Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan

08 September 2018

Kreasi Desa di Ruang Kewenangannya

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi harapan baru bagi masyarakat desa. Ditegaskan, kewenangan yang lebih luas dan jelas kepada desa. Dengan dukungan anggaran yang relatif besar, Desa dengan kewenangannya mampu melakukan upaya mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat Desa.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.

Pada masa perjalanan sampai keempat UU Desa, ada beberapa catatan penting.

Pertama, sudah banyak muncul inovasi dan kreatifitas Desa dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pengembangan berbagai usaha desa yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), penguatan usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh masyarakat, layanan e-commerce, dan sebagainya.

Kedua, komitmen Pemerintah Desa untuk melakukan transparansi lebih kuat. Infografik APBDesa dibuat oleh desa-desa. Dipasang di tempat strategis yang mudah dibaca oleh masyarakat. Papan informasi kegiatan pembangunan juga dipasang dengan memuat uraian besaran anggaran. Termasuk, diunggahnya dokumen APBDesa dan informasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di website desa.

Ketiga, kendati demikian masih sering terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman dari para pelaksana. Baik di level Pemerintah Pusat, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa terkait aturan tentang proses pembangunan, pengelolaan keuangan, serta pengadaan barang dan jasa di Desa.

Keempat, upaya pembinaan dan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Desa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan belum optimal.

Kelima, titik perhatian dalam pelaksanaan UU Desa masih soal seputar Dana Desa. Soal bagaimana proses yang dilakukan oleh seluruh komponen yang ada di Desa dalam membangun Desa belum banyak mendapat perhatian.

Praktik baik telah berkembang melembaga dalam pembangunan Desa. Saat ini, berbagai praktik baik dalam tata kelola desa bermunculan. Praktik baik itu bisa terkait dengan upaya peningkatan pelayanan publik, proses perencanaan pembangunan, peningkatan partisipasi dan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, transparansi, pengembangan sistem informasi desa, dan pengembangan ekonomi desa. 

Kewenangan Desa yang menjadi amanat UU Desa telah memberi jalan bagi Desa untuk bergerak maju secara kreatif. Ada semangat yang tumbuh dalam diri desa untuk memanfaatkan potensi yang ada secara lebih optimal. Kewenangan desa telah memberikan ruang besar bagi Desa memberdayakan dirinya.

Namun demikian, harus diakui bahwa ditengah berbagai praktik baik itu masih banyak kekurangan. Problem masih kurang efektifnya koordinasi antar lembaga yang mengurusi desa, baik pada tingkat kementerian maupun Pemerintah Daerah masih menjadi problem serius yang mengakibatkan pelaksanaan UU Desa menjadi begitu rumit. Banyak regulasi yang dikeluarkan oleh kementerian untuk mengatur desa, tetapi seringkali regulasi tersebut kurang sinkron antara satu dengan yang lainnya. Sudah begitu, regulasi yang ada seringkali cepat berubah. Hal ini sangat menyulitkan desa.


Kekurangan lain adalah adanya pandangan yang melihat UU Desa sebagai sekedar pelaksanaan Dana Desa. Bahkan Dana Desa dianggap hanya sebuah program saja, dengan Desa sebagai pelaksananya. Pandangan semacam ini dalam berbagai hal mengakibatkan adanya kecenderungan pendekatan yang berlebihan kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam melihat Desa.

Dengan kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan?

Desa harus terus bergerak secara kreatif dan inovatif sehingga ruang-ruang kewenangannya banyak terisi oleh gagasan-gagasan penguatan Desa itu sendiri.[*]

Ditulis oleh Bayu Setyo Nugroho
Kepala Desa Dermaji, Banyumas, Jawa Tengah

20 Desember 2017

Macam-Macam Metode Perencanaan Partisipatif

Sifat pengelolaan pembangunan desa meliputi banyak aspek dan memiliki keterkaitan dengan banyak pihak, maka tidak dapat dihindari jika metode perencanaan partisipatif yang diperkenalkan ke desa juga banyak jenisnya. 

Dengan berbagai macam metode atau cara perencanaan partisipatif ini tentu sangat dipengaruhi oleh masing-masing pihak, baik instansi pemerintah maupun lembaga lainnya sesuai dengan kepentingannya.
Berbagai metode perencanaan partisipatif yang langsung melibatkan peran masyarakat seperti ZOPP, PRA, dan RRA
Berbagai metode perencanaan partisipatif yang langsung melibatkan peran masyarakat, telah banyak dikenal. Berikut beberapa metode perencanaan partisipatif:

1. Metode ZOPP

Yaitu sebuah perencanaan proyek yang berorentasi kepada tujuan. ZOPP adalah singkatan dari kata-kata Ziel (tujuan), Orienterte (berorentasi), Projekt (proyek), dan Planung (perencanaan).

Perencanaan partisipatif melalui metode ZOPP ini dilakukan dengan menggunakan empat alat kajian dalam rangka mengkaji keadaan desa, yaitu kajian permasalahan, kajian tujuan, kajian alternatif (pilihan-pilihan) dan kajian peran.

Kajian permasalahan; dimaksudkan untuk menyidik masalah-masalah yang terkait dengan suatu keadaan yang ingin diperbaiki melalui suatu proyek pembangunan.

Kajian tujuan; untuk meneliti tujuan-tujuan yang dapat dicapai sebagai akibat dari pemecahan masalah-masalah tersebut.

Kajian alternatif (pilihan-pilihan); untuk menetapkan pendekatan proyek yang paling memberi harapan untuk berasil.

Kajian peran; untuk mendata berbagai pihak (lembaga, kelompok masyarakat dan sebagainya) yang berkaitan dengan proyek selanjutnya mengkaji kepentingan dan potensi.

Perencanaan dengan metode ZOPP mempuyai kegunaan untuk meningkatkan kerjasama semua pihak yang terkait, mengetahui keadaan yang ingin diperbaiki melalui proyek, merumuskan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan sebagai dasar pelaksanaan proyek. Mutu hasil dari perencanaan itu sangat tergantung pada informasi yang tersedia dan yang diberikan.

2. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)

Yaitu sebuah metode pendekatan belajar tentang kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan, dan oleh masyarakat desa sendiri. Pengertian belajar di sini mempuyai arti yang luas, karena meliputi juga kegiatan mengkaji, merencanakan, dan bertindak. 

Tujuan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) adalah untuk menghasilkan rancangan program yang lebih sesuai dengan hasrat dan keadaan masyarakat. PRA juga bertujuan memberdayaakan masyarakat, yakni dengan pengembangan kemampuan masyarakat dalam mengkaji keadaan mereka sendiri, kemudian melakukan perencanaan dan tindakan.

Sedangkan prinsip kerja metode PRA hampir sama dengan metode ZOPP. Perbedaanya, kalau metode PRA penekanannya lebih pada proses belajar masyarakat dan tujuan praktis untuk pembangunan program.

Penerapan metode PRA adalah untuk mendorong masyarakat turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat menyusun rencana dan tindakan. Metode PRA bersifat terbuka untuk menerima cara-cara dan metode baru yang dianggap cocok.

3. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)

yaitu sebuah metode yang digunakan sebagai langkah awal untuk memahami situasi setempat, pelaksanaanya dilakukan oleh suatu tim dan dilaksanakan dalam waktu yang singkat.

Metode ini dilaksanakan dengan menggali informasi terhadap hal-hal yang terjadi, kemudian mengamati dan melakukan wawancara langsung. Semua informasi tersebur diolah oleh tim untuk kemudian diumpanbalikkan kepada masyarakat sebagai dasar perencanaan.

Metode RRA ini lebih berfungsi sebagai perencanaan dari penelitian lebih lanjut, atau sebagai pelengkap penelitian yang lain, atau sebagai kaji-tindak untuk menyelaraskan antara keinginan masyarakat dan penentu kebijakan.

Pada prinsipnya ketiga jenis metode perencanaan partisipatif tersebut, mempunyai tujuan yang sama, yakni memberdayakan masyarakat dan kelembagaan desa serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.

Namun, metode perencanaan partisipatif yang telah ada ini, perlu diramu lebih sedemikian rupa dengan mendasarkan prinsip musyawarah dan gotong royong yang telah hidup berurat-berakar di masyarakat perdesaan. 

(Diringkas dari buku perencanaan partisipatif pembangunan masyarakat desa, P3MD, 1996).

20 Januari 2017

Mekanisme Transfer Dana Desa akan Diperbaiki

Pemerintah menyiapkan sejumlah skema untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan dana desa. Pada 2017, pemerintah akan mengalokasikan dana desa sebesar Rp 60 triliun atau naik hampir 10% dibanding alokasi tahun lalu yang sebesar Rp 47 triliun.

Membangun kemandirian desa

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Boediarso Teguh Widodo Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan, pihaknya akan meningkatkan koordinasi antarkementerian terkait, baik Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

"Selain itu, memperbaiki mekanisme penyaluran dana desa yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan, yaitu penyaluran didasarkan kepada kinerja pelaksanaan dan tidak lagi hanya berdasarkan kinerja penyerapan yang selama ini dilakukan," kata dia kepada Investor Daily, Rabu (18/1). 

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini penyaluran dana desa dilakukan dalam dua tahap, dimana tahap kedua bisa disalurkan apabila penyaluran dan penggunaan dana desa tahap pertama sudah disalurkan dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ke Rekening Kas Desa (RKD), dan digunakan di desa minimal 50%. Kedepan, persentase tersebut akan ditingkatkan, serta melihat capaian output.

Upaya lain, memperbaiki regulasi mengenai pengelolaan keuangan desa, melaksanakan pelatihan bagi perangkat desa dalam pengelolaan keuangan desa, mengoptimalkan peran tenaga pendamping desa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, hingga penyusunan pelaporan dan pertanggungjawaban. 

"Selain itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa, memperkuat peran camat dalam membina desa, dan tidak kalah pentingnya memberdayakan pengawasan masyarakat desa dalam pelaksanaan program/kegiatan di desa yang didanai oleh dana desa," tambah dia.

Untuk mencegah potensi overlapping pembangunan infrastruktur yang didanai melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dengan dana desa, menurut dia, pada dasarnya infrastruktur yang didanai melalui DAU dan DBH digunakan untuk mendanai kegiatan yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Berbeda dengan dana desa yang digunakan untuk mendanai infrastruktur berskala desa.

Adapun pengaturan mengenai penggunaan dana desa juga telah diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Selain itu, daerah didorong untuk menerbitkan peraturan kepala daerah mengenai pembagian kewenangan berskala desa untuk menghindari adanya duplikasi pendanaan.

"Dengan demikian, seharusnya ketiga jenis dana transfer untuk membiayai infrastruktur dasar publik dapat saling melengkapi dan mengisi, bukan justru menyebabkan overlapping apalagi crowding," tambah dia. 

Sementara terkait adanya dugaan penggunaan dana desa untuk pilkada, lanjut dia, perlu dilakukan penguatan pengawasan oleh aparat pengawasan fungsional di daerah serta penguatan pemantauan dan evaluasi.

Jalan Desa

Secara terpisah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengungkapkan dana desa yang disalurkan selama 2016 telah membangun 51.000 kilometer jalan desa di seluruh Indonesia.

Eko di Jakarta, Selasa (17/1), mengemukakan, dana desa juga telah membangun 412 ribu meter jembatan, 31 ribu unit MCK, dan 15.943 unit pengolahan air bersih yang dibangun oleh masyarakat desa. 

Selain itu, dana desa yang disalurkan pada 2016 juga telah membangun 9.727 sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 5.485 posyandu, dan 2.448 polindes.

Untuk sektor pertanian, lanjut Eko, sebanyak 11.626 sumur dibangun di desa daerah yang tidak ada sumber air, 1.058 tambatan perhau, 1.557 pasar desa, 628 embung desa dalam tiga bulan belakangan, serta 49.558 drainase saluran irigasi tersier.

Eko menyebutkan data tersebut merupakan laporan yang disampaikan desa-desa dengan persentase 70% data yang masuk dari total keseluruhan desa. Menurut dia, penyaluran dana desa pada 2016 naik signifikan dibanding 2015.

"Penyaluran dana desa dari pemerintah pusat ke kabupaten meningkat dari 80% di 2015 naik menjadi 99% lebih. Hanya ada beberapa daerah yang belum bisa dilakukan penyalurannya karena masalah hukum desa tersebut sudah berubah jadi kelurahan," kata dia.

Eko menyebutkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan survei dengan metode sampling pada desa di beberapa daerah yang menunjukkan peningkatan di beberapa aspek.

"Kami lakukan semacam sensus dengan sampling 449.393 desa. Kenaikan desa tertinggal menjadi desa mandiri dari 0,23% sekarang 2%, desa maju dari 4,83% menjadi 14%, desa berkembang 30,66% menjadi 45%, desa tertinggal turun dari 45,41% jadi 32%, desa sangat tertinggal dari 18,87% menjadi 7%," kata Eko.

Namun, Eko menekankan, data tersebut hanya merupakan survei dari sampel sejumlah desa. Oleh karena itu dia berharap adanya sensus langsung dari Badan Pusat Statistik untuk mengetahui data pasti. "Kami akan minta BPS lakukan sensus. Kalau ini benar-benar tercapai, berarti target RPJMN kita sampai 2019 sudah tercapai," kata Eko.(*)

09 Januari 2017

Penyerapan Dana Desa Tahun 2016 Sebesar 95 Persen

Siaran Pers Biro Humas Kemendesa, PDTT menyebutkan, penyerapan Dana Desa tahun 2016 lebih tinggi dibanding tahun 2015. Pada tahun 2016 penyerapan Dana Desa sebesar 95 persen meningkat dibanding tahun 2015 yaitu 83 persen. 
Siara Pers Biro Humas Kemendesa, PDTT menyebutkan, penyerapan Dana Desa tahun 2016 lebih tinggi dibanding tahun 2015. Pada tahun 2016 penyerapan Dana Desa sebesar 95 persen meningkat dibanding tahun 2015 yaitu 83 persen.
Image: Twitt Sekretariat Negara
Dengan meningkatnya penyerapan dana desa tahun 2016 berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga 5 persen dari tahun sebelumnya 4,8 persen.

Hal tersebut disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Eko Putro Sandjojo pada acara Sarasehan Desa dan peluncuran buku Pembangunan dan Pembaharuan Desa: Ekstrapolasi 2017 di Jakarta kemaren.

"Pelaksanaan Dana Desa itu ada unsur swadaya masyarakat, jadi costnya juga lebih murah. Dana Desa 2016 mampu membuat jalan desa sepanjang 50.378 kilometer", ujarnya. 

Menurut Menteri Desa, itu merupakan salah satu capaian dari implementasi Dana Desa sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sementara itu, terkait dengan prioritas penggunaan dana desa pada tahun 2016 berpedoman pada Permendesa PDTT Nomor 21/2015 yang direvisi melalui Permendesa PDTT No. 8/2016.


Sebagai informasi realisasi pemanfaatan Dana Desa, sebanyak 52.745 desa (70,56 persen) dari 74.754 jumlah desa pada 2016 telah melaporkan penggunaan Dana Desa tahun 2016. 

Sebagian besar dana desa dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembangunan desa (90,45 persen), pemanfaatan pada bidang pemberdayaan masyarakat sebesar 5,65 persen, penyelenggaraan pemerintahan 2,55 persen, dan pembinaan kemasyarakatan 1,35 persen.
Secara lebih spesifik, Dana Desa yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan sebagian besar dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur (82,73 persen), sedangkan 5,48 persen digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar, 1,6 persen untuk pengembangan ekonomi lokal dan 0,27 persen untuk pendayagunaan SDA dan teknologi tepat guna. 

Dalam pembangunan infrastruktur, Dana Desa tahun 2016 digunakan untuk pembangunan jalan desa sepanjang 50.378 kilometer, pembangunan jembatan 412,2 kilometer, pembuatan MCK sebanyak 12.614 unit, pembangunan sarana air bersih 15.943 unit.

Selanjutnya, pembangunan posyandu 5.485 unit, pembuatan sumur 11.626 unit, pembuatan tambatan perahu 1.068 unit, Pasar Desa 1.557 unit, embung sebanyak 628 unit, PAUD sebanyak 9.727 unit, polindes 2.448 unit, serta drainase 49.558 unit.

Seperti disebutkan, jumlah 
Dana Desa terus meningkat tiap tahun, tahun 2017 rencananya sebesar Rp60 triliun. Peningkatan jumlah Dana Desa tiap tahun, dimungkinkan untuk prioritas pembangunan yang lain, salah satunya pembangunan embung air dengan pertimbangan 80 persen penduduk Indonesia hidup di daerah pertanian.[MIN] 

Klasifikasi Jenis-Jenis Desa Berdasarkan Perkembangannya

Dalam Permendagri Nomor 84 Tahun 2016 Tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa disebutkan susunan organisasi pemerintah desa disesuaikan dengan tingkat perkembangan desa.
Berdasarkan klasifikasi desa. Maka desa di Indonesia dibagi dalam 3 jenis desa, yaitu Desa Swadaya, Desa Swakarya dan Desa Swasembada
Klasifikasi Jenis Desa/Image: SlideShare
Berdasarkan klasifikasi desa. Maka desa di Indonesia dibagi dalam 3 jenis desa, yaitu Desa Swadaya, Desa Swakarya dan Desa Swasembada. 


Berikut pengertian desa beserta ciri-cirinya berdasarkan klasifikasi desa sesuai tingkat perkembangan desa.

1. Desa Swadaya 

Desa swadaya adalah desa yang memiliki potensi tertentu tetapi dikelola dengan sebaik-baiknya. Ciri-ciri desa swadaya, sebagai berikut:
  • Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya
  • Penduduknya jarang.
  • Mata pencaharian homogen yang bersifat agraris.
  • Bersifat tertutup.
  • Masyarakat memegang teguh adat.
  • Teknologi masih rendah.
  • Sarana dan prasarana sangat kurang.
  • Hubungan antarmanusia sangat erat.
  • Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.
2. Desa Swakarya

Desa swakarya adalah peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada. Desa Swakarya dengan ciri-ciri, sebagai beriku:
  • Kebiasaan atau adat istiadat sudah tidak mengikat penuh.
  • Sudah mulai menpergunakan alat-alat dan teknologi
  • Desa swakarya sudah tidak terisolasi lagi walau letaknya jauh dari pusat perekonomian.
  • Telah memiliki tingkat perekonomian, pendidikan, jalur lalu lintas dan prasarana lain.
  • Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah agak lancar.
3.Desa Swasembada

Desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Ciri-ciri desa swasembada, sebagai berikut:
  • Kebanyakan berlokasi di ibukota kecamatan.
  • Penduduknya padat-padat.
  • Tidak terikat dengan adat istiadat
  • Telah memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai dan labih maju dari desa lain.
  • Partisipasi masyarakatnya sudah lebih efektif.
Permendagri Nomor 84 Tahun 2016 menjelaskan bahwa jumlah perangkat desa akan ditentukan sesuai klasifikasi desa menurut tingkat perkembangannya. Desa swasembada wajib memiliki 3 urusan dan 3 seksi. Desa Swakarya dapat memiliki 3 urusan dan 3 seksi, sedangkan untuk Desa Swadaya memiliki 2 urusan dan 2 seksi.

Nah, dari ciri-ciri desa diatas. Sekarang Anda berada di desa yang mana?[]

06 Januari 2017

Pemberdayaan Setengah Hati

Penambahan dana desa yang akan ditransfer langsung ke desa itu tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di daerah
Pemerintah berencana terus menambah alokasi dana desa dari APBN, untuk mengakselerasi pembangunan di daerah. Sayangnya, penambahan dana yang akan ditransfer langsung ke desa itu tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di daerah.

Tidak meratanya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dana desa, memang menjadi salah satu hambatan dalam penyalurannya. Padahal, pemerintah juga telah menyediakan pendamping desa untuk memastikan pengelolaan dana dapat dilakukan dengan baik hingga ke tahap pelaporannya.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus turun tangan untuk melakukan kajian mengenai potensi kelemahan akuntabilitas pengelolaan dana desa.

Hasilnya, lembaga tersebut disarankan untuk melakukan kajian setelah dana cair dan pelaksanaan pengelolaannya selesai. Tujuan kajian tersebut adalah agar diperoleh gambaran komprehensif mengenai potensi kelemahan akuntabilitas pengelolaan keuangan dana desa.

Kajian itu juga meminta BPKP memberikan masukan kepada Kementerian Dalam Negeri, untuk mendorong pemerintah daerah menyusun dan menerbitkan pedoman umum, serta pedoman teknis penggunaan dana desa.

Kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengawasan BPKP itu juga meminta semua pihak untuk memperhatikan keterlambatan penerbitan kebijakan mengenai dana desa, dan perubahan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Keterlambatan penerbitan kebijakan dan perubahan regulasi tersebut dapat menimbulkan kebingungan, serta ketidakpastian dalam pelaksanaan pengelolaan dana desa.

Selain itu, terdapat juga potensi kelemahan akuntabilitas, karena perbedaan jangka waktu rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) kabupaten/kota dengan RPJM desa, sehingga memunculkan disharmoni pelaksanaan pembangunan di lapangan.

Kurangnya keterbukaan juga dapat mengurangi kualitas akuntabilitas perencanaan dan penganggaran dana desa. Selain itu, dana desa berpotensi tidak efektif, karena perencanaan pembangunan desa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta kekhasan daerah.

Selanjutnya, kajian tersebut juga menyoroti tidak adanya indikator dan target pembangunan desa, yang berpotensi membuat pembangunan yang tidak terarah. Kemudian, pembangunan desa berpotensi menjadi tidak efektif, karena perencanaan dan penganggaran tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Hal penting lain yang menjadi sorotan adalah pertanggungjawaban publik oleh kepala daerah dalam perencanaan dan penyusunan anggaran belum dilakukan dengan baik. Terakhir, keterlambatan ketersediaan pedoman umum dan pedoman teknis berpotensi membuat pembangunan desa yang bersumber dari dana desa terlambat.

Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan selama ini upaya membangun ekonomi dari pinggir dan pemberdayaan desa masih setengah hati.

“Selama ini pengelolaan dana desa memang memenuhi regulasi dan seluruh aturan yang ada, tetapi dampak yang dirasakan masyarakat masih sangat kurang,” katanya, Kamis (29/12).

Menurut Enny, pemerintah telah bertindak sok tahu, dengan merekrut orang-orang yang tidak tepat sebagai pendamping desa. Harusnya, pemerintah melibatkan lembaga dan semua pihak yang selama ini melakukan program pemberdayaan masyarakat di setiap daerah.

Menurutnya, selama ini sebenarnya sudah ada lembaga sosial masyarakat yang melakukan program pemberdayaan masyarakat di desa. Tujuan lembaga tersebut pun relatif murni untuk kerja sosial, dan membangun masyarakat di daerah.

“Belum tentu pendamping desa yang direkrut dari para sukarelawan mengerti karakteristik desa. Kenapa pemerintah tidak bekerja sama dengan pihak yang selama ini sudah melaksanakan program pemberdayaan desa?” Katanya.

Kerja sama tersebut dapat dilakukan dengan sebuah sistem dan standar yang disepakati, serta pengawasan ketat. Sistem kerja sama itu pun harus memuat indikator yang dapat menjadi acuan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan dana desa.

Enny menambahkan, pemerintah selama ini juga terlalu fokus dengan pendekatan proyek dalam pengelolaan dana desa. Dampaknya, pengelolaan dana desa hanya dinilai berdasarkan serapannya, tanpa melihat multiplier effect yang dihasilkan.

Selain itu, Enny juga menekankan pentingnya perencanaan pembangunan dalam pengelolaan dana desa yang efektif. RPJM Desa harus disusun dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, bukan disusun oleh konsultan yang belum tentu mengerti kebutuhan daerah.

“Selama ini penyusunan RPJM Desa disusun secara tergesa-gesa, dan kerap diselesaikan oleh para konsultan, tanpa menyerap aspirasi masyarakat,” katanya.

Persoalan transparansi dalam pengelolaan dana desa sebenarnya juga telah menjadi perhatian pemerintah. Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, mengatakan pengelolaan dana desa memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, untuk mencegah penyelewengan.

“Saya akan ikut aktif mengawasi dana desa bersama seluruh masyarakat dan penegak hukum, agar tidak ada pemikiran yang aneh-aneh terkait program yang sedang dikerjakan. Kami juga membuka ruang transparansi kepada masyarakat,” katanya.

Eko juga mengingatkan pejabat desa untuk tidak takut dengan keterbukaan publik dalam pengelolaan dana desa. Keterbukaan merupakan salah satu langkah antisipasi pelanggaran yang mungkin dilakukan secara tidak disengaja.

Pengawasan, lanjut Eko, memang diperlukan agar pengelolaan dana desa semakin membaik setiap tahunnya. Pasalnya, dana desa akan terus meningkat agar mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di pedesaan.

Untuk tahun ini, Kemendesa PDTT mengarahkan penggunaan dana desa untuk empat program prioritas. Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendesa PDTT Ahmad Erani Yustika mengatakan, dana desa 2017 dapat digunakan untuk empat peruntukan besar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan mendesak tiap desa.

“Tahun 2017, bagi desa yang masih tertinggal, untuk bidang infrastruktur silakan dilanjutkan. Kedua, pelayanan sosial dasar, seperti akses air bersih, sanitasi, listrik, dan PAUD. Ketiga, pengembangan ekonomi untuk membuat BUMDes. Keempat, pemberdayaan dan pelatihan,” paparnya.

Sejak pertama kali dirilis pada 2015, alokasi dana desa terus meningkat. Pada 2015 total dana desa yang dialokasikan pemerintah ialah sebesar Rp20,7 triliun. Angka itu kemudian naik pada 2016 menjadi Rp46,9 triliun, dan direncanakan naik lagi menjadi Rp60 triliun pada 2017. Pemerintah juga berniat menggandakan alokasi dana desa pada 2018.

Peningkatan alokasi dana desa seharusnya diimbangi dengan peningkatan perbaikan kualitas pendampingan dan pengawasan. Kesiapan SDM, partisipasi masyarakat, transparansi menjadi beberapa suara sumbang program dana desa.[Sumber: Koran Bisnis]

05 Januari 2017

Apa itu SIGDes?

SIGDes adalah singkatan dari Sistem Informasi Geospasial Desa. Sesuai UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka diperlukan penyusunan Peta Desa sebagai dasar informasi dan pijakan dalam pembangunan.

SIGDes adalah singkatan dari Sistem Informasi Geospasial Desa.
Ilustrasi: Peta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Desa didefinisikan adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan definisi tersebut, desa mengharuskan memiliki Peta Desa sebagai acuan dalam merencanakan pembangunan di desa. "Peta Desa yang ideal yaitu peta yang sesuai standar BIG".

Baca: Pemetaan Skala Desa Butuh 80.000 Tenaga Kerja.

Dalam membuat peta desa, bisa menggunakan software Corel Draw, Adobe Illustrator atau software lainnya yang berbasis vector.

Batas Desa

Dalam Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman dan Penegasan Batas Desa, dijelaskan tujuan penetapan dan penegasan batas Desa untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu Desa yang memenuhi aspek teknis dan yuridis.

Batas Desa adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar Desa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta.

Tata cara penetapan, penegasan dan pengesahan batas desa diatur dalam Permendagri No 45/2016.[]

Desa dan Harga Pangan

Desa merupakan tempat produksi pangan. Namun, pangan justru berkontribusi besar atau menjadi sumber kemiskinan di perdesaan.
Beras adalah bahan pangan yang memberikan andil terbesar, yaitu 25,35 persen.
Petani Padi/Image: Ist
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, batas garis kemiskinan di perdesaan pada September 2016 sebesar Rp 350.420 per kapita per bulan. Dalam waktu setahun atau sejak September 2015, garis kemiskinan di perdesaan naik 5,2 persen. Bahan makanan masih berkontribusi terbesar terhadap garis kemiskinan di perdesaan, yaitu 77,08 persen. Adapun di kota, kontribusinya 69,84 persen.

Beras adalah bahan pangan yang memberikan andil terbesar, yaitu 25,35 persen. Hal ini diikuti bahan makanan lain yang juga dihasilkan di desa, seperti daging sapi (3,47 persen), gula pasir (3,01 persen), telur ayam ras (2,76 persen), daging ayam ras (2,19 persen), dan bawang merah (2,10 persen).

Hal itu tidak terlepas dari kenaikan harga pangan pokok yang selalu terjadi setiap tahun. Tidak ada perbaikan pendapatan masyarakat desa, terutama petani, secara signifikan. Saat petani hanya menikmati keuntungan 2 persen dari penjualan gabah kering panen, pedagang bisa meraup keuntungan hingga 10 persen dari hasil penjualan beras.

Atau ketika petani tebu bisa melelang harga gula pasir Rp 9.500-Rp 11.000 per kilogram tahun ini, petani harus membeli kembali gulanya seharga Rp 13.500-Rp 14.000 per kg. Semakin tinggi harga pangan, semakin banyak biaya yang dikeluarkan masyarakat ekonomi bawah untuk pangan.

Dari tahun ke tahun, pola konsumsi masyarakat kian meningkat. Rata-rata pengeluaran per kapita selama sebulan, menurut kelompok barang, pada 2015 sudah Rp 954.430. Dari jumlah tersebut, pengeluaran untuk makanan sekitar 49,91 persen atau Rp 478.062. Itu pun berdasarkan penghitungan komponen makanan secara normal atau tanpa memperhitungkan kenaikan harga.

Pengeluaran untuk beras meningkat dari Rp 55.216 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 64.759 per kapita per bulan pada 2015. Adapun pengeluaran untuk daging meningkat cukup signifikan, dari Rp 13.322 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 21.157 per kapita per bulan pada 2015.

Tahun ini, stabilitas stok dan harga pangan masih menjadi tantangan pemerintah. Faktor yang memengaruhi adalah penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.

Di sisi lain, pemerintah mulai mengurangi subsidi listrik 900 VA secara bertahap bagi masyarakat yang dianggap mampu. Kedua hal ini akan berdampak pada kenaikan harga pangan yang mudah bergejolak.

Ada cara yang bisa dilakukan, yakni dengan penyediaan stok pangan yang harganya mudah bergejolak itu. Pemerintah bisa bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi pedagang dan distributor.

Dengan demikian, pemerintah bisa membeli bahan pangan itu dari distributor saat harga pangan bergejolak. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan lumbung pangan. Harapannya, stok dan harga pangan terjaga. (Sumber: Kompas)