Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Desa. Tampilkan semua postingan

11 September 2018

Digitalisasi Ekonomi Desa

Dinamika pertumbuhan ekonomi perdesaan ditentukan oleh kemampuan desa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi dengan manajemen berbasis kearifan lokal. Peran pemerintah desa sebagai regulator atau pencetus kebijakan yang mendukung perkembangan investasi serta geliat dunia usaha mikro-menengah sangat menentukan. Termasuk dalam hal pengembangan piranti ekonomi seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perbaikan infrastruktur ekonomi perdesaan.

Dinamika pertumbuhan ekonomi perdesaan ditentukan oleh kemampuan desa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi dengan manajemen berbasis kearifan lokal. Peran pemerintah desa sebagai regulator atau pencetus kebijakan yang mendukung perkembangan investasi serta geliat dunia usaha mikro-menengah sangat menentukan. Termasuk dalam hal pengembangan piranti ekonomi seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perbaikan infrastruktur ekonomi perdesaan.

Peluang perkembangan usaha mikro-menengah perdesaan sangat ditentukan oleh tiga variabel yang saling mempengaruhi.

Pertama, kemampuan profesional pemerintah desa dalam menjadikan alokasi Dana Desa sebagai stimulan pengembangan unit usaha mikro perdesaan. Alokasi Dana Desa dalam pos belanja pemberdayaan masyarakat desa idealnya digunakan untuk subsidi permodalan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) dan juga untuk membangun sarana-prasarana ekonomi lokal perdesaan.

Kedua, pertumbuhan investasi desa. Investasi desa -baik dari luar maupun dari kalangan pemilik modal besar di desa- sangat penting untuk mengakselerasikan program unggulan dan inovatif desa. Harus diakui, desa membutuhkan uluran tangan kerjasama dengan pihak ketiga untuk membantu pembiayaan program-program unggulan dan inovatif yang memiliki efek ekonomi strategis jangka panjang. Kemampuan anggaran pemerintah desa dalam skema APBDes sangat terbatas dan dibatasi oleh regulasi pengelolaan anggaran yang sistemik.

Ketiga, kemampuan adaptif pelaku ekonomi mikro-menengah perdesaan terhadap sistem-siklus-mekanisme ekonomi digital. Pelaku ekonomi perdesaan selama ini masih menjalankan usaha dalam perspektif ekonomi konvensional. Menggunakan perangkat-sistem ekonomi konvensional dalam hal pemasaran dan perluasan jaringan. Sehingga tidak mampu melahirkan keuntungan yang progresif untuk produk unggulan yang dipasarkan.

Dari ketiga variabel di atas kemampuan adaptasi terhadap ekonomi digital adalah hal yang strategis untuk mendorong kemajuan ekonomi mikro-menengah perdesaan. Perlu dicatat potensi (peluang) ekonomi digital di Indonesia sangat besar.

Data analisis Ernst & Young memperlihatkan bahwa pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di Indonesia setiap tahun meningkat 40 persen. Aktivitas usaha (bisnis) online cenderung menguat karena ditopang oleh kondisi obyektif dengan adanya 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia.

Sedangkan Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi pasar digital terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia semakin meningkat per tahun Kontribusi tersebut mencapai 3,61 persen pada tahun 2016, lalu meningkat jadi 4 persen di 2017.

Baca juga: Internet Masuk Desa Harus Menjadi Produktif

Sementara itu melalui program Palapa Ring pemerintah pusat berupaya memperluas pemerataan akses Internet ke seluruh penjuru tanah air. Tercatat saat ini 64 persen dari 74.275 desa di Indonesia telah memiliki akses terhadap infrastruktur telekomunikasi berbasis Internet. Usaha ekonomi mikro-menengah pedesaan bisa menggunakan akses Internet untuk berintegrasi dalam dunia ekonomi digital -mulai dari mengembangkan transaksi digital (e-commerce) untuk aktivitas pemasaran, hingga penjualan dan niaga.

Dibutuhkan usaha dan kerja keras untuk mengintegrasikan ekonomi mikro-menengah pedesaan ke dalam siklus ekonomi digital. Ada beberapa langkah strategis yang harus dijalankan.

Pertama, adalah penguatan gerakan ekonomi digital di pedesaan. Gerakan ekonomi digital harus difasilitasi oleh pemerintah pusat melalui kerjasama berkelanjutan dengan pemerintah daerah, pemerintah desa dan dunia usaha mikro-menengah pedesaan. Gerakan ekonomi digital pedesaan dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha mikro-menengah pedesaan untuk menggunakan akses Internet dalam aktivitas niaga; serta -lebih jauh- untuk memfasilitasi terbangunnya sentra ekonomi digital berbasis produk unggulan desa.

Kedua, merealisasikan program Desa Melek Digital. Program Desa Melek Digital memilik tujuan untuk mendukung pengembangan sistem informasi desa (SID), sistem informasi kewirausahaan desa, sistem transaksi ekonomi desa, dan sistem e-commerce berbasis desa. Desa Melek Digital akan mendorong masyarakat desa -khususnya pelaku usaha- untuk menggunakan aplikasi teknologi informasi untuk aktivitas bisnis yang produktif.

Ketiga, menyiapkan sumber daya manusia pendukung dinamika ekonomi digital. Dibutuhkan tenaga profesional yang siap bekerja dalam mendukung program ekonomi digital di pedesaan.

Hal yang penting lainnya adalah dibutuhkan fasilitasi terhadap pengembangan produk unggulan esa. Sehingga diharapkan setiap desa memiliki produk unggulan yang siap dipasarkan dalam 'ritus' ekonomi digital. Desa harus didorong menjadi desa maju yang mampu membangun kapasitas ekonomi kreatif,yang akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ekonomi digital akan membawa kemajuan bagi desa dalam aspek ekonomi mikro dan juga memperkuat fondasi kewirausahaan dalam iklim kompetisi modern. Desa akan terdorong berkembang statusnya menjadi desa mandiri dengan kekuatan ekonomi lokal yang bernilai global.

Trisno Yulianto, alumni Fisip UNDIP, Koordinator Kajian Kebijakan Dan Transparansi Anggaran (FORKATA) Magetan. (Sumber: beritagar.id)

08 September 2018

Kreasi Desa di Ruang Kewenangannya

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi harapan baru bagi masyarakat desa. Ditegaskan, kewenangan yang lebih luas dan jelas kepada desa. Dengan dukungan anggaran yang relatif besar, Desa dengan kewenangannya mampu melakukan upaya mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat Desa.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.

Pada masa perjalanan sampai keempat UU Desa, ada beberapa catatan penting.

Pertama, sudah banyak muncul inovasi dan kreatifitas Desa dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pengembangan berbagai usaha desa yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), penguatan usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh masyarakat, layanan e-commerce, dan sebagainya.

Kedua, komitmen Pemerintah Desa untuk melakukan transparansi lebih kuat. Infografik APBDesa dibuat oleh desa-desa. Dipasang di tempat strategis yang mudah dibaca oleh masyarakat. Papan informasi kegiatan pembangunan juga dipasang dengan memuat uraian besaran anggaran. Termasuk, diunggahnya dokumen APBDesa dan informasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di website desa.

Ketiga, kendati demikian masih sering terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman dari para pelaksana. Baik di level Pemerintah Pusat, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa terkait aturan tentang proses pembangunan, pengelolaan keuangan, serta pengadaan barang dan jasa di Desa.

Keempat, upaya pembinaan dan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Desa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan belum optimal.

Kelima, titik perhatian dalam pelaksanaan UU Desa masih soal seputar Dana Desa. Soal bagaimana proses yang dilakukan oleh seluruh komponen yang ada di Desa dalam membangun Desa belum banyak mendapat perhatian.

Praktik baik telah berkembang melembaga dalam pembangunan Desa. Saat ini, berbagai praktik baik dalam tata kelola desa bermunculan. Praktik baik itu bisa terkait dengan upaya peningkatan pelayanan publik, proses perencanaan pembangunan, peningkatan partisipasi dan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, transparansi, pengembangan sistem informasi desa, dan pengembangan ekonomi desa. 

Kewenangan Desa yang menjadi amanat UU Desa telah memberi jalan bagi Desa untuk bergerak maju secara kreatif. Ada semangat yang tumbuh dalam diri desa untuk memanfaatkan potensi yang ada secara lebih optimal. Kewenangan desa telah memberikan ruang besar bagi Desa memberdayakan dirinya.

Namun demikian, harus diakui bahwa ditengah berbagai praktik baik itu masih banyak kekurangan. Problem masih kurang efektifnya koordinasi antar lembaga yang mengurusi desa, baik pada tingkat kementerian maupun Pemerintah Daerah masih menjadi problem serius yang mengakibatkan pelaksanaan UU Desa menjadi begitu rumit. Banyak regulasi yang dikeluarkan oleh kementerian untuk mengatur desa, tetapi seringkali regulasi tersebut kurang sinkron antara satu dengan yang lainnya. Sudah begitu, regulasi yang ada seringkali cepat berubah. Hal ini sangat menyulitkan desa.


Kekurangan lain adalah adanya pandangan yang melihat UU Desa sebagai sekedar pelaksanaan Dana Desa. Bahkan Dana Desa dianggap hanya sebuah program saja, dengan Desa sebagai pelaksananya. Pandangan semacam ini dalam berbagai hal mengakibatkan adanya kecenderungan pendekatan yang berlebihan kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam melihat Desa.

Dengan kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan?

Desa harus terus bergerak secara kreatif dan inovatif sehingga ruang-ruang kewenangannya banyak terisi oleh gagasan-gagasan penguatan Desa itu sendiri.[*]

Ditulis oleh Bayu Setyo Nugroho
Kepala Desa Dermaji, Banyumas, Jawa Tengah

28 Juni 2018

Dana Desa dalam Padat Karya Tunai

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir karena ketidakseimbangan pola pembangunan antara desa dan kota. Jika kita lihat data tentang stunting, pengangguran, setengah penganggur, dan tingkat kesenjangan pendapatan akan menyumbang angka kemiskinan yang tinggi di perdesaan.
Pelaksanaan Padat Karya Tunai di Desa/Foto: Sumadi Arsyah
Data resmi dari BPS Maret 2017, warga miskin di desa 13,93% dan di kota 7,72%. Perbandingannya mendekati kisaran 2:1, yang artinya jumlah warga miskin di desa hampir dua kali lipat warga miskin di kota.

Untuk mengatasi kesenjangan ini pemerintah Jokowi menggulirkan program Dana Desa yang setiap tahunnya mengalami kenaikan signifikan kecuali pada 2018. Total dana desa yang sudah dikucurkan sejak 2015 sampai 2018 mencapai Rp 187,74 triliun. Kita bisa bayangkan jika uang ini dikelola tepat sasaran, tidak akan ada lagi gizi buruk, pengangguran, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan lainnya.

Pola pengelolaan yang dibangun dari penggunaan dana desa selama 3 tahun pertama porsinya lebih banyak pada pembangunan infrastruktur yang belum terkendali dengan semestinya, karena masyarakat desa kurang dilibatkan. Sehingga proses perencanaan pembangunan tidak tepat sasaran, dan rawan korupsi.

Belum lagi seorang kepala daerah yang tidak bersinergi dengan desa. Pembangunan infrastruktur di desa akan berarti apabila pembangunan jalan-jalan kabupaten dan provinsi terhubung dengan baik. Masih banyak kepala daerah abai terhadap desa, karena belum maksimum memberikan pembinaan dan pengawasan terkait pencapaian standar pelayanan minimal pembangunan dan pemberdayaan di desa.

Alih-alih untuk mengentaskan kemiskinan, justru dana desa bisa menjadi bencana apabila tidak paham cara pengelolaannya. Dasar pengelolaannya ini berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakat desa itu dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di desa. Tahapannya diawali dari musyawarah desa, penyusunan RKPDesa, sampai pada penetapan APBDesa yang disusun tepat waktu.

Selama 3 tahun pertama, target untuk mengentaskan kemiskinan di desa masih jauh dari harapan. Data Indeks Desa Membangun sebagai tolok ukur pembangunan di desa belum mengubah wajah desa. Jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal mencapai 60% dari total desa. Bahkan, di Papua mencapai 96% dari total desa. Artinya, kesenjangan masih menganga di Republik ini.

Padat Karya Tunai

Gerakan Saemaul Undong di Korea dapat dijadikan proyek percontohan pembangunan desa di Indonesia. Kesuksesan gerakan ini diindoktrinisasi secara vertikal dan horizontal. Vertikalnya, pemerintah mengucurkan dana sekaligus menempatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sebagai subjek. Horizontalnya, menggagas semangat menolong diri sendiri dan kerja sama.

Bangsa Indonesia dari zaman dahulu sudah memiliki modal awal pembangunan, yakni semangat gotong royong. Semangat ini akan terkikis habis bila tidak dipelihara, diajarkan, dan dilestarikan. Untuk mencapai konsesus nasional pembangunan, pemerintah sudah mengakuinya dalam kewenangan lokal berskala desa, dan kewenangan berdasarkan hak asal-usul. Kewenangan inilah sebagai aset desa untuk membangun dan memberdayakan masyarakatnya.

Program Padat Karya Tunai yang dimunculkan kembali dalam wajah baru pemerintahan Jokowi dapat menjawab permasalahan yang sedang dihadapi di desa. Ketentuannya, 30% dari seluruh kegiatan pembangunan dibayarkan untuk upah.

Sasaran dari program ini adalah keluarga yang mengalami gizi buruk, pengangguran, setengah pengangguran, warga miskin, petani, wanita dan laki-laki usia produktif yang tidak harus berpengalaman. Upah mereka dibayarkan setiap hari atau mingguan sesuai dengan standar harga di masing-masing daerah.

Manfaatnya meningkatkan produksi dan nilai tambah, perluasan kesempatan kerja sementara, penciptaan upah atau tambahan pendapatan, perluasan akses pelayanan dasar sekaligus mutunya, dan terbukanya desa terisolir.

Strateginya diawali dari persiapan pelaksanaan yang mencakup rencana kerja, data tenaga kerja lokal, identifikasi sumber daya lokal, dan pengadaan barang dan jasa. Tahapan selanjutnya pelaksanaan, pelaporan, dan pembinaan serta pengawasan.

Kelemahan yang terjadi di desa sering terjadi pada proses perencanaan. Pemerintah desa sering terlambat melengkapi dokumen RKPDesa dan APBDesa. Kebanyakan desa menyelesaikan proses pembuatan dokumen ini di tahun berjalan. Alhasil, pencairan pertama dana desa terjadi di pertengahan tahun. Tentu saja proses percepatan pembangunan di desa menjadi terlambat.

Cara mengatasinya cukup mudah. Pendamping desa diberikan akses kemudahan memfasilitasi pemerintah desa dalam percepatan pembuatan dokumen tersebut. Jangan sampai pembuatan dokumen-dokumen ini dipihakketigakan sehingga akan muncul tawar-menawar harga. Pendamping desa harus siap memfasilitasi proses pembuatannya.

Supaya Program Padat Karya Tunai berkelanjutan, pendamping desa haruslah independen. Pembinaan dan pengawasan pendamping desa jangan lagi di bawah pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat. Proses pengadaannya diserahkan pada panitia seleksi nasional. Pada tahapan akhir, pendamping desa menginduk pada komisi pendamping profesional yang berdiri sejajar dengan lembaga atau badan nasional.

Saat ini jumlah pendamping profesional dan pendamping teknis berkisar 227.629 yang tersebar di sembilan kementerian. Jika pendamping ini dipolitisasi, program percepatan pengentasan kemiskinan hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Kesimpulan

Model intervensi Program Padat Karya Tunai cocok dilaksanakan pada wilayah pascabencana, rawan pangan, pascakonflik, desa tertinggal dan sangat tertinggal untuk mengurangi jumlah pengangguran dan masyarakat miskin sehingga produktivitas, pendapatan, dan daya beli masyarakat meningkat.

Jika model ini berhasil dilaksanakan, maka segitiga keseimbangan akan tercipta di desa. Keseimbangan ekonomi, keseimbangan sosial, dan keseimbangan lingkungan adalah ciri-ciri sebuah desa itu sudah maju dan mandiri. Jika sudah maju dan mandiri maka migrasi, urbanisasi, serta pengiriman TKI yang rawan dihukum mati niscaya tidak terjadi.(*)

Oleh Marudut H. Panjaitan pemerhati pendidikan, aktif di pemberdayaan masyarakat desa dan relawan Jokowi Centre.

(Sumber: Detik.com)

15 April 2018

Dana Desa dan Transformasi Berdesa

Kehadiran UU No 6 Tahun 2014 diyakini banyak kalangan, terutama masyarakat desa, sebagai produk hukum satu-satunya yang membela desa.

Undang-undang itu menunjukkan standing position negara yang sebenarnya terhadap desa. Sebelumnya, tidak pernah ada terobosan hukum yang berani berada di garis depan untuk membela desa. Produk hukum sebelumnya, UU No 5/1979 tentang Desa yang dibuat Orde Baru, hanya menghasilkan keganasan rezim sentralisasi atas desa.
Kehadiran UU No 6 Tahun 2014 diyakini banyak kalangan, terutama masyarakat desa, sebagai produk hukum satu-satunya yang membela desa.  Undang-undang itu menunjukkan standing position negara yang sebenarnya terhadap desa. Sebelumnya, tidak pernah ada terobosan hukum yang berani berada di garis depan untuk membela desa. Produk hukum sebelumnya, UU No 5/1979 tentang Desa yang dibuat Orde Baru, hanya menghasilkan keganasan rezim sentralisasi atas desa.

Desa diseragamkan dan dijadikan objek segala bentuk kebijakan pemerintah yang dikendalikan Jakarta. Kebijakan top down dan perencanaan dari atas masuk ke desa, mulai program KUD (Koperasi Unit Desa), Revolusi Hijau, sampai Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program-program itu gagal melahirkan transformasi desa menjadi desa yang mandiri, maju, dan sejahtera.

Program revolusi hijau sendiri sebenarnya merupakan program monumental dari hasil pemikiran William Gaud (1968) yang meniru masifnya perubahan pertanian di Meksiko 1945. Waktu itu revolusi pertanian Meksiko dijalankan dengan memperkuat riset terhadap bibit unggul, intensifikasi, dan ekstensifikasi pertanian serta peningkatan infrastruktur pertanian.

Hasilnya, pada 1956, Meksiko memenuhi kebutuhan gandum domestik dan bahkan sebagiannya dicadangkan untuk musim paceklik. Program Revolusi Hijau kemudian diadopsi Orde Baru menjadi program prioritas di bidang pertanian.

Banyak studi menunjukkan program-program itu gagal karena masyarakat desa hanya dijadikan sebagai objek. Akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, petani mengalami keterasingan dari lahan pertanian sendiri.Studi Hans Antlov (2003) yang kemudian menjadi buku monumental dengan judul Negara Dalam Desa-Patronase Kepemimpinan Lokal menunjukkan proyek menjadikan desa sebagai objek juga menghasilkan desa yang mengalami desakralisasi politik yang memberikan keleluasaan terhadap negara untuk mencaplok sumber daya desa demi kepentingan kekuasaan.

Ketika Orde Baru runtuh pada 1998, ada harapan yang sangat kuat bahwa negara tidak lagi memperlakukan desa secara diskriminatif. Namun, fakta menunjukkan perlakuan diskriminatif negara bergeser ke pemerintah daerah. Berbagai produk undang-undang, mulai UU No 22 Tahun 1999 sampai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, melahirkan model baru pengendalian terhadap desa. Di bawah payung otonomi daerah, desa dijadikan sebagai anak tiri pemerintah kabupaten, dianggap remeh, dan bahkan dipandang sebelah mata. Desa bersusah-payah merumuskan program perencanaan dalam forum musrenbangdes (musyawarah rencana pembangunan desa).

Eksekusinya sangat bergantung pada kebaikan hati pemerintah kabupaten dan bahkan banyak hasil musrenbangdes yang dibuang ke tong sampah dengan alasan tidak ada anggaran. Di sisi yang lain, pemerintah kabupaten cuci tangan terhadap persoalan-persoalan desa yang paling mendasar, seperti masalah air bersih, listrik, dan jalan desa. Sumber daya manusia desa pun tidak diperhatikan pemerintah daerah dan sengaja dibiarkan tidak berdaya.

Dana desa dan kelakuan rezim

Dana desa yang berasal dari APBN tentu saja membawa angin segar terhadap desa. Bagaimana pun, adanya dana desa memberikan keadilan terhadap desa sama dengan struktur pemerintahan yang lain, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang selama ini memperoleh dukungan APBN yang sangat signifikan. Pemerintah pun memiliki komitmen yang kuat. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengatakan, pada 2016 dana desa akan ditingkatkan menjadi Rp46,6 triliun dari sebelumnya Rp20,7 triliun untuk 74,093 desa di Indonesia (Kompas, 16 Maret 2016). Perlu diakui komitmen dan dukungan dana desa sudah mulai membawa perubahan dan kemajuan yang signifikan di desa.

Dalam program fasilitasi pembuatan RPJMDes (rencana pembangunan jangka menengah desa) di 65 desa di Sumba Tengah pada 2015, kami elihat gelora dan semangat berdesa yang muncul kembali di desa sejalan dengan penyaluran dana desa. Studi Sutoro Eko (2015) menunjukkan ada sedikitnya 2.657.916 pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja baru di desa yang merupakan dampak mengalirnya dana desa ke desa.

Ini merupakan bagian dari cash for work bagi desa. Jika dihitung rata-rata, setiap desa pada 2015 mendapat sekitar 360 juta dan pada 2016 meningkat 100% menjadi sekitar 620 juta per desa. Jumlah ini memang masih jauh dari janji yang disampaikan dalam kampanye Presiden Jokowi pada Pemilu 2014, yaitu setiap desa memperoleh sekitar Rp1,4 miliar.

Selama ini, desa mengalami problem ketiadaan anggaran untuk mendukung program pemerintah, seperti air bersih, listrik desa, dan jalan desa. Melalui dana desa, semua kebutuhan desa yang terkait dengan infrastruktur dasar akan terpenuhi walaupun jumlahnya belum memadai. Namun, yang sangat dikuatirkan ialah munculnya beberapa persoalan terkait dengan dana desa. Pertama, masalah sinkronisasi aturan di tingkatan pemerintahan.

Masuknya dana desa melalui rekening pemerintah daerah menutup ruang bagi pemerintah daerah untuk menyalurkan alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari APBD. Padahal, porsi ADD yang harus dialokasikan daerah ke desa mencapai 10% dari APBD dari dana perimbangan pemerintah daerah yang diterima dari pemerintah pusat. Di sini kita sangat membutuhkan supervisi dan atensi publik untuk menekan kewajiban pemerintah daerah agar jangan lupa menyalurkan ADD dan jangan mengklaim dana desa sebagai dana kabupaten. Jika demikian yang terjadi, rezim daerah berarti berkelakuan parasit dan memanfaatkan skema desentralisasi untuk mengendalikan desa.

Kedua, masuknya tenaga pendamping desa yang terdiri atas tenaga pendamping profesional dan kader pemberdayaan masyarakat desa. Di satu sisi, itu akan memberikan kemudahan bagi desa dalam membuat administrasi dan teknis pelaporan keuangan. Namun, di sisi yang lain, perekrutan mereka yang langsung dibawa Menteri PDT bernuansa politis sehingga diragukan tenaga pendamping itu akan mampu membawa perubahan di desa. Bisa jadi tenaga pendamping desa itu akan menjadi parasit baru yang ikut menggerus dana desa untuk tujuan-tujuan politik.

Berdasarkan data 2015, dana desa ternyata tidak semata-mata digunakan untuk infrastruktur, tetapi juga digunakan untuk pemerintah desa (5,49%), kemasyarakatan 2,63%, pemberdayaan 2,50%, dan infrastruktur hanya 89,39% (Marwan Jafar, 2016). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dana desa mempunyai peluang penyimpangan yang sangat tinggi. Karena itu, kontrol dan perhatian multipihak sangat penting untuk meminimalkan penyimpangan dana desa. Apabila desa tertib dan disiplin dalam menggunakan dana desa, transformasi berdesa, cepat atau lambat, akan tercapai.

Transformasi ini menyangkut banyak hal, antara lain perubahan tata kelola pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan dan kemasyarakatan yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera. Dengan sendirinya, pandangan sinis terhadap desa akan berlalu sejalan dengan perubahan wajah desa menjadi desa self help dan Dengan demikian, di masa mendatang, pendapatan asli desa (PADes) menjadi kata kunci kemajuan. Desa diharapkan tidak bergantung lagi pada APBD dan APBN.

Oleh Gregorius Sahdan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD "APMD" Direktur The Indonesian Power for Democracy (IPD).

Sumber: Media Indonesia.

19 Maret 2018

Desa, Pemda, dan Swasta

Penandatangan ratusan naskah kesepahaman (MoU) segitiga antara kementerian, pemda, dan swasta menandai Jakarta Food Security Summit pada 8-9 Maret 2018. Ini ikhtiar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) guna melambungkan kemakmuran warga melalui kerja sama antardesa dengan korporasi pertanian.

Kuantum kebijakan memang dibutuhkan demi menggerakkan ekonomi desa. Sebab, meski diguyur dana desa Rp 127 triliun sepanjang 2015-2017, pendapatan warga tak beranjak dari kisaran Rp 710.000/kapita/bulan. Persentase kemiskinan perdesaanpun bergeming di 14 persen.

Titik terang muncul dari 40 persen golongan menengah perdesaan. Selama periode itu proporsi pengeluaran mereka naik 2,51 persen. Artinya, merekalah yang menjadi penggerak produksi dan konsumsi desa saat ini. Dukungan korporasi meluaskan peluang usaha dari dalam desa, sembari menambah ruang profit swasta melalui partisipasi memakmurkan desa.

Persoalannya, walaupun kerja sama desa dan swasta mendapat legitimasi UU No 6/2014 tentang Desa Pasal 93, implementasinya selama ini terjegal lontaran pemikiran sepihak. Baru-baru ini, pemerintah mewacanakan penghapusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang dirancang saban enam tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) yang tersusun tahunan.

Baca: Menjawab Kekhawatiran Dana Desa.

Alasannya, menurut Permendagri No 114/2014 kerja sama dengan swasta harus tercantum terlebih dulu dalam kedua dokumen, sehingga menghambat investasi desa. Sebaliknya, pihak di luar pemerintah mencurigai niat buruk swasta sekadar menggangsir surplus dari desa.

Memahami Prukades

Kedua sisi pemikiran sebenarnya mengandung celah yang dapat dipadukan. Lampiran UU Desa menyintesiskan kaidah pembangunan desa dari atas dan desa membangun dari bawah. Paham hibrida desa ini membuka peran pemerintah guna merekognisi desa, bersamaan penguatan wewenang desa berasas subsidiaritas (Pasal 3).

Asas rekognisi telah diimplementasikan berujud peresmian kode wilayah sebagai pangkal pencairan dana desa. Kini, Program Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) meluaskan ranahnya ke luar dana desa, yaitu menghubungkan swasta ke sekelompok desa yang bekerja sama di satu kabupaten.

Pemerintah daerah bertemu dengan pihak swasta untuk menjalin kerja sama dalam program Prukades di Jakarta, Jumat (2/3). Prukades dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Guna menghentikan prasangka dan menjahit kepercayaan antarpihak, entitas penting Prukades ialah kemitraan bupati, kepala desa, dan pimpinan perusahaan. Kesigapan bupati menjamin pupusnya rente usaha, sekaligus membabat masalah lapangan yang lazim muncul di tengah kemitraan usaha.

Kesediaan pengusaha menyusun perikatan dengan desa memastikan nilai tambah komoditas pertanian terbagi adil antarpihak. Apalagi, swasta dapat menyediakan benih, penyuluh perusahaan, pabrik pengolah hasil, dan menerima produk akhir (offtaker).

Kerja sama antardesa mengejawantahkan asas subsidiaritas, sehingga koersi dengan memaksa kepala desa haram dijalankan. Upaya halal ialah mengajak kepala desa mengalkulasi perbandingan manfaat dan dampak kerja sama. Sepanjang 2017 alokasi untuk permodalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) rata-rata Rp 53 juta/desa.

Jika dijalankan tiga pengurus dengan honor Rp 1.250.000/orang/bulan, ditambah biaya tetap Rp 250.000/bulan, maka dana untuk usaha tinggal hanya tersisa Rp 5 juta/tahun. Artinya, tak ekonomis bagi BUMDes untuk berusaha sendiri-sendiri di tiap desa.

Peternak di Desa Selorejo, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tengah memungut telur dari rak. Dua bulan jelang puasa, permintaan telur tengah lesu.

Padahal, dengan jumlah desa tiap kabupaten rata-rata 160, pembentukan BUMDes Bersama mampu mengakumulasi dana segar Rp 8,5 miliar. Ini modal kerja yang besar, tanpa bunga, dapat tersedia saban tahun. Sehingga, BUMDes Bersama mampu menggaji tiga pengurus secara layak, sambil berbisnis pada skala ekonomi optimal.


