27 Maret 2017

Manfaatkan Embung Boon Pring untuk Ekowisata

Sebuah desa di kaki Gunung Semeru memiliki potensi yang masih tersembunyi. Rimbun dengan pohon bambu, masyarakat mengenalnya dengan Boon Pring. Telaga dan embung di Boon Pring yang terletak di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.

Manfaatkan Embung Boon Pring untuk Ekowisata

Telaga dan embung tersebut berfungsi sebagai sumber irigasi utama. Tiga desa dialiri dari sumber tersebut, yakni Desa Sanankerto, Desa Sananrejom dan Desa Pagedangan.

“Awalnya tempat ini hanya kebun bambu. Kemudian ada kegiatan konservasi masyarakat, maka pada tahun 1978 dibangun embung,” ujar Kepala Desa Sanankerto, Subur, saat ditemui di Boon Pring, Senin (27/3).

Pada tahun 2014 lalu, lanjut Subur, kawasan Boon Pring dikembangkan menggunakan konsep ekowisata. Dengan luas dan kedalaman tiga meter, pemanfaatan embung semakin luas, yakni untuk sektor perikanan dan wisata perahu. Disalurkannya Dana Desa (DD) menginspirasi masyarakat untuk membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kertoharjo. Ekowisata Boon Pring pun menjadi salah satu unit usahanya. 

“Pada 2016, ekowisata ini bisa menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 130 juta/ tahun. BUMDes juga akan kami kembangkan lagi dengan menyertakan modal sebesar Rp 170 juta yang diambil dari dana desa,” ungkapnya.

BUMDes yang baru didirikan pada tahun 2016 lalu ini memiliki pengurus dan pengawas sebanyak 10 orang. Awal pendiriannya pun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Mereka memanfaatkan PAD yang tersedia. Hal itu dilakukan karena dana desa pada 2016 lalu difokuskan untuk membangun infrastruktur berupa tembok penahan jalan dan pemberdayaan masyarakat.

“Rencana DD tahun 2017 akan digunakan untuk pengembangan ekowisata. Sebesar Rp 80 juta untuk pembangunan kolam renang, Rp 40 juta untuk flying fox, dan Rp 50 juta untuk sepeda perahu,” ujar Subur.

Ekowisata Boon Pring kini terus berkembang. Untuk mendukung operasional, pengelola menarik retribusi masuk ke kawasan wisata tersebut sebesar Rp 5.000,00.

Pengembangan embung Boon Pring dengan konsep ekowisata merupakan upaya mewujudkan kemandirian desa. Embung yang memiliki fungsi utama sebagai sumber air bagi masyarakat setempat berhasil memberikan nilai tambah, yakni pengembangan ekowisata yang memberikan manfaat tidak hanya bagi masyarakat desa sekitar, melainkan juga para wisatawan yang berkunjung.

Selain itu, BUMDes yang didapuk menjadi pengelola Boon Pring diyakini akan membuat ekowisata tersebut terus berkembang. Sementara keuntungan yang dihasilkan dapat digunakan untuk membangun desanya.

“Embung desa bisa meningkatkan produksi pertanian kita sebanyak dua kali lipat. Belum lagi bonusnya, yakni peningkatan kegiatan perikanan, pariwisata, dan aktivitas ekonomi lainnya. Itu akan menjadi daya ungkit ekonomi desa,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Sandjojo, saat mengunjungi desa ekowisata tersebut.

Menteri Eko menambahkan, embung yang ada di kawasan ini bisa diberikan pompa untuk mengangkat air. Perlu kreativitas para pendamping desa yang juga melibatkan masyarakat agar Boon Pring dapat terus berkembang. Dengan demikian, kawasan ini bisa mengatasi kemiskinan di lingkungan Boon Pring.

“Daerah bagus seperti ini bisa bikin homestay untuk menarik wisatawan, nanti bikin event-event juga bisa di sini. Sangat menarik untuk sektor pariwisata. Kita berikan stimulan Rp 50 juta untuk BUMDes disini,” lanjutnya.

Sumber: kemendesa

26 Maret 2017

Pasar Kawasan Perdesaan untuk Percepatan Ekonomi

Ayo Bangun Desa - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Sandjojo, meresmikan Pasar Kawasan Perdesaan Wringin di Desa Widarapayung Wetan, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (26/3). 
Foto: Ilustrasi
Pasar tersebut merupakan pasar kawasan perdesaan yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP), Kemendes PDTT. Selain itu, Menteri Eko juga menyerahkan kapal tangkap ikan untuk nelayan di desa setempat.

"Pasar Wringin ini diharapkan dapat menjadi sarana percepatan pembangunan ekonomi khususnya di Desa Widarapayung Wetan," ujar Menteri Eko.

Pasar seluas 200 meter persegi tersebut dibangun mulai November 2016 lalu. Total dana yang digunakan yakni sekitar Rp1,1 miliar. Pasar ini memiliki delapan kios dan tiga los yang mampu menampung hingga 15 pedagang.

Setelah meresmikan Pasar Wringin, Menteri Eko singgah di sebuah warung untuk berdialog dengan para Kepala Desa. Ditemani kopi dan tempe mendoan, Menteri Eko mengingatkan para Kepala Desa agar memanfaatkan dana desa dengan sebaik-baiknya.

Dirinya menjelaskan, fokus penggunaan dana desa tahun 2017 ditujukan pada empat hal. Pertama, pembangunan ekonomi melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). 

Menurutnya, BUMDes diharapkan mampu memberikan pengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat, baik melalui usaha simpan pinjam maupun perdagangan ritel khususnya pada pengembangan produk lokal.

“Kedua, kami minta agar desa segera menentukan Produk Unggulan Desa (Prudes). Tiap desa harus lebih fokus pada satu produk. Sehingga, para petani tidak dipermainkan lagi dan memiliki masalah harga dengan para tengkulak,” lanjutnya.

Ketiga, lanjut Menteri Eko, yakni dengan membangun embung air. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan produk unggulan para petani yang saat ini masih kesulitan masalah air. Program tersebut juga sekaligus merupakan instruksi Presiden Joko Widodo. Dengan adanya embung, para petani diharapkan dapat lebih produktif. Dari kemampuan panen satu kali menjadi tiga atau empat kali dalam setahun.

"Yang terakhir bangunlah sarana olahraga agar masyarakat desa dapat berkumpul untuk berolahraga bersama. Kita jaga kerukunan dengan baik. Disamping, itu bila terjadi keramaian di tempat-tempat olahraga maka akan ada pergerakan gairah ekonomi yang dibangun oleh masyarakat," ujarnya.(*)

Kemendesa PDTT

Desa Pilar Ekonomi Masa Depan

Sebutkan kata “Desa” maka pikiran orang melayang ke daerah-daerah terkebelakang di atas gunung, atau kampung nelayan di pesisir pantai. Tapi tahukah Anda bahwa dalam tempo 10-20 tahun dari sekarang, desa bisa menjadi pilar unggulan perekonomian nasional? Diam-diam pemerintah sedang memberdayakan 75.000 desa yang kapasitas produksinya akan melipatgandakan GDP Indonesia, bahkan nilai kapitalisasinya akan menandingi perusahaan-perusahaan raksasa dunia.
Ekonomoi Desa

Buang jauh-jauh kepentingan partai, kelompok dan golongan. Mari kita bicara tentang nasib bangsa ini menjelang peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka. Sebelum peringatan tersebut, bila program pembangunan desa yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Nawacita itu berhasil secara merata dan berkesinambungan [dilanjutkan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya], maka desa-desa di Indonesia akan menciptakan consumption power senilai Rp12.000 triliun atau mendekati US$ 1 triliun —sama seperti GDP Indonesia saat ini, termasuk yang dihasilkan oleh kawasan perkotaan dan kawasan industri.

Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah menghitungnya secara cermat bahwa potensi desa yang sangat besar itu harus ditumbuh-kembangkan, karena inilah salah satu pilar unggulan ekonomi Indonesia di masa depan.

Saat ini [2017] penduduk Indonesia berjumlah 259 juta yang mencakup angkatan kerja sebanyak 47% atau 125 juta orang. Setengah dari jumlah ini tinggal di desa-desa. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun dari sekarang, Indonesia akan memperoleh bonus demografi ketika jumlah penduduk naik menjadi lebih dari 270 juta orang dan angkatan kerja bertambah menjadi 67% dari jumlah penduduk.

Tahun 2030 jumlah penduduk negeri ini diperkirakan akan mencapai 300 juta orang, sekitar setengahnya berada di kawasan perdesaan. Jika dihitung bahwa nanti terdapat 200 juta angkatan kerja saja —sekitar 10-15 tahun dari sekarang —maka ada 100 juta pekerja yang tinggal di daerah pedesaan.

Dalam kalkulasi Eko Putro Sandjojo, jika setiap desa fokus memproduksi satu produk unggulan tertentu melalui Program Unggulan Desa (Prudes) atau di Jawa dikenal dengan nama Program Kawasan Perdesaan (Prokades) maka akan menghasilkan skala ekonomis yang berdampak.

Setiap angkatan kerja di desa bisa memperoleh penghasilan Rp2 juta per bulan, karena sektor pertanian yang terintegrasi secara vertikal bisa memberikan pekerjaan turunan. Misalnya ada kuli panggul, ada buruh, ada pegawai di perusahaan pasca-panen, sopir truk, warung-warung, retail dan seterusnya. Jadi multiplier effect-nya besar. Maka desa akan menyumbang paling sedikit Rp200 triliun per bulan kepada perekonomian nasional.

Apabila jumlah Rp200 triliun itu menghasilkan consumption effect lima kali lipat —sebagai kalkulasi moderat— maka kapasitas konsumsi berbasis desa akan mencapai Rp1.000 triliun per bulan atau Rp12.000 triliun per tahun atau enam kali APBN 2017. Sehingga akan memberikan kontribusi sekitar US$1 triliun kepada GDP Indonesia.

Ini kalau kita hitung bahwa dalam tempo 10-15 tahun dari sekarang program pembangunan desa yang dijalankan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu membuat penghasilan angkatan kerja di desa tumbuh menjadi Rp2 juta per orang per bulan.

Di banyak desa jumlah ini akan jauh lebih besar. Pendapatan rata-rata masyarakat desa di Jawa saat ini pun sudah lebih dari Rp2 juta. Tapi dengan hanya Rp2 juta saja, desa sudah bisa menciptakan nilai sebesar GDP Indonesia saat ini, apalagi kalau bisa lebih, ujar Eko Putro Sandjojo ketika ditemui Pitan Daslani dan Andrea Salman dari Indonesian Leaders.

“Itu yang akan menjadi kekuatan Indonesia. Berarti cita-cita Pak Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam rangka NKRI itu bukanlah isapan jempol. Secara matematika bisa dibuktikan. Nah, teknisnya, bagaimana agar kita membuat Produk Unggulan Desa (Prudes) ini jalan.”

Produk Unggulan Desa

Kementerian yang dipimpin Eko kini sibuk mendorong desa-desa di Tanah Air untuk fokus mengembangkan produk-produk unggulan tertentu sesuai potensi daerahnya masing-masing dengan semboyan One Village One Product. Selama ini karena tidak terorganisir dengan baik maka desa-desa tidak mempunyai fokus produksi. Namun hal inilah yang sedang dibenahi agar setiap desa memiliki produk unggulan tertentu sehingga bisa mempunyai skala produksi yang besar.

One Village One Product adalah satu dari empat program yang menjadi strategi kementerian ini. Produk-produk unggulan ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang merupakan program unggulan kedua. Program unggulan lainnya adalah Embung Desa dan Sarana Olahraga.

BUMDes berbentuk perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan berada di bawah holding dimana empat bank BUMN yaitu Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi pemilik mayoritas (51%) sementara desa mengontrol 49% saham perusahaan tersebut.

Guna meningkatan kinerja serta menerapkan transparansi dalam pengelolaan BUMDes maka pemerintah juga telah mendorong kehadiran mitra-mitra BUMDes untuk bekerjasama.

“Kalau satu desa punya satu mitra BUMDes, dan satu mitra BUMDes bisa untung Rp 1 miliar per tahun, maka jika dikonsolidasikan akan menghasilkan Rp 75 triliun net profit. Sampai sekarang belum ada perusahaan di Indonesia bisa menghasilkan net profit sebesar itu,” ujar Menteri Eko.

Bandingkan net profit dari satu holding ini (Rp75 triliun) dengan keuntungan 138 BUMN yang berjumlah Rp140 triliun. “Nah perusahaan yang punya net profit Rp75 triliun tentu tidak mungkin kita diamkan saja. Saya tentu akan float ke pasar saham.

Kalau price to earning (P/E) ratio-nya 20 misalnya maka kapitalisasi pasarnya sudah Rp1.500 triliun atau US$ 120 miliar, atau sama dengan 30% dari nilai kapitalisasi Apple Computer. BumDes ini bisa menjadi world-class company.”

Menteri Eko yang berlatarbelakang profesional bisnis itu berpendapat bahwa salah satu kunci keberhasilan pengembangan kawasan perdesaan adalah manajemen korporasi BumDes secara profesional.

“Malaysia dan Singapura itu negara kecil yang sumber daya alamnya tak sebanyak Indonesia, tetapi karena dia kompak sehingga bisa mengkapitalisasi bukan hanya resources negaranya tetapi juga recources negara tetangga.”

Embung Air Desa

Karena 82% masyarakat di perdesaan hidup di sektor pertanian, maka titik beratnya adalah membuat tiap desa fokus ke komoditas pertanian dan pendukungnya.

Untuk menunjang penciptaan produk-produk unggulan desa, maka Menteri Eko sibuk mendorong pembangunan embung air sesuai visi yang ditetapkan Presiden.

“Di Indonesia ini hanya 45% desa yang mempunyai saluran irigasi. Sisanya belum punya saluran irigasi. Jadi yang punya saluran irigasi itu bisa tiga kali panen, tapi yang tidak punya saluran irigasi cuma pas musim hujan saja bisa menanam dan hanya satu kali panen. Jadi rata-rata nasional cuma 1,4 kali panen per tahun, padahal seharusnya bisa tiga kali panen, kalau ada air.

“Karena itulah maka tambahan anggaran desa sebesar Rp20 triliun itu Bapak Presiden minta untuk digunakan membangun embung air di setiap desa. Jadi desa mengalokasikan Rp200-500 juta untuk membangun embung air.

“Embung air itu tak perlu harus dibikin di tanah baru; saluran irigasi dilebarkan dan diperdalam itu juga bisa jadi long storage sebagai embung air juga. Sehingga pada saat musim kemarau pun bisa ditarik pakai pompa, airnya bisa buat menanam agar bisa tiga kali panen. Jadi secara nasional bisa naik dua kali lipat dengan lahan yang sama.

“Embung itu juga bisa dimanfaatkan untuk perikanan; jadi supaya tidak idle, digunakan untuk perikanan agar ada additional income buat desa. Perikanan bisa dimanfaatkan juga buat pariwisata. Jadi tahun lalu ada yang curi start, ada 600 desa yang sudah bikin embung. Di Kutai Kartanegara kebetulan kaya dana bagi hasilnya ada Rp 7 triliun, jadi setiap desa dikasih Rp 3 miliar.”

Holding BUMDes

Sistematikanya adalah membangun produk unggulan setiap desa, kemudian disusul pembangunan embung air sehingga penduduk desa mempunyai penghasilan yang meningkat, barulah dibentuk BUMDes di tiap desa lalu di-holding-kan di bawah empat bank BUMN itu.

BUMDes sering tidak dipahami banyak orang yang menyangkanya sebagai koperasi. Padahal BUMDes dan koperasi adalah dua hal yang berbeda karena BUMDes adalah perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan keuntungannya digunakan 100% untuk kepentingan desa, misalnya membangun atau memperbaiki infrastruktur perdesaan. Sedangkan koperasi dimiliki anggotanya yang menggunakan 100% keuntungannya untuk kepentingan anggota masyarakat.

Banyak BUMDes yang sudah sukses, bahkan mampu mencetak laba Rp10-15 miliar, namun banyak pula yang masih belum sukses karena terkendala oleh minimnya SDM pengelola yang mumpuni.

“Yang sukses itu di daerah-daerah yang mempunyai human resources yang ada kapasitas untuk mengelola semacam BUMDes. Tapi problemnya, tidak semua desa, apalagi desa-desa yang jauh, itu punya SDM demikian.”

Karena itu maka sekarang Menteri Eko dibantu oleh BNI untuk melatih 1.500 BUMDes setiap tahun melalui BNI University yang melatih di bidang kewirausahaan dan manajemen. Tapi bila hanya melatih 1.500 BUMDes per tahun sementara ada 75.000 desa, maka diperlukan 50 tahun untuk melatih SDM BUMDes di semua desa. Inilah sebabnya Menteri Eko kemudian membentuk holding BUMDes.

Pemilik holding ini adalah keempat bank BUMN tersebut yang memegang saham 51%. Holding ini akan mempunyai anak perusahaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Holding dimaksud sudah terbentuk dan sedang menangani proyek percontohan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.

Repotnya, holding ini berhadapan dengan BUMDes-BUMDes yang kapasitasnya beragam. Ada yang sudah punya laba bersih Rp15 miliar, ada yang labanya hanya Rp1 miliar, sementara ada juga yang pas-pasan. Ini membuat holding kesulitan untuk melakukan valuasi, Untuk mengatasi kondisi ini maka Menteri Eko munculkan solusi terobosan yaitu membentuk mitra-mitra BUMDes yang sahamnya 51% dimiliki oleh negara melalui holding sedangkan 49% dimiliki oleh desa.

Negara tetap akan mengontrol 51% agar pengelolaan BUMDes bisa transparan dan tidak menjadi monopoli kelompok kepentingan. Sebab pengalaman selama ini ada juga BUMDes yang sukses ternyata pengurusnya adalah anggota keluarga dan kerabat kepala desa. Dengan adanya holding maka praktik semacam itu bisa dicegah dan mereka bisa magang di bawah holding untuk mempelajari manajemen BUMDes secara profesional sebagai korporasi.

Manfaat lainnya adalah pemerintah dapat mennyalurkan semua subsidi melalui mitra-mitra BUMDes dan bank-bank yang mengelola holding akan lebih nyaman memberikan kredit.

Bulan Maret 2017 ketika holding BUMDes mulai beroperasi untuk pilot project di Banten dan Jawa Barat, hasilnya mulai tampak. Total jumlah BUMDes dikabarkan mencapai lebih dari 14.000 namun yang terdata di kementerian ini sudah lebih dari 22.000. Fokus kementerian adalah bukan kuantitas, melainkan kualitasnya agar bisa mandiri.

Selain itu dari sisi keamanan dan pengembangan aset, akan lebih terjamin, misalnya solar cell, traktor, harvester, dan peralatan lainnya. BUMDes yang memiliki 10 traktor misalnya dapat dijaminkan ke bank untuk membeli 20 traktor lagi.

“Jadi dengan anggran negara yang terbatas BUMDes bisa seolah-olah mendapat kapital dalam bentuk barang yang bisa dijaminkan untuk membeli barang baru lagi lalu disewakan kepada masyarakat. Begitu pula apabila diberi satu sarana air bersih, bisa di-leverage menjadi bebrapa sarana air bersih.”

Dengan demikian maka mitra-mitra BUMDes akan dengan mudah mencetak laba Rp100 juta per tahun karena berbagai produk dagangannya seperti beras dan minyak goreng dapat dijual di situ. Nanti distribusinya melalui koperasi-koperasi desa yang terfokus ke komoditas spesifik khas desa, misalnya koperasi transportasi, koperasi jagung, padi, dan lainnya. Pemerintah mensubsidi dengan memberikan pupuk secara gratis.
Sinergi Kementerian dan Lembaga

Ini baru bicara tentang potensi desa, belum lagi tentang dampaknya bagi perekonomian di daerah perkotaan. Akan akan multiplier effects terhadap kota-kota, karena jaringan distribusi produk dari desa serta kebutuhan masyarakat perdesaan akan menciptakan lapangan kerja baru serta dampak ekonominya secara berantai terus sampai ke kota-kota.

Maka Menteri Eko sangat yakin bahwa desa akan mampu menghasilkan tambahan US$1,5 triliun kepada Produk Domestik Bruto nasional. Inilah sebabnya Presiden Jokowi yakin program Prudes dan Prukades bisa sukses.

Banyak kepala daerah mulai menerapkan program ini, misalnya di Halmahera Barat yang bupatinya melapor kepada Menteri Eko bahwa ia sudah membuka kawasan 20.000 hektar untuk jagung, dan bibitnya didapat dari Menteri Pertanian.

Ke depan program yang didukung oleh 19 kementerian dan lembaga ini akan menjadi gerakan nasional dimana masing-masing daerah akan fokus ke produk-produk tertentu sesuai potensi terbesar di daerahnya.

Kementerian dan lembaga-lembaga dimaksud pun Tupoksi-nya berada di desa sehingga memudahkan implementasi program Prudes dan Prukades, ujar Menteri Eko, meyakinkan.

Dengan adanya sinergi dari 19 kementerian dan lembaga ini maka dana desa sebesar Rp60 triliun dari total transfer Rp560 triliun ke daerah itu bisa menjadi penggerak peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Tapi, mungkinkah semua ini akan berjalan dengan baik dari sisi manajemen kebijakan pemerintah pusat?

Menteri Eko menjawabnya enteng: “Enaknya, Pak Jokowi itu kita baru ngomong sedikit, dia sudah menangkap maksudnya; apalagi karena dia juga berlatarbelakang pengusaha. Jadi kita tak perlu bingung-bingung bicara. Dia cepat paham maksud kita; dia langsung panggil menteri-menteri lainnya untuk membantu Menteri Desa. Enaknya Pak Jokowi itu begitu.”

Mengingat bahwa strategi, struktur, sistem, serta skill untuk menjalankan program raksasa ini sudah dibangun, maka perlu adanya kesinambungan kebijakan pemerintah pusat sebagai jaminan konsistensi arah pengembangan kawasan perdesaan terus ke depan.

Penyakit paling menyakitkan di negeri ini adalah ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional maka semua strategi dan program pembangunan yang baik kemudian ditinggalkan dan diganti lagi dengan strategi baru yang dimulai dari awal.

Pemerhati-pemerhati masalah ekonomi memperkirakan bahwa Presiden Jokowi perlu 10 tahun untuk merampungkan rencana besar yang sudah berjalan ini agar manfaatnya bisa dirasakan oleh puluhan ribu desa yang dihuni begitu banyak penduduk Indonesia. [*]

Sumber: majalahleaders.com

Cara Presiden Jokowi Memilih Menteri Desa

Cara Presiden memilih Menteri Kabinet memberikan gambaran tentang apa yang bisa diharapkan dari pemerintahannya. Ada alasan kuat mengapa Presiden Joko Widodo memilih Eko Putro Sandjojo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sebab negara hanya akan sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya akan sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.

Ketika Presiden Soeharto memanggil Ali Wardhana untuk menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet pertamanya, Ali menolak karena ia belum berpengalaman sebagai pejabat.

Setelah mendengarkan keberatan Ali Wardhana, Pak Harto menjawab, “Kamu pikir saya mau jadi Presiden? Saya juga belum pernah menjadi Presiden. Kamu belum pernah menjadi Menteri Keuangan. Jadi jangan khawatir, kita belajar bersama.”

Ketika Eko Putro Sandjojo dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko memberikan tanggapan yang serupa dengan jawaban Ali Wardhana.

“Waktu itu Presiden menyuruh saya membereskan kementerian ini karena banyak disorot. Saya disuruh untuk membuat terobosan,” kenang Eko saat diremui wartawan Indonesian Leaders.

“Saya katakan ke Presiden, ‘Pak, saya ini nggak pernah jadi pejabat. Saya bukan orang desa, kok saya dijadikan Menteri Desa, Pak?’ Saya katakan itu ke Presiden.”

Jokowi menjawab, “Saya juga belum pernah jadi Presiden; saya dulu seorang pengusaha, berjiwa pengusaha.”

Presiden kemudian berkata, “Pak Menteri kan punya pengalaman 20 tahun di [perdagangan] komoditi. Desa-desa itu pada prinsipnya adalah basis semua komoditi. Kalau orang desa saya jadikan Menteri Desa, karena setiap hari sudah melihat masalah, nanti dia jadi tidak melihat masalah lagi. Nah, coba dengan [pengalaman] berbasis komoditi itu Pak Menteri keliling ke desa-desa; nanti akan punya terobosan.”

Strategi Presiden dalam memilih Menteri ini tepat, sebab menurut teori kepemimpinan yang dicetuskan Tanri Abeng, “Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.”

Latar belakang Presiden Jokowi sebagai pengusaha itu bermanfaat juga dijadikan pijakan dalam memilih anakbuahnya. Sebab pengusaha berorientasi pada hasil yang akan dicapai, bukan tingkat popularitas calon pemimpin yang akan diseleksi. Jokowi mampu melihat potensi yang ada dalam diri Eko Putro Sandjojo serta pengalamannya dalam sektor perdagangan komoditi serta bidang lainnya ketika ia menjadi profesional bisnis.

Bagi Eko sendiri, terobosan yang diharapkan Presiden untuk dilakukannya membuat dia harus berkeliling ke berbagai daerah.

“Ternyata benar. Begitu saya keliling pertama kali, saya lihat problemnya adalah desa-desa tidak punya fokus. Jadi sedikit menanam cabe, sedikit menanam bawang dan sebagainya. Jadi tak ada skala ekonomi. Karena tak ada skala ekonomi maka tak ada [kegiatan ekonomi] pasca-panen. Karena tak ada itu di pasca-panen maka tak ada jaminan harga.”

Akibatnya para petani berganti-ganti komoditas. Hari ini menanam cabe, besok rugi, dia ganti komoditi dengan menanam bawang. Harga jatuh, dia pindah lagi menanam padi. Besok harga jatuh, dia ganti lagi. Jadi customer-nya juga bingung. Tadinya mau membeli cabe di desa itu, tapi petani di sana semua sudah menanam bawang dan bukan cabe lagi.

Bandingkan kondisi ini dengan ruko-ruko kecil di daerah perkotaan seperti di Tanah Abang, Jakarta. Satu ruko saja omzetnya bisa miliaran rupiah.

Menteri Eko katakan, keberpihakan Presiden pada masyarakat kelas bawah sungguh tulus and all-out.

“Dia benar-benar komit sesuai Nawacita. Negara dalam keadaan susah aja pada tahun 2015 dia tetapkan Rp20,8 triliun untuk desa; tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp46,96 triliun, dan tahun 2017 dinaikkan lagi menjadi Rp60 triliun. Tahun 2018 dana desa akan ditingkatkan lagi sampai menjadi Rp 120 triliun.

“Pertama kali dalam sejarah Indonesia bahwa anggaran pemerintah yang ditransfer ke daerah menjadi Rp760 triliun sementara pemerintah pusat hanya menggunakan Rp740 triliun.”

Eko menilai bahwa Presiden bekerja sepenuh hati “karena ia tak mempunyai agenda lain. Mana ada saudaranya Presiden yang terlibat bisnis atau yang memanfaatkan fasilitas negara?”

Ternyata hal ini menjadi salah satu faktor yang menyemangati para Menteri Kabinet. Melihat Presiden bekerja keras dan tulus buat keppentingan rakyat, ujar Eko, “kita jadi semangat dan kita ingin melakukan sesuatu seperti yang dilakukan Presiden.”

Mungkin ini pula sebabnya mengapa Menteri Eko komit memberdayakan 75.000 desa di Tanah Air, meskipun ia tak mau mengambil gaji dari kerja kerasnya itu. Sejak menjabat, gajinya ia kembalikan untuk digunakan sebagai dana operasional kementerian. 

Lessons Learned

Saking semangatnya Pak Menteri yang satu ini sampai perayaan 17 Agustus pun ia memilih tidak menghadirinya di Istana, tetapi merayakannya dengan penduduk di desa-desa.

Suatu ketika Eko menghadap Jokowi. “Pak Presiden, saya minta izin, boleh atau tidak? Saya tidak ikut acara kenegaraan 17 Agustus.” “Kenapa,” tanya Jokowi.

“Saya mau merayakan 17 Agustus di desa-desa, di daerah perbatasan.”

Sejenak Presiden terdiam. Menteri Desa ini bingung. Mungkin Presiden sedang marah, pikirnya.

Sesaat kemudian Presiden Jokowi berkata, “Bagus begitu. Tahun depan seluruh Menteri saya suruh merayakan 17 Agustus di daerah perbatasan.”

Kegiatan safari Menteri Desa ke berbagai daerah membuat dirinya semakin memahami akar permasalahan yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sejak detik itu saya nggak ada interest lagi di kemewahan. Biasa beli mobil dan suka ngebut, sekarang nggak kepikir lagi itu. “Sudah 71 tahun kita merdeka tapi sebagian masyarakat masih miskin, anak-anak kekurangan gizi, 60% angkatan kerja kita cuma tamatan SD dan SMP.”

Ini sebabnya Eko begitu respek terhadap Jokowi bukan semata-mata karena ia pembantu Presiden, tetapi karena komitmen Presiden untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan ke seluruh daerah, khususnya daerah perdesaan, agar negara yang semakin maju ini bisa maju secara merata dan berkeadilan.

Eko kemudian fokus membuat business model yang tepat untuk diberlakukan dengan penyesuaian di berbagai daerah perdesaan. Strateginya adalah menjalankan empat program unggulan yaitu One Village One Product, Embung Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olahraga.

Dalam dua tahun terakhir, jumlah BUMDes meningkat tajam. Pada akhir tahun 2014, jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, namun tahun 2016 meningkat drastis hingga 14.686 unit.

Dari total jumlah BUMDes itu sebanyak 6.728 unit (52%) berada di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, diikuti Jawa Timur sebanyak 918 unit (7,14%) dan Jawa Tengah sebanyak 800 unit (6,22%).

Sejumlah BumDes sudah memiliki omzet antara Rp300 juta-Rp8,7 miliar, berdasarkan data kementerian ini. BUMDes yang memiliki omzet tertinggi per tahun adalah BUMDes Tirtonirmolo di Bantul dengan omzet sebesar Rp6,7 miliar dengan jenis usaha jasa simpan pinjam.

BumDes paling sukses di urutan ke-dua adalah BumDes Ponggok Klaten di bidang pariwisata, dan BumDes Gili Amerta di Kabupaten Buleleng masing-masing sebanyak Rp5,1 miliar.

Program Sarana Olahraga termasuk pembangunan lapangan bola serta fasilitas lainnya di desa-desa. Karena Eko Putro Sandjojo bukanlah Menteri Pemuda dan Olahraga, maka tujuan utama pembangunan sarana olahraga ini sebetulnya bukan untuk mencari bibit-bibit atlet dari daerah, tetapi untuk mengumpulkan crowd. Ketika banyak orang berkumpul di satu desa maka akan tercipta kegiatan ekonomi berantai dan dapat pula menjadi tujuan wisata.

Pelajaran kepemimpinan yang bisa dipetik dari cara Presiden memilih Menteri Desa adalah bahwa apabila kita mengharapkan hasil kerja yang maksimal serta terobosan-terobosan kebijakan dari seorang pemimpin, maka cara terbaik adalah memilih orang yang tepat, yaitu mereka yang keahlian dan pengalamannya bisa memberikan nilai tambah bagi lembaga yang dipimpinnya bukan sekadar memilih tokoh-tokoh yang populer namun miskin kemampuan untuk menciptakan nilai tambah.

Sebab, seperti kata Tanri Abeng, Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya. (Sumber: 
Majalahleaders.com)

Wonogiri Jadi Model Pembangunan Kawasan Perdesaan Terpadu

Ayo Bangun Desa - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menjadikan lima desa di Kabupaten Wonogiri sebagai model pembangunan kawasan perdesaan. Model pembangunan tersebut dimulai dengan mengembangkan peternakan sapi terpadu.
Foto: Kemendesa PDTT
“Kita ingin peternakan ini menjadi bagian penting dari ketahanan pangan dan juga energi. Kotoran padat dan cair yang dihasillkan dari sini dapat menghasilkan energi dalam bentuk gas maupun pupuk. Hal itu tentu sangat bisa menopang produksi pertanian di kawasan ini,” ujar Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT, Anwar Sanusi, saat meninjau kandang sapi di Desa Semagar, Kecamatan Girimarto, Wonogiri, Jumat (24/3).

Anwar menambahkan, perkembangan peternakan ini pun sangat menjanjikan untuk kemajuan kawasan perdesaan. Hal itu ia utarakan setelah melihat pada pengelolaan sapi yang baik. Setiap kendang di satu desa dapat mengelola lebih dari 30 ekor sapi. Berat rata-rata setiap sapi pun mencapai 600 kilogram.

“Ini adalah satu model pengelolaan keuangan dan juga usaha yang menjanjikan di tingkat desa. Peternakan ini juga sangat berpotensi untuk dapat menjawab kurangnya suplai daging di wilayah sini,” ujar Anwar.

Lima desa yang dijadikan model tersebut adalah Desa Waleng, Semagar, Bubakan, Selorejo, dan Girimarto. Stimulan yang diberikan berupa 180 Sapi Limosin/ Simental, 18 unit kandang kapasitas 10 ekor sapi, bibit rumput gajah, pakan konsentrat, serta obat-obatan.

“Dengan adanya stimulan dari Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) ini, kami tentu berharap masyarakat dapat terus mengembangkannya untuk kesejahteraan kawasan perdesaan di Girimarto,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Desa Semagar, Kastono, mengatakan, pengembangan peternakan ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dirinya pun mengungkapkan saat ini sedang disiapkan lahan pertanian seluas lebih dari 200 hektar untuk mendukung pengembangan produk peternakan di lima desa tersebut.

“Peternakan ini sangat berpengaruh terhadap UMKM kita. Hasil daripada limbah sapi ini akan kita gunakan untuk produksi di UMKM. Kami (lima desa) juga telah membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bersama Lenggar Bujo Giri untuk mengelola pengolahan lanjutan dari peternakan ini ,” ujarnya.

Adanya peternakan tersebut juga menjadi bentuk pemberdayaan masyarakat. Ia berujar, masyarakat dan peternak dari desa lain bisa belajar mengenai pengolahan limbah,pemeliharaan sapi, cara membuat konsentrat, dan lainnya.

“Para pedagang bakso juga siap untuk membeli daging dari sini. Kami juga menjamin tidak ada gelonggongan disini karena sapi-sapi tersebut kita kelola secara baik dan benar dengan pendekatan peternakan modern,” tutup Kastono.(*)

Kemendesa PDTT

24 Maret 2017

Sebelum Diciduk Tim Saber Punggli, DPMD Sudah Ingatkan Kades

Ayo Bangun Desa - Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa telah mengimbau Kepala desa (Kades) supaya tidak menyalahgunakan kewenangan selaku pemimpin di desa.  
Kepala DPMD, Eko Suwanto, mengakui, peringatan tersebut disampaikan saat rapat bersama pengurus Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI), beberapa waktu lalu. 

"Saya minta Kades hati-hati, sekarang ada Tim Saber Pungli. Jangan melakukan perbuatan melawan hukum. Ternyata sudah ada Kades yang ditangkap," kata dia, Jumat (24/3). 

Pihaknya memiliki peran penting mengubah maindsite semua Kades. Hal tersebut akan dilakukan secara berkala ke depannya.
Bahkan, Eko meminta Kades agar mencatat secara baik terkait penggunaan Alokasi Dana Desa dan Dana Desa. 

"Jika pengeluarannya Rp1.000 ya ditulis, dimasukkan dalam catatan. Jangan lantas diabaikan karena nominalnya kecil. Sama halnya, jika biaya kepengurusan akta tanah, dll besarannya sekian, jangan meminta lebih," tegas dia. 

Pihaknya juga meminta masyarakat supaya saat mengurus surat-surat di pemerintah desa, tidak sampai menawarkan imbalan. 

"Jika sama Kades atau perangkat desa diminta imbalan, jangan dikasih. Pemerintah desa tugasnya melayani masyarakat, kalau semisal dibuat sulit atau tidak dilayani, adukan ke pemerintah daerah," harap dia.(*)

Malangvoice.com

22 Maret 2017

Tak Terbukti Korupsi Dana Desa, Hakim Bebaskan Mantan Bendahara dan Sekdes

Ayo Bangun Desa - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh memvonis bebas dua terdakwa kasus dugaan korupsi dana Gampong Luengbata, Banda Aceh, yang bersumber dari Pendapatan Asli Gampong (PAG) tahun 2012-2014 dengan kerugian Rp 150.956.450. Kedua terdakwa adalah Darwin selaku sekretaris dan Edward selaku bendahara Gampong Luengbata saat itu.
Tak Terbukti Korupsi Dana Desa, Hakim Bebaskan Mantan Bendahara dan Sekdes
Dana Desa untuk Desa Membangun/Ilustrasi
“Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, kesatu subsider, dan dakwaan kedua. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum,” baca ketua majelis hakim, Eti Astuti SH MH dalam sidang pamungkas di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Senin (20/3) di hadapan kuasa hukum terdakwa, Jalaluddin Moebin SH dan Najmuddin SH serta jaksa dari Kejari Banda Aceh.


Majelis hakim juga memerintahkan agar kedua terdakwa dibebaskan dari tahanan setelah putusan itu diucapkan. Karena, selama proses persidangan, kedua terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Banda Aceh yang berada di Gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Selain itu, hakim juga memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukam, harkat, serta martabatnya.

Putusan tersebut berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Banda Aceh selama 4,6 tahun penjara. Namun berdasarkan keterangan saksi dan barang bukti, hakim berpendapat bahwa kedua terdakwa tidak ikut terlibat melakukan korupsi dana Gampong Luengbata, Banda Aceh, yang bersumber dari PAG tahun 2012-2014 dengan kerugian Rp 150.956.450 dari total Rp 1.075.840.412.


Sebelumnya kasus tersebut juga menyeret mantan Keuchik Luengbata, Syarifuddin. Dalam perkara itu, Syarifuddin terbukti melakukan korupsi dana desa dengan mempergunakannya untuk kepentingan sendiri dan divonis selama 1,5 tahun penjara. Saat ini, Syarifuddin sudah ditahan di Rutan Banda Aceh.
Terkait putusan tersebut, JPU menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari apakah menerima atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).


Sementara kedua terdakwa bersama kuasa hukumnya menyatakan menerima. “Kami menilai putusan hakim sudah sesuai dan sangat adil, karena memang klien kami tidak bersalah,” kata Jalaluddin yang diaminkan Najmuddin.[]

Aceh.tribunnews.com

Alokasi Dana Desa di Abdya Terancam Tersendat

Ayo Bangun Desa - Alokasi dana desa tahun anggaran 2017 di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh, terancam tersendat, karena 123 desa hingga kini belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban tahap III tahun 2016.
Alokasi dana desa tahun anggaran 2017 di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh, terancam tersendat, karena 123 desa hingga kini belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban tahap III tahun 2016.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pengendalian Penduduk dan Pemberdayaan Perempuan (DMP4) Kabupaten Abdya, Ruslan Adli di Blangpidie, Rabu mengatakan, jumlah keseluruhan penerima alokasi dana desa (ADD) tahun 2016 sebanyak 132 desa.


Dari jumlah tersebut, lanjutnya, baru 9 desa yang telah menyerahkan laporan pertanggunjawaban (LPJ), baik dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun dari Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK).

"Selain dana desa dari APBN, Pemkab Abdya ada juga menyalurkan dana desa sumber APBK. Jadi, jika dalam waktu dekat ini pihak desa belum menyerahkan LPJ, maka ADD tahap pertama tahun ini bakal tersendat," ujar dia.

Ruslan mengatakan, pemerintah daerah tidak diperbolehkan mentransfer dana desa ke gampong-gampong (desa) yang belum menyerahkan laporan pertanggungjawaban ADD tahap III tahun 2016.

Kata dia, 9 desa yang telah menyerahkan LPJ ADD tahap III tahun lalu tersebut, enam di antarannya dari Kecamatan Manggeng, yakni Desa Seunelop, Desa Ladang Panah, Desa Panton Makmur, Desa Sejahtera dan Desa Keude Manggeng.

Kemudian Desa Padang Bak Jok dan Desa Ie Lhob dari Kecamatan Tangan-Tangan, Desa Padang Baro, Kecamatan Susoh dan Desa Kuta Jumpa, Kecamatan Jeumpa.

Sementara desa-desa yang berada di Kecamatan Lembah Sabil, Kecamatan Blangpidie, Kecamatan Babahrot, Kecamatan Kuala Batee dan Kecamatan Setia, hingga saat ini satupun belum menyerahkan LPJ ADD.

"Jika LPJ itu belum diserahkan, ADD tahun 2017 tidak bisa ditransfer ke desa-desa. Jadi, kita imbau semua desa untuk segera mungkin menyampaikan LPJ tersebut supaya penyaluran dana desa tahun ini tidak menjadi terhambat," demikian Ruslan Adli.[]

Antaranews.com