerima dana desa mencapai Rp 800 juta. Jika ditambah dengan penerimaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD (pasal 72 ayat 1 huruf e UU No 6/2014 tentang Desa), secara keseluruhan setiap desa bisa menerima anggaran mencapai Rp 1,3 miliar.

Sementara terkait SDM aparatur desa, sebagaimana dikemukakan oleh Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, sebanyak 40% kepala desa (kades) di Indonesia hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berkaca dari celah kerawanan itu, pemerintah semestinya jangan terburu-buru untuk kemudian menaikkan anggaran dana desa. Sebab, kalau pun dinaikkan, tidak akan menjamin kesejahteraan masyarakat desa akan meningkat secara signifikan.

Cermat dan Hati-hati

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum apabila kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini kian memprihatinkan. Selain nilai defisitnya hampir mendekati 3% sebagaimana batasan maksimal yang diizinkan oleh UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, nilai hutang pemerintah pun melonjak signifikan mencapai Rp 3.672 triliun. Maka, akan lebih bijak tentunya bila pemerintah menggunakan anggaran secara cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar di masa mendatang.

Oleh sebab itu, sebelum betul-betul merealisasikan kenaikan anggaran dana desa di tahun 2018 mendatang, pemerintah mutlak harus melakukan evaluasi terhadap implementasi dana desa selama ini. Dalam konteks itu, pelbagai kerawanan dana desa, terutama terkait tingginya potensi korupsi dana desa mesti dicarikan jalan keluar terlebih dahulu. Pun terkait kondisi desa itu sendiri. Apabila ada peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pascaimplementasi dana desa, maka pemerintah boleh saja menaikkan alokasi anggaran dana desa untuk desa terkait. Sebaliknya, jika tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka tidak semestinya anggaran dana desa di desa terkait dinaikkan. Bahkan, bila perlu dihentikan untuk sementara waktu sembari mencari akar permasalahan implementasi dana desa di desa tersebut.

(Pangki T Hidayat. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di Forum Kolumnis Muda Jogja. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 22 Agustus 2017)

Sumber: krjogja.

14 Juli 2017

BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan

Desa - desa tampak mulai bergeliat dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Di bawah pengelolaan badan usaha milik desa, sejumlah desa wisata bahkan telah membuat sebuah desa menjadi sangat mandiri.
BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan
Badan Usaha Milik Desa 
Tengoklah Desa Ponggok (Klaten) yang beromzet Rp 1,3 miliar per tahun, Desa Bleberan (Gunung Kidul) beromzet Rp 2 miliar per tahun, Desa Karang Duwur (Kebumen) beromzet Rp 1 miliar per tahun, atau Desa Kertayasa (Pangandaran) yang beromzet Rp 300 juta per tahun.

Beberapa desa di atas adalah contoh kecil dari desa-desa di pelosok Tanah Air yang mulai sadar memetakan potensi yang dimilikinya. Keberadaan dana desa punya andil besar dalam mendorong tumbuhnya badan usaha milik desa (BUMDes) di desa-desa. Dana desa yang terus mengalami peningkatan memang telah memberi harapan tersendiri bagi pembangunan di desa. Dari anggaran sebesar Rp 20,5 triliun pada 2015, kemudian Rp 47 triliun tahun 2016, dan pada 2017 dana desa meningkat menjadi Rp 60 triliun.

Nilai strategis

Peningkatan keberadaan BUMDes memang sangat signifikan. Jika pada 2014 BUMDes di Indonesia hanya 1.022 unit, awal 2017 jumlahnya telah 18.446 unit. Jumlah ini pun diyakini akan terus meningkat karena salah satu amanah dalam penggunaan dana desa, selain untuk pembangunan infrastruktur, juga untuk peningkatan perekonomian masyarakat, salah satunya melalui wadah bernama BUMDes.

Nilai strategis keberadaan ribuan BUMDes yang tersebar di penjuru Tanah Air adalah karena ia tumbuh dari kesadaran masyarakat desa dan bergerak pada sektor riil. Ia juga berbasis pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di titik itulah keberadaan BUMDes sebagai pengejawantahan gagasan tentang ekonomi kerakyatan menemukan relevansi serta titik sumbunya. Ini bisa menjadi salah satu strategi pembangunan pada masa depan.

Nilai strategisnya bukan saja keberadaan BUMDes yang kebanyakan berbasis pada kegiatan ekonomi sektor kecil itu menjadi salah satu katup penampung masalah ketenagakerjaan, melainkan juga merupakan salah satu penyangga penting persoalan perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan jumlah UMKM yang sangat besar secara otomatis jelas telah mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak.

Persoalan kemudian, dalam realitasnya perkembangan usaha kecil yang begitu pesat—saat ini banyak yang diwadahi oleh BUMDes—ternyata sering kali tak diimbangi percepatan perhatian pemerintah terhadap sektor usaha itu. Banyak kasus menunjukkan, pemerintah bukannya memproduksi kebijakan yang memperkuat sektor ini, melainkan malah sering kali kebijakan yang dilahirkan berpotensi mematikan daya hidup perkembangan mereka.

Oleh karena itu, dukungan pemerintah terhadap keberadaan usaha kecil, baik yang di bawah BUMDes maupun tidak, sesungguhnya bisa dengan penghindaran penciptaan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Selain itu, diperlukan juga kebijakan aturan main yang memberikan kesepadanan yang sama bagi tiap pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya, termasuk pelaku ekonomi kecil dan menengah. Di sinilah kerja sama lintas kementerian/lembaga mutlak perlu.

Komitmen ini penting karena sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan, keberadaan usaha kecil di sektor riil jadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya sektor itu tidak perlu modal banyak dan tidak mensyaratkan tingkat keterampilan yang tinggi. Ia juga tidak membutuhkan perizinan yang berbelit.

Dengan karakteristik semacam itu, jumlah pertumbuhan sektor-sektor usaha kecil menengah jadi sangat besar dan secara otomatis mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak. Hanya saja, jumlah UMKM yang begitu besar—saat ini mencapai 59 juta—dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi tersebut ternyata tidak dibarengi kesejahteraan pelaku ekonominya. Pada titik inilah pemerintah melalui kerja sama lintas sektoral perlu mengeluarkan paket-paket kebijakan yang tepat.

Keberadaan ribuan BUMDes yang berbasis pada sektor riil serta sumber daya yang ada di desa adalah bagian dari pengembangan gagasan ekonomi kerakyatan. Gagasan pembangunan ekonomi kerakyatan, seperti dikatakan Gran (1988), adalah sebuah konsep pembangunan di mana rakyat punya kuasa mutlak menetapkan tujuan dan mengelola swasembada ataupun mengarahkan jalannya pembangunan.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pemikiran ini. Pertama, partisipasi rakyat merupakan unsur mutlak dalam pembangunan. Tugas pemerintah hanya menciptakan keadaan yang mendorong inisiatif rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, apa yang dikehendaki rakyat merupakan pilihan terbaik dari negaranya.

Dengan paradigma semacam itu, pembangunan yang berbasis kerakyatan juga berarti pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Artinya, bila sebagian besar kegiatan ekonomi disusun dan dibangun oleh usaha menengah dan kecil yang banyak menampung tenaga kerja, seharusnya sektor menengah dan kecil mendapat perhatian yang lebih besar. Usaha skala besar tentu tetap diberi keleluasaan berkembang selama tidak mengganggu keharmonisan ekonomi.

Komitmen atas gagasan ekonomi kerakyatan ini penting untuk terus didesakkan kepada pengambil kebijakan karena selama ini pengembangan usaha kecil dan menengah terbukti lebih mampu menjawab kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu, pembangunan ekonomi kerakyatan juga dinilai tidak hanya mampu menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga memberikan kesejahteraan secara merata.

Kebijakan yang aplikatif

Guna mewujudkan gagasan ekonomi kerakyatan dalam bentuk kebijakan yang lebih aplikatif, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan watak kebijakan publik pada tempatnya semula, yakni tidak hanya mendapatkan legitimasi rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran secara etis. Pada aras ini, setiap kebijakan tidak boleh meninggalkan kepentingan rakyat walaupun secara ekonomi mungkin merugikan negara.

Kedua, mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan kebijakan pembangunan harus mencerminkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar masyarakat.

Ketiga, memberi penekanan terhadap penciptaan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan. Kebijakan ini penting karena dalam setiap proses pembangunan selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi tidak beruntung.

BUMDes sebagai bagian dari pengembangan ekonomi kerakyatan dan sebagai salah satu wadah bagi usaha sektor kecil di desa harus mampu melakukan transformasi sosial ekonomi di desa.

Untuk itu, ke depan, pemerintah harus mampu mengikis kebijakan diskriminatif yang hanya berpihak pada usaha skala besar semata. Tanpa komitmen itu, usaha kecil sebagai katup penangkal krisis sekaligus penampung tenaga kerja akan terus mengalami jalan buntu.

(Oleh: ACHMAD MAULANI, Kandidat Doktor Universitas Indonesia; Staf Ahli Unit Kebijakan Strategis pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Sumber: Kompas.com.

19 Juni 2017

Korupsi Mengepung Desa

Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran.

Apabila tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa. 
Ilustrasi/Ayo Bangun Desa
Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah pun terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun sebelumnya. Jika dibagi rata, tiap desa setidaknya akan mengelola uang sebesar Rp 800 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.

Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016 saja, KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana desa.

Begitu juga hasil kajian Indonesia Corruption Watch. Dalam tren penanganan kasus korupsi 2016, kasus penyimpangan dana desa mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Kasus itu berada di urutan ketiga kasus yang paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian. Dua kasus di atasnya adalah keuangan daerah dan dana pendidikan.

Modus korupsi

Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar di 16 provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar merupakan perangkat desa, terutama kepala desa.

Dari sisi modus, korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.

Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.

Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.

Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.

Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.

Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.

Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.

Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.

Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.

Penguatan pendampingan

Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.

Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah: hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.

Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.

Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK untuk menakut-nakuti para penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa segera terwujud.

Ade Irawan - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch.
Sumber Kompas.id

26 April 2017

Memilah Korupsi Desa

Korupsi desa mulai terungkap (Kompas, 3/3). Kini tengah disidik 0,06 persen desa atas sangkaan korupsi, rata-rata Rp 216,7 juta per desa. Angka ini senilai kucuran dana desa pada 2015.
Foto ilustrasi: Ayo Bangun Desa
Sebelum menggurita laksana korupsi pada 54 persen pemerintahan daerah (pemda) dan 35 persen kementerian, korupsi desa harus ditangani secara sistemis. Sayang, terdapat dua kelemahan mendasar, yaitu (1) minimnya regulasi korupsi desa dan (2) ketiadaan advokasi legal bagi pemerintahan desa.

Dari tahun ke tahun, tanggung jawab korupsi dana desa kian menukik ke level birokrasi lebih rendah. Saat prasangka korupsi dana desa berjemaah merebak pada 2014, Kemendagri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kemenkeu mementahkan korupsi tingkat kementerian. Alasannya, dana desa tersalur langsung dari bendahara negara ke kas pemda.

Mustahil menihilkan korupsi di tengah euforia dana desa. Pemda juga enggan menyalurkan dana desa karena berisiko tersangkut kasus korupsi. Kota Batu, misalnya, sempat diganjar pengurangan dana pusat karena menolak dana desa pada 2015 meskipun mulai 2016 menerimanya kembali.

Beban pemda menguap setelah pemerintah pusat mensyaratkan laporan penggunaan keuangan desa untuk pencairan dana desa berikutnya. Rincian laporan desa mengubah makna pelimpahan tanggung jawab kasus korupsi kepada kepala desa.

Pseudo-korupsi

Penyalahgunaan dana di desa perlu dipilah antara korupsi riil dan pseudo-korupsi. Kepala desa melakukan korupsi riil ketika ia menilap dana desa, melarikan uang tersebut, tertangkap tangan menerima suap, menggunakannya untuk konsumsi keluarga. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, mestinya terbukti motivasinya menggangsir dana desa. Akhirnya, pengadilan menetapkannya sebagai koruptor dengan hukuman pidana/perdata.

Namun, pendekatan sistem mendeteksi pseudo-korupsi sebagai sumber lain penyalahgunaan dana. Indikasi utamanya: tak ada motivasi kepala desa korupsi dan selama ini ia dikenal bersih.

Kepala desa terjerembap kasus pseudo-korupsi, terutama karena lalai menetapkan regulasi sebelum bertindak. Padahal, aparat pemerintah hanya legal bertugas sesuai aturan yang berlaku. Contohnya, kepala desa diciduk ketika meningkatkan kualitas bangunan penahan banjir dengan mengurangi panjang bangunan dari dana desa, tapi menambah panjangnya lewat pemasukan desa dan iuran warga. Sayang, ia lupa menulis pengembangan rencana dalam perubahan peraturan desa.

Kepala desa juga jadi pesakitan lantaran menetapkan penggunaan dana desa di luar Permen Desa PDTT. Pencairannya untuk perbaikan balai desa dan pemenuhan bahan serta peralatan birokrasi desa diharamkan. Padahal, disertasi Nata Irawan membuktikan pentingnya alat, bahan, dan ruangan untuk meningkatkan layanan masyarakat dan deliberasi keputusan desa.

Secara sistemis perlu digugat, sampai mana pemerintah desa dan warganya berhak memutuskan dana desa. Aturan tahunan menteri dan kepala lembaga di pusat, serta peraturan bupati di daerah, telah menyempitkan ruang keputusan desa. Akibatnya, kebutuhan desa tak terakomodasi dalam penggunaan dana desa.

Kritiknya, saat ini dana desa diperlakukan semacam anggaran kementerian dan anggaran tugas pembantuan. Ini dipamerkan pemerintah pusat dan daerah kala langsung memutuskan penggunaannya untuk embung, lapangan bola, holding atau perseroan terbatas badan usaha milik desa pada level kabupaten hingga nasional.

Kepala desa juga dituduh korupsi saat mengalihkan pendapatan desa atau meminta iuran warga guna mendanai proyek pemerintah pusat dan daerah. Padahal, UU No 6/2014 Pasal 22 menegaskan, setiap penugasan kepada pemerintah desa harus disertai tambahan anggaran. Kini kepala desa sedang meminta regulasi penggalangan dana di desa untuk menutupi ketiadaan anggaran program nasional sertifikasi tanah.

Kebijakan advokasi

Makna pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan aturan yang bertumpang tindih maupun berlawanan. Ketidakpastian hukum pun meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.

UU No 6/2014 telah melarang kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Namun, sanksi korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.

Karena itu, paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersama-sama mengharmoniskan aturan korupsi desa. Isinya indikator dan jenis korupsi desa, tata cara pelaporan dan perlindungan saksi, proses pencegahan dan pembuktian korupsi, dan sanksi bagi kepala desa, perangkat desa, serta anggota BPD.

Pada saat bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD yang disangka korupsi. Apalagi, peraturan Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan sesudah hukuman berkeputusan tetap. Inovasi nomor kepegawaian daerah bagi mereka, seperti di Serang dan Cirebon, bisa menjadi dasar advokasi oleh pemerintah daerah dan pusat. Asosiasi kepala desa, perangkat desa, dan BPD juga dapat mengadvokasi proses legal mereka.

Oleh Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Kompas, 26 April 2017

31 Maret 2017

Membangun Desa Secara Inklusif

Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi masalah khas perdesaan.
Membangun Desa Inklusif/Ilustrasi
Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial, dan eskalasi ancaman bencana lingkungan. Bakal bertambah runyam jika, misalnya, korupsi ikut merambah daerah perdesaan bersamaan dengan mengalirnya sejumlah besar dana ke desa-desa.

Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya karena di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.

Kompleksitas permasalahan perdesaan menjadikan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang dapat diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta mampu mengatasi berbagai permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pendekatan inklusif

Boleh jadi dibutuhkan waktu cukup panjang dan berbagai pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi masalah perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya adalah pendekatan inklusif. Pendekatan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.

Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.

Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif menentukan nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.

Dengan pendekatan dan proses seperti itu, para warga dari kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta kaum perempuan desa, akan merasa lebih "dimanusiakan" dan dihargai sebagai sesama warga desa yang ikut menentukan nasib desanya sendiri.

Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan difasilitasi oleh para ahli dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara inklusif.

Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi tepat guna, upaya konservasi lingkungan, mitigasi bencana lingkungan, dan pengembangan pranata sosial-ekonomi desa, khususnya badan usaha milik desa (BUMDesa) dan koperasi berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.

UU No 6/2014 telah memberikan solusi bahwa desa bisa mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan desa.

BUMDesa dan koperasi

Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan buruh tani, sangat mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan kontribusi signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa dan pemerintah desa.

Akan tetapi, setidaknya mereka akan dapat menerima manfaat dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program bantuan sosial tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya BUMDesa tersebut.

UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir sebagai lembaga kewirausahaan sosial perdesaan.

Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga dapat membangun wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.

Koperasi ini dapat menggarap bidang-bidang usaha penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta penyaluran program-program bantuan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali perempuan, memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.

Dengan demikian, akanterbangun suatu pola alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, ketika kelompok elite desa akan memperoleh tambahan pendapatan dari hasil "urun" modalnya di BUMDesa, sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.

Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya peluang-peluang usaha dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta program-program pemberdayaan masyarakat.

Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif, bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memberikan jaminan terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.(*)

Oleh Bambang Ismawan, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya. 

Sumber: Kompas.com

22 Maret 2017

Batas Desa, Kewenangan, dan Paradigma Baru Pemberdayaan

Mendiskusi kewenangan desa masih menjadi isu menarik terlebih ditingkat regulasi masih menyisakan beberapa permasalahan dan perbedaan cara pandang terhadap UU Desa, terutama Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang Penataan Desa yang dipandang telah menafikan prakarsa desa dalam penataan desa, serta beberapa permasalahan di tingkat daerah, masih minimnya daerah melakukan penataan kewenangan desa melalui peraturan kepala daerah. Persoalan tersebut semoga menjadi sebuah dinamika yang menjadi pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam implementasi UU Desa.
Penyusunan Peta Partisipatif/Foto: Pendampingdesa.or.id 
Hal menarik terkait kewenangan desa adalah terkait batas wilayah, sebagai dasar menata-kelola ruangan penguasaan dalam menjalankan serta menegakan kewenangan desa, yang berimplikasi kepada model pembangunan dan pemberdayaan di Desa.

Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 di definisikan yaitu Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, jelas bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

Dari defini Desa tersebut saya hanya ingin menggaris bawahi tentang batas wilayah dan kewenangan desa, kewenangan tanpa adanya batas wilayah adalah absurd. Adanya kepastian dan penegasan batas wilayah dan kewenangan desa menjadi faktor penentu dalam proses pembangunan dan pemberdayaan di Desa. Tentang kewenangan saya tidak mengupas lebih dalam karena Amanat UU Desa sudah jelas, tinggal bagaimana melanjutkan pada tingkat regulasi dan implementasi disetiap level.

Batas wilayah adalah persoalan yang sangat pelik sampai saat ini, bukan saja di dalam satu desa dan antar desa, tetapi dengan wilayah kawasan hutan, perkebunan, pertambangan, dll baik dikuasai oleh Negara maupun Swasta/Private. Persoalan yang muncul ditingkat masyarakat maupun kasasi sangat begitu komplek, dan senantiasa melahirkan permaslahan-permasalahan baru hingga saat ini belum mampu diselesaikan, dan hal tersebut menjadi konsern aktivis KPA dan jejaringnya untuk melakukan mediasi dan advokasi terhadap berbagai permaslahan yang seringkali muncul tidak saja oleh masyarakat, tetapi pelanggaran oleh aparat negara, hingga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, persoalan keamanan masyarakat, pelanggaran HAM, dll. Sehingga persoalan agraria bukan sekedar rebutan lahan, tetapi sejatinya adalah persoalan politik dan kedaulatan rakyat, bahkan kedaulatan Negara.

Desa selama ini mengenal batas wilayahnya sebagai batas administratif dari suatu wilayah daratan dan perairan yang ada di wilayah Desa dan Kecamatan, yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di dalam batas wilayahnya masing-masing berdasar kewenangannya. Penetapan dan penegasan batas desa merupakan cilkal bakal bagi penetapan dan penegasan batas wilayah yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan pembangunan dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Penegasan batas wilayah dilakukan dengan cara pemetaan yang dituangkan dalam bentuk peta desa adalah sebagai implementasi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Penegasan dan Penetapan Batas Desa menjadi strategis baik untuk kepentingan Desa, Pemerintah Daerah dan Pusat. Bagi Desa batas wilayah desa menjadi sangat penting dalam menerapkan pembangunan desa berbasis asset desa, batas wilayah desa menentukan seberapa penguasaan dan kepemilikan asset sebagai modal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Batas wilayah desa hanya bisa dilakukan dengan pemetaan dengan berbagai metode dengan melibatkan masyarakat, sehingga melahirkan peta partisipatif yang selanjutnya bisa dijadikan peta definitif oleh pemerintah daerah, dengan mengakui peta partisipatif sebagai peta indikatif, peta dasar untuk selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaidah pemetaan oleh pemerintah pusat dan daerah yang berperan sebagai walidata dalam pengelolaan peta dan data.

Seiring dengan Kebijakan Satu Peta yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan pembangunan khususmya Desa, dapat memahami kebijakan ini sebagai momentum bagi desa untuk melakukan pemetaan partisipatif karena kebijakan ini memberikan peluang adanya pengakuan (rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif, yang bermanfaat bagi pemerintah dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan konflik atas lahan dan ruang dalam wilayah Desa maupun kawasan perdesaan, sehingga sesuai amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 81 ayat 2 menegakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Selanjutnya pada pasal 84 ayat 1, Pembangunan kawasan perdesaan oleh Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga yang terkait pemanfaatan asset desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintahan Desa. Dalam hal penetapan batas desa pada pasal 8 ayat 3 poin f, disebutkan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa, ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Inilah hal regulasi strategis yang semakin membuka ruang bagi desa untuk mengambil bagian dan memiliki prakarsa dalam proses mengaktualisasikan Desa dalam kancah pembangunan daerah maupun Nasional.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Ketentuan Umum Pasal 1 mendefinisikan 2 konsepsi, yaitu: Pembangunan Desa dan Pemberdayaan desa. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12).

Menurut Bito Wikantosa, Subdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa, PDTT, pada Seminar Nasional Kebijakan Satu Peta yang diselenggarakan JKPP di Bogor menegaskan bahwa dalam kontek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, batas desa ataupun peta desa yang dilakukan secara partisipatif dapat membangun kesadaran kolektif di Desa, sekaligus mendorong perubahan kerangka pemberdayaan masyarakat desa serta membangun paradigma baru pembangunan desa yang selama ini cenderung bersifat “belanja anggaran” yang sekedar mengakomodir keinginan kelompok bahkan elite desa dalam memanfaatkan anggaran desa, tetapi melalui Kebijakan Satu Peta dengan pengakuan pemetaan partisipatif di Desa dapat mengarahkan penggunaan anggaran desa untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki sebagai asset desa untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa.

Cara pandang saat ini bahwa dalam proses perencanaan pembangunan desa senantiasa menitikberatkan pada pendekatan masalah dalam merumuskan program dan kegiatan pada prioritas pembangunan desa, sehingga tidak heran cara pandang “belanja anggaran” menjadi paradigma yang dianut melekat selama ini. Hal tersebut dapat kita cermati dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMDesa maupun RKPdesa yang belum menunjukan optimalisasi penggunaan potensi Desa, hal tersebut ditenggarai model fasilitasi dalam proses musyawarah pembangunan desa masih mengedepankan pembahasan yang bersifat usulan masalah, keluhan, keinginan kelompok mayarakat bahkan elite bukan lagi telaah terhadap kondisi realitas desa secara utuh untuk membangun kemakmuran desa.

Dana Desa sebagai bentuk Cash Transfer Negara seyogyanya dipandang sebagai instrumen yang mampu menjembatani masyarakat desa dalam mengoptimalkan pengelolaan atas asset yang dimiliki. Menurut Borni Kurniawan, dalam Buku Pengelolaan Asset Desa, setidaknya ada lima jenis asset desa yang saling komplementer dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat desa yaitu, 1. Sumber daya alam, 2. Sumber daya keuangan, (termasuk dana desa), 3. Modal Fisik berupa infrastruktur yang sudah ada, 4. Modal Sosial berupa nilai-nilaimkehidupan masyarakat (gotong royong,dll) dan 5. Sumber daya manusia, berupa kader-kader desa, pengusaha desa, dll.

Pemetaan di Desa mampu mengidentifikasi seluruh potensi asset sebagaimana disebut diatas, hanya bagaimana proses pemetaan ini dilakukan dalam ruang wilayah desa, dengan kepastian tata batas sebagai ruang kekuasaan desa dalam mengelola assetnya. Perlu adanya pengakuan atas kerja-kerja partisipastif yang dilakukan masyarakat dan perlunya sinkronisasi oleh pemerintah daerah dalam menentukan pelbagai tata batas desa, untuk memberikan kepastian hukum, serta koordinasi berbagai pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan pada saat proses pembangunan desa berlangsung. Pemetaan Desa partisipastif perlu political will pemerintah, sehingga baik pemerintah pusat dan daerah seyogyanya memberikan panduan sehingga pemetaan dilakukan dengan kaidah yang benar.

Peta partisipatif sesungguhnya pemosisian masyarakat desa dalam pembangunan nasional, batas desa di wilayah masyarakat adat lebih mudah karena batas teritorial secara geneolog masih hidup, sehingga untuk penataan desa adat lebih mudah karena salah satu syarat penataan desa adat adalah batas desa. Pada basis desa pada umumnya penanda batas tradisional sudah hilang, sehingga mengacu pada batas desa berdasarkan atas peta administrasi yang ditetapkan supra desa.

Peta desa partisipatif harus mampu mendorong deklarasi kewenangan desa dan batas desa, hal tersebut perlu mendapat dukungan berbagai pihak, sehingga adanya jaminan atas kedaulatan dalam mengelola dan memanfaatkan asset Desa. Kebijakan Satu Peta, Satu Perencanaan dan Satu Anggaran menjadikan perencanaan desa berbasis data tunggal untuk pembangunan desa berbasis asset serta memperkuat konsolidasi anggaran melalui dana transfer ke desa. Dengan demikian Peran Pendamping Desa dan Tenaga Ahli P3MD yang ditugaskan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sudah saatnya bergerak tidak pada wilayah kerja-kerja teknokratik dan administratif yang bersifat keproyekan, tetapi memperkuat Desa melalui penguatan basis data tunggal sebagai basis perencanaan desa, serta mendorong “Deklarasi Batas Desa dan Kewenangan Desa” untuk menjamin kepastian asset Desa dalam pembangunan desa berkelanjutan.[]

28 Februari 2017

APB Desa dan Kemiskinan

Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam. Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.

Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam. Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.

Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena desa juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa (ADD) serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah (DBHPRD).

Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Sayangnya, dari hasil review implementasi DD secara spesifik (baca: APBDes), sangat minim desa yang secara serius menggarap program penanggulangan kemiskinan. Hampir 99 persen desa di seluruh Indonesia lebih tertarik membiayai program pembangunan fisik yang mudah dalam perencanaan dan kasatmata dalam pelaksanaan. Program pembangunan fisik bahkan disebutkan sebagai solusi dalam penanggulangan kemiskinan. Sebuah alasan yang absurd dan sulit diuraikan dalam logika akal sehat.

Idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa didorong untuk jadi peranti dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan. Program kegiatan penanggulangan kemiskinan di desa akan maksimal jika jadi bagian dari program prioritas dalam rancangan pembangunan jangka menengah pedesaan (RPJMDes) atau dalam format rencana kegiatan pembangunan desa (RKPDes). Dengan begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang memadai.

Program prioritas ataupun superprioritas dalam implementasi APBDes cenderung mengabaikan itikad pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya terdapat inisiasi penanggulangan kemiskinan. Juga kegiatan rutin musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes) cenderung dominan oleh kepentingan elite desa yang tidak memiliki perspektif dalam visi penanggulangan kemiskinan.

Hasilnya sudah bisa diprediksi: semakin meningkatnya profil kucuran DD yang sekaligus membesarnya volume pendapatan APBDes tidak berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa meningkat 11,6 persen. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori miskin, 70 persen merupakan warga perdesaan.

Anggaran untuk si miskin

Kemiskinan di desa merupakan sesuatu yang ironis, mengingat desa adalah zona produksi pangan yang seharusnya mampu menyediakan segala aktivitas pekerjaan dan penambahan penghasilan yang memadai bagi warga desa. Demikian pula dengan formula APBDes yang besar, fasilitasi penangulangan kemiskinan oleh pemerintah desa idealnya bisa dilaksanakan dan memunculkan standar keberhasilan.

Indikator kemiskinan dalam definisi BPS dan Bank Dunia sebenarnya bisa dijadikan rujukan bagi desa untuk dicarikan resolusi melalui program/kegiatan yang masuk dalam APBDes. Indikator kemiskinan, seperti kriteria rumah tidak layak huni, bisa dijadikan basis keprograman rehabilitasi rumah warga miskin.

Minimnya pendapatan keluarga miskin bisa diselesaikan dengan program pemberian permodalan usaha melalui dukungan anggaran bagi badan usaha milik desa (BUMDes) melalui unit simpan- pinjam. Ketakmampuan warga miskin membayar anggaran kesehatan yang mahal bisa difasilitasi desa melalui subsidi premi BPJS yang dianggarkan dalam APBDes.

Desa ataupun pemerintah desa sudah saatnya mengembangkan paradigma anggaran yang progresif, semisal anggaran desa untuk si miskin. Paradigma itu meletakkan APBDes sebagai peranti untuk menjalankan program penanggulangan kemiskinan dalam perspektif pemberdayaan atau pengembangan usaha mikro perdesaan.

Profil APBDes mayoritas desa tahun 2017 semakin kuat karena volume DD meningkat jadi Rp 60 triliun dalam APBN. Setiap desa minimal akan mendapat jatah Rp 800 juta dan sangat memadai untuk digunakan bagi program prioritas penanggulangan kemiskinan di desa. Jangan sampai akhir 2017 persentase kemiskinan desa justru meningkat saat APBDes semakin gemuk oleh "guyuran" anggaran dari pemerintah pusat dan kabupaten.


Trisno Yulianto - Alumnus FISIP Undip, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran. (Kompas.com)

11 Februari 2017

Tiga Tahun UU Desa

Kebijakan ini saya pastikan gagal," ujar Didik J Rachbini suatu ketika. Dua tahun setelah itu, sebuah berita berkata lain: "Dana desa sudah bisa memperkuat daerah-daerah terpencil."
Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya.
Images: Kompas
Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya. Sejak awal tidak adabaseline data yang digunakan sebagai pijakan. Tak ada masalah baru dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, mulai dari pusat hingga kabupaten, gagal menangkap roh UU Desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas tidak ditaati.

Hasil survei yang menggunakan metodologi digital terhadap 24 sumber berita di pusat dan daerah lebih minor lagi. Dengan mengecualikan beberapa kata kunci, berita yang paling banyak diliput adalah soal pemilihan kepala desa. Disusul tentang badan usaha milik desa (BUMDes); rencana pembangunan jangka menengah desa; musyawarah desa; serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Dua kepentingan kelompok elite desa lebih dapat tempat ketimbang tiga urusan lain terkait kepentingan warga.

Lilitan regulasi
Urutan masalah selama dua tahun pelaksanaan UU Desa lebih panjang daripada catatan keberhasilannya. Begitu kesimpulan Taufik Madjid, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), sebagaimana dilaporkan berbagai media. Mudah diduga, ini implikasi langsung kebijakan Presiden Jokowi yang membagi urusan desa pada tiga kementerian.

Secara horizontal, kebijakan antar-kementerian tidak saling berkesesuaian. Secara vertikal, kebijakan yang lebih rendah tak taat asas. Ambil contoh regulasi tentang kewenangan desa. Semula ia diatur dalam Permendes PDTT Nomor 1 Tahun 2015. Setahun kemudian baru muncul Permendagri No 44/2016. Masalahnya, rincian kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa antara kedua kebijakan itu tak sama. Timbul kebingungan di lapangan. Padahal, kejelasan kewenangan desa ini penting untuk penyusunan dokumen perencana dan alokasi anggaran desa.

Isu lain: regulasi tentang penataan desa. Tiga tahun kebutuhan ini dibiarkan kosong. Akibatnya, inisiatif mendirikan sekitar 130 desa adat di tingkat daerah tidak bisa dilanjutkan dengan proses registrasi desa (Zakaria, 2015, dan Epistema Institute, 2017). Baru akhir Januari lalu, tanpa proses konsultasi publik, Kemendagri memberlakukan Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa.

Toh, persoalan tidak langsung selesai. Persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa. Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidak sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional kepada masyarakat adat yang tertunda selama 70 tahun itu tidak akan segera terlaksana.

Tidak taat asas
Sejatinya, substansi pengaturan yang ada pada Permendes PDTT No 1/2015 jauh lebih konsisten ketimbang Permendagri No 44/2016. Paling tidak, meski hanya mengatur soal kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, Permendes PDTT No 1/2015 setidaknya mengulangi apa yang telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 43/2015. Sementara Permendagri No 44/2016 cenderung lebih menyederhanakan karena itu menjadi multitafsir.

Persoalan jadi makin rumit di tingkat kabupaten/kota. Untuk bisa menyalurkan dana desa, misalnya, kabupaten terpaksa menetapkan kewenangan desa. Padahal, kebijakan induk belum tersedia. Di tingkat kabupaten/kota kewenangan desa itu menjadi jauh lebih sempit lagi.

Masalah koordinasi pun kemudian jadi kebutuhan. Namun, kebijakan yang menaungi pun tidak kunjung datang. Masalah lain yang menonjol soal prioritas penggunaan dana desa dan alokasi dana desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas juga belum diterapkan secara lebih konsisten. Faktanya, tiap tahun ada arahan dari pusat bagaimana dana desa pada tahun berjalan harus digunakan. Di tingkat lapangan, apa yang telah direncanakan dan diputuskan lewat musyawarah desa jadi teringkari.

Upaya peningkatan pelayanan publik pun lalu jadi polemik. Sebagian kalangan berpendapat, desa tidak berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang jadi tugas negara, tetapi meningkatkan layanan melaluipenyediaan. Sebagian kelompok lain memahami pelayanan publik desa tidak ada bedanya dengan pelayanan publik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebagian kelompok lagi menghendaki pelayanan publik desa harus diatursecara administratif, baku, dan ketat (rezim administratif) (Ahmad Rofiq, 2016).

Masalah korupsi
Di samping beberapa masalah yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat sejumlah masalah lain yang juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik (pemerintah) pusat maupun (pemerintah) daerah, dan juga para pihak yang peduli.

Pekerjaan rumah tersebut antara lain: (a) persoalan kapasitas aparatur aparat desa; (b) keragaman sistem aplikasi yang dipersiapkan untuk membantu administrasi dan keuangan desa; (c) masalah perekrutan dan kapasitas pendamping desa; (d) kejelasan pembagian kegiatan "desa membangun" di suatu sisi dan "pembangunan desa" di sisi lain; (e) alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang lebih peduli dengan masalah kemiskinan dan kepentingan kelompok marjinal di dalam desa; (f) partisipasi masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan terlebih lagi dalam proses pengawasan dari bawah; (g) masalah demokratisasi desa, utamanya keterwakilam kelompok-kelompok marjinal dan rentan dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa; serta (h) efektivitas dana desa, alokasi dana desa, dan aset desa (termasuk efektivitas BUMDes).

Kebijakan BUMDes yang jadi program utama Menteri Desa PDTT saat ini dianggap banyak pihak bertentangan dengan semangat UU Desa itu sendiri. "Kacau-balau! Sepertinya Pak Menterindak paham soal BUMDes yang seharusnya bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Bukan bagian dari tugas perbantuan sebagaimana yang dimaksudkan Pak Menteri," komentar seorang pegiat BUMDes dari Kabupaten Bantul.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian tentu saja soal korupsi. Merujuk jumlah kasus yang diterima (sekitar 362 kasus) dan yang layak ditindaklanjuti (87 kasus) KPK, secara persentase relatif rendah. Namun, menurut seorang mantan wali nagari di Sumatera Barat, kasus sejenis seharusnya jauh lebih luas. "Itu hanya puncak gunung es," kata sang mantan wali nagari itu menanggapi sebuahposting di laman Facebook.

Singkat kata, implementasi UU Desa, kecuali yang komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan aliran dana ke desa yang tahun anggaran 2017 ini mencapai angka Rp 60 triliun, memang masih jauh dari memuaskan. Maka, kritik tentang ambiguitas pengaturan desa oleh lebih dari satu kementerian itu perlu menjadi perhatian presiden dan para pembantunya. Waktu "belajar" tiga tahun rasanya cukup untuk menerapkan UU Desa ini secara lebih konsekuen di masa-masa yang akan datang.[*]

Oleh R YANDO ZAKARIA
Praktisi Antropologi, Anggota Tim Ahli DPR RI untuk RUU Desa. 
Harian Kompas, 11/02/2017