Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan

04 September 2017

Menjangkau Si Miskin di Desa

Rapat terbatas kabinet Presiden Joko Widodo berupaya mengurangi kemiskinan di perdesaan (Kompas, 26/7). Masalahnya, program pemerintah tidak lagi efektif menjangkau orang miskin.

Berbagai publikasi BPS mengabarkan jumlah si miskin di perdesaan mandek di kisaran 18 juta jiwa atau 14 persen sejak 2014. Padahal selama 2014-2016 saja digelontorkan anggaran kemiskinan Rp 418 triliun (termasuk dana desa Rp 67 triliun), ditambah subsidi petani Rp 94,9 triliun.

Program pemerintah tidak lagi efektif menjangkau orang miskin.
Rumah Miskin di Desa/Foto Ilustrasi: Blogger Desa
Kesulitan menjangkau si miskin di desa lantaran berbeda karakteristik dari perkotaan. Di kota, golongan miskin mudah dijangkau secara individual, seperti anak jalanan, pelacur, pekerja informal, jompo di rumah gubuk atau rumah susun. Kehidupan individualis membuka sosok si miskin sehingga mudah dikenali di sepanjang jalan.

Di desa, kehidupan komunal menyembunyikan wajah kemiskinan. Sejak 1956, Clifford Geertz sekadar menjumpai golongan "tidak cukup", tapi tidak sampai miskin, apalagi melarat. Sebab, si miskin di desa hanya terjangkau dalam lingkup keluarga.

Anak miskin yang ditinggal migrasi orangtuanya ke luar negeri tetap dijaga orangtua dan mertua. Sarapan hingga makan malam jompo dikirimi tetangga. Kemiskinan mendadak lantaran rumah roboh, bencana alam, kegagalan panen ditanggulangi bersama dalam lingkup rukun tetangga (RT) atau dusun (rukun warga/RW).

Tubuh miskin yang selalu terselip di antara tetangga penolongnya mengindikasikan upaya menjangkau si miskin paling tepat melalui ketua RT. Pengumpulan data mikro yang mencakup nama dan alamat si miskin tepat ditugaskan kepada ketua RT. Hanya, perlu dicatat, metode ini cocok ketika dilaksanakan pertama kali pada suatu RT. Sebab, begitu warga mengetahui trik di dalamnya, keakuratan penetapan keluarga miskin menurun.

Pemerintah bisa menjalankan diskusi serentak ke semua RT di Indonesia. Pendamping desa bisa digerakkan. Tahun berikutnya tinggal ketua RT memperbaiki data registrasi kemiskinan: mencoret keluarga yang mentas dari kemiskinan dan mencatat yang jatuh miskin kembali.

Ketika dipraktikkan sebagai studi multikasus, hingga kini hasilnya konsisten: golongan melarat berpenghasilan seperlima garis kemiskinan. Dengan garis Maret 2017 setinggi Rp 2 juta per keluarga dalam sebulan, pendapatan mereka tak lebih dari Rp 400.000.

Mereka menumpang pada kerabat, tinggal di lahan tetangga, atau lahan desa. Karena jompo dan sakit keras, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap.

Golongan miskin memiliki penghasilan sampai garis kemiskinan tinggal di rumah sederhana di lahan terbatas. Karena masih muda, mereka mampu bekerja serabutan atau menjadi buruh tani dan buruh konstruksi.

Tangga stratifikasi sosial tingkat RT juga berisi upaya keluarga keluar dari kemiskinan, juga kejadian buruk yang memiskinkannya. Inilah mata air bagi pendekatan baru penanggulangan kemiskinan karena telah efektif dijalani keluarga miskin di desa.

Golongan melarat yang sakit parah mustahil beraktivitas sehingga layak mengakses kartu kesehatan dan pangan yang mencukupi sepanjang tahun.

Golongan miskin yang masih mampu bekerja diberdayakan pada pertanian dan konstruksi. Mandor bangunan mendaftarkan pekerja ke balai pelatihan konstruksi. Setelah konsisten menjaga mutu kerja infrastruktur terbangun, di akhir proyek mereka meraih sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Inilah modal dapat upah lebih tinggi dan terjamin.

Pendidikan kejuruan pemuda desa yang berakhir sebagai migran sektor formal di Asia Timur mencipta tangga pengentasan rakyat miskin. Gaji pemuda migran menambah aset lahan bagi keluarga miskin selama 1999-2017. Maka, badan usaha milik desa (BUMDes) perlu mencipta pinjaman dana pendidikan.

Sejak 2012, skema kredit menjelma sebagai pintu keluar dari kemiskinan bagi aktivitas informal. Maka, BUMDes perlu menyediakan layanan simpan-pinjam mikro.

Peningkatan nilai tukar petani gurem cuma terbuka melalui pengurangan biaya asupan pupuk, pestisida, biaya pengairan, dan sewa mesin pertanian. Mustahil melalui peningkatan harga pangan karena membentur kepentingan konsumen.

Konsekuensinya, kartu diskon bisa diciptakan bagi petani gurem. Nama dan alamat mereka teregistrasi pada Sensus Pertanian 2013. Kartu petani gurem berfungsi layaknya kartu siswa miskin; diskonnya baru muncul saat petani membelanjakan asupan usaha tani.

Buruh tani perlu dukungan finansial agar secara berkelompok menyewa lahan. Jika lahan sewa sempit, paling tepat ditanami hortikultura bernilai ekonomis tinggi. Subsidi sewa lahan atau kredit super-ringan dari BUMDes tepat mengentaskan kelompok buruh tani jadi petani kecil.

Oleh: IVANOVICH AGUSTA, Sosiolog Perdesaan IPB, Bogor.
Sumber: Kompas.com

Menyelamatkan Dana Desa, Melunasi Janji Kemerdekaan

"Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri."

Kalimat di atas saya kutip dari penggalan lirik lagu berjudul "Desa" karya musikus legendaris Iwan Fals. Siapa saja yang mendengarkan lagu itu hingga selesai tahu bahwa ada persoalan serius yang hendak disampaikan oleh Iwan. Persoalan yang barangkali menjadi kegelisahan kita bersama: ketimpangan pembangunan antara masyarakat desa dan kota.
Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri
Foto Ilustrasi: liputan77.com
Keadilan dan pemerataan pembangunan adalah salah satu janji kemerdekaan yang mesti segera dilunasi. Itulah salah satu alasan mengapa dana desa menjadi penting dalam rangka mempersempit jurang kesenjangan antara desa dan kota.

Membangun desa yang sejahtera dan mandiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Semangatnya jelas, pembangunan tidak boleh hanya terkonsentrasi di Jawa.

Hal ini juga yang menjadi salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam sembilan program prioritas (Nawacita) yang dicanangkan Jokowi-Kalla saat kampanye 2014, butir ketiga Nawacita menyatakan komitmen keduanya untuk " membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan".

Komitmen itu diwujudkan pemerintah dengan menaikan anggaran dana desa per tahun. Mengacu pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden pada 16 Agustus 2017 di hadapan anggota DPR dan DPD RI, pemerintah pada 2017 ini telah mengeluarkan Rp 60 triliun khusus untuk dana desa.

Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah anggaran dana desa mengalami peningkatan lumayan signifikan. Pada 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20,77 triliun untuk dana desa. Selanjutnya pada 2016 anggaran dana desa meningkat sebesar 123,04 persen menjadi Rp 46,98 triliun.

Sayangnya, peningkatan anggaran tersebut ternyata rawan menjadi ajang bancakan. Pada 2 Agustus 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pamekasan, Jawa Timur. KPK tidak saja menangkap Bupati Pamekasan dan sejumlah pejabat kejaksaan di sana, tapi juga sejumlah kepala desa yang ditengarai terlibat penyelewenangan dana desa tahun anggaran 2015-2016.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi situasi, agaknya OTT tersebut cukup menjadi alasan kekhawatiran kita, betapa rawannya dana desa diselewengkan oleh oknum aparat di lapangan. Apalagi sejak program dana desa digulirkan pada 2015, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah menerima sedikitnya 932 pengaduan mengenai penyimpangan pemanfaatan dana desa. Adapun KPK telah menerima sekurangnya 300 laporan.

Ada sejumlah sebab mengapa penggunaan dana desa rawan persoalan bahkan penggelapan. Pertama, dari sisi regulasi yang tumpang tindih. Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2014 tentang Desa misalnya bertentangan dengan PP No. 8/2016 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN.

Pada PP No. 47/2015 dinyatakan, 30 persen dana desa untuk operasional dan 70 persen sisanya untuk urusan kemasyarakatan. Adapun PP No. 8/2016 menyebutkan, dana desa lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Lain lagi, dengan UU No. 6/2014 tentang Desa yang justru menyatakan seluruh penggunaan dana desa ditentukan melalui musyawarah desa.

Kedua, sosialisasi penggunaan dana desa oleh banyak instansi yang tidak efektif. Saat ini sosialisasi dana desa melibatkan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berjalan tanpa ada kordinasi. Sehingga, tidak ada kejelasan peran siapa yang menjelaskan soal regulasi, audit, proyeksi, hingga penggunaan dana desa.

Ketiga, lemahnya pengawasan. Hal ini disebabkan kultur feodalisme yang masih mengakar di desa. Ada perasaan sungkan bahkan takut di masyarakat untuk mengkritik kebijakan kepala desa.

Belum lagi jumlah desa di Indonesia yang telah mencapai 83.000 lebih dan tersebar di pelosok daerah. Bisa dibayangkan betapa rumitnya melakukan pengawasan anggaran secara berjangka di lapangan.

Mengatasi penyalahgunaan dana desa

Kebocoran anggaran dana desa dapat diupayakan melalui berbagai cara. Pertama, memberikan pendampingan secara intensif kepada desa dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDES). Sebab, dari dua hal itulah basis pemanfaatan dana desa bisa dioptimalkan sesuai kebutuhan masyarakat.

Kedua, meningkatkan tenaga pengawas lapangan. Saat ini Kementerian Desa memang sudah membentuk Satgas Dana Desa yang bertugas mengawasi dana desa. Namun, jumlah desa yang sangat banyak membuat kerja satgas tidak optimal.

Untuk itu, perlu pelibatan institusi lain yang memiliki jangkauan luas hingga ke pelosok daerah seperti kepolisian dan kejaksaan.

Ketiga, mendorong transparansi dan akutanbilitas penggunaan dana desa. Dalam hal ini tidak ada salahnya jika Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Komunikasi dan Informasi membuat semacam keputusan bersama yang mewajibakan setiap aparatur desa mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di bidang penggunaan dana desa.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, seperti akses internet, situs desa, hingga sistem pembukuan daring yang memudahkan perangkat desa mengunggah pertanggungjawaban penggunaan dana desa.

Keempat, memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada warga desa tentang pentingnya dana desa. Dari sini, warga diharapkan bisa ikut ambil bagian dalam mengawasi penggunaan dana desa. Dengan begitu, ruang untuk menyelewengkan anggaran bisa semakin dipersempit.

Kita sadar bahwa mengelola, mengawasi, dan memanfaatkan dana desa di puluhan ribu tempat bukanlah urusan gampang. Perlu kerja sama, kesungguhan, dan kesadaran banyak pihak untuk melakukannya. Karena bagaimanapun juga, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial adalah utang kemerdekaan yang mesti segera kita lunasi bersama. Salam.

(Oleh: Abdul Kadir Karding - Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-sekarang.Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019)

Sumber: Kompas.com.

22 Agustus 2017

Meninjau Rencana Kenaikan Dana Desa

Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang menjadi Rp 120 triliun. Itu berarti, dana desa akan naik 100% dari anggaran dana desa di tahun ini yang mencapai Rp 60 triliun. Kenaikan serupa juga dilakukan oleh pemerintah di tahun-tahun sebelumnya. Yakni, dari Rp 20 triliun di tahun 2015 menjadi Rp 47 triliun di tahun 2017. Sehingga secara keseluruhan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir setidaknya pemerintah telah menggelontorkan anggaran untuk dana desa mencapai Rp 127 triliun.
Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang menjadi Rp 120 triliun.
Dalam penalaran yang wajar, dengan gelontoran dana sebesar itu tentu tingkat kesejahteraan masyarakat desa akan membaik. Tetapi faktanya, kesejahteraan bagi masyarakat desa masih saja jauh panggang dari api. Bukti yang tidak bisa dipungkiri, masyarakat desa masih mendominasi jumlah penduduk miskin di negara ini. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) termutakhir, jumlah penduduk miskin di desa tercatat mencapai 17,10 juta penduduk. Sementara, penduduk miskin di kota 'hanya' 10,67 juta penduduk.

Pun bila ditilik dari data serupa yang dikeluarkan oleh BPS pada Maret 2014 silam. Jumlah penduduk miskin di desa kala itu tercatat sebanyak 17,17 juta orang. Itu berarti, gelontoran dana desa mencapai Rp 127 triliun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, hanya mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di desa sekitar 70 ribu penduduk saja.

Rawan Dikorupsi

Boleh jadi, masifnya tindak korupsi terhadap dana desa menjadi salah satu masalah vital yang menyebabkan ketidakefektifan dana desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2016 hingga pertengahan 2017 setidaknya sudah ada 110 kasus korupsi dana desa yang tertangani oleh penegak hukum. Jumlah kasus tersebut sangat berpotensi meningkat secara signifikan mengingat laporan dugaan korupsi dana desa yang diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari periode Januari-Juni 2017 saja sudah mencapai 459 laporan.

Besaran dana desa yang menggiurkan, ditambah kurangnya sumber daya manusia (SDM) aparatur desa memang membuat dana desa menjadi rawan untuk dikorupsi. Jamak disadari, di tahun ini setiap desa rata-rata menerima dana desa mencapai Rp 800 juta. Jika ditambah dengan penerimaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD (pasal 72 ayat 1 huruf e UU No 6/2014 tentang Desa), secara keseluruhan setiap desa bisa menerima anggaran mencapai Rp 1,3 miliar.

Sementara terkait SDM aparatur desa, sebagaimana dikemukakan oleh Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, sebanyak 40% kepala desa (kades) di Indonesia hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berkaca dari celah kerawanan itu, pemerintah semestinya jangan terburu-buru untuk kemudian menaikkan anggaran dana desa. Sebab, kalau pun dinaikkan, tidak akan menjamin kesejahteraan masyarakat desa akan meningkat secara signifikan.

Cermat dan Hati-hati

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum apabila kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini kian memprihatinkan. Selain nilai defisitnya hampir mendekati 3% sebagaimana batasan maksimal yang diizinkan oleh UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, nilai hutang pemerintah pun melonjak signifikan mencapai Rp 3.672 triliun. Maka, akan lebih bijak tentunya bila pemerintah menggunakan anggaran secara cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar di masa mendatang.

Oleh sebab itu, sebelum betul-betul merealisasikan kenaikan anggaran dana desa di tahun 2018 mendatang, pemerintah mutlak harus melakukan evaluasi terhadap implementasi dana desa selama ini. Dalam konteks itu, pelbagai kerawanan dana desa, terutama terkait tingginya potensi korupsi dana desa mesti dicarikan jalan keluar terlebih dahulu. Pun terkait kondisi desa itu sendiri. Apabila ada peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pascaimplementasi dana desa, maka pemerintah boleh saja menaikkan alokasi anggaran dana desa untuk desa terkait. Sebaliknya, jika tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka tidak semestinya anggaran dana desa di desa terkait dinaikkan. Bahkan, bila perlu dihentikan untuk sementara waktu sembari mencari akar permasalahan implementasi dana desa di desa tersebut.

(Pangki T Hidayat. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di Forum Kolumnis Muda Jogja. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 22 Agustus 2017)

Sumber: krjogja.

14 Juli 2017

BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan

Desa - desa tampak mulai bergeliat dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Di bawah pengelolaan badan usaha milik desa, sejumlah desa wisata bahkan telah membuat sebuah desa menjadi sangat mandiri.
BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan
Badan Usaha Milik Desa 
Tengoklah Desa Ponggok (Klaten) yang beromzet Rp 1,3 miliar per tahun, Desa Bleberan (Gunung Kidul) beromzet Rp 2 miliar per tahun, Desa Karang Duwur (Kebumen) beromzet Rp 1 miliar per tahun, atau Desa Kertayasa (Pangandaran) yang beromzet Rp 300 juta per tahun.

Beberapa desa di atas adalah contoh kecil dari desa-desa di pelosok Tanah Air yang mulai sadar memetakan potensi yang dimilikinya. Keberadaan dana desa punya andil besar dalam mendorong tumbuhnya badan usaha milik desa (BUMDes) di desa-desa. Dana desa yang terus mengalami peningkatan memang telah memberi harapan tersendiri bagi pembangunan di desa. Dari anggaran sebesar Rp 20,5 triliun pada 2015, kemudian Rp 47 triliun tahun 2016, dan pada 2017 dana desa meningkat menjadi Rp 60 triliun.

Nilai strategis

Peningkatan keberadaan BUMDes memang sangat signifikan. Jika pada 2014 BUMDes di Indonesia hanya 1.022 unit, awal 2017 jumlahnya telah 18.446 unit. Jumlah ini pun diyakini akan terus meningkat karena salah satu amanah dalam penggunaan dana desa, selain untuk pembangunan infrastruktur, juga untuk peningkatan perekonomian masyarakat, salah satunya melalui wadah bernama BUMDes.

Nilai strategis keberadaan ribuan BUMDes yang tersebar di penjuru Tanah Air adalah karena ia tumbuh dari kesadaran masyarakat desa dan bergerak pada sektor riil. Ia juga berbasis pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di titik itulah keberadaan BUMDes sebagai pengejawantahan gagasan tentang ekonomi kerakyatan menemukan relevansi serta titik sumbunya. Ini bisa menjadi salah satu strategi pembangunan pada masa depan.

Nilai strategisnya bukan saja keberadaan BUMDes yang kebanyakan berbasis pada kegiatan ekonomi sektor kecil itu menjadi salah satu katup penampung masalah ketenagakerjaan, melainkan juga merupakan salah satu penyangga penting persoalan perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan jumlah UMKM yang sangat besar secara otomatis jelas telah mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak.

Persoalan kemudian, dalam realitasnya perkembangan usaha kecil yang begitu pesat—saat ini banyak yang diwadahi oleh BUMDes—ternyata sering kali tak diimbangi percepatan perhatian pemerintah terhadap sektor usaha itu. Banyak kasus menunjukkan, pemerintah bukannya memproduksi kebijakan yang memperkuat sektor ini, melainkan malah sering kali kebijakan yang dilahirkan berpotensi mematikan daya hidup perkembangan mereka.

Oleh karena itu, dukungan pemerintah terhadap keberadaan usaha kecil, baik yang di bawah BUMDes maupun tidak, sesungguhnya bisa dengan penghindaran penciptaan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Selain itu, diperlukan juga kebijakan aturan main yang memberikan kesepadanan yang sama bagi tiap pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya, termasuk pelaku ekonomi kecil dan menengah. Di sinilah kerja sama lintas kementerian/lembaga mutlak perlu.

Komitmen ini penting karena sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan, keberadaan usaha kecil di sektor riil jadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya sektor itu tidak perlu modal banyak dan tidak mensyaratkan tingkat keterampilan yang tinggi. Ia juga tidak membutuhkan perizinan yang berbelit.

Dengan karakteristik semacam itu, jumlah pertumbuhan sektor-sektor usaha kecil menengah jadi sangat besar dan secara otomatis mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak. Hanya saja, jumlah UMKM yang begitu besar—saat ini mencapai 59 juta—dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi tersebut ternyata tidak dibarengi kesejahteraan pelaku ekonominya. Pada titik inilah pemerintah melalui kerja sama lintas sektoral perlu mengeluarkan paket-paket kebijakan yang tepat.

Keberadaan ribuan BUMDes yang berbasis pada sektor riil serta sumber daya yang ada di desa adalah bagian dari pengembangan gagasan ekonomi kerakyatan. Gagasan pembangunan ekonomi kerakyatan, seperti dikatakan Gran (1988), adalah sebuah konsep pembangunan di mana rakyat punya kuasa mutlak menetapkan tujuan dan mengelola swasembada ataupun mengarahkan jalannya pembangunan.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pemikiran ini. Pertama, partisipasi rakyat merupakan unsur mutlak dalam pembangunan. Tugas pemerintah hanya menciptakan keadaan yang mendorong inisiatif rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, apa yang dikehendaki rakyat merupakan pilihan terbaik dari negaranya.

Dengan paradigma semacam itu, pembangunan yang berbasis kerakyatan juga berarti pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Artinya, bila sebagian besar kegiatan ekonomi disusun dan dibangun oleh usaha menengah dan kecil yang banyak menampung tenaga kerja, seharusnya sektor menengah dan kecil mendapat perhatian yang lebih besar. Usaha skala besar tentu tetap diberi keleluasaan berkembang selama tidak mengganggu keharmonisan ekonomi.

Komitmen atas gagasan ekonomi kerakyatan ini penting untuk terus didesakkan kepada pengambil kebijakan karena selama ini pengembangan usaha kecil dan menengah terbukti lebih mampu menjawab kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu, pembangunan ekonomi kerakyatan juga dinilai tidak hanya mampu menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga memberikan kesejahteraan secara merata.

Kebijakan yang aplikatif

Guna mewujudkan gagasan ekonomi kerakyatan dalam bentuk kebijakan yang lebih aplikatif, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan watak kebijakan publik pada tempatnya semula, yakni tidak hanya mendapatkan legitimasi rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran secara etis. Pada aras ini, setiap kebijakan tidak boleh meninggalkan kepentingan rakyat walaupun secara ekonomi mungkin merugikan negara.

Kedua, mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan kebijakan pembangunan harus mencerminkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar masyarakat.

Ketiga, memberi penekanan terhadap penciptaan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan. Kebijakan ini penting karena dalam setiap proses pembangunan selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi tidak beruntung.

BUMDes sebagai bagian dari pengembangan ekonomi kerakyatan dan sebagai salah satu wadah bagi usaha sektor kecil di desa harus mampu melakukan transformasi sosial ekonomi di desa.

Untuk itu, ke depan, pemerintah harus mampu mengikis kebijakan diskriminatif yang hanya berpihak pada usaha skala besar semata. Tanpa komitmen itu, usaha kecil sebagai katup penangkal krisis sekaligus penampung tenaga kerja akan terus mengalami jalan buntu.

(Oleh: ACHMAD MAULANI, Kandidat Doktor Universitas Indonesia; Staf Ahli Unit Kebijakan Strategis pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Sumber: Kompas.com.

19 Juni 2017

Korupsi Mengepung Desa

Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran.

Apabila tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa. 
Ilustrasi/Ayo Bangun Desa
Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah pun terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun sebelumnya. Jika dibagi rata, tiap desa setidaknya akan mengelola uang sebesar Rp 800 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.

Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016 saja, KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana desa.

Begitu juga hasil kajian Indonesia Corruption Watch. Dalam tren penanganan kasus korupsi 2016, kasus penyimpangan dana desa mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Kasus itu berada di urutan ketiga kasus yang paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian. Dua kasus di atasnya adalah keuangan daerah dan dana pendidikan.

Modus korupsi

Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar di 16 provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar merupakan perangkat desa, terutama kepala desa.

Dari sisi modus, korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.

Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.

Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.

Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.

Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.

Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.

Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.

Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.

Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.

Penguatan pendampingan

Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.

Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah: hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.

Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.

Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK untuk menakut-nakuti para penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa segera terwujud.

Ade Irawan - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch.
Sumber Kompas.id

26 April 2017

Memilah Korupsi Desa

Korupsi desa mulai terungkap (Kompas, 3/3). Kini tengah disidik 0,06 persen desa atas sangkaan korupsi, rata-rata Rp 216,7 juta per desa. Angka ini senilai kucuran dana desa pada 2015.
Foto ilustrasi: Ayo Bangun Desa
Sebelum menggurita laksana korupsi pada 54 persen pemerintahan daerah (pemda) dan 35 persen kementerian, korupsi desa harus ditangani secara sistemis. Sayang, terdapat dua kelemahan mendasar, yaitu (1) minimnya regulasi korupsi desa dan (2) ketiadaan advokasi legal bagi pemerintahan desa.

Dari tahun ke tahun, tanggung jawab korupsi dana desa kian menukik ke level birokrasi lebih rendah. Saat prasangka korupsi dana desa berjemaah merebak pada 2014, Kemendagri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kemenkeu mementahkan korupsi tingkat kementerian. Alasannya, dana desa tersalur langsung dari bendahara negara ke kas pemda.

Mustahil menihilkan korupsi di tengah euforia dana desa. Pemda juga enggan menyalurkan dana desa karena berisiko tersangkut kasus korupsi. Kota Batu, misalnya, sempat diganjar pengurangan dana pusat karena menolak dana desa pada 2015 meskipun mulai 2016 menerimanya kembali.

Beban pemda menguap setelah pemerintah pusat mensyaratkan laporan penggunaan keuangan desa untuk pencairan dana desa berikutnya. Rincian laporan desa mengubah makna pelimpahan tanggung jawab kasus korupsi kepada kepala desa.

Pseudo-korupsi

Penyalahgunaan dana di desa perlu dipilah antara korupsi riil dan pseudo-korupsi. Kepala desa melakukan korupsi riil ketika ia menilap dana desa, melarikan uang tersebut, tertangkap tangan menerima suap, menggunakannya untuk konsumsi keluarga. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, mestinya terbukti motivasinya menggangsir dana desa. Akhirnya, pengadilan menetapkannya sebagai koruptor dengan hukuman pidana/perdata.

Namun, pendekatan sistem mendeteksi pseudo-korupsi sebagai sumber lain penyalahgunaan dana. Indikasi utamanya: tak ada motivasi kepala desa korupsi dan selama ini ia dikenal bersih.

Kepala desa terjerembap kasus pseudo-korupsi, terutama karena lalai menetapkan regulasi sebelum bertindak. Padahal, aparat pemerintah hanya legal bertugas sesuai aturan yang berlaku. Contohnya, kepala desa diciduk ketika meningkatkan kualitas bangunan penahan banjir dengan mengurangi panjang bangunan dari dana desa, tapi menambah panjangnya lewat pemasukan desa dan iuran warga. Sayang, ia lupa menulis pengembangan rencana dalam perubahan peraturan desa.

Kepala desa juga jadi pesakitan lantaran menetapkan penggunaan dana desa di luar Permen Desa PDTT. Pencairannya untuk perbaikan balai desa dan pemenuhan bahan serta peralatan birokrasi desa diharamkan. Padahal, disertasi Nata Irawan membuktikan pentingnya alat, bahan, dan ruangan untuk meningkatkan layanan masyarakat dan deliberasi keputusan desa.

Secara sistemis perlu digugat, sampai mana pemerintah desa dan warganya berhak memutuskan dana desa. Aturan tahunan menteri dan kepala lembaga di pusat, serta peraturan bupati di daerah, telah menyempitkan ruang keputusan desa. Akibatnya, kebutuhan desa tak terakomodasi dalam penggunaan dana desa.

