22 Februari 2018

9 Hal Yang Menghambat BUMDes Menjadi Raksasa

Tags

Meski sudah berjalan tiga tahun tetapi perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mendorong kesejahteraan masyarakat melalui unit usaha yang dibangunnya, masih jauh dari harapan. Ribuan desa masih bahkan masih belum mendirikan lembaga ini. 


Apa sajakah hambatan-hambatan yang dialami sebagian besar BUMDes sehingga belum juga mampu melaju sebagai lembaga usaha yang cepat memberi pengaruh kesejahteraan bagi desanya?


Dari telusur data yang dilakukan Berdesa.com terungkap, beberapa hal yang membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di banyak desa tak juga mampu bergerak menjadi mesin pendorong kesejahteraan warga. Beberapa hal itu antara lain:

Perangkat Desa

Pemahaman perangkat desa terutama kepala desa mengenai BUMDes masing sangat kurang. Ini terjadi karena kepala desa selama ini hanya mengenal tugas sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yang lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan penanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas. Akibatnya, butuh usaha keras untuk memahami BUMDes yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan. 

Lemahnya pemahaman mengenai BUMDes itulah yang membuat wacana BUMDes tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa. Bagaimana bisa bersosialisasi kalau pemahamannya sendiri masih sangat kurang memadai. Akibatnya, isu BUMDes hanya berhembus pada kalangan elit desa saja atau hanya pada lingkaran perangkat desa.
Kewenangan

Para perangkat desa belum memahami sepenuhnya besarnya wewenang yang dimiliki desa saat ini meski sudah lahir UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Azas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan desa memanfaatkan potensi dan asset yang dimilikinya sesuai amanat UU Desa.

Pembangunan Fisik

Konsep pembangunan desa yang selama ini dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan sturktur dari atas. Selain itu pembangunan fisik lebih gampan terlihat sebagai ‘prestasi’ karena ada bentuk fisik yang terlihat. Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program yang tidak hasilnya tida terlihat secara fisik. Lemahnya pembangunan SDM inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirusahaan desa tidak berkembang.

Komunikasi

Belum tercipta komunikasi yang baik antara elit desa dengan warga masyarakat mengenai berbagai isu yang seharusnya dikomunikasikan. Bukan rahasia lagi, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa hanya membuka informasi berbagai isu pada kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Akibatnya, banyak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang strukturnya diisi oleh orang-orang dekat kepala desa atau bahkan keluarganya sendiri. Hal ini juga terjadi pada dataran operasional lainnya. Makanya banyak warga desa tidak tahu isu yang berkembang mengenai BUMDes.

Korupsi

Banyaknya perilaku kekuasaa yang koruptif pada struktur atas, terbukti dengan banyaknya kepala daerah seperti Bupati dan Gubernur yang diringkus KPK karena kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, membuat spirit menciptakan perubahann sosial untuk masyarakat menjadi loyo dan bahkan malah meniru tindakan itu. Terbukti ada ratusan kepala desa yang saat ini menghadapi meja hijau karena diduga menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan dirinya sendiri.

Pengembalian Dana

Banyaknya program pemerintah sebelum BUMDes seperti KUD, BUUD dan berbagai program lainnya yang gagal dan tak tentu rimbanya itu membuat sebagian warga desa berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang seharusnya menjadi modal bagi usaha desa yang dijalankan BUMDes.
Kemampuan Manajerial

Penguasaan Kemampuan Manajerial yang Kurang Memadai. Tak mudah bagi desa mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Kalaupun ada warga yang memiliki kemampuan seperti itu biasanya sudah bekerja di tempat lain dan kalau dia ditunjuk mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) maka itu hanya sebatas sambilan saja. Akibatnya, BUMDes tidak melaju dan jalan di tempat. Sementara jika menunjuk orang degan kapasitas yang tidak memadai, ditandai dengan track record yang dimilikinya, maka sama saja dengan membawa BUMDes pada arah yang lebh mengkawatirkan.

Tidak Menarik Milenial


BUMDes sendiri tidak cukup ‘seksi’ bagi sebagian besar anak muda untuk berkarya. Masih sulit meyakinkan kaum muda bahwa BUMDes bisa menjamin kesejaheraan bagi para pegiatnya. Ini yang membuat anak muda belum banyak berkiprah di BUMDes, akibatnya logika usaha yang dibangun sebagian besar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih dijalankan dengan model konvensional karena dijalankan kaum tua.

Keuntungan Besar

Kondisi ini diperparah dengan gencarnya kampanye yang menciptakan citra bahwa BUMDes harus menghasilkan keuntungan besar dengan bentuk profit (rupiah). Ini sangat tampak dari ukuran keberhasilan BUMDes yang sering diukur dari laba yang disetorkan ke kas desa. Cara pandang seperti ini membuat para kepala desa dan perangkat desa tambah beban berat karena harus menciptakan mesin uang. Bagaimana bisa menciptakan unit usaha dengan omset dan untung besar bagi desa terpencil misalnya. 

Bukankah kesejahteraan sosial tidak hanya masalah angka rupiah saja. Lebih penting mana? keuntungan rupiah besar yang realistis bagi sebagian besar desa atau manfaat sosial sehingga bisa menggerakkan dan mendorong berkembangnya ekonomi desa?

Itulah beberapa situasi yang menghambat laju Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi seperti diharapkan. Desa-desa di seluruh Indonesia harus beranjak dari pola masa lalu karena kali ini desa memiliki kewenangan penuh mengotimalisasi asset dan kekayaan yang dimilikinya. 

Bagaimana dengan desa Anda?

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon