Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan

28 Juni 2018

Dana Desa dalam Padat Karya Tunai

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir karena ketidakseimbangan pola pembangunan antara desa dan kota. Jika kita lihat data tentang stunting, pengangguran, setengah penganggur, dan tingkat kesenjangan pendapatan akan menyumbang angka kemiskinan yang tinggi di perdesaan.
Pelaksanaan Padat Karya Tunai di Desa/Foto: Sumadi Arsyah
Data resmi dari BPS Maret 2017, warga miskin di desa 13,93% dan di kota 7,72%. Perbandingannya mendekati kisaran 2:1, yang artinya jumlah warga miskin di desa hampir dua kali lipat warga miskin di kota.

Untuk mengatasi kesenjangan ini pemerintah Jokowi menggulirkan program Dana Desa yang setiap tahunnya mengalami kenaikan signifikan kecuali pada 2018. Total dana desa yang sudah dikucurkan sejak 2015 sampai 2018 mencapai Rp 187,74 triliun. Kita bisa bayangkan jika uang ini dikelola tepat sasaran, tidak akan ada lagi gizi buruk, pengangguran, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan lainnya.

Pola pengelolaan yang dibangun dari penggunaan dana desa selama 3 tahun pertama porsinya lebih banyak pada pembangunan infrastruktur yang belum terkendali dengan semestinya, karena masyarakat desa kurang dilibatkan. Sehingga proses perencanaan pembangunan tidak tepat sasaran, dan rawan korupsi.

Belum lagi seorang kepala daerah yang tidak bersinergi dengan desa. Pembangunan infrastruktur di desa akan berarti apabila pembangunan jalan-jalan kabupaten dan provinsi terhubung dengan baik. Masih banyak kepala daerah abai terhadap desa, karena belum maksimum memberikan pembinaan dan pengawasan terkait pencapaian standar pelayanan minimal pembangunan dan pemberdayaan di desa.

Alih-alih untuk mengentaskan kemiskinan, justru dana desa bisa menjadi bencana apabila tidak paham cara pengelolaannya. Dasar pengelolaannya ini berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakat desa itu dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di desa. Tahapannya diawali dari musyawarah desa, penyusunan RKPDesa, sampai pada penetapan APBDesa yang disusun tepat waktu.

Selama 3 tahun pertama, target untuk mengentaskan kemiskinan di desa masih jauh dari harapan. Data Indeks Desa Membangun sebagai tolok ukur pembangunan di desa belum mengubah wajah desa. Jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal mencapai 60% dari total desa. Bahkan, di Papua mencapai 96% dari total desa. Artinya, kesenjangan masih menganga di Republik ini.

Padat Karya Tunai

Gerakan Saemaul Undong di Korea dapat dijadikan proyek percontohan pembangunan desa di Indonesia. Kesuksesan gerakan ini diindoktrinisasi secara vertikal dan horizontal. Vertikalnya, pemerintah mengucurkan dana sekaligus menempatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sebagai subjek. Horizontalnya, menggagas semangat menolong diri sendiri dan kerja sama.

Bangsa Indonesia dari zaman dahulu sudah memiliki modal awal pembangunan, yakni semangat gotong royong. Semangat ini akan terkikis habis bila tidak dipelihara, diajarkan, dan dilestarikan. Untuk mencapai konsesus nasional pembangunan, pemerintah sudah mengakuinya dalam kewenangan lokal berskala desa, dan kewenangan berdasarkan hak asal-usul. Kewenangan inilah sebagai aset desa untuk membangun dan memberdayakan masyarakatnya.

Program Padat Karya Tunai yang dimunculkan kembali dalam wajah baru pemerintahan Jokowi dapat menjawab permasalahan yang sedang dihadapi di desa. Ketentuannya, 30% dari seluruh kegiatan pembangunan dibayarkan untuk upah.

Sasaran dari program ini adalah keluarga yang mengalami gizi buruk, pengangguran, setengah pengangguran, warga miskin, petani, wanita dan laki-laki usia produktif yang tidak harus berpengalaman. Upah mereka dibayarkan setiap hari atau mingguan sesuai dengan standar harga di masing-masing daerah.

Manfaatnya meningkatkan produksi dan nilai tambah, perluasan kesempatan kerja sementara, penciptaan upah atau tambahan pendapatan, perluasan akses pelayanan dasar sekaligus mutunya, dan terbukanya desa terisolir.

Strateginya diawali dari persiapan pelaksanaan yang mencakup rencana kerja, data tenaga kerja lokal, identifikasi sumber daya lokal, dan pengadaan barang dan jasa. Tahapan selanjutnya pelaksanaan, pelaporan, dan pembinaan serta pengawasan.

Kelemahan yang terjadi di desa sering terjadi pada proses perencanaan. Pemerintah desa sering terlambat melengkapi dokumen RKPDesa dan APBDesa. Kebanyakan desa menyelesaikan proses pembuatan dokumen ini di tahun berjalan. Alhasil, pencairan pertama dana desa terjadi di pertengahan tahun. Tentu saja proses percepatan pembangunan di desa menjadi terlambat.

Cara mengatasinya cukup mudah. Pendamping desa diberikan akses kemudahan memfasilitasi pemerintah desa dalam percepatan pembuatan dokumen tersebut. Jangan sampai pembuatan dokumen-dokumen ini dipihakketigakan sehingga akan muncul tawar-menawar harga. Pendamping desa harus siap memfasilitasi proses pembuatannya.

Supaya Program Padat Karya Tunai berkelanjutan, pendamping desa haruslah independen. Pembinaan dan pengawasan pendamping desa jangan lagi di bawah pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat. Proses pengadaannya diserahkan pada panitia seleksi nasional. Pada tahapan akhir, pendamping desa menginduk pada komisi pendamping profesional yang berdiri sejajar dengan lembaga atau badan nasional.

Saat ini jumlah pendamping profesional dan pendamping teknis berkisar 227.629 yang tersebar di sembilan kementerian. Jika pendamping ini dipolitisasi, program percepatan pengentasan kemiskinan hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Kesimpulan

Model intervensi Program Padat Karya Tunai cocok dilaksanakan pada wilayah pascabencana, rawan pangan, pascakonflik, desa tertinggal dan sangat tertinggal untuk mengurangi jumlah pengangguran dan masyarakat miskin sehingga produktivitas, pendapatan, dan daya beli masyarakat meningkat.

Jika model ini berhasil dilaksanakan, maka segitiga keseimbangan akan tercipta di desa. Keseimbangan ekonomi, keseimbangan sosial, dan keseimbangan lingkungan adalah ciri-ciri sebuah desa itu sudah maju dan mandiri. Jika sudah maju dan mandiri maka migrasi, urbanisasi, serta pengiriman TKI yang rawan dihukum mati niscaya tidak terjadi.(*)

Oleh Marudut H. Panjaitan pemerhati pendidikan, aktif di pemberdayaan masyarakat desa dan relawan Jokowi Centre.

(Sumber: Detik.com)

15 April 2018

Dana Desa dan Transformasi Berdesa

Kehadiran UU No 6 Tahun 2014 diyakini banyak kalangan, terutama masyarakat desa, sebagai produk hukum satu-satunya yang membela desa.

Undang-undang itu menunjukkan standing position negara yang sebenarnya terhadap desa. Sebelumnya, tidak pernah ada terobosan hukum yang berani berada di garis depan untuk membela desa. Produk hukum sebelumnya, UU No 5/1979 tentang Desa yang dibuat Orde Baru, hanya menghasilkan keganasan rezim sentralisasi atas desa.
Kehadiran UU No 6 Tahun 2014 diyakini banyak kalangan, terutama masyarakat desa, sebagai produk hukum satu-satunya yang membela desa.  Undang-undang itu menunjukkan standing position negara yang sebenarnya terhadap desa. Sebelumnya, tidak pernah ada terobosan hukum yang berani berada di garis depan untuk membela desa. Produk hukum sebelumnya, UU No 5/1979 tentang Desa yang dibuat Orde Baru, hanya menghasilkan keganasan rezim sentralisasi atas desa.

Desa diseragamkan dan dijadikan objek segala bentuk kebijakan pemerintah yang dikendalikan Jakarta. Kebijakan top down dan perencanaan dari atas masuk ke desa, mulai program KUD (Koperasi Unit Desa), Revolusi Hijau, sampai Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program-program itu gagal melahirkan transformasi desa menjadi desa yang mandiri, maju, dan sejahtera.

Program revolusi hijau sendiri sebenarnya merupakan program monumental dari hasil pemikiran William Gaud (1968) yang meniru masifnya perubahan pertanian di Meksiko 1945. Waktu itu revolusi pertanian Meksiko dijalankan dengan memperkuat riset terhadap bibit unggul, intensifikasi, dan ekstensifikasi pertanian serta peningkatan infrastruktur pertanian.

Hasilnya, pada 1956, Meksiko memenuhi kebutuhan gandum domestik dan bahkan sebagiannya dicadangkan untuk musim paceklik. Program Revolusi Hijau kemudian diadopsi Orde Baru menjadi program prioritas di bidang pertanian.

Banyak studi menunjukkan program-program itu gagal karena masyarakat desa hanya dijadikan sebagai objek. Akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, petani mengalami keterasingan dari lahan pertanian sendiri.Studi Hans Antlov (2003) yang kemudian menjadi buku monumental dengan judul Negara Dalam Desa-Patronase Kepemimpinan Lokal menunjukkan proyek menjadikan desa sebagai objek juga menghasilkan desa yang mengalami desakralisasi politik yang memberikan keleluasaan terhadap negara untuk mencaplok sumber daya desa demi kepentingan kekuasaan.

Ketika Orde Baru runtuh pada 1998, ada harapan yang sangat kuat bahwa negara tidak lagi memperlakukan desa secara diskriminatif. Namun, fakta menunjukkan perlakuan diskriminatif negara bergeser ke pemerintah daerah. Berbagai produk undang-undang, mulai UU No 22 Tahun 1999 sampai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, melahirkan model baru pengendalian terhadap desa. Di bawah payung otonomi daerah, desa dijadikan sebagai anak tiri pemerintah kabupaten, dianggap remeh, dan bahkan dipandang sebelah mata. Desa bersusah-payah merumuskan program perencanaan dalam forum musrenbangdes (musyawarah rencana pembangunan desa).

Eksekusinya sangat bergantung pada kebaikan hati pemerintah kabupaten dan bahkan banyak hasil musrenbangdes yang dibuang ke tong sampah dengan alasan tidak ada anggaran. Di sisi yang lain, pemerintah kabupaten cuci tangan terhadap persoalan-persoalan desa yang paling mendasar, seperti masalah air bersih, listrik, dan jalan desa. Sumber daya manusia desa pun tidak diperhatikan pemerintah daerah dan sengaja dibiarkan tidak berdaya.

Dana desa dan kelakuan rezim

Dana desa yang berasal dari APBN tentu saja membawa angin segar terhadap desa. Bagaimana pun, adanya dana desa memberikan keadilan terhadap desa sama dengan struktur pemerintahan yang lain, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang selama ini memperoleh dukungan APBN yang sangat signifikan. Pemerintah pun memiliki komitmen yang kuat. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengatakan, pada 2016 dana desa akan ditingkatkan menjadi Rp46,6 triliun dari sebelumnya Rp20,7 triliun untuk 74,093 desa di Indonesia (Kompas, 16 Maret 2016). Perlu diakui komitmen dan dukungan dana desa sudah mulai membawa perubahan dan kemajuan yang signifikan di desa.

Dalam program fasilitasi pembuatan RPJMDes (rencana pembangunan jangka menengah desa) di 65 desa di Sumba Tengah pada 2015, kami elihat gelora dan semangat berdesa yang muncul kembali di desa sejalan dengan penyaluran dana desa. Studi Sutoro Eko (2015) menunjukkan ada sedikitnya 2.657.916 pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja baru di desa yang merupakan dampak mengalirnya dana desa ke desa.

Ini merupakan bagian dari cash for work bagi desa. Jika dihitung rata-rata, setiap desa pada 2015 mendapat sekitar 360 juta dan pada 2016 meningkat 100% menjadi sekitar 620 juta per desa. Jumlah ini memang masih jauh dari janji yang disampaikan dalam kampanye Presiden Jokowi pada Pemilu 2014, yaitu setiap desa memperoleh sekitar Rp1,4 miliar.

Selama ini, desa mengalami problem ketiadaan anggaran untuk mendukung program pemerintah, seperti air bersih, listrik desa, dan jalan desa. Melalui dana desa, semua kebutuhan desa yang terkait dengan infrastruktur dasar akan terpenuhi walaupun jumlahnya belum memadai. Namun, yang sangat dikuatirkan ialah munculnya beberapa persoalan terkait dengan dana desa. Pertama, masalah sinkronisasi aturan di tingkatan pemerintahan.

Masuknya dana desa melalui rekening pemerintah daerah menutup ruang bagi pemerintah daerah untuk menyalurkan alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari APBD. Padahal, porsi ADD yang harus dialokasikan daerah ke desa mencapai 10% dari APBD dari dana perimbangan pemerintah daerah yang diterima dari pemerintah pusat. Di sini kita sangat membutuhkan supervisi dan atensi publik untuk menekan kewajiban pemerintah daerah agar jangan lupa menyalurkan ADD dan jangan mengklaim dana desa sebagai dana kabupaten. Jika demikian yang terjadi, rezim daerah berarti berkelakuan parasit dan memanfaatkan skema desentralisasi untuk mengendalikan desa.

Kedua, masuknya tenaga pendamping desa yang terdiri atas tenaga pendamping profesional dan kader pemberdayaan masyarakat desa. Di satu sisi, itu akan memberikan kemudahan bagi desa dalam membuat administrasi dan teknis pelaporan keuangan. Namun, di sisi yang lain, perekrutan mereka yang langsung dibawa Menteri PDT bernuansa politis sehingga diragukan tenaga pendamping itu akan mampu membawa perubahan di desa. Bisa jadi tenaga pendamping desa itu akan menjadi parasit baru yang ikut menggerus dana desa untuk tujuan-tujuan politik.

Berdasarkan data 2015, dana desa ternyata tidak semata-mata digunakan untuk infrastruktur, tetapi juga digunakan untuk pemerintah desa (5,49%), kemasyarakatan 2,63%, pemberdayaan 2,50%, dan infrastruktur hanya 89,39% (Marwan Jafar, 2016). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dana desa mempunyai peluang penyimpangan yang sangat tinggi. Karena itu, kontrol dan perhatian multipihak sangat penting untuk meminimalkan penyimpangan dana desa. Apabila desa tertib dan disiplin dalam menggunakan dana desa, transformasi berdesa, cepat atau lambat, akan tercapai.

Transformasi ini menyangkut banyak hal, antara lain perubahan tata kelola pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan dan kemasyarakatan yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera. Dengan sendirinya, pandangan sinis terhadap desa akan berlalu sejalan dengan perubahan wajah desa menjadi desa self help dan Dengan demikian, di masa mendatang, pendapatan asli desa (PADes) menjadi kata kunci kemajuan. Desa diharapkan tidak bergantung lagi pada APBD dan APBN.

Oleh Gregorius Sahdan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD "APMD" Direktur The Indonesian Power for Democracy (IPD).

Sumber: Media Indonesia.

19 Maret 2018

Desa, Pemda, dan Swasta

Penandatangan ratusan naskah kesepahaman (MoU) segitiga antara kementerian, pemda, dan swasta menandai Jakarta Food Security Summit pada 8-9 Maret 2018. Ini ikhtiar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) guna melambungkan kemakmuran warga melalui kerja sama antardesa dengan korporasi pertanian.

Kuantum kebijakan memang dibutuhkan demi menggerakkan ekonomi desa. Sebab, meski diguyur dana desa Rp 127 triliun sepanjang 2015-2017, pendapatan warga tak beranjak dari kisaran Rp 710.000/kapita/bulan. Persentase kemiskinan perdesaanpun bergeming di 14 persen.

Titik terang muncul dari 40 persen golongan menengah perdesaan. Selama periode itu proporsi pengeluaran mereka naik 2,51 persen. Artinya, merekalah yang menjadi penggerak produksi dan konsumsi desa saat ini. Dukungan korporasi meluaskan peluang usaha dari dalam desa, sembari menambah ruang profit swasta melalui partisipasi memakmurkan desa.

Persoalannya, walaupun kerja sama desa dan swasta mendapat legitimasi UU No 6/2014 tentang Desa Pasal 93, implementasinya selama ini terjegal lontaran pemikiran sepihak. Baru-baru ini, pemerintah mewacanakan penghapusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang dirancang saban enam tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) yang tersusun tahunan.

Baca: Menjawab Kekhawatiran Dana Desa.

Alasannya, menurut Permendagri No 114/2014 kerja sama dengan swasta harus tercantum terlebih dulu dalam kedua dokumen, sehingga menghambat investasi desa. Sebaliknya, pihak di luar pemerintah mencurigai niat buruk swasta sekadar menggangsir surplus dari desa.

Memahami Prukades

Kedua sisi pemikiran sebenarnya mengandung celah yang dapat dipadukan. Lampiran UU Desa menyintesiskan kaidah pembangunan desa dari atas dan desa membangun dari bawah. Paham hibrida desa ini membuka peran pemerintah guna merekognisi desa, bersamaan penguatan wewenang desa berasas subsidiaritas (Pasal 3).

Asas rekognisi telah diimplementasikan berujud peresmian kode wilayah sebagai pangkal pencairan dana desa. Kini, Program Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) meluaskan ranahnya ke luar dana desa, yaitu menghubungkan swasta ke sekelompok desa yang bekerja sama di satu kabupaten.

Pemerintah daerah bertemu dengan pihak swasta untuk menjalin kerja sama dalam program Prukades di Jakarta, Jumat (2/3). Prukades dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Guna menghentikan prasangka dan menjahit kepercayaan antarpihak, entitas penting Prukades ialah kemitraan bupati, kepala desa, dan pimpinan perusahaan. Kesigapan bupati menjamin pupusnya rente usaha, sekaligus membabat masalah lapangan yang lazim muncul di tengah kemitraan usaha.

Kesediaan pengusaha menyusun perikatan dengan desa memastikan nilai tambah komoditas pertanian terbagi adil antarpihak. Apalagi, swasta dapat menyediakan benih, penyuluh perusahaan, pabrik pengolah hasil, dan menerima produk akhir (offtaker).

Kerja sama antardesa mengejawantahkan asas subsidiaritas, sehingga koersi dengan memaksa kepala desa haram dijalankan. Upaya halal ialah mengajak kepala desa mengalkulasi perbandingan manfaat dan dampak kerja sama. Sepanjang 2017 alokasi untuk permodalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) rata-rata Rp 53 juta/desa.

Jika dijalankan tiga pengurus dengan honor Rp 1.250.000/orang/bulan, ditambah biaya tetap Rp 250.000/bulan, maka dana untuk usaha tinggal hanya tersisa Rp 5 juta/tahun. Artinya, tak ekonomis bagi BUMDes untuk berusaha sendiri-sendiri di tiap desa.

Peternak di Desa Selorejo, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tengah memungut telur dari rak. Dua bulan jelang puasa, permintaan telur tengah lesu.

Padahal, dengan jumlah desa tiap kabupaten rata-rata 160, pembentukan BUMDes Bersama mampu mengakumulasi dana segar Rp 8,5 miliar. Ini modal kerja yang besar, tanpa bunga, dapat tersedia saban tahun. Sehingga, BUMDes Bersama mampu menggaji tiga pengurus secara layak, sambil berbisnis pada skala ekonomi optimal.


Kerja sama desa dalam perekonomian secara alamiah terjalin berabad-abad lalu. Lima hari pasaran Jawa mengekor pola perpindahan pasar di tiap lima desa: satu desa pusat (krajan) dan empat desa pinggiran sesuai penjuru angin. Pola itu direkayasa menjadi pembangunan kawasan perdesaan sejak 1970-an. Sayang, kawasan sulit berkembang, lantaran hasil panen terlunta-lunta di belantara tengkulak.

Maka, Prukades membalik prosesnya, dengan menemukan korporasi pertanian terlebih dahulu. Setelah swasta mengikat janji untuk menerima produk (offtaker), barulah proses pembentukan kawasan dimulai.

Berbasis asas rekognisi, pemerintah wajib menjaga hak kepemilikan lahan warga dan hak pemerintah desa atas asetnya. Contohnya, investasi swasta Rp 1,7 triliun di Sumba Timur tak mengubah sertifikat tanah. Justru, BUMDes Bersama menggalang hasrat kerja petani dan menjadi wakil desa kala berkomunikasi bisnis. Ketua BUMDes Bersama berwenang memutuskan aspek strategis dalam bisnis di kawasan Prukades.

Birokrasi pemerintah perlu membuka mata adanya praktik baik dan mengubah orientasi kinerja pada manfaat kesejahteraan warga. Ini menjadi patokan baru penyusunan kebijakan, pencegahan penyuapan dan rente birokrasi, sekaligus menjaga arus manfaat yang adil bagi warga.


Hampir seluruh Prukades memproduksi tanaman semusim, sehingga keberhasilannya segera teruji pada Agustus-September 2018 saat Badan Pusat Statistik menggelar survei penyusun informasi partisipasi kerja dan pengukur kemakmuran warga.

Oleh: Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan IPB
Sumber: Kompas.com

11 Januari 2018

Angka Kemiskinan Satu Digit

Harian Kompas minggu lalu menulis berita yang memberi harapan, bahwa tahun ini tingkat kemiskinan di Indonesia akan di bawah 10 persen. Akan tetapi, setiap kali pemerintah mengembangkan program, rangkaian kegiatan umumnya tidak terfokus sehingga pada akhir tahun pencapaian tidak mengena.

Angka Kemiskinan Indonesia Satu Digit

Pengalaman ini berlangsung sangat lama. Zaman Presiden Soeharto, perencanaan dan arahan program dilakukan bertahap dengan sasaran jelas sehingga pada 1997 kita mendapat penghargaan PBB karena berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 70 persen pada 1970 menjadi 11 persen.

Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita tak mengikuti arahan. Memang ada strategi Millennium Development Goals (MDGs), tetapi tak dikawal ketat sehingga target tidak tercapai.

Ada alasan kenapa kita berharap akhir tahun ini angka kemiskinan berada pada single digit. Selama tiga tahun berturut-turut, pemerintah melaksanakan pembangunan besar-besaran dan sungguh-sungguh dari desa dan daerah pinggiran. Arahan Presiden Joko Widodo ini sangat tepat karena desa yang disasar.

Di samping mulai dari pinggiran dan melayani desa yang lokasinya jauh dan tidak pernah terjangkau, kita perlu konsentrasi membangun dengan skala besar pada desa-desa padat penduduk dan keluarga miskin.

Bangun Keluarga Miskin

Desa pinggiran yang tak pernah terjangkau dan fasilitasnya buruk memerlukan perhatian lebih. Namun, karena penduduknya biasanya sedikit, maka perlu diimbangi perhatian besar pada desa-desa padat penduduk keluarga miskin. Jika tidak, dampak nasional dalam hal pengentasan orang miskin akan sangat rendah. Biarpun dalam titik awal dan program yang dikembangkan belum secara khusus ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara langsung, kita bisa membaca hasil awal dari upaya pengembangan ekonomi rakyat desa itu agar lebih sistematis pelaksanaannya ke masa depan.

Yang menggembirakan, dalam tiga tahun ini rakyat dapat melihat dan menyaksikan komitmen Presiden Jokowi, terbukti dari seriusnya pemerintah memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, yang bersama aparat dan kementerian lain mengawal pembangunan dengan prioritas tinggi di pedesaan. Bukti nyata lain adalah dana desa yang setiap tahun meningkat tajam.

Lebih dari itu, menurut status pada 31 Desember 2017, pagu dana desa tahun anggaran 2017 adalah Rp 60 triliun. Dana itu telah ditransfer ke 33 provinsi, 434 kabupaten/kota, 6.453 kecamatan, dan 74.910 desa.

Dana desa yang ditransfer dari pusat ke kabupaten/kota mencapai 100 persen. Dana desa yang ditransfer dari kabupaten/kota ke desa mencapai 94 persen. Artinya, kecepatan penyerapan dana desa pada tahun anggaran 2017 bertahan konsisten tinggi.

Dana Desa

Penyerapan dana desa masih sangat variatif, tetapi penggunaan tertinggi—sesuai kebijakan pemerintah—adalah untuk pembangunan sarana dan prasarana desa, Rp 28 triliun atau 59 persen dari seluruh dana yang diturunkan. Namun, dibanding pada 2016, menurun 23 persen dari 82 persen. Penurunan persentase pembangunan sarana dan prasarana desa terjadi karena dana mulai dialihkan untuk kebutuhan dasar dan pemerintahan desa sehingga peran dana desa untuk kebutuhan dasar naik 10 persen.

Pengalihan pada pemenuhan kebutuhan dasar keluarga miskin ini sangat tepat, dan di kemudian hari berakibat langsung pada penurunan tingkat kemiskinan.

Dari segi proses, agar pembangunan desa berjalan lancar, diusahakan ada pendamping desa dengan proporsi satu pendamping untuk 4 desa sehingga jumlah tenaga pendamping yang tersedia seluruhnya sekitar 40.000.

Pendampingan diketahui mengurangi 7 persen kendala dalam administrasi keuangan desa. Saat ini sedang dikembangkan pendampingan dari kalangan dosen dan mahasiswa KKN dari berbagai perguruan tinggi. Diharapkan, pada 2018 akan berfungsi lebih luas dibandingkan sebelumnya.

Para pendamping akan dikembangkan juga dari para relawan di kemudian hari berfungsi ganda, mengawasi agar dana digunakan tepat dan tidak diselewengkan dan membantu pemberdayaan keluarga miskin agar dana bantuan dapat dimanfaatkan untuk keperluan produktif, laku jual, dan menguntungkan.

Kelompok sosial di desa dan mahasiswa KKN bisa menjadi pendamping sukarela dan membantu pemberdayaan keluarga miskin memanfaatkan dana desa ataupun dana yang disalurkan melalui berbagai dinas dari banyak kementerian, ataupun berbagai lembaga lainnya.

Dari segi pelaporan yang terbuka untuk umum, dicatat hasil pembangunan sarana dan prasarana desa meliputi jalan desa sepanjang 21.423 kilometer, jembatan sepanjang 103 km, dan tambatan perahu 986 unit.

Dapat dicatat pula hasil pembangunan prasarana kebutuhan dasar pendidikan anak usia dini berupa sarana PAUD 3.092 unit, prasarana kebutuhan dasar kesehatan berupa air bersih 42.209 unit, sumur 6.334 unit, sarana kakus atau MCK 22.049 unit, drainase 32.788 unit, pelayanan untuk ibu hamil dan anak balita 20.303 unit, poliklinik desa 2.568 unit, dan sarana olahraga pada 12.794 desa yang telah dimanfaatkan anak muda setiap desa.

Pendidikan dan Kesehatan

Pada 2018 upaya melengkapi keperluan pendidikan dan kesehatan selain bersumber dari dana desa, ada pula yang bersumber dari dana masing-masing kementerian. Penyediaan dana dalam bidang pendidikan anak usia dini akan memungkinkan anak keluarga muda dan miskin masuk PAUD sehingga ibunya bisa bekerja meningkatkan pendapatan keluarga, dan otomatis mengurangi kemiskinan keluarganya.

Perbaikan fasilitas kesehatan di desa, seperti MCK, posyandu, dan polindes, akan mengurangi risiko sakit bagi keluarga muda dan miskin sehingga mereka bisa sehat dan bekerja.

Untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam, ada pembangunan embung desa 881 unit, penahan tanah dari longsor 13.660 unit, pembangunan dan perbaikan irigasi 12.829 unit.

Untuk pengembangan hasil potensi ekonomi lokal, dana desa, biarpun pada tingkat awal, juga dimanfaatkan untuk membangun atau memperbaiki 4.161 pasar desa sejalan dengan pembangunan badan usaha milik desa (BUMDes) pada sekitar 19.921 desa. Pembangunan BUMDes diharapkan akan diperkaya dengan menarik dan mengajak lembaga-lembaga desa di masa lalu yang dibangun oleh PKK.

Gairah pasar kerja yang makin tinggi di luar bidang pertanian memungkinkan penduduk desa bekerja di luar bidang pertanian sesudah menggarap sawah dan kebunnya. Ini otomatis meningkatkan pendapatan keluarga.

Upaya melalui BUMDes memang belum memberikan hasil luar biasa, tetapi pada 2018 pengembangan BUMDes akan lebih cepat. Apabila tidak terganggu dengan kegiatan politik, pendapatan masyarakat dan keluarga desa akan meningkat tajam.

Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja di tingkat pedesaan meningkat 0,08 persen, sebagaimana diindikasikan rasio penduduk bekerja terhadap jumlah penduduk usia kerja (employment to population ratio/ EPR) sebesar 66,16 persen. Rasio ini menginformasikan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja.

Upaya selama tiga tahun ini relatif masih konsentrasi pada pengembangan sarana dan prasarana sesungguhnya belum diharapkan meningkatkan upah buruh. Namun, secara keseluruhan, upah buruh, karyawan, dan pegawai meningkat Rp 30.000 menjadi Rp 2,03 juta per bulan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) sedikit menurun 0,51 persen (menjadi 4 persen). Biarpun sedikit, tetapi berdampak karena jumlah penganggur menurun 300.000, menjadi 2,39 juta jiwa.

Dari segi dampak belum dapat dilihat secara jelas melalui penurunan tingkat kemiskinan karena dana untuk pemberdayaan belum dikembangkan signifikan. Karena itu, tingkat kemiskinan hanya turun 0,18 persen.

Jumlah penduduk miskin turun 570.000 jiwa dan indeks kedalaman kemiskinan (P1) menurun 0,25 persen. Artinya, rata-rata pengeluaran bulanan orang miskin meningkat semakin mendekati garis kemiskinan.

Indeks keparahan kemiskinan (P2) menurun 0,12 persen, artinya ketimpangan pengeluaran di antara orang miskin menurun sehingga ketimpangan pedesaan—biarpun relatif kecil terlihat menurun, ditunjukkan oleh penurunan rasio gini 0,007.

Harapan kita, apabila konsentrasi pada 2018 ditambah dengan rencana pengembangan padat karya dan diprioritaskan pada keluarga miskin di daerah padat penduduk, tidak mustahil angka kemiskinan akan ditandai dengan angka satu digit atau setidak-tidaknya dekat dengan angka satu digit. Insya Allah.

Oleh: Haryono Suyono, Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan 1998-1999. 
(Sumber: Harian Kompas, 11 Januari 2018).

09 September 2017

“Good Governance” dan Dana Desa

Pembangunan daerah dan desa menjadi salah satu agenda pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawacita ketiga. Bunyinya, ”Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pembangunan selama ini fokus di perkotaan, kini di balik dari perdesaan.

Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Terkait pembangunan desa, Widjaja (2004) mengatakan desa yang otonom akan memberi ruang gerak luas perencanaan pembangunan. Dia tidak banyak terbebani program kerja berbagai instansi dan pemerintah. Untuk melakukan otonomi desa segenap potensi baik kelembagaan, sumber daya alam, maupun manusia harus dioptimalkan.

Selama ini, desa mungkin lebih dijadikan objek pembangunan atau bahkan pelengkap penderita. Sonny Mumbunan (2010) mengatakan sekalipun desa merupakan tulang punggung republik, secara umum ringkih lantaran mayoritas terbelakang dan miskin. Secara struktural, keterbelakangan dan kemiskinan dapat ditelusuri dari pembatasan terlembaga atas potensi desa. Pemberdayaan desa dapat dicapai, antara lain melalui politik fiskal yang secara sengaja memobilisasi sumber daya keuangan untuk dialokasikan ke desa. Mobilisasi sumber daya fiskal yang mengabdi pada tujuan-tujuan pengembangan desa.

Realisasi Dana Desa terus naik dari 20,76 triliun rupiah pada 2015 menjadi 46,98 triliun rupiah tahun 2016. Kemudian menjadi 60 triliun tahun 2017 dan tahun depan diperkirakan mencapai 100 triliun. Namun demikian, peringatan awal mengenai penyalahgunaan dana desa sudah muncul. KPK pada 3 Agustus 2017 telah menerima 362 laporan penyalahgunaan dana desa.

Beberapa kepala desa sudah diproses secara hukum, bahkan sudah masuk penjara karena tergoda dana desa. Memang kecil dibanding penerima dana desa dari 74.000 desa. Pemerintah telah menetapkan good governance (GG) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan untuk memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Bila prinsip-prinsipnya ditaati dengan baik, tercipta tata kelola pemerintahan yang baik serta clean and clear.

Namun, sampai kini harapan tersebut jauh panggang dari api. Uang negara beredar di pusat-pusat kekuasaan provinsi dan kabupaten/kota tidak kunjung melahirkan pelayanan prima masyarakat yang menjadi tujuan GG.

Sesuai dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang. Ini termasuk segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa.

Sementara itu, dalam Pasal 72 Ayat (1) disebutkan pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota. Kemudian, dari alokasi dana desa yang merupakan bagian dana perimbangan, bantuan keuangan APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Ada juga hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Dalam penjelasan Pasal 72 Ayat (2), besaran alokasi anggaran langsung ke desa, ditentukan 10 persen dari dan di luar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. Dalam penyusunan dana desa dari APBN mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi. Rata-rata setiap desa akan mendapat 1,4 miliar.

Pengalokasian dana desa diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pembangunan kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan publik, memajukan perekonomian, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, serta memperkuat masyarakat sebagai subjek pembangunan. Karena itu, pengelolaan dana desa harus memenuhi kaidah GG yang menjadi pedoman dalam tata kelola pemerintahan.

Prinsip GG

Good dalam GG berarti menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan dapat meningkatkan kemampuan warga mencapai kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial. Kemudian juga berarti aspek fungsional pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan mencapai tujuan tersebut (Sedarmayanti, 2003).

Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan prinsip-prinsip GG. Menurut UNDP, prinsip-prinsip GG adalah partisipasi warga, supremasi hukum, transparan, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan bervisi strategis.

Menurut Talcott Parson, ciri-ciri masyarakat desa (gemeinschaft) adalah afektivitas, yakni hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa tolong-menolong. Orientasi kolektif, artinya meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak (enggan) berbeda pendapat. Partikularisme, yaitu semua yang berhubungan khusus dengan daerah tertentu saja, perasaan subjektif, dan rasa kebersamaan.

Askripsi adalah berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang disengaja. Namun, lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan. Kekaburan adalah sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antarpribadi, tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit.

Kepala desa biasanya mengenal banyak warga. Sebaliknya, rakyat sangat mengenal kepala desa dan perangkatnya. Mereka lebih condong kepada hubungan kekeluargaan daripada formal pemerintahan. Hubungan individual pamong dan warga juga sangat intensif nonformal. Mereka bisa berkomunikasi langsung setiap saat.

Di Jawa, kepala desa dan perangkatnya dikenal dengan sebutan pamong desa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pamong desa adalah orang-orang yang menangani pemerintahan (administrasi) desa. Namun, kata pamong sendiri memiliki arti pengasuh, pendidik, dan pengurus. Maka, pamong desa harus menjalankan fungsi mengasuh, mendidik, dan mengurus warga. Inilah yang membuat seorang kepala desa dan perangkatnya harus bisa melayani warga 24 jam. Ciri afektif ini akan mendorong prinsip peduli pada stakeholder dan partisipasi masyarakat dalam prinsip GG.

Kedekatan individual dan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari melahirkan kontrol sosial yang hidup menjadi nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Dalam sebuah desa mereka saling tahu sumber ekonomi setiap warga. Tanpa disadari pula telah eksis budaya transparansi dan akuntabilitas di setiap desa, apalagi desa adat. Kontrol sosial ini sangat efektif dan efisien.

Misalnya, ada seorang warga yang mendadak kehidupan ekonominya membubung tinggi. Ini akan menjadi pembicaraan warga. Secara cepat masyarakat tahu asal kekayaan tersebut. Kontrol sosial melekat ini membuat masyarakat desa akan sangat berhati-hati dalam bertindak, apalagi berbuat jahat. Budaya ini akan melahirkan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan supremasi hukum.

Sementara itu, prinsip berorientasi pada konsensus, kesetaraan dan visi strategis terwujud dalam orientasi kolektif. Artinya, meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, enggan berbeda pendapat. Masyarakat desa terbiasa bermusyawarah untuk mufakat yang mengandung konsensus, kesetaraan dan visi strategis yakni gotong royong. Prinsip gotong royong ini juga akan melahirkan kinerja yang efektif dan efisien. 

Penulis Mahasiswa Program Doktoral IPDN Jakarta
Sumber: http://www.koran-jakarta.com.

04 September 2017

Menjangkau Si Miskin di Desa

Rapat terbatas kabinet Presiden Joko Widodo berupaya mengurangi kemiskinan di perdesaan (Kompas, 26/7). Masalahnya, program pemerintah tidak lagi efektif menjangkau orang miskin.

Berbagai publikasi BPS mengabarkan jumlah si miskin di perdesaan mandek di kisaran 18 juta jiwa atau 14 persen sejak 2014. Padahal selama 2014-2016 saja digelontorkan anggaran kemiskinan Rp 418 triliun (termasuk dana desa Rp 67 triliun), ditambah subsidi petani Rp 94,9 triliun.

Program pemerintah tidak lagi efektif menjangkau orang miskin.
Rumah Miskin di Desa/Foto Ilustrasi: Blogger Desa
Kesulitan menjangkau si miskin di desa lantaran berbeda karakteristik dari perkotaan. Di kota, golongan miskin mudah dijangkau secara individual, seperti anak jalanan, pelacur, pekerja informal, jompo di rumah gubuk atau rumah susun. Kehidupan individualis membuka sosok si miskin sehingga mudah dikenali di sepanjang jalan.

Di desa, kehidupan komunal menyembunyikan wajah kemiskinan. Sejak 1956, Clifford Geertz sekadar menjumpai golongan "tidak cukup", tapi tidak sampai miskin, apalagi melarat. Sebab, si miskin di desa hanya terjangkau dalam lingkup keluarga.

Anak miskin yang ditinggal migrasi orangtuanya ke luar negeri tetap dijaga orangtua dan mertua. Sarapan hingga makan malam jompo dikirimi tetangga. Kemiskinan mendadak lantaran rumah roboh, bencana alam, kegagalan panen ditanggulangi bersama dalam lingkup rukun tetangga (RT) atau dusun (rukun warga/RW).

Tubuh miskin yang selalu terselip di antara tetangga penolongnya mengindikasikan upaya menjangkau si miskin paling tepat melalui ketua RT. Pengumpulan data mikro yang mencakup nama dan alamat si miskin tepat ditugaskan kepada ketua RT. Hanya, perlu dicatat, metode ini cocok ketika dilaksanakan pertama kali pada suatu RT. Sebab, begitu warga mengetahui trik di dalamnya, keakuratan penetapan keluarga miskin menurun.

Pemerintah bisa menjalankan diskusi serentak ke semua RT di Indonesia. Pendamping desa bisa digerakkan. Tahun berikutnya tinggal ketua RT memperbaiki data registrasi kemiskinan: mencoret keluarga yang mentas dari kemiskinan dan mencatat yang jatuh miskin kembali.

Ketika dipraktikkan sebagai studi multikasus, hingga kini hasilnya konsisten: golongan melarat berpenghasilan seperlima garis kemiskinan. Dengan garis Maret 2017 setinggi Rp 2 juta per keluarga dalam sebulan, pendapatan mereka tak lebih dari Rp 400.000.

Mereka menumpang pada kerabat, tinggal di lahan tetangga, atau lahan desa. Karena jompo dan sakit keras, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap.

Golongan miskin memiliki penghasilan sampai garis kemiskinan tinggal di rumah sederhana di lahan terbatas. Karena masih muda, mereka mampu bekerja serabutan atau menjadi buruh tani dan buruh konstruksi.

Tangga stratifikasi sosial tingkat RT juga berisi upaya keluarga keluar dari kemiskinan, juga kejadian buruk yang memiskinkannya. Inilah mata air bagi pendekatan baru penanggulangan kemiskinan karena telah efektif dijalani keluarga miskin di desa.

Golongan melarat yang sakit parah mustahil beraktivitas sehingga layak mengakses kartu kesehatan dan pangan yang mencukupi sepanjang tahun.

Golongan miskin yang masih mampu bekerja diberdayakan pada pertanian dan konstruksi. Mandor bangunan mendaftarkan pekerja ke balai pelatihan konstruksi. Setelah konsisten menjaga mutu kerja infrastruktur terbangun, di akhir proyek mereka meraih sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Inilah modal dapat upah lebih tinggi dan terjamin.

Pendidikan kejuruan pemuda desa yang berakhir sebagai migran sektor formal di Asia Timur mencipta tangga pengentasan rakyat miskin. Gaji pemuda migran menambah aset lahan bagi keluarga miskin selama 1999-2017. Maka, badan usaha milik desa (BUMDes) perlu mencipta pinjaman dana pendidikan.

Sejak 2012, skema kredit menjelma sebagai pintu keluar dari kemiskinan bagi aktivitas informal. Maka, BUMDes perlu menyediakan layanan simpan-pinjam mikro.

Peningkatan nilai tukar petani gurem cuma terbuka melalui pengurangan biaya asupan pupuk, pestisida, biaya pengairan, dan sewa mesin pertanian. Mustahil melalui peningkatan harga pangan karena membentur kepentingan konsumen.

Konsekuensinya, kartu diskon bisa diciptakan bagi petani gurem. Nama dan alamat mereka teregistrasi pada Sensus Pertanian 2013. Kartu petani gurem berfungsi layaknya kartu siswa miskin; diskonnya baru muncul saat petani membelanjakan asupan usaha tani.

Buruh tani perlu dukungan finansial agar secara berkelompok menyewa lahan. Jika lahan sewa sempit, paling tepat ditanami hortikultura bernilai ekonomis tinggi. Subsidi sewa lahan atau kredit super-ringan dari BUMDes tepat mengentaskan kelompok buruh tani jadi petani kecil.

Oleh: IVANOVICH AGUSTA, Sosiolog Perdesaan IPB, Bogor.
Sumber: Kompas.com

Menyelamatkan Dana Desa, Melunasi Janji Kemerdekaan

"Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri."

Kalimat di atas saya kutip dari penggalan lirik lagu berjudul "Desa" karya musikus legendaris Iwan Fals. Siapa saja yang mendengarkan lagu itu hingga selesai tahu bahwa ada persoalan serius yang hendak disampaikan oleh Iwan. Persoalan yang barangkali menjadi kegelisahan kita bersama: ketimpangan pembangunan antara masyarakat desa dan kota.
Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri
Foto Ilustrasi: liputan77.com
Keadilan dan pemerataan pembangunan adalah salah satu janji kemerdekaan yang mesti segera dilunasi. Itulah salah satu alasan mengapa dana desa menjadi penting dalam rangka mempersempit jurang kesenjangan antara desa dan kota.

Membangun desa yang sejahtera dan mandiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Semangatnya jelas, pembangunan tidak boleh hanya terkonsentrasi di Jawa.

Hal ini juga yang menjadi salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam sembilan program prioritas (Nawacita) yang dicanangkan Jokowi-Kalla saat kampanye 2014, butir ketiga Nawacita menyatakan komitmen keduanya untuk " membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan".

Komitmen itu diwujudkan pemerintah dengan menaikan anggaran dana desa per tahun. Mengacu pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden pada 16 Agustus 2017 di hadapan anggota DPR dan DPD RI, pemerintah pada 2017 ini telah mengeluarkan Rp 60 triliun khusus untuk dana desa.

Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah anggaran dana desa mengalami peningkatan lumayan signifikan. Pada 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20,77 triliun untuk dana desa. Selanjutnya pada 2016 anggaran dana desa meningkat sebesar 123,04 persen menjadi Rp 46,98 triliun.

Sayangnya, peningkatan anggaran tersebut ternyata rawan menjadi ajang bancakan. Pada 2 Agustus 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pamekasan, Jawa Timur. KPK tidak saja menangkap Bupati Pamekasan dan sejumlah pejabat kejaksaan di sana, tapi juga sejumlah kepala desa yang ditengarai terlibat penyelewenangan dana desa tahun anggaran 2015-2016.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi situasi, agaknya OTT tersebut cukup menjadi alasan kekhawatiran kita, betapa rawannya dana desa diselewengkan oleh oknum aparat di lapangan. Apalagi sejak program dana desa digulirkan pada 2015, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah menerima sedikitnya 932 pengaduan mengenai penyimpangan pemanfaatan dana desa. Adapun KPK telah menerima sekurangnya 300 laporan.

Ada sejumlah sebab mengapa penggunaan dana desa rawan persoalan bahkan penggelapan. Pertama, dari sisi regulasi yang tumpang tindih. Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2014 tentang Desa misalnya bertentangan dengan PP No. 8/2016 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN.

Pada PP No. 47/2015 dinyatakan, 30 persen dana desa untuk operasional dan 70 persen sisanya untuk urusan kemasyarakatan. Adapun PP No. 8/2016 menyebutkan, dana desa lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Lain lagi, dengan UU No. 6/2014 tentang Desa yang justru menyatakan seluruh penggunaan dana desa ditentukan melalui musyawarah desa.

Kedua, sosialisasi penggunaan dana desa oleh banyak instansi yang tidak efektif. Saat ini sosialisasi dana desa melibatkan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berjalan tanpa ada kordinasi. Sehingga, tidak ada kejelasan peran siapa yang menjelaskan soal regulasi, audit, proyeksi, hingga penggunaan dana desa.

Ketiga, lemahnya pengawasan. Hal ini disebabkan kultur feodalisme yang masih mengakar di desa. Ada perasaan sungkan bahkan takut di masyarakat untuk mengkritik kebijakan kepala desa.

Belum lagi jumlah desa di Indonesia yang telah mencapai 83.000 lebih dan tersebar di pelosok daerah. Bisa dibayangkan betapa rumitnya melakukan pengawasan anggaran secara berjangka di lapangan.

Mengatasi penyalahgunaan dana desa

Kebocoran anggaran dana desa dapat diupayakan melalui berbagai cara. Pertama, memberikan pendampingan secara intensif kepada desa dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDES). Sebab, dari dua hal itulah basis pemanfaatan dana desa bisa dioptimalkan sesuai kebutuhan masyarakat.

Kedua, meningkatkan tenaga pengawas lapangan. Saat ini Kementerian Desa memang sudah membentuk Satgas Dana Desa yang bertugas mengawasi dana desa. Namun, jumlah desa yang sangat banyak membuat kerja satgas tidak optimal.

Untuk itu, perlu pelibatan institusi lain yang memiliki jangkauan luas hingga ke pelosok daerah seperti kepolisian dan kejaksaan.

Ketiga, mendorong transparansi dan akutanbilitas penggunaan dana desa. Dalam hal ini tidak ada salahnya jika Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Komunikasi dan Informasi membuat semacam keputusan bersama yang mewajibakan setiap aparatur desa mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di bidang penggunaan dana desa.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, seperti akses internet, situs desa, hingga sistem pembukuan daring yang memudahkan perangkat desa mengunggah pertanggungjawaban penggunaan dana desa.

Keempat, memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada warga desa tentang pentingnya dana desa. Dari sini, warga diharapkan bisa ikut ambil bagian dalam mengawasi penggunaan dana desa. Dengan begitu, ruang untuk menyelewengkan anggaran bisa semakin dipersempit.

Kita sadar bahwa mengelola, mengawasi, dan memanfaatkan dana desa di puluhan ribu tempat bukanlah urusan gampang. Perlu kerja sama, kesungguhan, dan kesadaran banyak pihak untuk melakukannya. Karena bagaimanapun juga, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial adalah utang kemerdekaan yang mesti segera kita lunasi bersama. Salam.

(Oleh: Abdul Kadir Karding - Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-sekarang.Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019)

Sumber: Kompas.com.

22 Agustus 2017

Meninjau Rencana Kenaikan Dana Desa

Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang menjadi Rp 120 triliun. Itu berarti, dana desa akan naik 100% dari anggaran dana desa di tahun ini yang mencapai Rp 60 triliun. Kenaikan serupa juga dilakukan oleh pemerintah di tahun-tahun sebelumnya. Yakni, dari Rp 20 triliun di tahun 2015 menjadi Rp 47 triliun di tahun 2017. Sehingga secara keseluruhan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir setidaknya pemerintah telah menggelontorkan anggaran untuk dana desa mencapai Rp 127 triliun.
Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa pada tahun 2018 mendatang menjadi Rp 120 triliun.
Dalam penalaran yang wajar, dengan gelontoran dana sebesar itu tentu tingkat kesejahteraan masyarakat desa akan membaik. Tetapi faktanya, kesejahteraan bagi masyarakat desa masih saja jauh panggang dari api. Bukti yang tidak bisa dipungkiri, masyarakat desa masih mendominasi jumlah penduduk miskin di negara ini. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) termutakhir, jumlah penduduk miskin di desa tercatat mencapai 17,10 juta penduduk. Sementara, penduduk miskin di kota 'hanya' 10,67 juta penduduk.

Pun bila ditilik dari data serupa yang dikeluarkan oleh BPS pada Maret 2014 silam. Jumlah penduduk miskin di desa kala itu tercatat sebanyak 17,17 juta orang. Itu berarti, gelontoran dana desa mencapai Rp 127 triliun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, hanya mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di desa sekitar 70 ribu penduduk saja.

Rawan Dikorupsi

Boleh jadi, masifnya tindak korupsi terhadap dana desa menjadi salah satu masalah vital yang menyebabkan ketidakefektifan dana desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2016 hingga pertengahan 2017 setidaknya sudah ada 110 kasus korupsi dana desa yang tertangani oleh penegak hukum. Jumlah kasus tersebut sangat berpotensi meningkat secara signifikan mengingat laporan dugaan korupsi dana desa yang diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari periode Januari-Juni 2017 saja sudah mencapai 459 laporan.

Besaran dana desa yang menggiurkan, ditambah kurangnya sumber daya manusia (SDM) aparatur desa memang membuat dana desa menjadi rawan untuk dikorupsi. Jamak disadari, di tahun ini setiap desa rata-rata menerima dana desa mencapai Rp 800 juta. Jika ditambah dengan penerimaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD (pasal 72 ayat 1 huruf e UU No 6/2014 tentang Desa), secara keseluruhan setiap desa bisa menerima anggaran mencapai Rp 1,3 miliar.

Sementara terkait SDM aparatur desa, sebagaimana dikemukakan oleh Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, sebanyak 40% kepala desa (kades) di Indonesia hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berkaca dari celah kerawanan itu, pemerintah semestinya jangan terburu-buru untuk kemudian menaikkan anggaran dana desa. Sebab, kalau pun dinaikkan, tidak akan menjamin kesejahteraan masyarakat desa akan meningkat secara signifikan.

Cermat dan Hati-hati

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum apabila kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini kian memprihatinkan. Selain nilai defisitnya hampir mendekati 3% sebagaimana batasan maksimal yang diizinkan oleh UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, nilai hutang pemerintah pun melonjak signifikan mencapai Rp 3.672 triliun. Maka, akan lebih bijak tentunya bila pemerintah menggunakan anggaran secara cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar di masa mendatang.

Oleh sebab itu, sebelum betul-betul merealisasikan kenaikan anggaran dana desa di tahun 2018 mendatang, pemerintah mutlak harus melakukan evaluasi terhadap implementasi dana desa selama ini. Dalam konteks itu, pelbagai kerawanan dana desa, terutama terkait tingginya potensi korupsi dana desa mesti dicarikan jalan keluar terlebih dahulu. Pun terkait kondisi desa itu sendiri. Apabila ada peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pascaimplementasi dana desa, maka pemerintah boleh saja menaikkan alokasi anggaran dana desa untuk desa terkait. Sebaliknya, jika tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka tidak semestinya anggaran dana desa di desa terkait dinaikkan. Bahkan, bila perlu dihentikan untuk sementara waktu sembari mencari akar permasalahan implementasi dana desa di desa tersebut.

(Pangki T Hidayat. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di Forum Kolumnis Muda Jogja. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 22 Agustus 2017)

Sumber: krjogja.

14 Juli 2017

BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan

Desa - desa tampak mulai bergeliat dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Di bawah pengelolaan badan usaha milik desa, sejumlah desa wisata bahkan telah membuat sebuah desa menjadi sangat mandiri.
BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan
Badan Usaha Milik Desa 
Tengoklah Desa Ponggok (Klaten) yang beromzet Rp 1,3 miliar per tahun, Desa Bleberan (Gunung Kidul) beromzet Rp 2 miliar per tahun, Desa Karang Duwur (Kebumen) beromzet Rp 1 miliar per tahun, atau Desa Kertayasa (Pangandaran) yang beromzet Rp 300 juta per tahun.

Beberapa desa di atas adalah contoh kecil dari desa-desa di pelosok Tanah Air yang mulai sadar memetakan potensi yang dimilikinya. Keberadaan dana desa punya andil besar dalam mendorong tumbuhnya badan usaha milik desa (BUMDes) di desa-desa. Dana desa yang terus mengalami peningkatan memang telah memberi harapan tersendiri bagi pembangunan di desa. Dari anggaran sebesar Rp 20,5 triliun pada 2015, kemudian Rp 47 triliun tahun 2016, dan pada 2017 dana desa meningkat menjadi Rp 60 triliun.

Nilai strategis

Peningkatan keberadaan BUMDes memang sangat signifikan. Jika pada 2014 BUMDes di Indonesia hanya 1.022 unit, awal 2017 jumlahnya telah 18.446 unit. Jumlah ini pun diyakini akan terus meningkat karena salah satu amanah dalam penggunaan dana desa, selain untuk pembangunan infrastruktur, juga untuk peningkatan perekonomian masyarakat, salah satunya melalui wadah bernama BUMDes.

Nilai strategis keberadaan ribuan BUMDes yang tersebar di penjuru Tanah Air adalah karena ia tumbuh dari kesadaran masyarakat desa dan bergerak pada sektor riil. Ia juga berbasis pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di titik itulah keberadaan BUMDes sebagai pengejawantahan gagasan tentang ekonomi kerakyatan menemukan relevansi serta titik sumbunya. Ini bisa menjadi salah satu strategi pembangunan pada masa depan.

Nilai strategisnya bukan saja keberadaan BUMDes yang kebanyakan berbasis pada kegiatan ekonomi sektor kecil itu menjadi salah satu katup penampung masalah ketenagakerjaan, melainkan juga merupakan salah satu penyangga penting persoalan perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan jumlah UMKM yang sangat besar secara otomatis jelas telah mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak.

Persoalan kemudian, dalam realitasnya perkembangan usaha kecil yang begitu pesat—saat ini banyak yang diwadahi oleh BUMDes—ternyata sering kali tak diimbangi percepatan perhatian pemerintah terhadap sektor usaha itu. Banyak kasus menunjukkan, pemerintah bukannya memproduksi kebijakan yang memperkuat sektor ini, melainkan malah sering kali kebijakan yang dilahirkan berpotensi mematikan daya hidup perkembangan mereka.

Oleh karena itu, dukungan pemerintah terhadap keberadaan usaha kecil, baik yang di bawah BUMDes maupun tidak, sesungguhnya bisa dengan penghindaran penciptaan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Selain itu, diperlukan juga kebijakan aturan main yang memberikan kesepadanan yang sama bagi tiap pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya, termasuk pelaku ekonomi kecil dan menengah. Di sinilah kerja sama lintas kementerian/lembaga mutlak perlu.

Komitmen ini penting karena sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan, keberadaan usaha kecil di sektor riil jadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya sektor itu tidak perlu modal banyak dan tidak mensyaratkan tingkat keterampilan yang tinggi. Ia juga tidak membutuhkan perizinan yang berbelit.

Dengan karakteristik semacam itu, jumlah pertumbuhan sektor-sektor usaha kecil menengah jadi sangat besar dan secara otomatis mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak. Hanya saja, jumlah UMKM yang begitu besar—saat ini mencapai 59 juta—dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi tersebut ternyata tidak dibarengi kesejahteraan pelaku ekonominya. Pada titik inilah pemerintah melalui kerja sama lintas sektoral perlu mengeluarkan paket-paket kebijakan yang tepat.

Keberadaan ribuan BUMDes yang berbasis pada sektor riil serta sumber daya yang ada di desa adalah bagian dari pengembangan gagasan ekonomi kerakyatan. Gagasan pembangunan ekonomi kerakyatan, seperti dikatakan Gran (1988), adalah sebuah konsep pembangunan di mana rakyat punya kuasa mutlak menetapkan tujuan dan mengelola swasembada ataupun mengarahkan jalannya pembangunan.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pemikiran ini. Pertama, partisipasi rakyat merupakan unsur mutlak dalam pembangunan. Tugas pemerintah hanya menciptakan keadaan yang mendorong inisiatif rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, apa yang dikehendaki rakyat merupakan pilihan terbaik dari negaranya.

Dengan paradigma semacam itu, pembangunan yang berbasis kerakyatan juga berarti pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Artinya, bila sebagian besar kegiatan ekonomi disusun dan dibangun oleh usaha menengah dan kecil yang banyak menampung tenaga kerja, seharusnya sektor menengah dan kecil mendapat perhatian yang lebih besar. Usaha skala besar tentu tetap diberi keleluasaan berkembang selama tidak mengganggu keharmonisan ekonomi.

Komitmen atas gagasan ekonomi kerakyatan ini penting untuk terus didesakkan kepada pengambil kebijakan karena selama ini pengembangan usaha kecil dan menengah terbukti lebih mampu menjawab kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu, pembangunan ekonomi kerakyatan juga dinilai tidak hanya mampu menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga memberikan kesejahteraan secara merata.

Kebijakan yang aplikatif

Guna mewujudkan gagasan ekonomi kerakyatan dalam bentuk kebijakan yang lebih aplikatif, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan watak kebijakan publik pada tempatnya semula, yakni tidak hanya mendapatkan legitimasi rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran secara etis. Pada aras ini, setiap kebijakan tidak boleh meninggalkan kepentingan rakyat walaupun secara ekonomi mungkin merugikan negara.

Kedua, mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan kebijakan pembangunan harus mencerminkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar masyarakat.

Ketiga, memberi penekanan terhadap penciptaan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan. Kebijakan ini penting karena dalam setiap proses pembangunan selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi tidak beruntung.

BUMDes sebagai bagian dari pengembangan ekonomi kerakyatan dan sebagai salah satu wadah bagi usaha sektor kecil di desa harus mampu melakukan transformasi sosial ekonomi di desa.

Untuk itu, ke depan, pemerintah harus mampu mengikis kebijakan diskriminatif yang hanya berpihak pada usaha skala besar semata. Tanpa komitmen itu, usaha kecil sebagai katup penangkal krisis sekaligus penampung tenaga kerja akan terus mengalami jalan buntu.

(Oleh: ACHMAD MAULANI, Kandidat Doktor Universitas Indonesia; Staf Ahli Unit Kebijakan Strategis pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Sumber: Kompas.com.

19 Juni 2017

Korupsi Mengepung Desa

Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran.

Apabila tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa. 
Ilustrasi/Ayo Bangun Desa
Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah pun terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun sebelumnya. Jika dibagi rata, tiap desa setidaknya akan mengelola uang sebesar Rp 800 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.

Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016 saja, KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana desa.

Begitu juga hasil kajian Indonesia Corruption Watch. Dalam tren penanganan kasus korupsi 2016, kasus penyimpangan dana desa mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Kasus itu berada di urutan ketiga kasus yang paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian. Dua kasus di atasnya adalah keuangan daerah dan dana pendidikan.

Modus korupsi

Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar di 16 provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar merupakan perangkat desa, terutama kepala desa.

Dari sisi modus, korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.

Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.

Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.

Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.

Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.

Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.

Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.

Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.

Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.

Penguatan pendampingan

Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.

Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah: hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.

Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.

Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK untuk menakut-nakuti para penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa segera terwujud.

Ade Irawan - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch.
Sumber Kompas.id