Tampilkan postingan dengan label Potret Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Potret Desa. Tampilkan semua postingan

15 Januari 2016

Keterbatasan Pemanfaatan Dana Desa

Pulang Kampung Bangun Desa/Foto: Ilustrasi
GampongRT - Dana desa yang mulai digulirkan pada tahun lalu telah menjadi harapan baru. Para pengelola desa berharap dana itu benar-benar bakal menggelorakan dinamika wilayahnya.

Namun Menteri Desa, Pembangunan daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marfan Jafar menegaskan program itu difokuskan pada sektor infrastruktur. Padahal sudah ada desa yang mengangankan untuk memiliki pusat kebudayaan. Di Jawa Barat, ada desa yang merencanakan untuk membuat perkebunan.

Proyek-proyek seperti itu ternyata tidak bisa dilaksanakan dengan dana desa. Program dana desa belum lama berjalan. Untuk memperbaiki pelaksanaannya pada kemudian hari, evaluasi tentu diperlukan.

Efektivitas evaluasi dibutuhkan supaya masukanmasukan yang diberikan bisa dijalankan. Saran-saran tersebut juga merupakan hasil penilaian atas proyekprooyek yang sudah dilaksanakan.

Untuk kepentingan itu, wajar bila program dana desa terfokus pada sektor tertentu. Pemilihan pembangunan infrastruktur juga strategis, mengingat persoalan utama negeri ini adalah kelangkaan prasarana yang memadai. Jalan-jalan banyak yang rusak.

Bahkan banyak desa yang terisolasi karena jalan penghubung tidak bisa dilalui mobil. Idealnya sebuah desa tidak hanya punya satu jalur penghubung. Kenyataannya, banyak desa yang tidak punya jalur alternatif.

Tidak mengherankan bila ada persoalan pada sebuah jalan, misalnya kerusakan jembatan, mobilitas para penduduknya pun menjadi sangat terbatas. Mobilitas juga identik dengan kegairahan ekonomi.

Akses yang terbuka luas akan membuat hasil-hasil ekonomi desa juga mudah dijual sehingga pendapatan warga bertambah. Peningkatan potensi ekonomi tidak hanya dengan jalan dan jembatan. Irigasi dibutuhkan untuk menjaga pasokan air bagi budi daya tanaman. Masih sangat banyak desa yang belum memiliki jaringan air bersih.

Program dana desa bisa dilakukan untuk mewujudkan prasarana-prasarana tersebut. Sesungguhnya, penekanan pada sektor infrastruktur tetap memunculkan gelora baru. Belum lagi semangat proyek-proyek yang didanai lewat program ini adalah padat karya.

Ekonomi desa bakal bergerak karena terdapat penambahan uang beredar. Pada sisi lain, proyek-proyek itu menambah pula tingkat kestrategisan desa pada masa depan. Dengan kekuatan ekonomi yang bertambah, peran masyarakat desa sebagai konsumen juga akan meningkat.

Peningkatan konsumsi akan memperdalam struktur ekonomi, yang pada gilirannya juga menjadi fondasi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fokus pada sektor infrastruktur, dengan demikian memang diperlukan.

Keterbatasan penggunaan dana desa sebenarnya justru akan mempercepat pembuatan landasan bagi kegairahan ekonomi di berbagai penjuru. Namun, yang harus diingat adalah kehadiran budaya baru bagi para aparat desa.

Budaya itu adalah disiplin dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan. Mereka dituntut untuk mempertanggungjawabakan secara baik proyek-proyek yang dibangun dengan dana desa, dan juga menjadi bagian dari sistem keuangan internal yang baik.

Pendapatan-pendapatan desa harus dicatat dan dilaporkan secara berkala. Itu semua membutuhkan SDM terampil dan memadai jumlahnya. Pengawasan juga harus berjalan konsisten dan terpadu.

Sumber: Suara Merdeka

14 Januari 2016

UUPA dan UU Desa: Masa Jabatan Keuchik 6 Tahun

"Secara umum tidak terdapat khilafiah terkait masa jabatan keuchik di Aceh, baik menurut UUPA dan UU Desa. Kedua UU ini dengan tegas menyebutkan masa jabatan kades (keuchik) yaitu 6 tahun masa jabatan".
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

Dalam UU Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam implementasi atau penerapan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, untuk beberapa provinsi diberikan Ketentuan Khusus

Dalam UU Desa dijelaskan, khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang; dan
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UUPA dan UU Desa: Masa Jabatan Keuchik 6 Tahun

Dalam UU Desa dijelaskan, Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. 

Sementara itu, dalam UU Pemerintah Aceh terkait masa jabatan Keuchik (Kades) di Aceh diatur dalam Bab XV Pasal 15 ayat (3) berbunyi;

Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Secara umum tidak terdapat khilafiah terkait masa jabatan keuchik di Aceh. Baik UUPA dan UU Desa dengan tegas mengatakan, masa jabatan kades (keuchik) yaitu 6 tahun. 

Dalam UUPA disebutkan, dalam melaksanakan tugasnya keuchik dibantu perangkat gampong yang terdiri atas sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya. 

Sekretaris gampong diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya bertanggung jawab kepada keuchik.[]

05 Januari 2016

Inspirasi: Cara Kades Mulkan Membangun Desa

Era pembaharuan desa sudah dimulai. Melalui UU Desa yang baru, desa memiliki kewenangan mengurus diri sendiri berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. (Baca: Mental Baru Memperlakukan Desa)

Ketika banyak orang meragukan dan khawatir atas kemampuan kades mengelola dana desa. Tapi tidak dengan kades yang satu ini, namanya Pak Mulkan. 

Yok kita simak, cara Kades Mulkam dalam mentata dan mengelola desanya sehingga berturut-turut dinobatkan sebagai desa pengelolaan administrasi terbaik sekabupaten. Bagaimana pula kiat-kiat Pak Kades Mulkam dalam meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes). 

Semoga menginspirasikan kita semua. Berikut beritanya disadur dari koran desa.

Desa Sungai Kapitan, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng menjadi desa dengan pengelolaan administrasi terbaik se-Kabupaten Kobar dua tahun berturut-turut berdasarkan audit Inspektorat Pemkab Kobar yakni 2013-2014. Pengelolaan administrasi ini meliputi laporan keuangan, data administrasi kependudukan dan surat menyurat dengan pihak luar.

“Sejak saya dilantik 2013 lalu, saya melihat kok administrasi desa ini kacau. Jadi saya putuskan untuk merekrut beberapa orang sarjana yang kompeten di bidangnya untuk membantu tugas-tugas saya khususnya yang terkait administrasi,” Kepala Desa (Kades) Sungai Kapitan Mulkan.

Mulkan mengaku lebih percaya diri menghadapi kucuran dana miliaran sesuai dengan UU Desa. Bukan justru jadi sumber kekhawatiran. Sebab dengan dana itu, desa bisa membangun sesuai dengan aspirasi warganya. Tidak harus berharap dari Pemkab Kobar melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU).

“Jika banyak desa yang merasa gamang dan khawatir dengan kucuran dana desa yang nilainya miliaran tahun ini. Saya justru sebaliknya, dengan dana itu kan kita lebih leluasa membangun. Sungai Kapitan dapat dana desa lumayan besar sekitar Rp2,5 miliar,” katanya.

Saat ini, lanjut Mulkan, pihaknya juga telah membuat Peraturan Desa (Perdes) bersama Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Sungai Kapitan untuk menarik dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desanya. Perdes dibuat agar semua pungutan itu tidak dianggap liar.

“Di desa kami ini kan ada pelabuhan tambat kapal, SPBU, gudang-gudang milik perusahaan pupuk, kemudian depot pengisian Pertamina. Nah Pertamina ini yang sulit padahal mereka ini meng-cover lima kabupaten dan depotnya ada di desa kita ini,” jelasnya.

Mulkan menegaskan semua hal yang berhubungan dengan keuangan dilaporkan secara transparan ke masyarakat melalui website desa. Dalam laman website ini diunggah seluruh kegiatan pembangunan, baik pengeluaran dana, pemasukan PADes maupun hasil-hasil pembangunan secara fisik.

“Warga bisa langsung mengecek di website kita, jadi transparan semuanya, termasuk pungutan dana CSR itu, ada semua laporan keuangannya,” tegasnya.

31 Desember 2015

Huaxi Village “Desa Utopis Tiongkok”

Penduduk Huaxi Village yang sedang bekerja, tahun 1970/Foto:blog.livedoor.jp
Tiga puluh tahun lalu, warga Desa Huaxi, di timur Tiongkok, seperti Sun Hai Yan, hanya bisa makan daging paling bagus seminggu sekali. Sekarang Sun terbiasa makan di restoran mewah di desanya. Punya rumah dengan pilar ala Yunani dan tangga ala aristokrat Inggris-Victorian.

Dulu rakyat Huaxi umumnya masih tinggal di rumah-rumah petak kumuh dan mimpinya sekadar berjuang mengumpulkan uang untuk membeli sepeda.

Kini, atau sejak 20 tahun terakhir, Desa Huaxi, 160 kilometer di utara Kota Shanghai di Provinsi Jiangsu, berpenghuni sekitar 2.000 keluarga menjelma menjadi desa makmur. Warganya berseliweran dengan mobil-mobil built-up.