Kerja sama desa dalam perekonomian secara alamiah terjalin berabad-abad lalu. Lima hari pasaran Jawa mengekor pola perpindahan pasar di tiap lima desa: satu desa pusat (krajan) dan empat desa pinggiran sesuai penjuru angin. Pola itu direkayasa menjadi pembangunan kawasan perdesaan sejak 1970-an. Sayang, kawasan sulit berkembang, lantaran hasil panen terlunta-lunta di belantara tengkulak.

Maka, Prukades membalik prosesnya, dengan menemukan korporasi pertanian terlebih dahulu. Setelah swasta mengikat janji untuk menerima produk (offtaker), barulah proses pembentukan kawasan dimulai.

Berbasis asas rekognisi, pemerintah wajib menjaga hak kepemilikan lahan warga dan hak pemerintah desa atas asetnya. Contohnya, investasi swasta Rp 1,7 triliun di Sumba Timur tak mengubah sertifikat tanah. Justru, BUMDes Bersama menggalang hasrat kerja petani dan menjadi wakil desa kala berkomunikasi bisnis. Ketua BUMDes Bersama berwenang memutuskan aspek strategis dalam bisnis di kawasan Prukades.

Birokrasi pemerintah perlu membuka mata adanya praktik baik dan mengubah orientasi kinerja pada manfaat kesejahteraan warga. Ini menjadi patokan baru penyusunan kebijakan, pencegahan penyuapan dan rente birokrasi, sekaligus menjaga arus manfaat yang adil bagi warga.


Hampir seluruh Prukades memproduksi tanaman semusim, sehingga keberhasilannya segera teruji pada Agustus-September 2018 saat Badan Pusat Statistik menggelar survei penyusun informasi partisipasi kerja dan pengukur kemakmuran warga.

Oleh: Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan IPB
Sumber: Kompas.com

11 Januari 2018

Angka Kemiskinan Satu Digit

Harian Kompas minggu lalu menulis berita yang memberi harapan, bahwa tahun ini tingkat kemiskinan di Indonesia akan di bawah 10 persen. Akan tetapi, setiap kali pemerintah mengembangkan program, rangkaian kegiatan umumnya tidak terfokus sehingga pada akhir tahun pencapaian tidak mengena.

Angka Kemiskinan Indonesia Satu Digit

Pengalaman ini berlangsung sangat lama. Zaman Presiden Soeharto, perencanaan dan arahan program dilakukan bertahap dengan sasaran jelas sehingga pada 1997 kita mendapat penghargaan PBB karena berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 70 persen pada 1970 menjadi 11 persen.

Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita tak mengikuti arahan. Memang ada strategi Millennium Development Goals (MDGs), tetapi tak dikawal ketat sehingga target tidak tercapai.

Ada alasan kenapa kita berharap akhir tahun ini angka kemiskinan berada pada single digit. Selama tiga tahun berturut-turut, pemerintah melaksanakan pembangunan besar-besaran dan sungguh-sungguh dari desa dan daerah pinggiran. Arahan Presiden Joko Widodo ini sangat tepat karena desa yang disasar.

Di samping mulai dari pinggiran dan melayani desa yang lokasinya jauh dan tidak pernah terjangkau, kita perlu konsentrasi membangun dengan skala besar pada desa-desa padat penduduk dan keluarga miskin.

Bangun Keluarga Miskin

Desa pinggiran yang tak pernah terjangkau dan fasilitasnya buruk memerlukan perhatian lebih. Namun, karena penduduknya biasanya sedikit, maka perlu diimbangi perhatian besar pada desa-desa padat penduduk keluarga miskin. Jika tidak, dampak nasional dalam hal pengentasan orang miskin akan sangat rendah. Biarpun dalam titik awal dan program yang dikembangkan belum secara khusus ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara langsung, kita bisa membaca hasil awal dari upaya pengembangan ekonomi rakyat desa itu agar lebih sistematis pelaksanaannya ke masa depan.

Yang menggembirakan, dalam tiga tahun ini rakyat dapat melihat dan menyaksikan komitmen Presiden Jokowi, terbukti dari seriusnya pemerintah memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, yang bersama aparat dan kementerian lain mengawal pembangunan dengan prioritas tinggi di pedesaan. Bukti nyata lain adalah dana desa yang setiap tahun meningkat tajam.

Lebih dari itu, menurut status pada 31 Desember 2017, pagu dana desa tahun anggaran 2017 adalah Rp 60 triliun. Dana itu telah ditransfer ke 33 provinsi, 434 kabupaten/kota, 6.453 kecamatan, dan 74.910 desa.

Dana desa yang ditransfer dari pusat ke kabupaten/kota mencapai 100 persen. Dana desa yang ditransfer dari kabupaten/kota ke desa mencapai 94 persen. Artinya, kecepatan penyerapan dana desa pada tahun anggaran 2017 bertahan konsisten tinggi.

Dana Desa

Penyerapan dana desa masih sangat variatif, tetapi penggunaan tertinggi—sesuai kebijakan pemerintah—adalah untuk pembangunan sarana dan prasarana desa, Rp 28 triliun atau 59 persen dari seluruh dana yang diturunkan. Namun, dibanding pada 2016, menurun 23 persen dari 82 persen. Penurunan persentase pembangunan sarana dan prasarana desa terjadi karena dana mulai dialihkan untuk kebutuhan dasar dan pemerintahan desa sehingga peran dana desa untuk kebutuhan dasar naik 10 persen.

Pengalihan pada pemenuhan kebutuhan dasar keluarga miskin ini sangat tepat, dan di kemudian hari berakibat langsung pada penurunan tingkat kemiskinan.

Dari segi proses, agar pembangunan desa berjalan lancar, diusahakan ada pendamping desa dengan proporsi satu pendamping untuk 4 desa sehingga jumlah tenaga pendamping yang tersedia seluruhnya sekitar 40.000.

Pendampingan diketahui mengurangi 7 persen kendala dalam administrasi keuangan desa. Saat ini sedang dikembangkan pendampingan dari kalangan dosen dan mahasiswa KKN dari berbagai perguruan tinggi. Diharapkan, pada 2018 akan berfungsi lebih luas dibandingkan sebelumnya.

Para pendamping akan dikembangkan juga dari para relawan di kemudian hari berfungsi ganda, mengawasi agar dana digunakan tepat dan tidak diselewengkan dan membantu pemberdayaan keluarga miskin agar dana bantuan dapat dimanfaatkan untuk keperluan produktif, laku jual, dan menguntungkan.

Kelompok sosial di desa dan mahasiswa KKN bisa menjadi pendamping sukarela dan membantu pemberdayaan keluarga miskin memanfaatkan dana desa ataupun dana yang disalurkan melalui berbagai dinas dari banyak kementerian, ataupun berbagai lembaga lainnya.

Dari segi pelaporan yang terbuka untuk umum, dicatat hasil pembangunan sarana dan prasarana desa meliputi jalan desa sepanjang 21.423 kilometer, jembatan sepanjang 103 km, dan tambatan perahu 986 unit.

Dapat dicatat pula hasil pembangunan prasarana kebutuhan dasar pendidikan anak usia dini berupa sarana PAUD 3.092 unit, prasarana kebutuhan dasar kesehatan berupa air bersih 42.209 unit, sumur 6.334 unit, sarana kakus atau MCK 22.049 unit, drainase 32.788 unit, pelayanan untuk ibu hamil dan anak balita 20.303 unit, poliklinik desa 2.568 unit, dan sarana olahraga pada 12.794 desa yang telah dimanfaatkan anak muda setiap desa.

Pendidikan dan Kesehatan

Pada 2018 upaya melengkapi keperluan pendidikan dan kesehatan selain bersumber dari dana desa, ada pula yang bersumber dari dana masing-masing kementerian. Penyediaan dana dalam bidang pendidikan anak usia dini akan memungkinkan anak keluarga muda dan miskin masuk PAUD sehingga ibunya bisa bekerja meningkatkan pendapatan keluarga, dan otomatis mengurangi kemiskinan keluarganya.

Perbaikan fasilitas kesehatan di desa, seperti MCK, posyandu, dan polindes, akan mengurangi risiko sakit bagi keluarga muda dan miskin sehingga mereka bisa sehat dan bekerja.

Untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam, ada pembangunan embung desa 881 unit, penahan tanah dari longsor 13.660 unit, pembangunan dan perbaikan irigasi 12.829 unit.

Untuk pengembangan hasil potensi ekonomi lokal, dana desa, biarpun pada tingkat awal, juga dimanfaatkan untuk membangun atau memperbaiki 4.161 pasar desa sejalan dengan pembangunan badan usaha milik desa (BUMDes) pada sekitar 19.921 desa. Pembangunan BUMDes diharapkan akan diperkaya dengan menarik dan mengajak lembaga-lembaga desa di masa lalu yang dibangun oleh PKK.

Gairah pasar kerja yang makin tinggi di luar bidang pertanian memungkinkan penduduk desa bekerja di luar bidang pertanian sesudah menggarap sawah dan kebunnya. Ini otomatis meningkatkan pendapatan keluarga.

Upaya melalui BUMDes memang belum memberikan hasil luar biasa, tetapi pada 2018 pengembangan BUMDes akan lebih cepat. Apabila tidak terganggu dengan kegiatan politik, pendapatan masyarakat dan keluarga desa akan meningkat tajam.

Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja di tingkat pedesaan meningkat 0,08 persen, sebagaimana diindikasikan rasio penduduk bekerja terhadap jumlah penduduk usia kerja (employment to population ratio/ EPR) sebesar 66,16 persen. Rasio ini menginformasikan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja.

Upaya selama tiga tahun ini relatif masih konsentrasi pada pengembangan sarana dan prasarana sesungguhnya belum diharapkan meningkatkan upah buruh. Namun, secara keseluruhan, upah buruh, karyawan, dan pegawai meningkat Rp 30.000 menjadi Rp 2,03 juta per bulan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) sedikit menurun 0,51 persen (menjadi 4 persen). Biarpun sedikit, tetapi berdampak karena jumlah penganggur menurun 300.000, menjadi 2,39 juta jiwa.

Dari segi dampak belum dapat dilihat secara jelas melalui penurunan tingkat kemiskinan karena dana untuk pemberdayaan belum dikembangkan signifikan. Karena itu, tingkat kemiskinan hanya turun 0,18 persen.

Jumlah penduduk miskin turun 570.000 jiwa dan indeks kedalaman kemiskinan (P1) menurun 0,25 persen. Artinya, rata-rata pengeluaran bulanan orang miskin meningkat semakin mendekati garis kemiskinan.

Indeks keparahan kemiskinan (P2) menurun 0,12 persen, artinya ketimpangan pengeluaran di antara orang miskin menurun sehingga ketimpangan pedesaan—biarpun relatif kecil terlihat menurun, ditunjukkan oleh penurunan rasio gini 0,007.

Harapan kita, apabila konsentrasi pada 2018 ditambah dengan rencana pengembangan padat karya dan diprioritaskan pada keluarga miskin di daerah padat penduduk, tidak mustahil angka kemiskinan akan ditandai dengan angka satu digit atau setidak-tidaknya dekat dengan angka satu digit. Insya Allah.

Oleh: Haryono Suyono, Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan 1998-1999. 
(Sumber: Harian Kompas, 11 Januari 2018).

09 September 2017

“Good Governance” dan Dana Desa

Pembangunan daerah dan desa menjadi salah satu agenda pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawacita ketiga. Bunyinya, ”Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pembangunan selama ini fokus di perkotaan, kini di balik dari perdesaan.

Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Terkait pembangunan desa, Widjaja (2004) mengatakan desa yang otonom akan memberi ruang gerak luas perencanaan pembangunan. Dia tidak banyak terbebani program kerja berbagai instansi dan pemerintah. Untuk melakukan otonomi desa segenap potensi baik kelembagaan, sumber daya alam, maupun manusia harus dioptimalkan.

Selama ini, desa mungkin lebih dijadikan objek pembangunan atau bahkan pelengkap penderita. Sonny Mumbunan (2010) mengatakan sekalipun desa merupakan tulang punggung republik, secara umum ringkih lantaran mayoritas terbelakang dan miskin. Secara struktural, keterbelakangan dan kemiskinan dapat ditelusuri dari pembatasan terlembaga atas potensi desa. Pemberdayaan desa dapat dicapai, antara lain melalui politik fiskal yang secara sengaja memobilisasi sumber daya keuangan untuk dialokasikan ke desa. Mobilisasi sumber daya fiskal yang mengabdi pada tujuan-tujuan pengembangan desa.

Realisasi Dana Desa terus naik dari 20,76 triliun rupiah pada 2015 menjadi 46,98 triliun rupiah tahun 2016. Kemudian menjadi 60 triliun tahun 2017 dan tahun depan diperkirakan mencapai 100 triliun. Namun demikian, peringatan awal mengenai penyalahgunaan dana desa sudah muncul. KPK pada 3 Agustus 2017 telah menerima 362 laporan penyalahgunaan dana desa.

Beberapa kepala desa sudah diproses secara hukum, bahkan sudah masuk penjara karena tergoda dana desa. Memang kecil dibanding penerima dana desa dari 74.000 desa. Pemerintah telah menetapkan good governance (GG) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan untuk memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Bila prinsip-prinsipnya ditaati dengan baik, tercipta tata kelola pemerintahan yang baik serta clean and clear.

Namun, sampai kini harapan tersebut jauh panggang dari api. Uang negara beredar di pusat-pusat kekuasaan provinsi dan kabupaten/kota tidak kunjung melahirkan pelayanan prima masyarakat yang menjadi tujuan GG.

Sesuai dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang. Ini termasuk segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa.

Sementara itu, dalam Pasal 72 Ayat (1) disebutkan pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota. Kemudian, dari alokasi dana desa yang merupakan bagian dana perimbangan, bantuan keuangan APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Ada juga hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Dalam penjelasan Pasal 72 Ayat (2), besaran alokasi anggaran langsung ke desa, ditentukan 10 persen dari dan di luar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. Dalam penyusunan dana desa dari APBN mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi. Rata-rata setiap desa akan mendapat 1,4 miliar.

Pengalokasian dana desa diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pembangunan kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan publik, memajukan perekonomian, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, serta memperkuat masyarakat sebagai subjek pembangunan. Karena itu, pengelolaan dana desa harus memenuhi kaidah GG yang menjadi pedoman dalam tata kelola pemerintahan.

Prinsip GG

Good dalam GG berarti menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan dapat meningkatkan kemampuan warga mencapai kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial. Kemudian juga berarti aspek fungsional pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan mencapai tujuan tersebut (Sedarmayanti, 2003).

Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan prinsip-prinsip GG. Menurut UNDP, prinsip-prinsip GG adalah partisipasi warga, supremasi hukum, transparan, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan bervisi strategis.

Menurut Talcott Parson, ciri-ciri masyarakat desa (gemeinschaft) adalah afektivitas, yakni hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa tolong-menolong. Orientasi kolektif, artinya meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak (enggan) berbeda pendapat. Partikularisme, yaitu semua yang berhubungan khusus dengan daerah tertentu saja, perasaan subjektif, dan rasa kebersamaan.

Askripsi adalah berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang disengaja. Namun, lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan. Kekaburan adalah sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antarpribadi, tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit.

Kepala desa biasanya mengenal banyak warga. Sebaliknya, rakyat sangat mengenal kepala desa dan perangkatnya. Mereka lebih condong kepada hubungan kekeluargaan daripada formal pemerintahan. Hubungan individual pamong dan warga juga sangat intensif nonformal. Mereka bisa berkomunikasi langsung setiap saat.

Di Jawa, kepala desa dan perangkatnya dikenal dengan sebutan pamong desa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pamong desa adalah orang-orang yang menangani pemerintahan (administrasi) desa. Namun, kata pamong sendiri memiliki arti pengasuh, pendidik, dan pengurus. Maka, pamong desa harus menjalankan fungsi mengasuh, mendidik, dan mengurus warga. Inilah yang membuat seorang kepala desa dan perangkatnya harus bisa melayani warga 24 jam. Ciri afektif ini akan mendorong prinsip peduli pada stakeholder dan partisipasi masyarakat dalam prinsip GG.

Kedekatan individual dan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari melahirkan kontrol sosial yang hidup menjadi nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Dalam sebuah desa mereka saling tahu sumber ekonomi setiap warga. Tanpa disadari pula telah eksis budaya transparansi dan akuntabilitas di setiap desa, apalagi desa adat. Kontrol sosial ini sangat efektif dan efisien.

Misalnya, ada seorang warga yang mendadak kehidupan ekonominya membubung tinggi. Ini akan menjadi pembicaraan warga. Secara cepat masyarakat tahu asal kekayaan tersebut. Kontrol sosial melekat ini membuat masyarakat desa akan sangat berhati-hati dalam bertindak, apalagi berbuat jahat. Budaya ini akan melahirkan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan supremasi hukum.

Sementara itu, prinsip berorientasi pada konsensus, kesetaraan dan visi strategis terwujud dalam orientasi kolektif. Artinya, meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, enggan berbeda pendapat. Masyarakat desa terbiasa bermusyawarah untuk mufakat yang mengandung konsensus, kesetaraan dan visi strategis yakni gotong royong. Prinsip gotong royong ini juga akan melahirkan kinerja yang efektif dan efisien. 

Penulis Mahasiswa Program Doktoral IPDN Jakarta
Sumber: http://www.koran-jakarta.com.