Tampilkan postingan dengan label Warta Terkini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Warta Terkini. Tampilkan semua postingan

18 Januari 2016

Tiap Desa Raih Rp1,5 Miliar, Anggaran Naik 500% di 2019

GampongRT - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjanjikan akan meningkatkan anggaran dana desa dalam setiap tahun. Hal ini dianggap perlu dilakukan untuk memicu pertumbuhan pembangunan desa di berbagai daerah di Indonesia.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo menuturkan, pada 2019 ditargetkan total anggaran yang diterima oleh setiap desa akan meningkat hingga lima kali lipat dibandingkan jumlah dana yang diperoleh saat ini.

"Saat ini setiap desa masih memperoleh Rp280 juta. Jumlah ini akan kita tingkatkan setiap tahun hingga nanti pada tahun 2019 jumlahnya mencapai Rp1,5 miliar setiap desa," ujar Boediarso di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (17/12/2015).

Boediarso pun menyatakan, beban kepala desa setiap tahunnya akan bertambah dengan mengemban amanah hingga miliaran Rupiah. Untuk itu, Kepala Desa harus memiliki kompetensi manajemen yang baik agar tidak salah menggunakan anggaran desa.

"Beban Kepala Desa akan semakin berat. Mereka nantinya akan menyandang tanggung jawab hingga miliaran Rupiah," imbuhnya.

Sumber: okezone.com

Pemerintah Diminta Tidak Dikte Penggunaan Dana Desa

DANA DESA/ILUSTRASI
GampongRT - Ketua Forum Pengembangan Pembaruan Desa, Farid Adi Rahman meminta pemerintah tidak menentukan prioritas penggunaan dana desa karena setiap desa memiliki kebutuhan yang berbeda.

"Kalau di Papua dan Sumatera, mungkin kebutuhannya di bidang infrastruktur, tetapi di desa-desa yang ada di Jawa kebutuhannya bukan pada infrastruktur lagi karena infrastruktur sudah memadai," ujar Farid di Jakarta, Ahad (18/1)

Dia memberi contoh desa yang ada di Yogyakarta, kebutuhan utamanya adalah modal, badan usaha milik desa, pasar hingga pelatihan sumber daya manusia.

"Jadi kebutuhannya bukan pada infrastruktur lagi, tapi lebih pada kebutuhan pelatihan untuk pariwisata dan lainnya," tambah dia.

Penentuan prioritas penggunaan dana desa, lanjut dia, tidak diperlukan karena setiap desa sudah mempunyai perencanaan yang ditentukan melalui musyawarah desa.

Dengan demikian seharusnya, pemerintah tidak perlu menentukan namun cukup mengkonfirmasi saja. Hal itu juga diyakini dapat menggerakan perekonomian di desa, seperti yang diharapkan pemerintah.

"Ini malah seakan-akan mengkerdilkan dengan peraturan dana desa harus untuk infrastruktur," katanya.

Sebelumnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Marwan Jafar mengatakan dana desa diprioritaskan untuk infrastruktur di desa tersebut.

"Dana desa diprioritaskan untuk program-program infrastruktur, dengan para pekerja dari desa setempat, bahan bangunan juga dari desa setempat. Dengan demikian, fokus kita agar dana desa tersebut berputar di desa," kata Marwan.

Sumber: republika.co.id

15 Januari 2016

14 Temuan KPK Terkait Dana Desa

GampongRT  - Urusan dana desa terkait erat dengan pengelolaan keuangan desa. Dalam pengelolaan keuangan desa seringkali masalah yang dihadapi adalah efektivitas dan efisiensi, prioritas, kebocoran dan penyimpangan serta rendahnya profesionalisme. Pengelolaan keuangan yang baik berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan kepemerintahan desa. Oleh karena itu, asas-asas dalam pengelolaan keuangan desa perlu diterapkan.

Terkait urusan dana desa yang masih terus menjadi topik hangat berbagai kalangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah persoalan dalam pengelolaan dana desa. Persoalan-persoalan itu harus dipahami sebaik-baiknya karena menyimpan potensi penyimpangan. Temuan itu diperoleh setelah KPK melakukan kajian UU Desa dan disetujuinya anggaran sejumlah Rp. 20,7 triliun dalam APBN-Perubahan tahun 2015. KPK menemukan 14 temuan dalam empat hal, yaitu regulasi-kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia.

KPK antara lain menemukan belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pengelolaan keuangan desa. Selain itu juga masih banyak terdapat over lapping atau tumpang tindih kewenangan antara Kementrian Desa dan Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri.

“Bila mengikuti PP No. 60/2014, desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi akan mendapatkan dana desa sebesar Rp. 437 juta, sedangkan desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp. 41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No. 22/2015, desa A mendapatkan Rp. 312 juta dan desa B mendapatkan Rp. 263 juta,” ungkap Kepala Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha.

Pada tata laksana, KPK melihat tenggang waktu siklus pengelolaan anggaran desa akan sulit dipatuhi oleh desa. Selain itu, satuan harga baku barang dan jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia. APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

“Berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut,” jelas Priharsa.

Priharsa mencontohkan, desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDesa untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)perdagangan cengkeh, meski daerahnya minim infrastruktur.

Pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yaitu: 1) Efektifitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah; 2) Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah; dan 3) Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.

Itulah sejumlah persoalan penting yang harus dipahami dan diwaspadai oleh para perangkat desa.

Sumber: berdesa.com

14 Januari 2016

Dana Desa Telah Digelontorkan, Semangat Pembangunan Desa Harus Terus Berjalan

GampongRT - Komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk membangun Indonesia dimulai dari daerah pesisir terus diwujudkan untuk dapat memperkuat daerah khususnya desa-desa di Indonesia. Untuk dapat menggerakkan perekonomian desa tersebut, berbagai upaya dilakukan guna mencapai perekonomian yang kuat dan sehat, salah satunya melalui pemanfaatan program dana desa untuk program padat karya.

Pemerintah mendorong agar dana desa segera dipakai dengan menjalankan program padat karya, terutama dengan membangun infrastruktur maupun program-program berbasis potensi lokal desa, demikian disampaikan Menteri Desa PDTT, Marwan Jafar, yang dikutip dalam laman, Jatimprov, Kamis (14/1).

“Saya tidak henti-hentinya mengajak para kades dan semua masyarakat desa untuk segera memakai dana desa dengan program padat karya, terutama dengan membangun infrastruktur desa. Juga membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) agar potensi ekonomi desa tergarap maksimal. Jangan ragu-ragu apalagi takut memakai dana desa,” ujar Marwan.

Program dana desa menjadi amanat undang-undang Desa dan telah menjadi komitmen pemerintah Jokowi-JK meningkatkan jumlah dana desa. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat bisa melakukan inovasi-inovasi dengan memanfaatkan dana desa sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah berharap semua pmendorong desa daerahnya untuk bekerja cepat menggunakan dana desa dengan basis potensi lokal, dengan begitu secara otomatis dana desa akan terserap sehingga tidak kembali ke pusat. Dana desa akan berputar di desa dan dapat menghidupkan perekonomian desa. Jika ekonomi desa bergerak positif, tentunya akan mampu mendongkrak perekonomian nasional.

Proses dan prosedur dana desa juga tidak perlu dibuat rumit. Jika sudah masuk ke rekening desa, maka dapat langsung digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti jalan, jembatan maupun saluran irigasi.

Dalam pidatonya Presiden Jokowi saat menghadiri Rakornas I PDIP mengatakan bahwa dana desa pada tahun 2016 sudah dianggarkan sebesar Rp47 triliun, untuk itu Presiden meminta agar dana ini dapat segera diserap oleh desa jangan sampai kembali ke pusat.

“Dana desa harus digunakan untuk keperluan padat karya. Barangnya dibeli di desa, tidak ke kota. Uang harus terus beredar di kota. Kalau pun dana tersebut digunakan untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan namun hanya bisa ditemui di kota, maka penggunaan uang itu tidak berlebihan,” ujar Jokowi.

Sumber: beritadaerah.co.id

Pengawasan terhadap Dana Desa kini semakin Ketat

INFODES - Pengawasan terhadap penggunaan seluruh dana desa atau kampung untuk tahun anggaran 2016 ini akan semakin ketat, hal itu dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran.

Pemerintah semakin memperketat pengawasan dana desa untuk menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan oleh kades dan aparatur desa

Demikian dikatakan Asisten Pemerintahan Dan Kesra Kabupaten Aceh Tengah Mursyid, dalam sambutanya pada kegiatan sosialisasi pemanfaatan anggaran pemberdayaan masyarakat melalui gerakan PKK, yang berlangsung di gedung ummi, komplek pendopo bupati setempat, Kamis (14/1/2016).

Dijelaskan, jika sebelumnya pemerintah masih melonggarkan pengawasan terhadap dana tersebut, maka hal yang berbeda akan diberlakukan dalam tahun kedua ini, dimana pengawasan akan sangat ketat baik dalam hal penggunaan maupun perencanaan.

“Dana yang sangat besar ini harus digunakan dengan tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat. serta tidak boleh ada aparat pemerintahan kampung yang harus berurusan dengan hukum, akibat dana yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru digunakan untuk keperluan pribadi”, katanya.

Mursyid juga meminta agar dana yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) tidak lagi keluar dari kampung, dengan memanfaatkan potensi yang ada di setiap kampung, serta meminimalisir membeli barang dari kota sehingga dana yang ada tetap berputar pada masing-masing kampung.

“Potensi yang ada harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, contohnya seperti membangun lorong atau parit jika ada batu dan pasir di kampung itu tidak usah lagi membelinya ke luar, kecuali yang memang tidak ada seperti semen, itu memang mau tidak mau harus dibeli di kota”, sebut Mursyid.

Pada tahun 2016 ini dana yang akan dialokasikan ke Kabupaten Aceh Tengah yang terdiri dari 295 kampung dalam 14 kecamatan berkisar 300 hingga 700 juta rupiah, perbedaan itu berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kemiskinan dan tingkat kesulitan akses geografis. (RRI)

13 Januari 2016

Masyarakat Sipil Support Percepatan Kemandirian Desa

FGD Kemendes bersama Akademisi, NGO, Aktifis Desa dan Masyarakat Sipil untuk Desa/Foto: @kemendesa
GampongRT - Kalangan masyarakat sipil, Non Govermance Organitation (NGO), dan para akademisi mendukung penuh program Desa Membangun yang dijalankan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Marwan Jafar.

Pakar dan pemerhati masalah desa dari IAIN Sunan Ampel, Jawa Timur, Masdar Hilmy mengatakan, inisiatif Menteri Marwan yang akan membuat Kelompok Kerja (Pokja) masyarakat sipil untuk Desa Membangun Indonesia memang sangat tepat dan strategis.

"Partnership dengan koalisi masyarakat adalah cara cerdas dalam mempercepat desa membangun. Sebab para NGO, Akademisi, dan aktivis masyarakat sipil adalah praktisi yang setiap harinya bercengkrama dengan masyarakat," ujar Masdar dalam Dialog Menteri Desa PDTT dengan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Percepatan Kemandirian Desa di Jakarta, Rabu (13/1).

Masdar juga mendukung Menteri Marwan yang terus meningkatkan kerjasama dengan kampus-kampus, karena punya intensitas tinggi melakukan kajian dan penelitian ilmiah berhubungan dengan masyarakat desa. 

"Kampus juga harus digandeng karena memiliki kedekatan dengan masyarakat desa sehingga prpgram akan berjalan efektif. Baik dalam penelitian, kerja lapangan dan sebagainya," tandas Masdar.

Sementara itu, Menteri Desa PDTT Marwan Jafar menegaskan, pihaknya memang mendorong dibentuknya forum NGO dan masyarakat sipil yang menjalankan ruang lingkup desa membangun serta pemberdayaan masyarakat desa. Kolaborasi antara pemerintah dengan elemen masyarakat sipil harus dilakukan agar program untuk desa bisa berjalan cepat dan maksimal.

“Dalam waktu dekat kita akan mendorong pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) masyarakat sipil untuk desa membangun Indonesia. Pokja ini bisa menjadi wadah bagi kita semua untuk saling bertukar pemiikiran dan pengalaman untuk bersama-sama dalam memandirikan dan memajukan desa sesuai dengan amant UU Desa No.6/2014,” jelasnya.

Menteri desa pertama sejak Indonesia merdeka ini menambahkan, kolaborasi dan kerjasama yang luas dengan berbagai pihak sangatlah dibutuhkan karena persoalan yang dihadapi desa sangat kompleks. 

Persoalan-persoalan yang dihadapi desa itu merupakan akibat dari kesalahan kebijakan di masa lalu. Ada persoalan konflik, kemiskinan, kerusakan lingkungan, kesehatan, pendidikan, persoalan hukum dan berbagai masalah lainnya. Semua persoalan itu tidak bisa diselesaikan jika semua pihak bekerja sendiri-sendiri.

Menteri marwan juga menegaskan, kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan desa ini diwujudkan dalam bentuk kongkrit. Ini dimulai dari membangun dialog intens dengan aktor dan pegiat desa seperti para NGO, Akademisi, dan elemen masyarakat sipil lainnya. 
Selanjutnya, Dana Desa 2016 Fokus untuk Infrastruktur.

Dana Desa Diharapkan Atasi Kesenjangan si Kaya & si Miskin

Rumah Warga Miskin/Foto Ilustrasi GRT
GampongRT - Anggaran dana desa yang berikan oleh pemerintah kepada setiap desa di Indonesia diharapkan dapat mengatasi kesenjangan sosial seperti yang terjadi selama ini. Dengan adanya kucuran dana pusat yang masuk ke pedesaan, pemerintah daerah diimbau untuk turut serta membangun pedesaan sehingga nantinya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di setiap desa di Indonesia.

Sehingga, kesenjangan sosial yang terjadi di perkotaan pun dapat diantisipasi karena meningkatkannya perekonomian masyarakat pedesaan yang berdampak pada semakin sedikitnya masyarakat di desa melalukan migrasi ke kota. (Baca: Menteri Marwan Segera Jalankan Program Padat Karya)

Menurut Ekonom Utama Bank Dunia di Indonesia Ndiame Diop, program dana desa ini seharusnya dapat menjadi pion pembangunan daerah yang kemudian akan memberikan dampak jangka panjang bagi peningkatan perekonomian pedesaan.

"Dana desa dapat meningkatkan perekonomian daerah yang menyebabkan meningkatnya ekonomi nasional," ujar Ndiame di Gedung Energi, Jakarta, Selasa (15/12/2015).

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, pada tahun 2016 national banget transfer (transfer dana desa) dapat mencapai Rp47,7 triliun. Jumlah ini meningkat 2 kali lipat dibanding tahun 2015 yang hanya mencapai Rp20,8 triliun.

"Dana desa dapat menjadi salah satu kebijakan yang memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah. Dengan adanya pembangunan infrastuktur dapat dana desa ini dapat menjadi penggerak," imbuh Ndiame. 

Kesenjangan sosial yang saat ini terjadi dapat diatasi dengan memanfaatkan dana desa. Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dana desa agar tidak disalahgunakan dan mengendap di bank daerah.

Sumber: okezone.com

12 Januari 2016

Desa dan Pertanian Negeri Seberang

Sawah terasering) terletak di Hamanoura, Jepang
GampongRT - Indonesia merubah konsep desa sebagai objek pembangunan menjadi desa sebagai pelaku pembangunan. Sedikit perubahan kata namun memberi dampak yang besar dengan potensi yang sangat luar biasa.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat desa, harus memiliki inovasi dan kreatifitas dalam mengelola sumber daya dan peluang yang ada. Tidak ada salahnya pula bila belajar ke desa-desa yang ada di negara seberang lautan.


“Banyak yang bisa dipelajari dari negara lain,” ujar anggota Komisi II DPR RI fraksi PDI-Perjuangan Budiman Sudjatmiko kepada metrotvnews.com di Jakarta, Kamis (14/1/2016).

Misalnya, Indonesia bisa meniru Brasil dengan skema bantuan transfer dana bagi masyarakat ekonomi bawah untuk pembangunan desa. Bahkan Brasil kini juga telah memperluas skema bantuannya kepada masyarakat perkotaan untuk semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.

Indonesia juga dapat meniru Thailand yang diakui sebagai salah satu negara tujuan terbaik dunia. Negeri Gajah Putih menyulap desa-desanya untuk tujuan pariwasata dengan perbaikan infrastruktur dan pendidikan kepada masyarakatnya untuk melayani turis dengan baik.

Pendekatan sektor pariwisata untuk menggenjot perekonomian juga dilakukan di Eropa. Antara lain Greenwich di Inggris, Regensburg di German, Brugel di Belgia dalam semangat untuk menjaga kekhasan gaya bangunannya dapat ditiru. Kota tua yang dulunya hanya desa-desa kecil di abad pertengahan tersebut dapat menjadi contoh yang baik untuk menunjukkan pembangunan tidak perlu menghilangkan tradisi.

Masih banyak pertumbuhan desa-desa negara lain yang bisa ditiru. Pendekatan negara tersebut membangun desanya pun dapat dipelajari.

Saemaul Undong, gerakan desa baru Korea Selatan

Kore Selatan adalah salah satu yang negara yang bisa menjadi tempat Indonesia belajar pembangunan desa. Siapa sangka negara tempat banyak raksasa teknologi bermarkas itu dulunya sangat miskin. Bahkan mereka tercatat sebagai negara yang jauh lebih miskin ketimbang Indonesia pada era-1950an.

Gerakan bernama Saemaul Undong menjadi salah satu alasan.

Saemaul Undong yang secara harfiah adalah gerakan desa baru, merupakan suatu gerakan perubahan dan reformasi pedesaan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Gerakan ini dicanangkan oleh Presiden Park Chung Hee yang melakukan kudeta pada 1961.

Gerakan Saemaul Undong pun diperkenalkan pada tahun 1970 kepada masyarakat Korea. Ada beberapa semangat yang dibawa gerakan ini. Semangat pembangunan nasional untuk keluar dari kemiskinan, semangat reformasi spiritual untuk modernisasi masyarakat Korea, semangat pengembangan berpusat di sekitar masyarakat pedesaan, semangat persatuan rakyat untuk mengatasi konflik antar kelas sosial, serta semangat untuk mewarisi dan mewariskan tradisi masyarakat.

Gerakan Saemaul Undong direncanakan dan dilaksanakan oleh penduduk desa sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Program yang dijalankan pada tahun-tahun pertama lebih banyak fokus kepada perbaikan infrastruktur. Mulai dari pelebajaran jalan, pembangunan jembatan, drainase dan instalasi air bersih, dan cocok tanam jenis tanaman yang cepat memberi tumbuh dan memberi manfaat.

“Jadi ini persis semacam gotong royong. Tapi program dibuat secara resmi oleh pemerintah. Pada awalnya pemerintah memberi modal per desa untuk program perbaikan, jika berhasil ditambah,” kata pengamat budaya Korea Suray Agung Nugroho kepadametrotvnews.com, Senin (11/1/2016).

Program yang dicanangkan pada April mendapat perhatian dari Bank Dunia pada Agustus 1970. Chung Hee menggunakan dana tersebut untuk pembelian belasan juta sak semen yang didistribusikan merata kepada 33.267 desa di Korea Selatan pada saat itu.

Gerakan pembangunan dengan desa sebagai pusatnya ini cukup unik karena gerakan dikenalkan ke masyarakat oleh relawan yang tidak digaji. Relawan ini diberikan pendidikan oleh pemerintah Korea Selatan untuk memastikan keberhasilan program Saemaul Undong. Pemimpin Saemaul, sebutan untuk para relawan, bekerja sama dengan kepala desa agar program terlaksana dengan baik. Mereka bahkan harus turun tangan membujuk penduduk desa agar berpartisipasi.

Program terus diusung selama Chung Hee menjabat dengan membawa asas geun myeun (ketekunan), jajo(swadaya), dan hyom dong (kerjasama). Gerakan yang terus menerus dilaksanakan selama hampir sepuluh tahun ini akhirnya mengakar ke masyarakat pedesaan di Korea Selatan. Walau akhirnya Presiden Chung Hee tewas terbunuh, semangat pembangunan dari desa dan asas yang dibawa Saemaul Undong akhirnya mempengaruhi masyarakat negeri ginseng secara keseluruhan.

Desa Jepang, semangat inovasi dan tradisi

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Mungkin itulah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan perbedaan antara Korea Selatan dan Jepang dalam membangun desa-desanya.

Kedua negara ini sama-sama negara yang besar setelah perang dunia pertama. Keduanya sama-sama diporakporandakan oleh perang. Keduanya juga sama-sama membawa semangat pembangunan dari pinggiran.

Jepang lebih terciri dengan caranya menghasilkan inovasi dengan tetap menjaga tradisi. Inovasi di Jepang tidak hanya terjadi di perkotaan tapi juga pedesaan.

Desa Kawakami Perfektur Mura menjadi salah satu contoh. Jika desa-desa di negara lain hanya berusaha menghasilkan produk ternak dan pertanian yang sama, desa Kawakami berusaha meningkatkan kualitas pertaniannya dengan melakukan inovasi penanaman selada dan kol.

Dengan selada dan kol yang segar, beraroma sedap dan terasa manis pun berhasil membuat desa ini menjadi sangat terkenal. Bahkan dengan penghasilan dua tanaman tersebut, penduduk “desa sayuran” memiliki penghasilan per tahun hingga 25 juta yen.

Pengasilan tersebut 50 persennya berasal dari perkebunan selada dan 30 persennya dari kol. Sedangkan sisanya dari sayuran lain. Sekali panen, mereka bisa mengekspor puluhan ribu boks sayuran ke luar negeri selain untuk konsumsi dalam negeri.

Dengan penduduk desa yang hanya berjumlah sekitar 4.800 orang, Kawakami berada di atas rata-rata daerah lain. Generasi muda di desa ini pun tergolong tinggi dibanding pedesaan lain di Jepang. Bagi warga Kawakami, menjadi penduduk desa adalah kebanggaan.

Tidak hanya di Desa Kawakami, hal yang sama juga terjadi di desa-desa sekitar Kota Matsusaka dan Kota Kobe. Inovasi peternak membuat desa-desa di wilayah ini terkenal dengan sapi Wagyu (sapi Jepang) hingga ke mancanegara.

Sapi Wagyu diternakan dengan kondisi alami. Sapi pun dijaga dengan untuk tidak stres dan secara rutin diberi relaksasi. Bahkan sapi-sapi diberi minuman khusus. Ini membuat daging Wagyu terasa lembut dan beraroma jauh lebih nikmat.

Tidak tanggung-tanggung, peternak juga menerapkan sistem kelas daging Wagyu dari skala 1 sampai 9. Akibat kualitas yang tinggi dan tradisi yang terus dijaga, daging Wagyu menjadi makanan kelas atas. 100 gram daging Wagyu harganya dapat mencapai USD50.

Inovasi yang dilakukan Jepang tetap diiringi dengan menjaga tradisi. Di tengah perkembangan teknologi dan industrialisasi Jepang, negeri matahari terbit tetap memilki desa indah yang menjaga tradisi. Desa Shirakawago misalnya.
Desa Shirakawago menjadi salah satu Situs Warisan Dunia yang berada di Jepang. Situs ini terletak di lembah sungai Shokawa di perbatasan Prefektur Gifu.

Desa Shirakawago terkenal dengan rumah tradisionalnya yang berusia lebih dari 200 tahun. Rumah Gassho-zukuri (konstruksi tangan berdoa) terciri dengan bentuk atap rumah yang miring dan melambangkan tangan orang yang sedang berdoa.

Desain rumah ini sangat kuat dan memiliki bahan atap yang unik karena iklim daerah Shirakawago. Kawasan tempat desa ini berada terkenal dengan saljunya tebal. Semua atap rumah di Desa Shirakawago menghadap ke timur dan barat. Ini bertujuan salju yang menumpuk segera bisa mencair ketika terkena matahari.

Karena atap menghadap arah matahari, semua ventilasi yang terletak di loteng mengarah ke selatan dan utara. Dengan begitu aliran udara dan angin bebas keluar masuk sehingga menciptakan sistem ventilasi yang terbaik.

Rumah gassho-zukuri terbuat dari kayu. Seluruh bangunan juga tidak menggunakan paku. Seluruh rumah hanya disatukan dengan tali yang terbuat dari jerami yang dijalin atau neso.

Negeri semaju Jepang pun tetap menjaga tradisi.

Desa terkaya di dunia ada di Tiongkok

Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Tiongkok. Indonesia pun tidak salah jika ingin belajar cara membangun desa yang kaya ke Tiongkok. Sebab, saat ini Desa Huaxi yang berada di Provinsi Jiang Shu.

Dalam waktu 50 tahun, Xuahi berhasil merubah diri dari desa miskin menjadi desa terkaya dengan prinsip “maju dan makmur bersama”. Huaxi bersama desa-desa modern lain merupakan wujud hasil kerja keras, kebersamaan, sekaligus kebebasan desa untuk membangun diri scara mandiri.

Perkembangan Xuahi ditandai saat kebijakan politik “membubarkan komune rakyat” dilakukan pada 1980. Wu Renbao sebagai sekretaris partai tingkat desa memilih mempertahankannya.

Asas saling berbagi dan semangat membangun bersama yang tetap dipegang desa walau komune rakyat dihapus membuat Huaxi tumbuh sebagai desa dengan industri pertanian yang modern. Bermodalkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Huaxi telah memiliki banyak usaha, membangun pabrik baja, dan industri pariwisata.

Pembangunan berbasis desa dengan pusat BUMDes membuat masyarakat desa Xuahi menjadi sangat makmur. Sekitar 35.000 penduduk desa Xuahi menjadi masyarakat berekonomi makmur. Tiap orang setidaknya memiliki tabungan USD250 ribu, rumah seluas 400 meter persegim mobil sedan, perawatan kesehatan dan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi, hingga saham tersebar di perusahaan milik desa.

Semua atas pemberian pemerintah desa.

Bisnis di Xuahi sangatlah bervariasi saat ini. Mulai dari perkapalan, tembakau, baja, hingga tekstil. Untuk mempermudah pebisnis mengeksplorasi Huaxi dan kota-kota terdekatnya, pemerintahan desa bahkan menyewakan taksi helikopter.

Pada 2011 lalu, pemerintahan Desa Huaxi mendirikan gedung pencakar langit setinggi 328 meter yang menjadi salah satu bangunan pencakar langit tertinggi dunia.

Memang tak ada salahnya Indonesia belajar ke desa negeri seberang. Apalagi dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa-desa di nusantara didorong untuk semaking berkembang.

Berkaca ke Vietnam dan Thailand untuk pertanian

Salah satu cita-cita Indonesia adalah menjadi negara agraria yang mampu swasembada pangan. Cita-cita luhur ini sudah muncul semenjak zaman Indonesia merdeka.

Guru besar ekonomi IPB Hermanto Siregar menyebutkan hal ini akan sulit terjadi karena beberapa kelemahan Indonesia. Pertama terkait konsesi lahan pertanian Indonesia yang terus menyusut.

"Konsesi lahan pertanian banyak yang berubah menjadi perumahan atau peruntukan industri," cerita Hermanto kepada metrotvnews.com, Senin (11/1/2016).

Setiap tahunnya konsesi lahan pertanian berkurang hingga 100 ribu hektare per tahun. Penyusutan terbesar paling banyak terjadi di pulau Jawa, Sekitar 40 ribu hektare tiap tahunnya.

Memang pemerintah Indonesia belakangan sudah berupaya membuka lahan-lahan pertanian baru. Tapi perbandingannya jauh lebih kecil dibanding pengalihan konsesi lahan yang terjadi. Penambahan lahan hanya sekitar 5.000 hektare per tahun.

"Dibutuhkan kesungguhan dari pemerintah untuk menegakkan hukum alih fungsi lahan pertanian," ucap Hermanto menyayangkan pertanian Indonesia yang semakin kalah dengan negara tetangga.

Sudah saatnya Indonesia berkaca ke negara tetangga dalam memajukan pertanian. Thailand dan Vietnam bersungguh-sungguh dalam menguatkan sektor pertanian. Berbeda dengan Indonesia, Thailad dan Vietnam berani untuk mempertahankan luas lahan pertaniannya.

Vietnam menetapkan wilayah delta Mekong sebagai kawasan pertanian yang tidak boleh diganggu gugat. Thailand juga menetapkankan lahan pertaniannya tidak boleh dialih fungsikan.

Indonesia juga masih ketinggalan soal teknologi pangan. Walau sama-sama terus mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pangan, Indonesia masih ketinggalan dibanding kedua negara tersebut.

Produktivitas lahan padi dapat dijadikan contoh. Rasio perbandingan jumlah hasil panen dibanding luas lahan padi Indonesia hanya 1 ton per hektar. Sedangkan Vietnam berhasil mencapai angka 5,4 ton per hektar.

Produktivitas Thailand memang sedikit lebih rendah dibanding Indonesia. Tapi Thailand mampu jauh meninggalkan total hasil produksi padi Indonesia karena jumlah lahan yang luas dibanding kebutuhan mereka. Akhirnya beras Thailand mampu memasuki pasar Indonesia. Bukan sebaliknya.

Soal pengembangan teknologi pangan Indonesia juga tidak fokus seperti kedua negara tersebut. Setidaknya ada dua kelemahan Indonesia yang dilihat oleh pengamat pertanian ini.

Pertama, Indonesia tidak fokus dalam menggunakan anggaran pengembangan teknologi pertanian Indonesia. Terlalu banyak komoditas yang dikembangkan, sedanggkan anggaran terlalu yang ada sangat terbatas.

Kedua, terlalu banyak lembaga yang melakukan riset dan pengembangan pangan. Secara logis, semakin banyak lembaga yang mengembangkan seharusnya memberi dampak positif. Namun yang terjadi di Indonesia justru tumpang tindih penelitian. Saat Kementerian melakukan riset suatu komoditas, lembaga pendidikan tinggi dan universitas juga melakukan riset komoditas yang sama.

Thailand menyerahkan riset komoditas pertanian ke universitasnya. Ketika hasil riset keluar, pengembangan tersebut diserahkan ke pemerintah untuk diimplementasikan.

"Supaya tidak tumpang tindih antara riset satu lembaga dengan riset lembaga lain," Hermanto menegaskan.

"Jadi untuk memajukan pertanian, Indonesia hanya butuh fokus," tandas Hermanto. 

Sumber: metrotvnews.com
Foto ilustasi: apakabardunia.com