04 September 2017

Menyelamatkan Dana Desa, Melunasi Janji Kemerdekaan

"Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri."

Kalimat di atas saya kutip dari penggalan lirik lagu berjudul "Desa" karya musikus legendaris Iwan Fals. Siapa saja yang mendengarkan lagu itu hingga selesai tahu bahwa ada persoalan serius yang hendak disampaikan oleh Iwan. Persoalan yang barangkali menjadi kegelisahan kita bersama: ketimpangan pembangunan antara masyarakat desa dan kota.
Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri
Foto Ilustrasi: liputan77.com
Keadilan dan pemerataan pembangunan adalah salah satu janji kemerdekaan yang mesti segera dilunasi. Itulah salah satu alasan mengapa dana desa menjadi penting dalam rangka mempersempit jurang kesenjangan antara desa dan kota.

Membangun desa yang sejahtera dan mandiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Semangatnya jelas, pembangunan tidak boleh hanya terkonsentrasi di Jawa.

Hal ini juga yang menjadi salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam sembilan program prioritas (Nawacita) yang dicanangkan Jokowi-Kalla saat kampanye 2014, butir ketiga Nawacita menyatakan komitmen keduanya untuk " membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan".

Komitmen itu diwujudkan pemerintah dengan menaikan anggaran dana desa per tahun. Mengacu pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden pada 16 Agustus 2017 di hadapan anggota DPR dan DPD RI, pemerintah pada 2017 ini telah mengeluarkan Rp 60 triliun khusus untuk dana desa.

Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah anggaran dana desa mengalami peningkatan lumayan signifikan. Pada 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20,77 triliun untuk dana desa. Selanjutnya pada 2016 anggaran dana desa meningkat sebesar 123,04 persen menjadi Rp 46,98 triliun.

Sayangnya, peningkatan anggaran tersebut ternyata rawan menjadi ajang bancakan. Pada 2 Agustus 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pamekasan, Jawa Timur. KPK tidak saja menangkap Bupati Pamekasan dan sejumlah pejabat kejaksaan di sana, tapi juga sejumlah kepala desa yang ditengarai terlibat penyelewenangan dana desa tahun anggaran 2015-2016.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi situasi, agaknya OTT tersebut cukup menjadi alasan kekhawatiran kita, betapa rawannya dana desa diselewengkan oleh oknum aparat di lapangan. Apalagi sejak program dana desa digulirkan pada 2015, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah menerima sedikitnya 932 pengaduan mengenai penyimpangan pemanfaatan dana desa. Adapun KPK telah menerima sekurangnya 300 laporan.

Ada sejumlah sebab mengapa penggunaan dana desa rawan persoalan bahkan penggelapan. Pertama, dari sisi regulasi yang tumpang tindih. Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2014 tentang Desa misalnya bertentangan dengan PP No. 8/2016 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN.

Pada PP No. 47/2015 dinyatakan, 30 persen dana desa untuk operasional dan 70 persen sisanya untuk urusan kemasyarakatan. Adapun PP No. 8/2016 menyebutkan, dana desa lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Lain lagi, dengan UU No. 6/2014 tentang Desa yang justru menyatakan seluruh penggunaan dana desa ditentukan melalui musyawarah desa.

Kedua, sosialisasi penggunaan dana desa oleh banyak instansi yang tidak efektif. Saat ini sosialisasi dana desa melibatkan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berjalan tanpa ada kordinasi. Sehingga, tidak ada kejelasan peran siapa yang menjelaskan soal regulasi, audit, proyeksi, hingga penggunaan dana desa.

Ketiga, lemahnya pengawasan. Hal ini disebabkan kultur feodalisme yang masih mengakar di desa. Ada perasaan sungkan bahkan takut di masyarakat untuk mengkritik kebijakan kepala desa.

Belum lagi jumlah desa di Indonesia yang telah mencapai 83.000 lebih dan tersebar di pelosok daerah. Bisa dibayangkan betapa rumitnya melakukan pengawasan anggaran secara berjangka di lapangan.

Mengatasi penyalahgunaan dana desa

Kebocoran anggaran dana desa dapat diupayakan melalui berbagai cara. Pertama, memberikan pendampingan secara intensif kepada desa dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDES). Sebab, dari dua hal itulah basis pemanfaatan dana desa bisa dioptimalkan sesuai kebutuhan masyarakat.

Kedua, meningkatkan tenaga pengawas lapangan. Saat ini Kementerian Desa memang sudah membentuk Satgas Dana Desa yang bertugas mengawasi dana desa. Namun, jumlah desa yang sangat banyak membuat kerja satgas tidak optimal.

Untuk itu, perlu pelibatan institusi lain yang memiliki jangkauan luas hingga ke pelosok daerah seperti kepolisian dan kejaksaan.

Ketiga, mendorong transparansi dan akutanbilitas penggunaan dana desa. Dalam hal ini tidak ada salahnya jika Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Komunikasi dan Informasi membuat semacam keputusan bersama yang mewajibakan setiap aparatur desa mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di bidang penggunaan dana desa.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, seperti akses internet, situs desa, hingga sistem pembukuan daring yang memudahkan perangkat desa mengunggah pertanggungjawaban penggunaan dana desa.

Keempat, memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada warga desa tentang pentingnya dana desa. Dari sini, warga diharapkan bisa ikut ambil bagian dalam mengawasi penggunaan dana desa. Dengan begitu, ruang untuk menyelewengkan anggaran bisa semakin dipersempit.

Kita sadar bahwa mengelola, mengawasi, dan memanfaatkan dana desa di puluhan ribu tempat bukanlah urusan gampang. Perlu kerja sama, kesungguhan, dan kesadaran banyak pihak untuk melakukannya. Karena bagaimanapun juga, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial adalah utang kemerdekaan yang mesti segera kita lunasi bersama. Salam.

(Oleh: Abdul Kadir Karding - Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-sekarang.Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019)

Sumber: Kompas.com.

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon