03 Maret 2018

Penyaluran Dana Desa Terhambat APBD

INFODES - Penyaluran dana desa tahap pertama yang dimulai 15 Januari 2018 terhambat oleh peraturan gubernur dan APBD yang belum diteken.


Penyaluran Dana Desa Terhambat Peraturan Daerah

Dilansir dari bisnis.com, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo menyayangkan banyaknya kabupaten yang belum menyelesaikan APBD.

"Penyalurannya baru 200 kabupaten dari sekitar 400 kabupaten, karena APBDnya belum selesai," kata Eko, Rabu (28/2).


Lamanya penyelesaian APBD ini disebabkan belum adanya titik temu antara bupati dan DPRD. Jelas, ini akan menganggu distribusi dana desa.

Untuk mengoptimalisasi dana desa, pemerintah telah memutuskan penyaluran dana desa tahun ini dilakukan sebanyak tiga kali.

Baca: Persyaratan dan Ketentuan Penyaluran Dana Desa 2018 

Tahun lalu, penyalurannya hanya dilakukan dua kali dalam setahun, yakni April dan Agustus. Akibatnya, kegiatan pembangunan di desa pada kuartal awal, antara Januari dan April, menjadi vakum.

Menurut Eko, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam hal ini, Kemendagri telah mengirimkan kawat kepada bupati hingga dua atau tiga kali yang isinya meminta pemerintah daerah segera menyelesaikan APBDnya. Dengan demikian, penyaluran dana desa dapat berjalan lancar.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 225/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, pemerintah memutuskan untuk mempercepat penyaluran dana desa menjadi tiga tahap mulai tahun ini.

Penyaluran dana desa tahap pertama ini dilakukan untuk mendukung program cash for work. Dalam tahap pertama, pemerintah mematok penyaluran dana desa sebesar 20% dari total pagu Rp60 triliun.


Baca: RPJMDes dan RKPDes Bukan Hambatan Dalam Pembangunan Desa

Adapun, waktu pencairan dimulai sejak minggu kedua Januari 2018 hingga minggu ketiga Juni 2018.

Tahap kedua, pemerintah akan menyalurkan sebesar 40% dari total pagu. Rentang waktu pencairannya ditetapkan pada Maret 2018 hingga minggu keempat Juni 2018. Tahap ketiga, pencairan dilakukan sebesar 40% dimulai Juli 2018.(*)

01 Maret 2018

Pendamping Desa yang Berpolitik dan Double Job akan Di Putus Kontrak Kerja

Pendamping Desa yang Berpolitik dan Double Job akan Di Putus Kontrak Kerja

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh mengeluarkan warning bagi Pendamping Desa P3MD yang ikut berpolitik dan rangkap kerja (double job).

Pasalnya keterlibatan pendamping desa dalam kegiatan politik dan double jobs bertentangan dengan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Pembinaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping Profesional Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) serta pasal-pasal yang diperjanjikan dalam kontrak kerja dengan Pendamping Profesional.

Baca: Membangun Dedikasi Pendamping Desa.

Pendamping Desa yang Berpolitik dan Double Job akan Di Putus Kontrak Kerja

Berikut isi surat BPMG Aceh perihal larangan berpolitik aktif dan kerja rangka (Double job) yang ditanda tangani oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh, Prof.Dr. Ir. Amhar Abubakar, M.Sc. 

1. Pendamping Profesional P3MD dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus bersikap netral sehingga tidak diperbolehkan mengikuti percalonan dalam pemilihan, menjadi penyelenggara dan pengawasan pemilihan semua tingkatan dan menduduki jabatan publik termasuk dalam kepengurusan partai politik.

2. Pendamping Profesional P3MD dilarang kerja rangkap atau terlibat kontrak dengan institusi lain baik pemerintahan maupun pihak swasta karena bertentangan dengan tata prilaku (Code of Conduct) pendamping profesional.

Baca: 4 Tipe Pendamping Desa.

3. Pendamping Profesional yang terlibat aktif dalam kegiatan partai politik sebagai pengurus harian atau menjadi calon legislatif (termasuk dalam calon anggota tetap) dan terlibat kontrak dengan institusi lain diminta untuk mengundurkan diri dari pendamping profesional P3MD dan apabila tidak bersedia mundur akan berakibat pada berakhirnya hubungan kontrak kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Tata Kelola Penganggaran Desa

Pengelolaan keuangan desa haruslah berdasarkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance). Pengelolaan keuangan desa sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 harus dijalankan dengan azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilaksanakan dengan tertib dan disiplin anggaran. 
Asas Penganggaran Keuangan Desa
Asas transparansi merupakan prinsip keterbukaan, memungkinkan semua masyarakat untuk mengetahui dan mendapat akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan desa. Informasi tentang keuangan dan penyelenggaraan pemerintahan desa yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif merupakan hak masyarakat. Penerapan asas transparansi ini tentunya dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Azas akuntabel dalam keuangan desa merupakan perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya. Dan juga pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Asas akuntabel yang menentukan apakah setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa bisa dipertanggungjawabkan. 

Pertanggungjawaban tidak hanya diberikan kepada pemerintahan yang lebih tinggi tetapi juga kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan azas partisipatif, merupakan penyelenggaraan pemerintahan desa yang melibatkan/mengikutsertakan kelembagaan Desa dan kelompok masyarakat Desa. Pelibatannya dilakukan dalam setiap tahapan baik perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasinya. 

Pengelolaan keuangan desa juga harus dijalankan secara tertib dan disiplin anggaran. Pengelolaan keuangan desa harus mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya.


Selain hal di atas, pengelolaan keuangan desa harus dijalankan dengan mengedepankan keadilan. Artinya harus ada keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 

Selain itu, harus dipastikan pula kemanfatan penggunaan keuangan desa untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya bagi kelompok warga miskin, perempuan dan pelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, dalam menjalankan pengelolaan anggaran, pemerintah desa perlu memperhatikan fungsi APBDesa, sebagai berikut:

  • Fungsi otorisasi adalah bahwa anggaran desa menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 
  • Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran desa menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
  • Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran desa menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 
  • Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran desa harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian desa.
  • Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran desa harus memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat desa. 
  • Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah desa menjadi alat untuk memelihara dan mengucapkan keseimbangan fundamental perekonomian desa.
Menurut Pasal 71 UU Desa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban desa menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa. 

Selanjutnya dalam pasal 75 disebutkan bahwa kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Di dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, kepala desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa. Selain itu, di pasal 72 ayat (5) juga disebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan keuangan desa, kepala desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat desa yang ditunjuk.

Jika merujuk pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka tidak ada bab yang secara khusus mengatur tentang keuangan desa.

Pengaturan hanya sampai di tingkat kabupaten/kota dan desa dianggap bagian dari kabupaten/ kota. Regulasi yang mengatur tentang keuangan desa adalah PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa yang merupakan aturan turunan dari UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 
Substansi yang diatur di PP No. 72 Tahun 2005 relatif sama dengan substansi yang ada di dalam UU Desa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang keuangan desa di dalam UU Desa ini adalah meningkatkan status hukum dari Peraturan Pemerintah menjadi Undang-Undang.

(Referensi: Mewujudkan Desa Inklusif, Perencanaan Penganggaran Partisipatif Pro Poor dan Responsif Gender, Donwload Disini)

26 Februari 2018

Mendes PDTT Pastikan BUMDes Berpayung Hukum

INFODES - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan, desa tidak perlu khawatir dengan status Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di mata hukum. Ia memastikan, BUMDes memiliki payung hukum jelas untuk membentuk unit-unit usaha.
Status hukum badan usaha milik desa
Hal tersebut disampaikan usai melakukan pertemuan dengan Ketua Mahkamah Agung di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (23/2). 

Tak hanya membentuk unit usaha, menurutnya, BUMDes juga bisa bekerjasama dengan koperasi, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bahkan perusahaan swasta dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).

"Kami telah berkonsultasi untuk kejelasan status hukum BUMDes. Tadi ada Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung, beliau mengatakan bahwa status BUMDes jelas. Jadi BUMDes bisa mempunyai unit usaha yang dalam bentuk badan hukum, bisa membentuk koperasi, bisa bekerjasama juga dengan unit usaha swasta dalam bentuk PT," ujarnya. 

Baca: Memahami Hukum Pendirian BUMDes

Dalam waktu dekat, lanjutnya, informasi tersebut akan segera disosialisasikan kepada BUMDes di seluruh desa untuk menjawab kegelisahan pengurus BUMDes. Ia mengakui, beberapa BUMDes selama ini memiliki kesulitan membentuk unit usaha karena dianggap tidak berbadan hukum.

"Sekarang sudah ada kejelasan. Dan yang paling penting, dalam anggaran dasarnya, BUMDes tidak hanya semata-mata usaha untuk mencari keuntungan, tapi juga untuk memberdayakan dan kemakmuran masyarakat desa setempat," ujarnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Taufik Madjid mengatakan, BUMDes tetap menjadi instrumen penting bagi desa di samping unit usaha lain dan koperasi. Menurutnya, aktifitas BUMDes yang dapat membentuk unit-unit usaha tertuang jelas secara hukum, sejalan dengan Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang desa. 

Baca: Hukum Baru Pendirian BUMDes

"BUMDes ini adalah usaha dimana masyarakat desa adalah pemiliknya," ujarnya.

Ia mengakui, adanya perspektif yang berbeda di kalangan masyarakat terkait payung hukum sempat menghambat aktivitas BUMDes. Meski tidak diatur secara langsung dalam Perundang-undangan, Taufik memastikan bahwa BUMDes memiliki landasan hukum yang jelas.

"Meski tidak diatur langsung dalam perundang-undangan, namun pasal-pasal di bawahnya bisa menjelaskan detil. Bahwa BUMDes bisa membentuk unit-unit usaha berbadan hukum sejalan dengan Undang-Undang Desa,"terangnya seperti dilansir dari situs kemendesa, PDTT(*).

22 Februari 2018

9 Hal Yang Menghambat BUMDes Menjadi Raksasa

Meski sudah berjalan tiga tahun tetapi perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mendorong kesejahteraan masyarakat melalui unit usaha yang dibangunnya, masih jauh dari harapan. Ribuan desa masih bahkan masih belum mendirikan lembaga ini. 

Apa sajakah hambatan-hambatan yang dialami sebagian besar BUMDes sehingga belum juga mampu melaju sebagai lembaga usaha yang cepat memberi pengaruh kesejahteraan bagi desanya?


Dari telusur data yang dilakukan Berdesa.com terungkap, beberapa hal yang membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di banyak desa tak juga mampu bergerak menjadi mesin pendorong kesejahteraan warga. Beberapa hal itu antara lain:

Perangkat Desa

Pemahaman perangkat desa terutama kepala desa mengenai BUMDes masing sangat kurang. Ini terjadi karena kepala desa selama ini hanya mengenal tugas sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yang lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan penanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas. Akibatnya, butuh usaha keras untuk memahami BUMDes yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan. 

Lemahnya pemahaman mengenai BUMDes itulah yang membuat wacana BUMDes tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa. Bagaimana bisa bersosialisasi kalau pemahamannya sendiri masih sangat kurang memadai. Akibatnya, isu BUMDes hanya berhembus pada kalangan elit desa saja atau hanya pada lingkaran perangkat desa.
Kewenangan

Para perangkat desa belum memahami sepenuhnya besarnya wewenang yang dimiliki desa saat ini meski sudah lahir UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Azas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan desa memanfaatkan potensi dan asset yang dimilikinya sesuai amanat UU Desa.

Pembangunan Fisik

Konsep pembangunan desa yang selama ini dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan sturktur dari atas. Selain itu pembangunan fisik lebih gampan terlihat sebagai ‘prestasi’ karena ada bentuk fisik yang terlihat. Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program yang tidak hasilnya tida terlihat secara fisik. Lemahnya pembangunan SDM inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirusahaan desa tidak berkembang.

Komunikasi

Belum tercipta komunikasi yang baik antara elit desa dengan warga masyarakat mengenai berbagai isu yang seharusnya dikomunikasikan. Bukan rahasia lagi, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa hanya membuka informasi berbagai isu pada kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Akibatnya, banyak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang strukturnya diisi oleh orang-orang dekat kepala desa atau bahkan keluarganya sendiri. Hal ini juga terjadi pada dataran operasional lainnya. Makanya banyak warga desa tidak tahu isu yang berkembang mengenai BUMDes.

Korupsi

Banyaknya perilaku kekuasaa yang koruptif pada struktur atas, terbukti dengan banyaknya kepala daerah seperti Bupati dan Gubernur yang diringkus KPK karena kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, membuat spirit menciptakan perubahann sosial untuk masyarakat menjadi loyo dan bahkan malah meniru tindakan itu. Terbukti ada ratusan kepala desa yang saat ini menghadapi meja hijau karena diduga menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan dirinya sendiri.

Pengembalian Dana

Banyaknya program pemerintah sebelum BUMDes seperti KUD, BUUD dan berbagai program lainnya yang gagal dan tak tentu rimbanya itu membuat sebagian warga desa berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang seharusnya menjadi modal bagi usaha desa yang dijalankan BUMDes.
Kemampuan Manajerial

Penguasaan Kemampuan Manajerial yang Kurang Memadai. Tak mudah bagi desa mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Kalaupun ada warga yang memiliki kemampuan seperti itu biasanya sudah bekerja di tempat lain dan kalau dia ditunjuk mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) maka itu hanya sebatas sambilan saja. Akibatnya, BUMDes tidak melaju dan jalan di tempat. Sementara jika menunjuk orang degan kapasitas yang tidak memadai, ditandai dengan track record yang dimilikinya, maka sama saja dengan membawa BUMDes pada arah yang lebh mengkawatirkan.

Tidak Menarik Milenial


BUMDes sendiri tidak cukup ‘seksi’ bagi sebagian besar anak muda untuk berkarya. Masih sulit meyakinkan kaum muda bahwa BUMDes bisa menjamin kesejaheraan bagi para pegiatnya. Ini yang membuat anak muda belum banyak berkiprah di BUMDes, akibatnya logika usaha yang dibangun sebagian besar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih dijalankan dengan model konvensional karena dijalankan kaum tua.

Keuntungan Besar

Kondisi ini diperparah dengan gencarnya kampanye yang menciptakan citra bahwa BUMDes harus menghasilkan keuntungan besar dengan bentuk profit (rupiah). Ini sangat tampak dari ukuran keberhasilan BUMDes yang sering diukur dari laba yang disetorkan ke kas desa. Cara pandang seperti ini membuat para kepala desa dan perangkat desa tambah beban berat karena harus menciptakan mesin uang. Bagaimana bisa menciptakan unit usaha dengan omset dan untung besar bagi desa terpencil misalnya. 

Bukankah kesejahteraan sosial tidak hanya masalah angka rupiah saja. Lebih penting mana? keuntungan rupiah besar yang realistis bagi sebagian besar desa atau manfaat sosial sehingga bisa menggerakkan dan mendorong berkembangnya ekonomi desa?

Itulah beberapa situasi yang menghambat laju Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi seperti diharapkan. Desa-desa di seluruh Indonesia harus beranjak dari pola masa lalu karena kali ini desa memiliki kewenangan penuh mengotimalisasi asset dan kekayaan yang dimilikinya. 

Bagaimana dengan desa Anda?

Strategi Kementerian Desa Cegah Penyelewengan Dana Desa

INFODES - Komisi Informasi Pusat (KIP) bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) tengah menyusun modul Program Inovasi Desa. 

Mewujudkan desa yang transparan dibutuhkan keterbukaan informasi

Modul tersebut berguna untuk mewujudkan desa yang transparan, termasuk dalam hal penggunaan dana desa.

Dilansir dari liputan6.com, Kepala Bidang Advokasi, Sosialisaai dan Edukasi KIP Wafa Patria Umma mengatakan, untuk mewujudkan desa yang transparan dibutuhkan keterbukaan informasi. Hal ini guna mencegah penyalahgunaan wewenang dalam mengambil kebijakan maupun pengelolaan keuangan.

Baca: Masih Bingung Seputar Dana Desa, Temukan Jawabannya Disini!

"Karena masyarakat berhak mendapatkan informasi publik yang sudah dijamin dalam Pasal 28F UUD dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)," ujar dia di Jakarta, Rabu (21/2/2018).

Menurut dia, dengan menjalankan UU KIP maka akan ada ruang bagi partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pengambilan kebijakan dan keputusan, baik di pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu, dalam Pasal 68 UU Desa juga menyatakan jika masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi Kegiatan penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa.

"Ke depan kita berharap dengan adanya desa transparan akan mendorong keterbukaan Informasi di Level Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional," ungkap dia.

Konsultan Nasional Program Inovasi Desa Kemendes PDTT, Lendy Wahyu Wibowo menyatakan, nantinya akan ada tujuh modul dalam program inovasi desa ini. Modul ini ditargetkan dapat selesai pada akhir April 2018 dan mulai disosialisaaikan pada Mei, Juni dan Juli 2018.

"Jadi kalau sudah selesai semua modulnya, kami akan sosialisasikan ke seluruh pendamping desa yang ada di seluruh Indonesia," kata dia.

Sementara itu, Komisioner KIP Bidang Regulasi dan Kebijakan Publik Menurut Hendra J Kede m‎engatakan, keberadaan modul Program Inovasi Desa sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Baca: Program Inovasi Desa untuk Memperkuat Desa Berdaulat
Lantaran Hak atas informasi merupakan Hak Azazi dan Hak Konstitusional seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian maka kewajiban seluruh badan publik untuk memfasilitasi kedua hak masyarakat tersebut.