Warga desa punya rumah bagus rata-rata seluas 400 meter, saham komunal, punya minimal 1 mobil bagus, jaminan sosial yang kuat, hotel, agrobisnis, logistik, dan pabrik-pabrik seperti baja dan tekstil. Pendek kata, tak ada orang susah dan miskin di Huaxi.

Fasilitas publik dan kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, kebutuhan pokok, disediakan begitu mengesankan oleh semacam pemerintahan yang dijalankan Komite Desa.

Sepuluh tahun terakhir Desa Huaxi menjadi semacam trofi dan megafon Republik Tiongkok untuk memberi tahu dunia beginilah racikan mereka tentang komunisme dan kapitalisme. Sebuah desa utopis yang bisa dilihat dan dikunjungi.

Pemilik Microsoft, Bill Gates, menyebut desa itu sejenis “bentuk baru dari kapitalisme”. Petinggi Partai Komunis Cina menyebutnya bentuk terbaik sosialisme.

Sementara Wu Renbao, arsitek Desa Huaxi, figur semacam Lee Kwan Yew untuk Huaxi, yang juga menjabat Sekretaris Partai Komunis Cina tahun 1961, bersama warga desa punya slogan sendiri “langit kami partai komunis, tanah kami sosialisme”.

Sanjungan dan kekaguman global kepada Desa Huaxi sudah tersampaikan sejak 8 tahun terakhir. Liputan media dunia umumnya menafsirkan desa itu sebagai racikan sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.

Dunia terpana. Sebab, selain kesejahteraan sosial yang nyata, bagaimana mungkin sebuah desa yang awalnya dihuni 1.600 keluarga, bisa punya menara begitu tinggi, salah satu tertinggi di dunia, pabrik-pabrik, hotel mewah, tempat wisata kelas dunia, monumen-monumen desa yang artistik dan mahal, dan produksi kotor domestik setahun senilai Rp 131 triliun.

Menara pencakar langit itu dibuat sebagai mercu suar Tiongkok. Negeri ini selalu membuat menara untuk setiap kemajuan. Argumen mereka, setiap ada peningkatan ekonomi, dibutuhkan ruang dan bangunan. Dan, tentu saja, itu adalah simbol promosi kemajuan politik komunisme.

Bangunan pencakar langit itu bernama Langit Tinggi Sekali. Isinya terdiri dari hotel 826 kamar, ruangan pertemuan, jamuan makan mewah untuk 5 ribu orang, dan failitas megah lainnya. Warga Tiongkok bangga karena menara itu lebih tinggi dari banyak menara tinggi di dunia seperti Shard London Bridge.

Wu Renbo, arsitek Desa Huaxi, yang wafat Maret 2013, disebut-sebut menerapkan resep kombinasi antara kontrol politik yang menghasilkan stabilitas dan orientasi ekonomi berbasis komunal yang cepat kaya.

“Kita harus punya uang dan kaya. Tanpa itu kita bukan siapa-siapa,” kata Wu kepada warga.

Meski desa itu makmur dan warganya lebih kaya dari seluruh desa lain di Tiongkok, warga Huaxi hanya punya sedikit waktu dan kebebasan, terutama terhadap uang mereka.

Bar dan restoran tutup sebelum pukul 10 malam agar pekerja tidak tidur larut malam. Warga desa bekerja 7 hari penuh dalam seminggu. Liburan juga sangat jarang.

Warga Huaxi hanya memegang sedikit uang tunai dari aset saham mereka. Sekitar 80 persen dari bonus tahunan dan 95 persen deviden warga harus diinvestasikan kembali kepada komunal. Jika meninggalkan desa, mereka kehilangan saham komunal, fasilitas rumah, dan tunjangan kesejahteraan lainnya.

Saham akan tetap dimiliki selama warga tinggal di Huaxi dan selama bisnis dan pabrik-pabrik tetap berjalan. Pekerja pabrik-pabrik rata-rata warga Huaxi dan daerah-daerah sekitar yang terserap oleh kemajuan ekonomi Huaxi.

Perjudian dan narkoba dilarang sangat keras di desa. Bahkan tak ada yang disebut kehidupan malam seperti klub atau karaoke. Jika ada yang coba-coba, properti mereka akan disita.

Jalan-jalan Desa Huaxi lengang karena warganya sibuk bekerja. Tapi kerja keras itu jelas sekali terbayar dengan sistem hidup yang makmur.

Media-media domestik suka bersikap mendua melihat kemajuan desa ini. Huaxi mengalami dua kondisi “surgawi” dan “diktatorisme”. Warga punya kecukupan hidup yang tinggi, namun menjadi masyarakat industrialis yang menjemukan.

Kritik yang terdengar makin tidak sayup-sayup pula adalah model kekuasaan patron-klien yang dikembangkan keluarga Wu. Wu dituding membentengi dirinya dengan model ekonomi klientelistik di mana jerih payah dibayar dari kedekatan dengan lingkungan keluarga.

Namun, pada dasarnya keadilan dalam “persamaan dalam hasil bersama” masih sungguh sangat nyata dan tak terbantahkan dirasakan warga Desa Huaxi. Yang dibutuhkan warga desa mungkin sedikit demokrasi agar kepemimpinan dan ruang sosial tidak digenggam hanya oleh lingkaran keluarga Wu.

“Sosialisme berarti 98 dari 100 orang hidup bahagia,” kata Wu Renbao kepada media di Tiongkok.

Chih-Jou Chen, peneliti di Taiwan Academia Sinica, menilai langka Wu sebagai alternatif dari kerasnya komunisme ala Mao, namun tak juga ingin kehilangan nilai-nilai komunal. “Wu ingin menyelamatkan model sosialis dan beberapa nilai komunis,” tulisnya.

Profesor Wenxian Zhang, dari Rollins College Tiongkok, menyebut Wu, pensiunan pengurus partai komunis itu, sebagai pegiat ekonomi pasar sosialis dengan karakter ala Tiongkok yang agak bergaya feodal dan partiarkal. Sejak Wu wafat, kepemimpinan partai di Huaxi diserahkan pada anaknya, Wu Xie’en.

Pragmatisme terlihat makin menonjol di Huaxi daripada ideologi sebagai prinsip. Wu pernah berkata, “Mau isme lama atau isme baru, tujuan kita membuat semua orang menjadi kaya.”

Kiprah Wu di partai politik sejak awal memang lebih dekat dengan ide-ide keterbukaan yang sosialistik daripada komunistik.

Wu pernah ditangkap oleh “pasukan merah” di era Revolusi Kebudayaan yang digulirkan Mao Zedong di tahun 1970-an karena membuka pabrik. Dia sempat dijuluki “pelaju kapitalis”. Penahanan yang sama juga menimpa aktivis partai lain seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang mengoreksi Revolusi Kebudayaan.

Tafsir ideologi Wu terhadap komunisme dan Revolusi Kebudayaan Mao jelas sekali terejawantah dalam sistem hidup Desa Huaxi yang dibangun dengan nilai-nilai komunalistik dan kerja keras.

Miao Xian, ibu muda yang bekerja di industri tekstil di Huaxi, mengaku tak keberatan bekerja 7 hari penuh, selama nilai-nilai komunal tetap menjadi prinsip. Dia ingin warga desa tetap menjaga kebersamaan itu. “Jika bermaksud meninggalkan desa ini, akan kehilangan hampir semuanya. Rumah, mobil, uang, subsidi, dan tunjangan lain,” kata Miao.

Turis yang datang ke desa itu sekitar 2 juta per tahun. Jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran desa yang luasnya tak lebih besar dari 1.000 meter persegi. Mimpi-mimpi sosialistik Tiongkok terejawantah di desa ini, sebagian besarnya sudah menjadi kenyataan. Sebuah desa industrialis maju yang melesat tapi pula bisa kehabisan oksigen kebebasan dan spiritualisme akibat tekanan materialisme. [*]

Oleh: Hertasning Ichlas
Sumber: Feature Majalah The Geo Times Edisi 37 2015 - Source

13 November 2015

UU Desa: Mengakui Hak dan Kedaulatan Masyarakat Desa

Lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, telah melahirkan paradigma dan konsep baru bahkan kebijakan baru tentang tata kelola desa secara nasional. Desa bukan lagi sebagai sampul terbelakang, namun sudah menjadi halaman depan Indonesia.

Melalui UU Desa yang baru, hak dan kedaulatan Desa (atau nama lain) diangkat pada  derajat yang lebih tinggi, yang sekian lama hilang. Padahal, hak dan kedaulatan Desa, telah ada sebelum Indonesia terbentuk.


Maka dalam bagian penjelasan UU Desa dinyatakan bahwa tujuan UU No 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik;
  3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. Mmeningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
  9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Dengan adanya pengakuan tersebut, tentu sangat membanggakan masyarakat Desa atau nama lainnya. Kini dengan UU Desa, masyarakat Desa dengan leluasa bisa melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya yang sudah lama berkembang di masyarakat Desa, yang pada masa Orde Baru diseragamkan. (Dbs)