Kritiknya, saat ini dana desa diperlakukan semacam anggaran kementerian dan anggaran tugas pembantuan. Ini dipamerkan pemerintah pusat dan daerah kala langsung memutuskan penggunaannya untuk embung, lapangan bola, holding atau perseroan terbatas badan usaha milik desa pada level kabupaten hingga nasional.

Kepala desa juga dituduh korupsi saat mengalihkan pendapatan desa atau meminta iuran warga guna mendanai proyek pemerintah pusat dan daerah. Padahal, UU No 6/2014 Pasal 22 menegaskan, setiap penugasan kepada pemerintah desa harus disertai tambahan anggaran. Kini kepala desa sedang meminta regulasi penggalangan dana di desa untuk menutupi ketiadaan anggaran program nasional sertifikasi tanah.

Kebijakan advokasi

Makna pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan aturan yang bertumpang tindih maupun berlawanan. Ketidakpastian hukum pun meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.

UU No 6/2014 telah melarang kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Namun, sanksi korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.

Karena itu, paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersama-sama mengharmoniskan aturan korupsi desa. Isinya indikator dan jenis korupsi desa, tata cara pelaporan dan perlindungan saksi, proses pencegahan dan pembuktian korupsi, dan sanksi bagi kepala desa, perangkat desa, serta anggota BPD.

Pada saat bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD yang disangka korupsi. Apalagi, peraturan Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan sesudah hukuman berkeputusan tetap. Inovasi nomor kepegawaian daerah bagi mereka, seperti di Serang dan Cirebon, bisa menjadi dasar advokasi oleh pemerintah daerah dan pusat. Asosiasi kepala desa, perangkat desa, dan BPD juga dapat mengadvokasi proses legal mereka.

Oleh Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Kompas, 26 April 2017

31 Maret 2017

Membangun Desa Secara Inklusif

Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi masalah khas perdesaan.
Membangun Desa Inklusif/Ilustrasi
Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial, dan eskalasi ancaman bencana lingkungan. Bakal bertambah runyam jika, misalnya, korupsi ikut merambah daerah perdesaan bersamaan dengan mengalirnya sejumlah besar dana ke desa-desa.

Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya karena di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.

Kompleksitas permasalahan perdesaan menjadikan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang dapat diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta mampu mengatasi berbagai permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pendekatan inklusif

Boleh jadi dibutuhkan waktu cukup panjang dan berbagai pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi masalah perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya adalah pendekatan inklusif. Pendekatan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.

Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.

Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif menentukan nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.

Dengan pendekatan dan proses seperti itu, para warga dari kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta kaum perempuan desa, akan merasa lebih "dimanusiakan" dan dihargai sebagai sesama warga desa yang ikut menentukan nasib desanya sendiri.

Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan difasilitasi oleh para ahli dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara inklusif.

Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi tepat guna, upaya konservasi lingkungan, mitigasi bencana lingkungan, dan pengembangan pranata sosial-ekonomi desa, khususnya badan usaha milik desa (BUMDesa) dan koperasi berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.

UU No 6/2014 telah memberikan solusi bahwa desa bisa mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan desa.

BUMDesa dan koperasi

Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan buruh tani, sangat mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan kontribusi signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa dan pemerintah desa.

Akan tetapi, setidaknya mereka akan dapat menerima manfaat dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program bantuan sosial tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya BUMDesa tersebut.

UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir sebagai lembaga kewirausahaan sosial perdesaan.

Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga dapat membangun wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.

Koperasi ini dapat menggarap bidang-bidang usaha penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta penyaluran program-program bantuan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali perempuan, memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.

Dengan demikian, akanterbangun suatu pola alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, ketika kelompok elite desa akan memperoleh tambahan pendapatan dari hasil "urun" modalnya di BUMDesa, sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.

Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya peluang-peluang usaha dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta program-program pemberdayaan masyarakat.

Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif, bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memberikan jaminan terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.(*)

Oleh Bambang Ismawan, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya. 

Sumber: Kompas.com