"Kedua hak masyarakat tersebut mengharuskan seluruh badan publik di negeri ini dikelola dengan prinsip-prinsip transparansi, termasuk pengelolaan pemerintahan desa dan transparansi sejatinya adalah untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia," kata Hendra.(*)

21 Februari 2018

Mendes Eko: Kita Memiliki Tugas Mulia Mengangkat Kehidupan Masyarakat Miskin

INFODES - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memiliki tugas mulia yakni mengangkat kehidupan masyarakat miskin terutama warga yang berada di pelosok desa, daerah tertinggal dan perbatasan agar lebih sejahtera. 
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memiliki tugas mulia yakni mengangkat kehidupan masyarakat miskin terutama warga yang berada di pelosok desa, daerah tertinggal dan perbatasan agar lebih sejahtera.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Eko Putro Sandjojo dalam acara Ministerial Lecture atau kuliah umum di aula Kantor Kemendes PDTT, Jakarta, Rabu (21/2).

Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan ini untuk meningkatkan profesionalitas seluruh pejabat eselon I, II, III, dan IV dilingkungan Kementerian Desa, PDTT dalam menjalankan amanah negara.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan, masih banyak warga desa yang hidup di bawah kondisi kelayakan seperti kekurangan air bersih, jauh dari sekolah bahkan jauh dari rumah sakit.

“Mereka adalah saudara kita juga, warga Negara Indonesia yang besar. Yang telah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi Nomor 15 dunia,” tegasnya.

Menurutnya, untuk mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan tak hanya untuk memberikan pemerataan kesejahteraan, namun juga untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang keutuhan tersebut hanya bisa dijaga oleh warga negaranya sendiri.

“Karena kalau ketimpangan tidak bisa dikurangi, kemiskinan tidak bisa dikurangi, cita-cita Indonesia untuk menjadi negara maju itu mungkin tidak akan tercapai,” ujarnya.

Menurut Mendes Eko, untuk mengemban tugas tersebut, diperlukan profesionalitas, komitmen, dan keikhlasan seluruh pemegang amanah. Ia berharap kegiatan ministerial lecture tersebut dapat membantu seluruh pejabat kementerian untuk bersama-sama menjalankan tugas pemerintahan. 

Ia juga mengingatkan kepada seluruh pejabat kementerian dan jajaranya mampu bekerja dengan baik dan cepat. 

“Kalau kita lelet saja, itu sudah memperpanjang kesengsaraan,” tegasnya.

Kegiatan ministerial lecture tersebut mengangkat tema "menuju birokrasi berkelas dunia untuk meningkatkan daya saing bangsa". Hadir sebagai narasumber Gurus Besar FISIP UI, Eko Prasojo yang juga merupakan ahli di bidang kebijakan publik sebagai pembicara.

Kemenkeu Persoalkan Informasi Penyaluran Dana Desa

INFODES - Komunikasi antar lembaga dalam penanganan dana desa menjadi kendala dalam penyaluran dan penggunaan dana desa yang memang mengalami perubahan dalam perincian dana desa.
Kementerian Keuangan mempersoalkan pemberian informasi yang lemah dari pemerintah daerah.

Dilansir dari tempo.co, Kementerian Keuangan mempersoalkan pemberian informasi yang lemah dari pemerintah daerah.

"Kendala yang dihadapi, pemda belum menyampaikan peraturan Bupati atau Walikota terkait perincian dana desa,"kata Direktur Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara dalam konferensi pers tentang APBN Kita di Gedung Djuanda, Kementrian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa, (20/2/2018).

Kementerian Keuangan bahkan menawarkan mengadakan workshop lagi tentang perincian pendanaan desa, khususnya bagi pemerintah daerah yang belum menyampaikan tentang peraturan daerah soal dana desa.

Menurut Suahasil, perubahan formulasi pengalokasian dana desa tahun 2018 ialah pada bobot, alokasi afirmasi, formula pembagian alokasinya, hingga rasio ketimpangan distribusi dana desa. Alokasi afirmasi sebelumnya tidak ada namun kini diadakan bagi desa yang tertinggal.

Suahasil menjelaskan, penyaluran dana desa terbagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama paling cepat disalurkan pada Januari 2018 dan paling lambat lambat minggu ketiga Juni sebesar 20 persen dari total.

Tahap kedua, paling cepat Maret dan paling lambat minggu keempat bulan Juni sebesar 40 persen. Tahap terakhir, yakni sebesar 40 persen, akan turun paling cepat Juli 2018.

Sejauh ini, untuk penyaluran di tahap satu telah mencapai 24,4 persen untuk 98 daerah. "Sampai dengan hari kemarin, 19 Februari, realisasi dana desa telah mencapai Rp 2,92 triliun," kata Suahasil.

Dalam buku APBN KITA yang diterbitkan oleh Kemenkeu, Program Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 

Adapun Anggaran TKDD dalam APBN 2018 sebesar Rp 766,2 triliun, atau 34,5 persen dari belanja negara.(*)