Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan

05 Januari 2017

Apa itu SIGDes?

SIGDes adalah singkatan dari Sistem Informasi Geospasial Desa. Sesuai UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka diperlukan penyusunan Peta Desa sebagai dasar informasi dan pijakan dalam pembangunan.

SIGDes adalah singkatan dari Sistem Informasi Geospasial Desa.
Ilustrasi: Peta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Desa didefinisikan adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan definisi tersebut, desa mengharuskan memiliki Peta Desa sebagai acuan dalam merencanakan pembangunan di desa. "Peta Desa yang ideal yaitu peta yang sesuai standar BIG".

Baca: Pemetaan Skala Desa Butuh 80.000 Tenaga Kerja.

Dalam membuat peta desa, bisa menggunakan software Corel Draw, Adobe Illustrator atau software lainnya yang berbasis vector.

Batas Desa

Dalam Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman dan Penegasan Batas Desa, dijelaskan tujuan penetapan dan penegasan batas Desa untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu Desa yang memenuhi aspek teknis dan yuridis.

Batas Desa adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar Desa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta.

Tata cara penetapan, penegasan dan pengesahan batas desa diatur dalam Permendagri No 45/2016.[]

Desa dan Harga Pangan

Desa merupakan tempat produksi pangan. Namun, pangan justru berkontribusi besar atau menjadi sumber kemiskinan di perdesaan.
Beras adalah bahan pangan yang memberikan andil terbesar, yaitu 25,35 persen.
Petani Padi/Image: Ist
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, batas garis kemiskinan di perdesaan pada September 2016 sebesar Rp 350.420 per kapita per bulan. Dalam waktu setahun atau sejak September 2015, garis kemiskinan di perdesaan naik 5,2 persen. Bahan makanan masih berkontribusi terbesar terhadap garis kemiskinan di perdesaan, yaitu 77,08 persen. Adapun di kota, kontribusinya 69,84 persen.

Beras adalah bahan pangan yang memberikan andil terbesar, yaitu 25,35 persen. Hal ini diikuti bahan makanan lain yang juga dihasilkan di desa, seperti daging sapi (3,47 persen), gula pasir (3,01 persen), telur ayam ras (2,76 persen), daging ayam ras (2,19 persen), dan bawang merah (2,10 persen).

Hal itu tidak terlepas dari kenaikan harga pangan pokok yang selalu terjadi setiap tahun. Tidak ada perbaikan pendapatan masyarakat desa, terutama petani, secara signifikan. Saat petani hanya menikmati keuntungan 2 persen dari penjualan gabah kering panen, pedagang bisa meraup keuntungan hingga 10 persen dari hasil penjualan beras.

Atau ketika petani tebu bisa melelang harga gula pasir Rp 9.500-Rp 11.000 per kilogram tahun ini, petani harus membeli kembali gulanya seharga Rp 13.500-Rp 14.000 per kg. Semakin tinggi harga pangan, semakin banyak biaya yang dikeluarkan masyarakat ekonomi bawah untuk pangan.

Dari tahun ke tahun, pola konsumsi masyarakat kian meningkat. Rata-rata pengeluaran per kapita selama sebulan, menurut kelompok barang, pada 2015 sudah Rp 954.430. Dari jumlah tersebut, pengeluaran untuk makanan sekitar 49,91 persen atau Rp 478.062. Itu pun berdasarkan penghitungan komponen makanan secara normal atau tanpa memperhitungkan kenaikan harga.

Pengeluaran untuk beras meningkat dari Rp 55.216 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 64.759 per kapita per bulan pada 2015. Adapun pengeluaran untuk daging meningkat cukup signifikan, dari Rp 13.322 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 21.157 per kapita per bulan pada 2015.

Tahun ini, stabilitas stok dan harga pangan masih menjadi tantangan pemerintah. Faktor yang memengaruhi adalah penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.

Di sisi lain, pemerintah mulai mengurangi subsidi listrik 900 VA secara bertahap bagi masyarakat yang dianggap mampu. Kedua hal ini akan berdampak pada kenaikan harga pangan yang mudah bergejolak.

Ada cara yang bisa dilakukan, yakni dengan penyediaan stok pangan yang harganya mudah bergejolak itu. Pemerintah bisa bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi pedagang dan distributor.

Dengan demikian, pemerintah bisa membeli bahan pangan itu dari distributor saat harga pangan bergejolak. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan lumbung pangan. Harapannya, stok dan harga pangan terjaga. (Sumber: Kompas)

04 Januari 2017

Kemiskinan di Desa Tetap Besar

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mengalami penurunan. Namun, BPS mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai disparitas yang tinggi antara kemiskinan di perdesaan dan perkotaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mengalami penurunan.
Rumah Warga Miskin/Foto: Komunitas ABD
"Ini persoalan besar yang kita dihadapi," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa (3/1).

Dalam rilis terbaru BPS, jumlah penduduk miskin per September 2016 mencapai 27,76 juta orang (10,70 persen). Jumlah ini menurun 250 ribu orang dibandingkan Maret 2016 yang tercatat 28,01 juta orang (10,86 persen).

Penurunan jumlah penduduk miskin terus terjadi sejak Presiden Joko Widodo dilantik 20 Oktober 2014. Berturut-turut jumlahnya tercatat 28,59 juta orang (11,22 persen) pada Maret 2015 dan 28,51 juta orang (11,13 persen) per September 2015. 


Menurut Suhariyanto, disparitas jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan patut dicermati. Berdasarkan data September 2016, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,28 juta orang (13,96 persen), sedangkan di perkotaan 10,49 juta orang (7,73 persen).

Posisi ini tidak banyak berubah dibandingkan September 2015. Ketika itu, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,89 juta orang (14,09 persen), sedangkan di perkotaan 10,62 juta orang (8,22 persen).

Sementara data Maret 2016, memperlihatkan fakta identik. Jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,67 juta orang (14,11 persen), sedangkan di perkotaan 10,34 juta orang (7,79 persen).

"Ini tidak berubah. Masih banyak penduduk di desa yang miskin dan disparitas dengan perkotaan juga tinggi. Ini menjadi tantangan kita ke depan," kata Suhariyanto.

Dia menuturkan, disparitas jumlah penduduk miskin memang harus segera ditangani dengan baik oleh pemerintah. Sebab, jika dibiarkan, disparitas ini bisa semakin tinggi.

"Untuk itu, perlu kebijakan khusus untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan dari waktu ke waktu," ujar Suhariyanto.

Perbesar Dana Desa

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo menjelaskan, tingginya disparitas jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan tak lepas dari kesenjangan ekonomi.

"Memang faktanya gap antara kota dan desa, gapnya secara ekonomi masih sangat besar," kata Eko.

Menurut dia, Kementerian Desa dan PDTT terus berupaya mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan, dengan cara membangun Indonesia dari pinggiran sebagaimana Nawa Cita Jokowi-JK. Salah satunya, via program Dana Desa yang dimulai sejak 2015.

Eko mengatakan, dana tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dasar yang padat karya. Ia pun mengklaim, Dana Desa mampu menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi desa.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi desa pada 2015, yakni sekitar 12 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi nasional (5,0 persen). Angka tersebut meningkat dibandingkan 2014 yang tercatat 4.8 persen.

Bahkan, menurut Eko, Kementerian Desa dan PDTT menemukan sejumlah fakta di lapangan, seperti beberapa desa di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), pertumbuhan ekonomi mencapai 60 persen. Sebab, basis awalnya rendah.

"Terbukti juga pertumbuhan ekonomi desa jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau ini dipertahankan, desa akan pelan-pelan mengejar ketertinggalannya walaupun tidak akan menjadi sama dengan kota," kata Eko.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan, dia menjelaskan, pemerintah menaikkan alokasi Dana Desa pada 2016 menjadi Rp 46,96 triliun. Dari nominal tersebut, Dana Desa mampu membangun jalan sepanjang 50.378 km, drainase sepanjang 49,558 km, dan jembatan sepanjang 412,199 km.

Selain itu, masyarakat juga menggunakan Dana Desa untuk membangun sejumlah sarana dan prasarana desa, seperti, 12.614 MCK, 628 embung, dan 1.557 pasar.

Pada tahun ini, alokasi Dana Desa kembali meningkat hingga mencapai Rp 60 triliun.


Eko mengatakan, Kementerian Desa dan PDTT tidak memasang target khusus dalam mengurangi kesenjangan antara desa dan kota. Ini karena pemerintah akan fokus mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Kendati demikian, Eko meyakini, target peningkatan status desa yang diamanatkan oleh RPJM sampai 2019 akan jauh terlampaui.

"Kami mengadakan sensus di 6.000 desa dan hasilnya sangat baik. Nanti akan kita umumkan," ujarnya.

Belum optimal

Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto menilai, Dana Desa mulai memperlihatkan efektivitas untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di perdesaan. Namun, penurunan jumlah penduduk miskin di desa yang tidak lebih cepat dibandingkan kota.

"Efektivitas Dana Desa belum optimal karena ini program baru jadi masih mencari bentuk," ujar Teguh.

Oleh karena itu, dia mengharapkan, pada tahun ini efektivitas dana desa dapat ditingkatkan. Sebab, program tersebut merupakan salah satu solusi nyata untuk menurunkan tingkat kemiskinan di perdesaan.


Apalagi, menurut Teguh, di sejumlah desa, Dana Desa masih digunakan untuk anggaran rutin aparat desa. Sementara untuk anggaran infrastruktur yang memiliki dampak berganda (multiplier effect), alokasinya masih minim.

Teguh membenarkan pemerintah memiliki sejumlah program jaminan sosial untuk mencegah bertambahnya penduduk miskin, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun ke depan, pemerintah harus menginisiasi program-program yang tidak hanya bertujuan mengentaskan masyarakat miskin, tetapi juga menciptakan lapangan kerja.

"Dengan begitu, pendapatan akan meningkat sehingga beban hidup berkurang," kata Teguh yang juga menjabat sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UI ini. 

Terkait jumlah penduduk miskin di perkotaan, dia menilai, pertambahan per September 2016 tak lepas dari pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor formal. Akibatnya, para penganggur beralih ke sektor informal. 

Peralihan itu bukan tanpa konsekuensi. Sebab, pendapatan yang menurun berdampak pada peningkatan kemiskinan.[]

Diolah dari sumber republika.

29 Januari 2016

Dana Desa Percepat Pembangunan Desa

GampongRT - Dana Desa merupakan salah satu solusi dalam melakukan percepatan pembangunan desa. Sebab, dana desa mengandung keberpihakan bagi desa pesisir, khususnya dalam mendukung dan mengembangkan pembangunan wilayahnya sebagai upaya mewujudkan kemandirian.

Apalagi, menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, desa pesisir memiliki kekuatan besar pada sumber daya alam serta nilainilai budaya yang menjadi modal sosial utama dari pembangunan.

”Berkaitan dengan itu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, telah menyusun Peraturan Menteri No. 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016.”

kata Menteri Desa, Pembangunan Saerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar di Yogyakarta, Kamis (28/1). Peraturan itu, katanya, di dalamnya juga terkandung prinsip- prinsip penggunaan dana desa berdasarkan prinsip keadilan.

Selain itu juga kebutuhan prioritas serta tipologi desa, dengan mempertimbangkan keadaan dan kenyataan karakteristik geografis, sosiologis, antropologis, ekonomi, dan ekologi desa yang khas, serta perubahan atau perkembangan kemajuan desa.

Sebab, lanjut dia, setiap desa pasti memiliki karakteristik yang dapat didefinisikan secara bervariasi dari kombinasi karakteristik atau tipologi.

”Artinya, desa memiliki tipologi yang berbeda-beda atau beragam, dari desa satu dengan desa lainnya. Contohnya, Desa A mempunyai tipologi desa pesisir nelayan, Desa B tipologi desa lembah-pertanian/sawah, Desa C tipologi desa perbukitan perkebunan, dan lain seterusnya.”

Oleh karena itu, lanjutnya, dalam regulasi yang disusun oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, penggunaan dana desa memberikan ruang yang terbuka pada karakteristik yang khas di setiap desa, termasuk desa pesisir.

Artinya, program dan kegiatan pemberdayaan yang bersumber dari dana desa harus sesuai dengan karakter desa, sehingga nantinya setiap upaya yang dikerjakan sesuai dengan kebutuhan. Seperti diketahui, di Indonesia ada 74.784 desa yang tersebar diberbagai daerah. Pada wilayah pesisir terdapat 12.827 desa yang berbatasan langsung dengan laut.

Hal itu dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan penangkapan ikan, budi daya perikanan, menambak garam, dan untuk wisata bahari dan lain sebagainya. Desa pesisir, lanjut Marwan, juga memiliki kekuatan besar pada sumber daya alam serta nilai-nilai budaya yang menjadi modal sosial utama dari pembangunan.


Potensi lestari ikan laut di Indonesia, misalnya, diperkirakan 6,2 juta ton yang terdiri atas ikan pelangis besar 975,05 ribu ton, ikan pelangis kecil 3,236 juta ton.

Sedangkan ikan demersal 1,786 juta ton, ikan karang konsumsi 64 ribu ton, udang peneid 74 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi sebesar 28,25 ribu ton. Hingga 2008, potensi ini baru dimanfaatkan 76 persen (4,7 juta ton).

Indonesia, lanjut Menteri, juga merupakan pemasok terbesar mutiara laut selatan di dunia dengan kontribusi 53 persen. Dalam setahun, Indonesia dapat memproduksi 12 ton mutiara, di mana 5 ton diekspor ke luar negeri.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, sektor ini mempekerjakan 3.000 orang. Namun bukan rahasia lagi bahwa masyarakat desa pesisir masih hidup dalam kemiskinan.

Bila ditelusuri, kebijakan pembangunan masyarakat pesisir dan komunitas nelayan selama ini masih berorientasi pada peningkatan produksi dengan cara mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan.


Sumber: Suara Merdeka

04 Januari 2016

Waktunya Memperkuat Sang Penyokong

Membangun Indonesia dari pinggiran.
Membangun Indonesia dari pinggiran. Gagasan itulah yang menjadi prioritas utama pemerintahan baru ke depan. Pembangunan yang semula terpusat di ibu kota, akan tersebar rata ke seluruh pelosok nusantara. Sasarannya, mempersempit kesenjangan dan ketimpangan demi kesejahteraan bangsa. Salah satu caranya dengan penyaluran dana desa.
Tujuannya untuk mempercepat pemenuhan dana desa serta mempersempit kesenjangan dan ketimpangan alokasi. (Menteri Keuangan, Bambang P.S. Brodjonegoro)
Kaleidoskop 
Dalam dasawarsa terakhir, di kota-kota besar jamak terlihat gedung pencakar langit, jembatan, jalan raya, kawasan industri, hingga pusat perbelanjaan. Bisa dikatakan bahwa pembangunan Indonesia selama ini bias urban atau menitikberatkan pada kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan. Padahal sejatinya, di desa, kawasan pesisir, dan perbatasan negara merupakan penyokong kebutuhan masyarakat kota.

Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Penduduk desa tak menikmati kemudahan akses karena infrastruktur yang kurang memadai. Ditambah lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja jumlahnya terbatas sehingga pendapatan masyarakat desa lebih rendah.

Belum lagi kurang meratanya kualitas pendidikan hingga rendahnya aktivitas keuangan daerah. Data Badan Pusat Statistik mencatat gini rasio Indonesia sejak 2010 hingga 2013 mengalami peningkatan dari 0,38 menjadi 0,41. Angka ini menunjukkan bahwa porsi terbesar kekayaan Indonesia hanya dinikmati segelintir rakyatnya. Inilah yang mendasari pemerintahan baru menetapkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN.

Berperan
Dalam hal ini, Kementerian Keuangan memegang empat peranan. Pertama, menganggarkan dana desa dalam APBN. Kedua, mengalokasikan dana desa ke setiap kabupaten atau kota. Ketiga, menyalurkan dana desa ke kabupaten atau kota. Terakhir, melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap realisasi penggunaan dana desa.

Dalam APBN Perubahan 2015, tak kurang dari Rp20,7 triliun digelontorkan pada sekitar 74.093 desa yang tersebar dalam 434 kabupaten/kota. Nantinya dana tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Sementara fokus pembangunan akan disesuaikan dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Terkait cara pengalokasian, pemerintah telah mengatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2015 sebagai perubahan atas PP Nomor 60 Tahun 2014. Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan bahwa perubahan PP tersebut memiliki dua misi utama. “Tujuannya untuk mempercepat pemenuhan dana desa serta mempersempit kesenjangan dan ketimpangan alokasi,” ujarnya saat sosialiasi dana desa di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Jumat (15/5) silam.

Pada PP Nomor 22 tahun 2015, road map pemenuhan alokasi dana desa mencapai sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer ke daerah. Dari perhitungan itu, maka diperkirakan alokasi dana desa secara nasional mencapai rata-rata Rp1 miliar per desa di tahun 2017 mendatang. 

Selanjutnya, penyempurnaan formulasi pengalokasikan dana desa dilakukan melalui penerapan alokasi dasar dan perubahan formula. Alokasi dasar yang ditetapkan ialah sebesar 90 persen dari total pagu anggaran dana desa.

Sisanya, sebesar 10 persen dari pagu anggaran dana desa akan dialokasikan berdasarkan formula. Formula tersebut dihitung berdasarkan basis jumlah penduduk sebesar 25 persen, luas wilayah sebesar 10 persen, angka kemiskinan sebesar 35 persen dan tingkat kesulitan geografis sebesar 30 persen.

Setelah itu, alokasi dana desa akan disalurkan dari Rekening Kas Umum negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dalam tiga tahap. Tahap pertama, 40 persen dana tersalurkan paling lambat pada minggu kedua April dengan syarat Pemda Kabupaten/Kota telah menyampaikan Perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan peraturan bupati/walikota mengenai pembagian dana desa.

Tahap kedua, 40 persen dana disalurkan paling lambat pada minggu kedua Agustus. Tahap ketiga, dana tersalur sebesar 20 persen paling lambat minggu kedua November. Adapun syarat kedua tahap tersebut yakni Pemda Kabupaten/Kota telah menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa pada Semester I pada tahun berjalan.

Setelah dana desa masuk ke RKUD Kabupaten/Kota, Kepala Desa yang telah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan menganggarkan dana desa di dalamnya berhak menerima dana desa. Selambatnya tujuh hari kerja, dana tersebut telah dikirim oleh Pemda kabupaten/kota ke Rekening Kas Desa (RKD). Setelah dana diterima, barulah Kepala Desa dapat menjalankan program pembangunan desa.

Pasca dilaksanakannya program pembangunan desa, Kepala Desa wajib menyusun laporan realisasi penggunaan dana desa kepada Bupati/Walikota. Lalu, Bupati/Walikota menyampaikan laporan konsolidasi realisasi penyaluran dan penggunaan dana desa kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada sejumlah Kementerian teknis.

Pada tahap ini, Kementerian Keuangan berperan atas pemantauan dan evaluasi penggunaan dana desa. Bila ternyata pemerintah kabupaten/kota terbukti melakukan pelanggaran dalam mengelola dana desa, maka mereka akan diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran dan/atau pemotongan dana desa.

Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Boediarso Teguh Widodo, pemerintah Pusat sudah menyalurkan 80 persen pagu dana desa yaitu sebesar Rp16,6 triliun secara tepat waktu, kepada kabupaten dan kota. “Masing-masing untuk penyaluran tahap I dan tahap II ialah Rp8,3 triliun,” tuturnya seperti dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Senin (16/11).

Namun hingga 13 November 2015, dana desa yang sudah disalurkan dari RKUD ke RKD baru mencapai Rp6,2 triliun. Bahkan, dari 434 kabupaten/kota, baru 244 yang melaporkan penyaluran dari RKUD ke RKD. Sementara sisanya belum menyampaikan laporan.

Sebelumnya, pada penyaluran tahap pertama, dari 244 daerah sebanyak 136 daerah telah menyalurkan seluruh dana desa ke desa sebesar Rp2,89 triliun atau 34,7 persen. Sedangkan 84 daerah baru menyalurkan dana desa sebesar Rp1,16 triliun atau 14 persen. Sisanya sebanyak 24 daerah belum menyalurkan sama sekali.

Penyebabnya yakni keterlambatan penyampaian peraturan bupati (perbup) dan peraturan walikota (perwali) tentang pembagian dana desa. Keterlambatan ini ternyata disebabkan sebagian daerah baru memproses penetapan perbup/perwali setelah Peraturan Pemerintah (PP) No.22/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan No.93/2015 baru disahkan pada bulan Mei 2015.

Pada penyaluran tahap kedua, 129 daerah sudah menyampaikan laporan. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 59 daerah telah menyalurkan seluruh dana desa dengan jumlah Rp1,23 triliun atau 14,9 persen. Sementara 66 daerah baru menyalurkan sebagian dana desa kepada desa sebesar Rp968 miliar atau 11,7 persen. Sisanya, empat daerah belum menyalurkan sama sekali.

Untuk penyaluran tahap tiga, terjadi penundaan penyaluran dana desa karena ada sejumlah daerah yang terlambat atau belum menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa. Oleh karena itu, kata Boediarso, salah satu arah kebijakan dana desa tahun depan yakni menerapkan reward and punishment dalam menyalurkan dana desa kepada kabupaten/kota/desa.

Tantangan
Dalam penyaluran dana desa, Boediarso mengatakan bahwa pemerintah setidaknya menemui lima persoalan mendasar yang menjadi tantangan di lapangan. Pertama, adanya ketentuan hukum yang belum sejalan antar (peraturan) satu sama lain. Kedua, Bupati dan Walikota masih terlambat dalam menetapkan peraturan terkait dana dan keuangan desa sebagai dasar penyaluran dana desa dari rekening daerah.

Ketiga, masih ada keterlambatan penyaluran dana desa dari kabupaten atau kota ke desa. “Padahal pemerintah pusat sudah menyalurkan tepat waktu sebesar Rp16,6 triliun dana desa atau 80 persen dari pagu sebesar Rp20,7 triliun kepada Kabupaten atau Kota,” ujarnya.

Selanjutnya, Kabupaten dan Kota terlambat menyampaikan laporan realisasi penyaluran dan penyerapan dana desa dari rekening kas umum daerah ke rekening kas desa. Terakhir, belum terpenuhinya ketentuan besaran Alokasi Dana Desa (ADD) dan bagi hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), dari APBD Kabupaten/Kota.

“Data APBD 2015 dan info dari daerah, tahun 2015 masih ada sejumlah daerah yang belum memenuhi ADD 10 persen dan PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) 10 persen. Kalau ada yang belum dipenuhi, maka bisa jadi RAPBD kabupaten/kota tidak disahkan,” katanya.

(Sumber: Media Keuangan, Edisi 100).

11 April 2015

Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Koperasi sudah mencatatkan sejarah panjang dan mengawal masyarakat Indonesia sebagai salah satu bangun lembaga perekonomian yang paling dekat dengan rakyat.

Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Namun, kiprahnya kini akan semakin dipertanyakan setelah lahirnya Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi yang terkait dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

BUMDes ditegaskan sebagai sesuatu yang inklusif dan berbeda dengan koperasi, sehingga banyak yang mengharapkan keberadaannya lebih karena menginginkan sesuatu yang baru disamping juga karena jenuh pada koperasi.

Dalam praktiknya Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) justru dikecam karena tidak memasukkan koperasi dalam bisnis yang akan dikembangkan BUMDes.

Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) lembaga nirlaba yang mengkader calon pemimpin merupakan salah satu pihak yang memprotes keras dan mengecam Permen tersebut.

“Masalahnya adalah dalam Permen tersebut bisnis yang akan dikembangkan adalah hanya dalam bentuk Perseroan (PT) dan mengacu pada UU Perseroan,” kata Ketua Akses Suroto.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT &T) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 yang berisi tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Pengembangan BUMDes merupakan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Suroto menyayangkan Permen itu karena koperasi yang justru sesuai dengan filosofi gotong royong dan kultur masyarakat di desa, sama sekali diabaikan dan bahkan didiskriminasikan dengan tidak dimasukkan sebagai pilihan badan hukum. “Hal ini tentu akan berakibat fatal karena desa akan segera masuk dalam cengkeraman korporat kapitalis yang bertujuan untuk mengejar keuntungan semata itu,” katanya.

Ia menyarankan Menteri Desa, PDT &T segera mencabut Permen tersebut karena dikhawatirkan masyarakat desa akan jatuh dalam cengkeraman para pemilik modal besar yang sangat mungkin mengeksploitasi desa untuk kepentingan bisnis mereka sendiri.

Menurut dia, analogi pengembangan BUMDes itu adalah sama dengan BUMN di tingkat pusat dan BUMD di tingkat daerah.

“Tapi sepertinya ada yang belum dipahami oleh Menteri Desa PDT &T bahwa BUMN itu adalah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar dari atas yang tidak bisa dikerjakan oleh masyarakat alias difungsikan sebagai agen pembangunan untuk mendorong bisnis alamiah di masyarakat bukan menggantikannya,” katanya.

Ia berpendapat, begitu BUMDes dikelola dalam bentuk Persero maka semua asset desa bisa dikapitalisasikan dan tunduk pada UU Persero yang berlaku prinsip satu saham satu suara alias siapa yang punya saham dominan dia akan menguasai atau mengendalikan keputusan.

Hal itu berbeda dengan konsep koperasi yang bagaimanapun tetap menjamin hak suara anggota untuk mengambil keputusan dengan prinsip satu orang satu suara.

Kalau tetap dipaksakan dengan konsep tersebut bahkan akan mengoposisi natur bisnis di masyarakat. “BUMDes bisa menjadi kapitalis estatis dan bahayanya terjadi masif sampai di desa dan ini juga bertentangan dengan konstitusi yang menganut sistem demokrasi ekonomi,” katanya.

Ia menegaskan, ketika memilih badan hukum, sebaiknya BUMDes itu menggunakan koperasi karena motif maupun sistem organisasinya sesuai dengan kultur masyarakat desa.

Skemanya bisa dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah ( PMN/D) tapi tidak dominan. Fungsinya untuk mengakselerasi bisnis di kalangan masyarakat dalam bentuk badan hukum koperasi dan bukan mengoposisinya. “Jadi Permen ini jika dijalankan potensial menyebabkan ketidakpastian hukum,” katanya.

Jangan Khawatir Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar justru mengatakan Permen ini menjadi penting mengingat Nawa Kerja prioritas kementerian yang dikomandaninya ini adalah Pembangunan dan Pengembangan 5.000 BUMDes.

Jika idealnya setiap desa memiliki BUMDes, berarti masih ada sekitar 69.000 BUMDes lagi yang perlu diwujudkan. Secara teknis, BUMDes yang ada sekarang masih mengacu kepada Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.

“Permendagri tersebut sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan desa dan BUMDes saat ini pascalahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,” ujar Marwan.

Itulah sebabnya, kata Marwan, Peraturan Menteri Desa tentang Badan Usaha Milik Desa harus segera diterbitkan. “Melalui Permendesa ini, desa melalui BUMDes mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya dalam pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Marwan.

Permendesa tersebut akan mengatur ketentuan tentang BUMDes. Di antaranya, desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Usaha yang dapat dijalankan BUMDes yaitu usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendirian BUMDes disepakati melalui Musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

BUMDes juga diharapkan mampu menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi di desa yang juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan komersial. Sebagai lembaga komersial, BUMDes bertujuan mencari keuntungan untuk meningkatkan pendapatan desa.

“Dengan peran BUMDes sebagai akselerator perekonomian desa ini, saya optimis di desa-desa akan segera tercipta berbagai peluang usaha dan lapangan kerja baru, warga desa juga makin banyak punya kegiatan usaha, punya pendapatan jelas, pengangguran berkurang drastis, dan kesejahteraan desa akan meningkat pesat,” kata Menteri Marwan.

Saling Melengkapi Pada praktiknya koperasi dan BUMDes diharapkan bisa hadir bersamaan dan saling melengkapi. Pasca-lahirnya BUMDes bukan berarti akhir bagi perjalanan koperasi sebab BUMDes sejatinya juga masih memiliki kelemahan.

Pakar antropologi Yunanto dalam makalahnya Police Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada BUMDes, yaitu penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.

Selain itu keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. “Rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa,” katanya.

Ia juga menyoroti soal belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerja sama antar pihak terkait untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. Kurangnya responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat.

Secara substansial, UU No 6 tahun 2014 mendorong desa sebagai subjek pembangunan secara emansipatoris untuk pemenuhan pelayanan dasar kepada warga, termasuk menggerakan aset-aset ekonomi lokal. Oleh karena itu BUMDes diposisikan menjadi lembaga yang memunculkan sentra-sentra ekonomi di desa dengan semangat ekonomi kolektif.

Jadi, Yunanto berpendapat bedanya BUMDes dengan lembaga masyarakat lainnya termasuk koperasi sebenarnya tidak ada yang perlu dipertentangkan. “Semuanya saling melengkapi untuk menggairahkan ekonomi desa. Namun, BUMDes merupakan lembaga yang unik dan khas sepadan dengan keunikan desa,” katanya.

Yunanto menjelaskan keunikan BUMDes yakni merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat.

BUMDes merupakan bentuk ‘public and community partnership’ atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. BUMDes lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa.

Koperasi memang inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi tetap ekslusif karena hanya untuk anggota. Namun BUMDes bukan lantas menjadi babak akhir bagi perjalanan koperasi di Indonesia. Keduanya haruslah seiring sejalan untuk menyejahterakan bangsa. [tar]

Sumber: https://m.inilah.com/news/detail/2194251/nasib-koperasi-pascakelahiran-bumdes