11 April 2015

Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Koperasi sudah mencatatkan sejarah panjang dan mengawal masyarakat Indonesia sebagai salah satu bangun lembaga perekonomian yang paling dekat dengan rakyat.

Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Namun, kiprahnya kini akan semakin dipertanyakan setelah lahirnya Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi yang terkait dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

BUMDes ditegaskan sebagai sesuatu yang inklusif dan berbeda dengan koperasi, sehingga banyak yang mengharapkan keberadaannya lebih karena menginginkan sesuatu yang baru disamping juga karena jenuh pada koperasi.

Dalam praktiknya Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) justru dikecam karena tidak memasukkan koperasi dalam bisnis yang akan dikembangkan BUMDes.

Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) lembaga nirlaba yang mengkader calon pemimpin merupakan salah satu pihak yang memprotes keras dan mengecam Permen tersebut.

“Masalahnya adalah dalam Permen tersebut bisnis yang akan dikembangkan adalah hanya dalam bentuk Perseroan (PT) dan mengacu pada UU Perseroan,” kata Ketua Akses Suroto.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT &T) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 yang berisi tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Pengembangan BUMDes merupakan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Suroto menyayangkan Permen itu karena koperasi yang justru sesuai dengan filosofi gotong royong dan kultur masyarakat di desa, sama sekali diabaikan dan bahkan didiskriminasikan dengan tidak dimasukkan sebagai pilihan badan hukum. “Hal ini tentu akan berakibat fatal karena desa akan segera masuk dalam cengkeraman korporat kapitalis yang bertujuan untuk mengejar keuntungan semata itu,” katanya.

Ia menyarankan Menteri Desa, PDT &T segera mencabut Permen tersebut karena dikhawatirkan masyarakat desa akan jatuh dalam cengkeraman para pemilik modal besar yang sangat mungkin mengeksploitasi desa untuk kepentingan bisnis mereka sendiri.

Menurut dia, analogi pengembangan BUMDes itu adalah sama dengan BUMN di tingkat pusat dan BUMD di tingkat daerah.

“Tapi sepertinya ada yang belum dipahami oleh Menteri Desa PDT &T bahwa BUMN itu adalah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar dari atas yang tidak bisa dikerjakan oleh masyarakat alias difungsikan sebagai agen pembangunan untuk mendorong bisnis alamiah di masyarakat bukan menggantikannya,” katanya.

Ia berpendapat, begitu BUMDes dikelola dalam bentuk Persero maka semua asset desa bisa dikapitalisasikan dan tunduk pada UU Persero yang berlaku prinsip satu saham satu suara alias siapa yang punya saham dominan dia akan menguasai atau mengendalikan keputusan.

Hal itu berbeda dengan konsep koperasi yang bagaimanapun tetap menjamin hak suara anggota untuk mengambil keputusan dengan prinsip satu orang satu suara.

Kalau tetap dipaksakan dengan konsep tersebut bahkan akan mengoposisi natur bisnis di masyarakat. “BUMDes bisa menjadi kapitalis estatis dan bahayanya terjadi masif sampai di desa dan ini juga bertentangan dengan konstitusi yang menganut sistem demokrasi ekonomi,” katanya.

Ia menegaskan, ketika memilih badan hukum, sebaiknya BUMDes itu menggunakan koperasi karena motif maupun sistem organisasinya sesuai dengan kultur masyarakat desa.

Skemanya bisa dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah ( PMN/D) tapi tidak dominan. Fungsinya untuk mengakselerasi bisnis di kalangan masyarakat dalam bentuk badan hukum koperasi dan bukan mengoposisinya. “Jadi Permen ini jika dijalankan potensial menyebabkan ketidakpastian hukum,” katanya.

Jangan Khawatir Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar justru mengatakan Permen ini menjadi penting mengingat Nawa Kerja prioritas kementerian yang dikomandaninya ini adalah Pembangunan dan Pengembangan 5.000 BUMDes.

Jika idealnya setiap desa memiliki BUMDes, berarti masih ada sekitar 69.000 BUMDes lagi yang perlu diwujudkan. Secara teknis, BUMDes yang ada sekarang masih mengacu kepada Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.

“Permendagri tersebut sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan desa dan BUMDes saat ini pascalahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,” ujar Marwan.

Itulah sebabnya, kata Marwan, Peraturan Menteri Desa tentang Badan Usaha Milik Desa harus segera diterbitkan. “Melalui Permendesa ini, desa melalui BUMDes mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya dalam pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Marwan.

Permendesa tersebut akan mengatur ketentuan tentang BUMDes. Di antaranya, desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Usaha yang dapat dijalankan BUMDes yaitu usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendirian BUMDes disepakati melalui Musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

BUMDes juga diharapkan mampu menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi di desa yang juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan komersial. Sebagai lembaga komersial, BUMDes bertujuan mencari keuntungan untuk meningkatkan pendapatan desa.

“Dengan peran BUMDes sebagai akselerator perekonomian desa ini, saya optimis di desa-desa akan segera tercipta berbagai peluang usaha dan lapangan kerja baru, warga desa juga makin banyak punya kegiatan usaha, punya pendapatan jelas, pengangguran berkurang drastis, dan kesejahteraan desa akan meningkat pesat,” kata Menteri Marwan.

Saling Melengkapi Pada praktiknya koperasi dan BUMDes diharapkan bisa hadir bersamaan dan saling melengkapi. Pasca-lahirnya BUMDes bukan berarti akhir bagi perjalanan koperasi sebab BUMDes sejatinya juga masih memiliki kelemahan.

Pakar antropologi Yunanto dalam makalahnya Police Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada BUMDes, yaitu penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.

Selain itu keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. “Rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa,” katanya.

Ia juga menyoroti soal belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerja sama antar pihak terkait untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. Kurangnya responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat.

Secara substansial, UU No 6 tahun 2014 mendorong desa sebagai subjek pembangunan secara emansipatoris untuk pemenuhan pelayanan dasar kepada warga, termasuk menggerakan aset-aset ekonomi lokal. Oleh karena itu BUMDes diposisikan menjadi lembaga yang memunculkan sentra-sentra ekonomi di desa dengan semangat ekonomi kolektif.

Jadi, Yunanto berpendapat bedanya BUMDes dengan lembaga masyarakat lainnya termasuk koperasi sebenarnya tidak ada yang perlu dipertentangkan. “Semuanya saling melengkapi untuk menggairahkan ekonomi desa. Namun, BUMDes merupakan lembaga yang unik dan khas sepadan dengan keunikan desa,” katanya.

Yunanto menjelaskan keunikan BUMDes yakni merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat.

BUMDes merupakan bentuk ‘public and community partnership’ atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. BUMDes lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa.

Koperasi memang inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi tetap ekslusif karena hanya untuk anggota. Namun BUMDes bukan lantas menjadi babak akhir bagi perjalanan koperasi di Indonesia. Keduanya haruslah seiring sejalan untuk menyejahterakan bangsa. [tar]

Sumber: https://m.inilah.com/news/detail/2194251/nasib-koperasi-pascakelahiran-bumdes

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon