08 Maret 2018

9 Titik Kritis dalam Perencanaan Desa

Perencanaan desa pasca dua tahun ditepatkannya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, dalam banyak kasus masih belum menemukan frame yang selaras dengan harapan warga desa. Pemerintah desa dan BPD selaku pemegang mandat regulasi hanya terfokus pada pengelolaan keuangan desa semata.

Tahapan perencanaan desa yang harusnya menjadi pijakan pertama malah tidak mendapat ruang yang memadai. 
Berikut beberapa titik kritis dan hambatan dalam Tahap Perencanaan Desa ini antara lain: 

1. Perumusan Program Kerja Desa Kering Data Kerawanan Desa

Data adalah keterangan objektif tentang suatu fakta baik dalam bentuk kuantitatif, kualitatif maupun gambar visual yang diperoleh baik melalui observasi langsung maupun dari yang sudah terkumpul dalam bentuk cetakan atau perangkat penyimpan lainnya40. Hal ini berarti data yang diperoleh haruslah berupa fakta bukan hasil manipulasi ataupun rekayasa. Dengan memiliki basis data dan informasi yang valid dan terukur, maka proses perencanaan pembangunan yang baik dan komprehensif akan menjadi titik penting untuk berhasilnya pembangunan di desa.

Persoalannya masih banyak desa yang belum memiliki sistem informasi desa yang baik. Hal ini menyebabkan perencanaan desa tidak didasarkan pada data dan fakta-fakkta terkait kerawanan desa yang memotret kondisi sosial ekonomi desa. Padahal data kerawanan desa ini sangat dibutuhkan untuk merumuskan RKPDesa yang mampu menjawab masalah sosial yang ada di desa. Akibatnya perumusan RKPDesa acap kali mengabaikan fakta-fakta kerawanan desa yang membutuhkan penangan utama. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika banyak RKPDesa yang sebatas mengejar penyerapan anggaran desa tanpa menargetkan capaian yang konkrit. Seperti berapa kelompok rumah tangga miskin yang akan menerima manfaat dari suatu kegiatan. Akibatnya, realisasi RPJMDesa mapun RKPDesa tidak dapat dilihat capaian target yang bisa diukur saat pembangunan sedang dan selesai dilaksanakan. Absurditas capaian kinerja pembangunan desa menyulitkan proses monitoring dan evaluasi dengan pengukuran yang jelas.

Problem ini muncul karena desa tidak memandang penting proses Pengkajian Keadaan Desa (PKD) dalam proses perencanaan. PKD sebagai tahapan dalam menemukenali masalah, potensi dan validasi data sosial desa jarang dilakukan desa sebelum merumuskan program kerja. Tanpa adanya PKD, tentu desa tidak akan mengetahui apa saja aset desa yang dapat dioptimalkan, berapa jumlah RTM yang ada di desa, siapa saja mereka, berapa beban tanggungan mereka dan lain-lain. Pada akhirnya, pada saat desa tidak mampu mendefinisikan problem dan sumber kekuatan mereka sendiri, maka perencanaan pembangunan desa hanya akan menyasar ruang hampa semata. Karena itu, pengkajian keadaan desa mutlak dibutuhkan dan suatu keharusan bagi setiap desa yang ingin menggapai kemandirian.

Pemerintah Nasional telah mengantisipasi fenomena tentang ketiadaan data yang memadai di desa untuk penyusunan perencanaan. Dalam UU No. 6 tahun 2014 telah diamanahkan agar setiap desa membuat sistem informasi desa. Sistem informasi ini mencakup data potensi dan kerawanan desa yang mencerminkan kondisi desa. Desa secara mandiri sebenarnya dapat membangun sistem informasi desa ini dengan menggunakan pendekatan ABCD. Ketika penetaan aset desa dengan melibatkan semua unsur masyarakat desa. Kemudian desa juga bisa mengajukan bantuan teknis dari pemerintah diatasnya kecamatan/kabupaten untuk difasilitasi untuk membangun sistem informasi dan data desa. Sebab dalam UU Desa diamanahkan Pemerintah berkewajiban memberikan dukungan kepada desa dalam membangun sistem informasi desa yang baik. 

Baca: Perencanaan Desa yang Baik Jantung Kemandirian Desa.

2. Penggiringan Perencanaan Desa Hanya pada Kegiatan Infrastruktur

Beberapa fenomena masalah sosial desa dari perspektif pihak luar desa yang bersinggungan langsung dengan kelompok perempuan dan masyarakat miskin adalah sebagai berikut: 1. Kelangkaan pangan dan kelaparan, ketiadaan permukiman yang memadai, lingkungan yang tidak sehat, kerentanan atas penyakit dan kesulitan memperoleh pengobatan; 2. Kurangnya pengetahuan dan buta huruf, ketidak-mampuan mengemukakan pendapat dan menyuarakan kepentingan, 3. Ketiadaan lapangan kerja dan penghasilan yang mencukupi, pengangguran yang diliputi kecemasan akan masa depan diri dan keluarga; 4. Kematian bayi dan ibu hamil yang kurang gizi dan sakit akibat lingkungan yang tidak sehat, kelangkaan air bersih maupun pelayanan kesehatan, menurunnya harapan hidup, atau 5. Praktek politik uang dan ketidakmampuan warga desa melakukan tawar-menawar dalam memperjuangkan hak personal dan sosial demi kepentingan-kepentingan serta perwujudan kebebasannya.

Sayangnya, warga desa seakan mengalami ketidakberdayaan untuk menyuarakan masalahnya dalam forum perencanaan desa. Pada forum perencanaan,masyarakat seringkali mudah digiring untuk menyepakati kegiatan infrastruktur. Padahal terkadang kegiatan tersebut secara langsung tidak memberi manfaat bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan. Meskipun situasi sebagaimana digambarkan oleh pihak luar desa nampak nyata, namun perencanaan desa selalu didominasi usulan kegiatan infrastruktur. Pemerintah desa bahkan berani terang-terangan menabrak aturan seperti menggunakan dana desa untuk pembangunan kantor desa atau bahkan gapura.

Kegiatan-kegiatan non fisik yang menawarkan penguatan pakasitas ketrampilan berbasis sumberdaya lokal jarang sekali ditemukan. Kegiatan yang mendahulukan kepentingan Desa yang lebih mendesak, lebih dibutuhkan dan menjawab langsung problem kerawanan desa juga sulit terwujud. Kegiatan yang mengarah pada peningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan juga tidak banyak diminati desa. kondisi ini lahir karena forum perencanaan sengaja digiring untuk menyepakati kegiatan infrastrktur oleh oknum elit desa. Apakah pilihan pembangunan berbasis fisik memang karena lebih nampak, mudah dikerjakan dan mudah dimarkup secara koruptif? Tentu butuh kajian mendalam. Yang jelas dua tahun pasca berjalannya UU Desa yang ditandai dengan kucuran dana desa, kasus kosupsi dana desa oleh oknum-oknum elit desa, meningkat drastis.

Penting untuk menekan intervensi elit desa dalam prioritas usulan, maka kelompok kritis yang ada dimasyarakat harus didorong untuk hadir dan mendinamisir setiap forum perencanaan sejak ditingkat dusun hingga desa. Dimasing-masing kelompok yang ada, harus dimunculkan kader oleh masyarakat itu sendiri yang berperan menjaga forum partisipatif berjalan dengan baik. Fasilitator forum publik yang handal sangat dibutuhkan untuk memastikan agar Musrenbang benar-benar menjadi forum yang deliberatif. 

3. Pilihan Waktu Forum Perencanaan Terlalu Kaku

Warga desa yang tidakberdaya seringkali dipahami sebagai bersikap apatis. Warga miskin, perempuan kepala keluarga, warga difabel, masyarakat terasing dipandang sebagai pihak-pihak yang tidak menyumbang apapun bagi kemajuan desanya. Dampaknya, selain kecilnya kesempatan untuk terlibat dalam forum-forum perencanaan desa, mereka juga memilih menggunakan waktunya untuk bekerja dan melakukan akfititas penghidupan. Forum-forum yan dilaksanakan pada jam-jam kerja sangat sulit menghadirkan kelompok perempuan dan RTM. Karena itu penting sekali pelaksana musdes mempertimbangkan waktu penyelenggaraan secara fleksibel. Jika malam hari dirasa menjadi saat yang paling efektif meningkatkan partisipasi warga, maka pilihan itu baik ditempuh.

4. Reduksi Perencanaan Pembangunan Desa Sebatas Dokumen Administratif

UU Desa semakin menegaskan pentingnya dokumen perencanaan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Saking pentingnya, dokumen RPJMDesa dan RKPDesa bahkan menjadi prasyarat penyaluran dana desa. Sayangnya dalam praktiknya, dokumen perencanaan desa tersebut disusun tanpa melalui proses yang memadai. Misalnya RPJMDesa disusun tanpa proses pengkajian keadaan desa yang melibatkan masyarakat ditingkat dusun, RT dan kelompok masyarakat. RKPDesa disusun tanpa didahului pelaksanaan Musdes Perencanaan yang diselenggarakan oleh BPD.

Asal dokumen RPJMDesa maupun RKPDesa ada dan lengkap secara administratif, maka perencanaan desa dianggap sudah dilaksanakan. Jika desa bisa menunjukkan dokumen perencanaan desa saat dilakukan pemeriksaan dari SKPD maupun Tim Asistensi, maka desa sudah dianggap memenuhi asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tanpa perlu mempertanyakan prosesnya bagaimana.

Sebagai pemimpin rakyat, kepala desa harus banyak berdialog dengan semua elemen masyarakat, termasuk kelompok perempuan,RTM dan kelompok yang rentan. Mereka pasti mempunyai aspirasi (kepentingan) secara beragam, yang selama ini tidak tersentuh oleh masyarakat. Demikian juga dengan BPD, yang harus menjadikan musyawarah desa sebagai arena bagi masyarakat desa untuk menyampaikan aspirasi politik. Baik kepala desa maupun BPD itu harus memformulasikan kebijakan baru yang muncul dari aspirasi banyak komponen masyarakat ke dalam perencanaan desa, penganggaran desa dan peraturan desa.

5. Apatisme Warga Dalam Forum Perencanaan.

Setiap warga desa mempunyai ranah kegiatan sosial dan politik. Berdasarkan kategori ini ada empat tipe warga. Tipe konstituen, yaitu warga desa yang hanya aktif pada saat momentum politik di desa, namun tidak aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. 

Tipe relawan, yaitu warga desa yang hanya memilih dan aktif dalam kegiatan sosial. Tipe warga kritis, yaitu mereka yang selalu kritis bersuara terhadap kebijakan pemerintah desa, tetapi tidak aktif dalam kegiatan sosial. Tipe ini biasanya disebut “asal bunyi” yang tidak disuakai oleh masyarakat dan pemuka desa. Tipe warga aktif, yakni aktif dalam bersuara dan aktif dalam kegiatan sosial41. UU Desa menghendaki tumbuhnya warga aktif dalam ranah desa ini.

Sayangnya tipe warga desa aktif ini justru paling kecil, baik secara kuantitas maupun kualitas. Akibatnya forum-forum perencanaan pembangunan desa tidak cukup mendapat tempat dihati masyarakat desa. Forum musdes acap kali tidak mampu merepresentasikan kelompok sosial yang ada di desa, terlebih kelompok RTM. Orang miskin dan kelompok perempuan cenderung takut untuk hadir dan menyuarakan kepentingan kelompoknya dalam forum Musdes. Akibatnya, kebutuhan mereka selalu terlupakan dalam setiap pembahasan usulan kegiatan di desa. Rata rata forum perencanaan desa hanya dihadiri oleh para pemuda desa. 


6. Belum ada Kalender Perencanaan yang Disepakati Bersama

Perencanaan desa merupakan kegiatan yang memiliki siklus pasti. RPJMDesa disusun sekali dalam periode kepemimpinan kepala desa, sedangkan RKPDesa disusun setiap tahun. Sebagai sebuah siklus, perencanaan tahunan tentu merupakan pekerjaan rutin yang wajib dilakukan desa sebagai keniscayaan. Tahap perencanaan mendasari tahap penganggaran, dan tahap penganggaran mendahului tahap pelaksanaan.

Sayangnya sejauh ini, belum ada kelender perencanaan yang disepakati bersama oleh desa dan pihak-pihak yang memiliki tugas pembinaan desa. Pemerintah kabupaten rata-rata hanya terfokus pada pelaksanaan Musrenbang Desa. 

Parahnya Musrenbang Desa yang diperhatikan daerah melalui SKPD Bappeda hanya untuk pekentingan perencanaan pembangunan daerah saja dimana waktu pelaksanaanya pun tidak mematuhi UU Desa. Musrenbang Desa ala Bappeda dilaksanakan pada bulan Januari, namun UU Desa menegaskan Musrenbang Desa dilaksanakan paling pambat pada bulan Juli yang menghasilkan RKPDesa.

Akibat belum ada kelender perencanaan, maka desa seperti tidak menganggap penting proses perencanaan yang menurut regulasi dilaksanakan pada saat desa masih sibuk melaksanakan dan mempertanggungjawabkan APBDesa tahun berjalan. Karena itu dalam rangka pengendalian dan efektifikas perencanaan desa, perlu disepakati adanya kalender perencanaan desa yang menjelaskan forum-forum yang wajib dilaksanakan desa dalam rangka menyusun RKPDesa setiap tahunnya. Inisiasi ini dapat dimulai ditingkat desa, kecamatan dengan peran pendampingannya, hingga kabupaten melalui regulasi.

7. Stagnasi Edukasi Sosial Politik Dalam Pendampingan Perencanaan Desa

Setiap aktivitas desa khususnya musyawarah desa, perencanaan dan penganggaran yang memperoleh sentuhan pendampingan, seringkali terjebak pada penggunaan alat dan menghasilkan dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis. Pendampingan terhadap seluruh aktivitas desa jarang disertai dengan edukasi sosial dan politik secara inklusif dan partisipatoris.

Proses perencanan desa acapkali hanya berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan menjadi agenda proyek. Perencanaan desa belum dipahami sebagai pembelajaran bagi orang desa untuk membangun impian kolektif dan mandiri dalam pengambilan keputusan politik. Demikian juga dengan Sistem Informasi Desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai jaringan online. SID hanyalah alat dan teknologi. SID yan merekam potensi dan kerawanan desa belum menjadi pembelajaran bagi orang desa untuk membangun kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus untuk memperkuat representasi hak dan kepentingan rakyat.

8. Defisit kepemimpinan dan Intervensi Elit Desa Dalam Perencanan

Kualitas kepeminpinan desa menentukan kualitas perencanan desa. pemimpin yang baik akan mampu merancang program kerja yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, pola kepemimpinan kepala desa yang regresif dan konserfatif akan membawa desa pada kehancuran. Kepemimpinan regresif, akan cenderung otokratis, dominatif, tidak suka BPD, tidak suka partisipasi, anti perubahan dan biasa melakukan penyerobotan terhadap sumberdaya ekonomi, termasuk menyerobot bantuan pemerintah42. Jika desa dikuasai kepala desa seperti ini maka perencanaan desa yang mengarah pada harapan desa mandiri, demokratis dan sejahtera akan sulit terwujud.

Problem kepimimpinan desa diatas akan berujung pada intervensi dalam perencanaan pembangunan desa. Apa yang menjadi rencana kerja pemerintah desa murni lahir dari kepentingan elit desa, bukan dari aspirasi masyarakat desa. Untuk menekan praktik kepemimpinan regresif ini, maka harus diawali dengan penyadaran politik warga. Money politics dalam pilkades berpotensi memunculkan pemimpin regresif yang merugikan warga desa itu sendiri. Kesadaran itulah yang harus mulai dibangun melalui ruang publik yang dalam forum perencanaan di desa.

9. Kegagalan BPD Mengemban Mandat Demokrasi Desa

UU Desa telah memberi mandat besar bagi BPD dalam pengemban peran demokrasi deliberatif di desa. Di sini prinsip-prinsip tatakelola demokratis harus dikedepankan para pemangku kepentingan di desa. Jika sebelumnya penyelenggaraan musyawarah desa menjadi domain pemerintah desa, maka UU Desa mengusung BPD sebagai aktor penyelenggara musyawarah desa.

UU Desa juga menggeser eksistensi kebijakan perencanaan desa tahunan (RKP Desa) yang semula cukup diatur melalui keputusan kepala desa, kini dikuatkan melalui peraturan desa. Ini artinya, RKPDesa sebagai dokumen perencanaan desa satu-satunya harus dibahas dengan proses yang lebih partisipatif dan demokratis bersama BPD.

Demikian 9 Titik Kritis dalam Perencanaan Desa, Referensi Buku Mewujudkan Desa Inklusif (Perencanaan Penganggaran Partisipatif Pro dan Reponsif Gender). Donwlod Disni. Semoga bermanfaat.

04 Maret 2018

Kawal Pemanfaatan Dana Desa, Kemendes Butuh 40 Ribuan Pendamping Desa

Pengawasan Dana Desa (DD) akan terus ditingkatkan. Hal ini agar dana lebih lebih tepat sasaran dan memberikan bermanfaat bagi masyarakat. Pendamping desa harus terlibat aktif dalam setiap pembangunan, mulai dari proses perencanaan desa sampai pelaksanaan pembangunan.
Kawal Pemanfaatan Dana Desa, Kemendes Butuh 40 Ribu Pendamping Desa
Ilustrasi: Fokus Dana Desa 2018
Dalam melaksanakan tugas-tugas pendampingan, pendamping desa diikat oleh Standar Operasional dan Prosedur (SOP) tentang Pembinaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping Profesional Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) serta pasal-pasal yang diperjanjikan dalam kontrak kerja dengan Pendamping Profesional.

Salah satu larangan bagi pendamping desa, yaitu dilarang kerja rangkap atau terlibat kontrak dengan institusi lain baik pemerintahan maupun pihak swasta karena bertentangan dengan tata prilaku (Code of Conduct) pendamping profesional. 

Pendamping desa juga dilarang terlibat aktif dalam kegiatan partai politik, baik sebagai pengurus harian atau menjadi calon legislatif (termasuk dalam calon anggota tetap). 


Untuk Kawal Pemanfaatan Dana Desa, Kemendes Butuh 40 Ribuan Tenaga Pendamping Desa.

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendesa, PDTT), Eko Putro Sandjojo mengungkapkan pihaknya masih membutuhkan sekitar 40 ribuan tenaga pendamping desa untuk membantu pemerintah dalam merencanakan dan memanfaatkan dana desa sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

“Siapapun berhak jadi pendamping desa. Yang terpenting, pendamping desa tidak boleh rangkap jabatan agar fokus menjalankan tugasnya," ujar Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, Jumat (2/3) seperti dilansir jppn.com.

Yang tak kalah pentingnya, lanjut Menteri Eko, pendamping desa harus menjadi pelopor sekaligus motor penggerak pembangunan di desa. "Pendamping desa harus mampu menjadi agen perubahan di setiap desanya,"ujar Eko.

Total jumlah desa di seluruh Indonesia mencapai 74.910 desa, sementara tenaga pendamping yang tersedia baru mencapai 34 ribu. Tahun ini, lanjut Eko, Kemendes butuh pendamping desa sekitar 40 ribuan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, rekrutmen akan terus dilakukan secara berkala.

Eko meminta para pendamping desa terlibat aktif dalam setiap fase, mulai dari perencanaan hingga pelaksananan pembangunan desa. "Program dana desa ini mungkin program satu-satunya yang ada di dunia. Apalagi, besaran dana desa yang digelontorkan pemerintah setiap tahunnya terus naik," katanya memaparkan.

Menteri Eko mengemukakan, sepanjang tiga tahun terakhir, yakni sejak 2015 hingga 2017 alokasi Dana Desa terus naik signifikan. Dari Rp 20,67 triliun atau sekitar Rp 280,3 juta per desa pada 2015, naik menjadi Rp 60 triliun atau sekitar Rp 800,4 juta perdesa pada 2017.

"Tahun ini, alokasi Dana Desa yang diluncurkan sama dengan tahun 2017, yakni Rp 60 triliun," kata Eko.

Pemerintah pusat, kata Eko, akan terus mengawal Dana Desa hingga tahap pemanfaatannya. Bahkan sudah mengarah ke pembentukan Budan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berpayung hukum. “Karena itu pengawasan menjadi hal yang secara terus menerus harus ditingkatkan,” pungkas Eko.(*)

03 Maret 2018

Penyaluran Dana Desa Terhambat APBD

INFODES - Penyaluran dana desa tahap pertama yang dimulai 15 Januari 2018 terhambat oleh peraturan gubernur dan APBD yang belum diteken.


Penyaluran Dana Desa Terhambat Peraturan Daerah

Dilansir dari bisnis.com, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo menyayangkan banyaknya kabupaten yang belum menyelesaikan APBD.

"Penyalurannya baru 200 kabupaten dari sekitar 400 kabupaten, karena APBDnya belum selesai," kata Eko, Rabu (28/2).


Lamanya penyelesaian APBD ini disebabkan belum adanya titik temu antara bupati dan DPRD. Jelas, ini akan menganggu distribusi dana desa.

Untuk mengoptimalisasi dana desa, pemerintah telah memutuskan penyaluran dana desa tahun ini dilakukan sebanyak tiga kali.

Baca: Persyaratan dan Ketentuan Penyaluran Dana Desa 2018 

Tahun lalu, penyalurannya hanya dilakukan dua kali dalam setahun, yakni April dan Agustus. Akibatnya, kegiatan pembangunan di desa pada kuartal awal, antara Januari dan April, menjadi vakum.

Menurut Eko, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam hal ini, Kemendagri telah mengirimkan kawat kepada bupati hingga dua atau tiga kali yang isinya meminta pemerintah daerah segera menyelesaikan APBDnya. Dengan demikian, penyaluran dana desa dapat berjalan lancar.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 225/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, pemerintah memutuskan untuk mempercepat penyaluran dana desa menjadi tiga tahap mulai tahun ini.

Penyaluran dana desa tahap pertama ini dilakukan untuk mendukung program cash for work. Dalam tahap pertama, pemerintah mematok penyaluran dana desa sebesar 20% dari total pagu Rp60 triliun.


Baca: RPJMDes dan RKPDes Bukan Hambatan Dalam Pembangunan Desa

Adapun, waktu pencairan dimulai sejak minggu kedua Januari 2018 hingga minggu ketiga Juni 2018.

Tahap kedua, pemerintah akan menyalurkan sebesar 40% dari total pagu. Rentang waktu pencairannya ditetapkan pada Maret 2018 hingga minggu keempat Juni 2018. Tahap ketiga, pencairan dilakukan sebesar 40% dimulai Juli 2018.(*)

01 Maret 2018

Pendamping Desa yang Berpolitik dan Double Job akan Di Putus Kontrak Kerja

Pendamping Desa yang Berpolitik dan Double Job akan Di Putus Kontrak Kerja

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh mengeluarkan warning bagi Pendamping Desa P3MD yang ikut berpolitik dan rangkap kerja (double job).

Pasalnya keterlibatan pendamping desa dalam kegiatan politik dan double jobs bertentangan dengan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Pembinaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping Profesional Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) serta pasal-pasal yang diperjanjikan dalam kontrak kerja dengan Pendamping Profesional.

Baca: Membangun Dedikasi Pendamping Desa.

Pendamping Desa yang Berpolitik dan Double Job akan Di Putus Kontrak Kerja

Berikut isi surat BPMG Aceh perihal larangan berpolitik aktif dan kerja rangka (Double job) yang ditanda tangani oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh, Prof.Dr. Ir. Amhar Abubakar, M.Sc. 

1. Pendamping Profesional P3MD dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus bersikap netral sehingga tidak diperbolehkan mengikuti percalonan dalam pemilihan, menjadi penyelenggara dan pengawasan pemilihan semua tingkatan dan menduduki jabatan publik termasuk dalam kepengurusan partai politik.

2. Pendamping Profesional P3MD dilarang kerja rangkap atau terlibat kontrak dengan institusi lain baik pemerintahan maupun pihak swasta karena bertentangan dengan tata prilaku (Code of Conduct) pendamping profesional.

Baca: 4 Tipe Pendamping Desa.

3. Pendamping Profesional yang terlibat aktif dalam kegiatan partai politik sebagai pengurus harian atau menjadi calon legislatif (termasuk dalam calon anggota tetap) dan terlibat kontrak dengan institusi lain diminta untuk mengundurkan diri dari pendamping profesional P3MD dan apabila tidak bersedia mundur akan berakibat pada berakhirnya hubungan kontrak kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Tata Kelola Penganggaran Desa

Pengelolaan keuangan desa haruslah berdasarkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance). Pengelolaan keuangan desa sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 harus dijalankan dengan azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilaksanakan dengan tertib dan disiplin anggaran. 
Asas Penganggaran Keuangan Desa
Asas transparansi merupakan prinsip keterbukaan, memungkinkan semua masyarakat untuk mengetahui dan mendapat akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan desa. Informasi tentang keuangan dan penyelenggaraan pemerintahan desa yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif merupakan hak masyarakat. Penerapan asas transparansi ini tentunya dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Azas akuntabel dalam keuangan desa merupakan perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya. Dan juga pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Asas akuntabel yang menentukan apakah setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa bisa dipertanggungjawabkan. 

Pertanggungjawaban tidak hanya diberikan kepada pemerintahan yang lebih tinggi tetapi juga kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan azas partisipatif, merupakan penyelenggaraan pemerintahan desa yang melibatkan/mengikutsertakan kelembagaan Desa dan kelompok masyarakat Desa. Pelibatannya dilakukan dalam setiap tahapan baik perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasinya. 

Pengelolaan keuangan desa juga harus dijalankan secara tertib dan disiplin anggaran. Pengelolaan keuangan desa harus mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya.


Selain hal di atas, pengelolaan keuangan desa harus dijalankan dengan mengedepankan keadilan. Artinya harus ada keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 

Selain itu, harus dipastikan pula kemanfatan penggunaan keuangan desa untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya bagi kelompok warga miskin, perempuan dan pelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, dalam menjalankan pengelolaan anggaran, pemerintah desa perlu memperhatikan fungsi APBDesa, sebagai berikut:

  • Fungsi otorisasi adalah bahwa anggaran desa menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 
  • Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran desa menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
  • Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran desa menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 
  • Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran desa harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian desa.
  • Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran desa harus memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat desa. 
  • Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah desa menjadi alat untuk memelihara dan mengucapkan keseimbangan fundamental perekonomian desa.
Menurut Pasal 71 UU Desa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban desa menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa. 

Selanjutnya dalam pasal 75 disebutkan bahwa kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Di dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, kepala desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa. Selain itu, di pasal 72 ayat (5) juga disebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan keuangan desa, kepala desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat desa yang ditunjuk.

Jika merujuk pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka tidak ada bab yang secara khusus mengatur tentang keuangan desa.

Pengaturan hanya sampai di tingkat kabupaten/kota dan desa dianggap bagian dari kabupaten/ kota. Regulasi yang mengatur tentang keuangan desa adalah PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa yang merupakan aturan turunan dari UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 
Substansi yang diatur di PP No. 72 Tahun 2005 relatif sama dengan substansi yang ada di dalam UU Desa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang keuangan desa di dalam UU Desa ini adalah meningkatkan status hukum dari Peraturan Pemerintah menjadi Undang-Undang.

(Referensi: Mewujudkan Desa Inklusif, Perencanaan Penganggaran Partisipatif Pro Poor dan Responsif Gender, Donwload Disini)

26 Februari 2018

Mendes PDTT Pastikan BUMDes Berpayung Hukum

INFODES - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan, desa tidak perlu khawatir dengan status Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di mata hukum. Ia memastikan, BUMDes memiliki payung hukum jelas untuk membentuk unit-unit usaha.
Status hukum badan usaha milik desa
Hal tersebut disampaikan usai melakukan pertemuan dengan Ketua Mahkamah Agung di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (23/2). 

Tak hanya membentuk unit usaha, menurutnya, BUMDes juga bisa bekerjasama dengan koperasi, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bahkan perusahaan swasta dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).

"Kami telah berkonsultasi untuk kejelasan status hukum BUMDes. Tadi ada Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung, beliau mengatakan bahwa status BUMDes jelas. Jadi BUMDes bisa mempunyai unit usaha yang dalam bentuk badan hukum, bisa membentuk koperasi, bisa bekerjasama juga dengan unit usaha swasta dalam bentuk PT," ujarnya. 

Baca: Memahami Hukum Pendirian BUMDes

Dalam waktu dekat, lanjutnya, informasi tersebut akan segera disosialisasikan kepada BUMDes di seluruh desa untuk menjawab kegelisahan pengurus BUMDes. Ia mengakui, beberapa BUMDes selama ini memiliki kesulitan membentuk unit usaha karena dianggap tidak berbadan hukum.

"Sekarang sudah ada kejelasan. Dan yang paling penting, dalam anggaran dasarnya, BUMDes tidak hanya semata-mata usaha untuk mencari keuntungan, tapi juga untuk memberdayakan dan kemakmuran masyarakat desa setempat," ujarnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Taufik Madjid mengatakan, BUMDes tetap menjadi instrumen penting bagi desa di samping unit usaha lain dan koperasi. Menurutnya, aktifitas BUMDes yang dapat membentuk unit-unit usaha tertuang jelas secara hukum, sejalan dengan Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang desa. 

Baca: Hukum Baru Pendirian BUMDes

"BUMDes ini adalah usaha dimana masyarakat desa adalah pemiliknya," ujarnya.

Ia mengakui, adanya perspektif yang berbeda di kalangan masyarakat terkait payung hukum sempat menghambat aktivitas BUMDes. Meski tidak diatur secara langsung dalam Perundang-undangan, Taufik memastikan bahwa BUMDes memiliki landasan hukum yang jelas.

"Meski tidak diatur langsung dalam perundang-undangan, namun pasal-pasal di bawahnya bisa menjelaskan detil. Bahwa BUMDes bisa membentuk unit-unit usaha berbadan hukum sejalan dengan Undang-Undang Desa,"terangnya seperti dilansir dari situs kemendesa, PDTT(*).

22 Februari 2018

9 Hal Yang Menghambat BUMDes Menjadi Raksasa

Meski sudah berjalan tiga tahun tetapi perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mendorong kesejahteraan masyarakat melalui unit usaha yang dibangunnya, masih jauh dari harapan. Ribuan desa masih bahkan masih belum mendirikan lembaga ini. 

Apa sajakah hambatan-hambatan yang dialami sebagian besar BUMDes sehingga belum juga mampu melaju sebagai lembaga usaha yang cepat memberi pengaruh kesejahteraan bagi desanya?


Dari telusur data yang dilakukan Berdesa.com terungkap, beberapa hal yang membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di banyak desa tak juga mampu bergerak menjadi mesin pendorong kesejahteraan warga. Beberapa hal itu antara lain:

Perangkat Desa

Pemahaman perangkat desa terutama kepala desa mengenai BUMDes masing sangat kurang. Ini terjadi karena kepala desa selama ini hanya mengenal tugas sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yang lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan penanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas. Akibatnya, butuh usaha keras untuk memahami BUMDes yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan. 

Lemahnya pemahaman mengenai BUMDes itulah yang membuat wacana BUMDes tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa. Bagaimana bisa bersosialisasi kalau pemahamannya sendiri masih sangat kurang memadai. Akibatnya, isu BUMDes hanya berhembus pada kalangan elit desa saja atau hanya pada lingkaran perangkat desa.
Kewenangan

Para perangkat desa belum memahami sepenuhnya besarnya wewenang yang dimiliki desa saat ini meski sudah lahir UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Azas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan desa memanfaatkan potensi dan asset yang dimilikinya sesuai amanat UU Desa.

Pembangunan Fisik

Konsep pembangunan desa yang selama ini dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan sturktur dari atas. Selain itu pembangunan fisik lebih gampan terlihat sebagai ‘prestasi’ karena ada bentuk fisik yang terlihat. Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program yang tidak hasilnya tida terlihat secara fisik. Lemahnya pembangunan SDM inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirusahaan desa tidak berkembang.

Komunikasi

Belum tercipta komunikasi yang baik antara elit desa dengan warga masyarakat mengenai berbagai isu yang seharusnya dikomunikasikan. Bukan rahasia lagi, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa hanya membuka informasi berbagai isu pada kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Akibatnya, banyak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang strukturnya diisi oleh orang-orang dekat kepala desa atau bahkan keluarganya sendiri. Hal ini juga terjadi pada dataran operasional lainnya. Makanya banyak warga desa tidak tahu isu yang berkembang mengenai BUMDes.

Korupsi

Banyaknya perilaku kekuasaa yang koruptif pada struktur atas, terbukti dengan banyaknya kepala daerah seperti Bupati dan Gubernur yang diringkus KPK karena kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, membuat spirit menciptakan perubahann sosial untuk masyarakat menjadi loyo dan bahkan malah meniru tindakan itu. Terbukti ada ratusan kepala desa yang saat ini menghadapi meja hijau karena diduga menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan dirinya sendiri.

Pengembalian Dana

Banyaknya program pemerintah sebelum BUMDes seperti KUD, BUUD dan berbagai program lainnya yang gagal dan tak tentu rimbanya itu membuat sebagian warga desa berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang seharusnya menjadi modal bagi usaha desa yang dijalankan BUMDes.
Kemampuan Manajerial

Penguasaan Kemampuan Manajerial yang Kurang Memadai. Tak mudah bagi desa mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Kalaupun ada warga yang memiliki kemampuan seperti itu biasanya sudah bekerja di tempat lain dan kalau dia ditunjuk mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) maka itu hanya sebatas sambilan saja. Akibatnya, BUMDes tidak melaju dan jalan di tempat. Sementara jika menunjuk orang degan kapasitas yang tidak memadai, ditandai dengan track record yang dimilikinya, maka sama saja dengan membawa BUMDes pada arah yang lebh mengkawatirkan.

Tidak Menarik Milenial


BUMDes sendiri tidak cukup ‘seksi’ bagi sebagian besar anak muda untuk berkarya. Masih sulit meyakinkan kaum muda bahwa BUMDes bisa menjamin kesejaheraan bagi para pegiatnya. Ini yang membuat anak muda belum banyak berkiprah di BUMDes, akibatnya logika usaha yang dibangun sebagian besar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih dijalankan dengan model konvensional karena dijalankan kaum tua.

Keuntungan Besar

Kondisi ini diperparah dengan gencarnya kampanye yang menciptakan citra bahwa BUMDes harus menghasilkan keuntungan besar dengan bentuk profit (rupiah). Ini sangat tampak dari ukuran keberhasilan BUMDes yang sering diukur dari laba yang disetorkan ke kas desa. Cara pandang seperti ini membuat para kepala desa dan perangkat desa tambah beban berat karena harus menciptakan mesin uang. Bagaimana bisa menciptakan unit usaha dengan omset dan untung besar bagi desa terpencil misalnya. 

Bukankah kesejahteraan sosial tidak hanya masalah angka rupiah saja. Lebih penting mana? keuntungan rupiah besar yang realistis bagi sebagian besar desa atau manfaat sosial sehingga bisa menggerakkan dan mendorong berkembangnya ekonomi desa?

Itulah beberapa situasi yang menghambat laju Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi seperti diharapkan. Desa-desa di seluruh Indonesia harus beranjak dari pola masa lalu karena kali ini desa memiliki kewenangan penuh mengotimalisasi asset dan kekayaan yang dimilikinya. 

Bagaimana dengan desa Anda?