28 April 2017

Menteri Desa Siap jadi Jembatan untuk Investasi di Daerah

Ayo Bangun Desa - Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo menyatakan siap menjembatani investasi di daerah, termasuk mengatasi kendala investasi berupa regulasi yang kerap menghambat di daerah.
Kerajinan Tangan/Ilustrasi
"Saya akan segera tangani begitu ada keluhan. Hubungan saya dengan kabupaten sekarang ini cukup bagus, terlebih sebagai Menteri Desa PDTT, empat program prioritas yang dicanangkan Kemendes PDTT disambut baik oleh daerah," kata Eko dalam rilis pers, Jumat.

Ia mengakui persoalan regulasi daerah kerap menjadi salah satu keluhan para investor, namun dia optimistis keluhan dapat segera teratasi.

"Tugas utama saya adalah menjembatani persoalan yang muncul, khususnya di daerah. Saya pikir kalau kita duduk sama-sama bisa kita selesaikan. Persoalan-persoalan tersebut juga seharusnya tidak ada karena pemerintah sudah keluarkan paket-paket kebijakan ekonomi," lanjutnya.

Peringkat kemudahan berinvestasi (ease of doing business) di Indonesia telah meningkat menjadi berperingkat 91 pada 2016 dari sebelumnya peringkat 106 pada 2015.

Menurut dia, peringkat tersebut akan terus membaik jika seluruh elemen dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Komite Malaysia Tigor M Siahaan mengapresiasi inisiatif dan pendekatan yang dilakukan oleh Menteri Desa. 

"Dalam bisnis itu banyak kendala dan tantangan. Sebagai level menteri yang turun tangan langsung dan berkecimpung menghadapi masalah-masalah yang dihadapi para pebisnis, apa saja kendala dan hambatannya, peran Pak Eko ini adalah angin segar," kata Tigor.

Presiden Joko Widodo telah menugaskan 12 menteri untuk menjadi pejabat penghubung investasi di mana Menteri Desa kebagian tugas  sebagai Pejabat Penghubung Investasi untuk Malaysia.(*)


Antaranews.com

27 April 2017

Mendes PDTT: MBN Bertugas Membina BUMDes di Seluruh Indonesia

Ayo Bangun Desa - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, dan Direktur Utama BULOG Djarot Kusumayakti meluncurkan PT Mitra BUMDes Nusantara (MBN) di Jakarta, Kamis (27/4). 

PT Mitra BUMDes Nusantara bertugas untuk mengakomodir dan membina BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) di seluruh Indonesia.

Launching Mitra BUMDes Nusantara/Foto: Kemendes
Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo optimistis, hadirnya PT Mitra BUMDes Nusantara dapat menekan angka kemiskinan di pedesaan. Terus berkembangnya BUMDes juga diharapkan sebagai upaya agar desa mampu mandiri dan tidak bergantung kepada dana desa.

"Maka hari ini kita luncurkan PT Mitra BUMDes Nusantara, yang nanti akan dibentuk setiap kabupaten/kota. Mereka ada untuk membina dan mendorong supaya BUMDes yang telah dibentuk bisa maju dan mandiri," ujarnya.

Menteri Eko melanjutkan, dibentuknya PT Mitra BUMDes Nusantara adalah dalam rangka mewujudkan pemberdayaan ekonomi pedesaan yang berkeadilan. Hal tersebut sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa-desa dalam kerangka negara kesatuan. Hasil kerjasama antara Kemendes PDTT, Kementerian BUMN, dan lembaga terkait dalam pembentukan holding BUMDes tersebut, diyakini mampu meningkatkan perekonomian masyarakat desa.

"Saya optimistis ditangan Ibu Menteri BUMN, PT Mitra BUMDes Nusantara bisa menekan angka kemiskinan. Sebab BUMN lebih mengerti manajemen korporasi," ujarnya.

Terkait hal tersebut, Dirut Bulog Djarot Kusumayakti memaparkan, pembentukan PT Mitra BUMDes Nusantara merupakan tindak lanjut dari kajian Menteri BUMN dan Mendes PDTT dalam rangka meningkatkan ekonomi pedesaan yang terus berkeadilan.

"Pembentukan badan usaha dalam bentuk hukum perseroan terbatas didesain sebagai mitra bisnis BUMDes Nusantara, diharapkan dapat meningkatkan badan usaha milik desa di pedesaan," ujarnya.

Selanjutnya Djarot mengatakan, dibentuknya PT Mitra BUMDes Nusantara juga merupakan semangat Perum Bulog dan Kopelindo untuk membangun ekonomi daerah pinggiran maupun desa. Hal ini sejalan dengan visi PT Mitra BUMDes Nusantara dalam mewujudkan pemberdayaan ekonomi pedesaan yang berkeadilan.

"Diharapkan juga (PT) MBN dapat memiliki keleluasaan menjalin kerjasama dengan mitra bisnis dalam hal pendistribusian maupun keagenan termasuk di dalamnya proses produksi," ujarnya.[*]

Kemendesa PDTT

Bangunlah Desa Tanpa Hilangkan Jati Diri

Ayo Bangun Desa - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyebutkan salah satu nawa cita pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni membangun Indonesia dari pinggiran. Mendagri mengimbau untuk membangun desa yang maju dan modern tanpa menghilangkan jati diri dari desa tersebut.
Ilustrasi: Revolusi mental berdesa/ayo bangun desa
Dalam artian, adat budaya harus tetap ada. Membangun di desa menurut Tjahjo yakni membangun masyarakatnya dengan mencermati kondisi geografis, adat budaya, dan juga ciri khas yang dimiliki oleh desa itu sendiri.

“Membangun desa ya membangun masyarakat , sehingga desa ini modern dan maju dan tumbuh, tapi tidak hilang jati diri adat istiadat yang menjadi ciri khas di desa itu,” ujar Tjahjo di Jakarta, Rabu (26/4).

Anggaran desa yang saat ini cukup besar, harus mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat yang ada di desa harus mampu untuk diberdayakan dalam artian meningkatkan kualitas b agi aparatur desa yang ada.

“Jangan ditenderkan (dana desa) ke swasta tapi bagaimana lewat model-model padat karya,” ujar Tjahjo.

Maka, pemerintah harus bersama dengan tokoh adat, tokoh masyarakat, harus bersama-sama menggerakan masyarakat di desa.[]

Kemendagri

26 April 2017

Memilah Korupsi Desa

Korupsi desa mulai terungkap (Kompas, 3/3). Kini tengah disidik 0,06 persen desa atas sangkaan korupsi, rata-rata Rp 216,7 juta per desa. Angka ini senilai kucuran dana desa pada 2015.
Foto ilustrasi: Ayo Bangun Desa
Sebelum menggurita laksana korupsi pada 54 persen pemerintahan daerah (pemda) dan 35 persen kementerian, korupsi desa harus ditangani secara sistemis. Sayang, terdapat dua kelemahan mendasar, yaitu (1) minimnya regulasi korupsi desa dan (2) ketiadaan advokasi legal bagi pemerintahan desa.

Dari tahun ke tahun, tanggung jawab korupsi dana desa kian menukik ke level birokrasi lebih rendah. Saat prasangka korupsi dana desa berjemaah merebak pada 2014, Kemendagri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kemenkeu mementahkan korupsi tingkat kementerian. Alasannya, dana desa tersalur langsung dari bendahara negara ke kas pemda.

Mustahil menihilkan korupsi di tengah euforia dana desa. Pemda juga enggan menyalurkan dana desa karena berisiko tersangkut kasus korupsi. Kota Batu, misalnya, sempat diganjar pengurangan dana pusat karena menolak dana desa pada 2015 meskipun mulai 2016 menerimanya kembali.

Beban pemda menguap setelah pemerintah pusat mensyaratkan laporan penggunaan keuangan desa untuk pencairan dana desa berikutnya. Rincian laporan desa mengubah makna pelimpahan tanggung jawab kasus korupsi kepada kepala desa.

Pseudo-korupsi

Penyalahgunaan dana di desa perlu dipilah antara korupsi riil dan pseudo-korupsi. Kepala desa melakukan korupsi riil ketika ia menilap dana desa, melarikan uang tersebut, tertangkap tangan menerima suap, menggunakannya untuk konsumsi keluarga. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, mestinya terbukti motivasinya menggangsir dana desa. Akhirnya, pengadilan menetapkannya sebagai koruptor dengan hukuman pidana/perdata.

Namun, pendekatan sistem mendeteksi pseudo-korupsi sebagai sumber lain penyalahgunaan dana. Indikasi utamanya: tak ada motivasi kepala desa korupsi dan selama ini ia dikenal bersih.

Kepala desa terjerembap kasus pseudo-korupsi, terutama karena lalai menetapkan regulasi sebelum bertindak. Padahal, aparat pemerintah hanya legal bertugas sesuai aturan yang berlaku. Contohnya, kepala desa diciduk ketika meningkatkan kualitas bangunan penahan banjir dengan mengurangi panjang bangunan dari dana desa, tapi menambah panjangnya lewat pemasukan desa dan iuran warga. Sayang, ia lupa menulis pengembangan rencana dalam perubahan peraturan desa.

Kepala desa juga jadi pesakitan lantaran menetapkan penggunaan dana desa di luar Permen Desa PDTT. Pencairannya untuk perbaikan balai desa dan pemenuhan bahan serta peralatan birokrasi desa diharamkan. Padahal, disertasi Nata Irawan membuktikan pentingnya alat, bahan, dan ruangan untuk meningkatkan layanan masyarakat dan deliberasi keputusan desa.

Secara sistemis perlu digugat, sampai mana pemerintah desa dan warganya berhak memutuskan dana desa. Aturan tahunan menteri dan kepala lembaga di pusat, serta peraturan bupati di daerah, telah menyempitkan ruang keputusan desa. Akibatnya, kebutuhan desa tak terakomodasi dalam penggunaan dana desa.

Kritiknya, saat ini dana desa diperlakukan semacam anggaran kementerian dan anggaran tugas pembantuan. Ini dipamerkan pemerintah pusat dan daerah kala langsung memutuskan penggunaannya untuk embung, lapangan bola, holding atau perseroan terbatas badan usaha milik desa pada level kabupaten hingga nasional.

Kepala desa juga dituduh korupsi saat mengalihkan pendapatan desa atau meminta iuran warga guna mendanai proyek pemerintah pusat dan daerah. Padahal, UU No 6/2014 Pasal 22 menegaskan, setiap penugasan kepada pemerintah desa harus disertai tambahan anggaran. Kini kepala desa sedang meminta regulasi penggalangan dana di desa untuk menutupi ketiadaan anggaran program nasional sertifikasi tanah.

Kebijakan advokasi

Makna pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan aturan yang bertumpang tindih maupun berlawanan. Ketidakpastian hukum pun meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.

UU No 6/2014 telah melarang kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Namun, sanksi korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.

Karena itu, paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersama-sama mengharmoniskan aturan korupsi desa. Isinya indikator dan jenis korupsi desa, tata cara pelaporan dan perlindungan saksi, proses pencegahan dan pembuktian korupsi, dan sanksi bagi kepala desa, perangkat desa, serta anggota BPD.

Pada saat bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD yang disangka korupsi. Apalagi, peraturan Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan sesudah hukuman berkeputusan tetap. Inovasi nomor kepegawaian daerah bagi mereka, seperti di Serang dan Cirebon, bisa menjadi dasar advokasi oleh pemerintah daerah dan pusat. Asosiasi kepala desa, perangkat desa, dan BPD juga dapat mengadvokasi proses legal mereka.

Oleh Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Kompas, 26 April 2017

Kemendes PDTT: Bidan Kini Bisa Gunakan Dana Desa

Ayo Bangun Desa - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memberikan lampu hijau bagi para bidan desa untuk menikmati dana desa yang disalurkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memberikan lampu hijau bagi para bidan desa untuk menikmati dana desa yang disalurkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian.
Bidan Desa/Foto: Ilustrasi
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo) Kemendes PDTT, M Nurdin, saat menghadiri acara Federasi Organisasi Bidan Desa (Forbides) Indonesia di salah satu hotel di Kabupaten Cirebon, Rabu (26/4/2017).

Menurutnya, dalam Permendes sudah diatur mengenai berbagai macam prioritas pembangunan desa yang salah satunya adalah bidang kesehatan. Bidang tersebut meliputi kegiatan posyandu, air bersih, kesehatan secara umum, termasuk bidan desa.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memberikan lampu hijau bagi para bidan desa untuk menikmati dana desa yang disalurkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo) Kemendes PDTT, M Nurdin, saat menghadiri acara Federasi Organisasi Bidan Desa (Forbides) Indonesia di salah satu hotel di Kabupaten Cirebon, Rabu (26/4/2017).

Menurutnya, dalam Permendes sudah diatur mengenai berbagai macam prioritas pembangunan desa yang salah satunya adalah bidang kesehatan. Bidang tersebut meliputi kegiatan posyandu, air bersih, kesehatan secara umum, termasuk bidan desa.[]

Detik.com

25 April 2017

Masyarakat belum menjadi Subjek dalam Pengelolaan Keuangan Desa

Otonomi desa saat ini merupakan situasi persimpangan yang penting bagi rakyat desa. Meneruskan tradisi sebagai penonton sebagaimana telah terjadi selama ini termasuk pada masa otonomi daerah pemerintah daerah, atau bersama-sama berperan sebagai pemain, mengurusi apa yang hendak dimainkan bersama. 
Dengan demikian, tantangan terbesar dari implementasi UU Desa sesungguhnya adalah bagaimana memastikan masyarakat desa menjadi subjek perubahan di desa. Secara skematik, tantangan tersebut ada ranah masyarakat maupun para pengurus pemerintahan desa. 

Mengidentifikasi permasalahan tersebut akan menjadi kunci menuju kolektivitas warga desa dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, diperlunya peningkatan kesadaran tentang pentingnya kolektivitas pengurusan desa.

Masyarakat belum menjadi Subjek dalam Pengelolaan Keuangan Desa

Selain berbagai masalah umum lainnya, khusus dalam aspek pengelolaan keuangan desa, masyarakat belum terlibat secara berarti dalam berbagai proses yang ada. Hal ini terjadi karena di satu sisi pemerintah belum memberikan kesempatan yang berarti untuk terlibat.

Padahal secara regulasi telah banyak peluang yang dibuka untuk menyelenggarakan proses pengelolaan keuangan yang partisipatif bersama masyarakat.


Salah satu bagian dalam pengelolaan keuangan desa adalah proses penganggaran. Anggaran negara, daerah atau desa adalah sebuah rencana yang ditampilkan dan diukur dalam besaran uang, dihimpun dari berbagai sumber (anggaran pendapatan), dan disalurkan ke berbagai jenis pengeluaran (anggaran belanja).

Diberlakukannya UU Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa menjadikan anggaran desa jauh lebih penting untuk dipedulikan. Hal ini karena terbukannya ruang politik bagi rakyat di daerah untuk mengembangkan cara pengerahan dana publik yang pas dengan tuntutan dan kebutuhannya.

Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan sebuah model aliran sumber daya (tidak semua dalam bentuk dana) di satu wilayah kelola seperti Desa, yang didasari dengan pertimbangan pemenuhan prinsip dan tujuan pembangunan desa.

Dalam kontek menempatkan masyarakat sebagai subjek, pembangunan desa sebaiknya dimulai dengan bersama-sama menjawab pertanyaan mendasar sebagai berikut:
  • Pemasalahan-pemasalahan apa yang harus diselesaikan bersama,
  • Apa yang harus dilakukan untuk tiap permasalahan,
  • Siapa yang seharusnya ditanyak tentang keadaan soal-soal tersebut,
  • Siapa yang harusikut menentukan besarakan dana atau sumber daya lain untuk masing-masing permasalahan,
  • Bagaimana cara perumusan dan pengaliran sumber daya lainnya,
  • Laporan macam apa yang harus terbuka untuk dipelajari di setiap rumah di desa.
Dengan cara pandang baru ini, proses penganggran tidak lagi sekedar berpusat pada proses perumusan taksiran pendapatan dan pengeluaran yang dipakai dalam penyusunan, prakiraan pengaruhnya pada prilaku pelaku ekonomi serta pada kelompok sasaran dari masing-masing pos anggaran. Melainkan suatu proses belajar kritis semua masyarakat dan pemerintah desa untuk terus menerus mengkritisi, membongkar dan memperbaiki model anggaran publik yang digunakan dan basis informasi untuk penyusunannya, proses penyusunannya serta asumsi-asumsi yang digunakan.


Dengan demikian, anggaran desa tidak lagi hanya menyangkut rencana-rencana kegiatan dan investasi pemerintah yang harus dibiayai dengan sumber-sumber pendapatan negara dari alam setempat dan dari kegiatan produktif serta konsumtif masyarakat. 

Sehingga anggaran desa juga harus mencakup kebutuhan pembiayaan untuk proses penataan ulang, baik secara langsung maupun bertahap, kuasa atas sumber-sumber agraria serta pengelolaanya kepada satuan-satuan pengurusan terkecil yang kompeten, mulai dari serikat usaha dan desa, pengembangan sistem keamanan pangan termasuk wilayah dan pekerja penghasil pangan, pengelolaan tata air, pengelolaan bahan-bahan buangan dari proses konsumsi rumah tangga, pertanian, dan industri. 

Kenapa? "Masyarakat belum menjadi subjek dalam pengelolaan keuangan desa". Selengkapnya akan Anda temukan jawabannya dalam buku: Peran aktif Warga Masyarakat dalam Pengelolaan Keuangan desa. 

Buku ini diterbitkan oleh Peace Through Development in Disadvantaged Area (PTDDA) kerjasama Kementerian Desa PDTT dengan United Nation Development Programme (UNDP). 

Desa Harus Menjadi Pemain Utama, agar Otonomi Desa tidak Tercabik-cabik

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah memberikan harapan baru terkait upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa secara mandiri.
Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah memberikan harapan baru terkait upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa secara mandiri.

Sebelum UU Desa lahir, desa dan masyarakat desa diposisikan sebagai objek pembangunan, semua diatur dari atas. "Maka tak heran, bila proyek-proyek yang masuk ke desa, sering sekali berbenturan dengan hajatan dan kebutuhan masyarakat desa". Karena semua serba top down.


Setelah UU Desa lahir, perubahan baru dalam berdesa pun berubah. Desa dan masyarakat desa dihormati sebagai objek pembangunan. Desa diberikan hak dan kewenangan untuk mengurus dan mengelola wilayahnya secara mandiri(otonom). Adapun kewenangan yang melekat pada desa, yaitu kewenangan berdasarkan Hak Asal Usul dan kewenangan Lokal Berskala Desa.

Pemberian otonomi yang luas kepada desa, dimaksudkan agar desa bersama masyarakat mampu dan sanggup membangun kekuatan memandirikan desanya untuk mewujudkan masyarakat desa yang lebih sejahtera.


Oleh karena itu, agar otonomi desa tidak tercabik-cabi ditengah jalan. Desa bersama masyarakat desa harus berperan sebagai pemain utama sebagai subjek pembangunan di desa. Semoga!

Hak-Hak Keuangan Desa

Keuangan Desa - UU Desa mengubah konstruksi desa dari tidak memiliki kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menjadi pelaku utama yang memiliki mandat kewenangan secara pasti. Sebagaimana diperintahkan Pasal 20 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh desa.

Kewenangan itu tidak sebatas memiliki dan menentukan kewenangan desa, tetapi juga menjadi dasar dalam menyusun perencanaan pembangunan, menyusun anggaran desa, hingga mengoptimalkan pemanfaatan potensi desa dan mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Pelaksanaan kewenangan tersebut harus dapat mewujudkan pembangunan desa yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi hak-hak dasar, dan menanggulangi kemiskinan di desa.

Tanggung jawab pemerintah desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga diiringi dengan jaminan bahwa pemerintah desa memiliki hak mendapatkan keuangan yang sebanding dengan kewenangannya. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mempunyai semangat baru untuk menjadikan desa lebih mandiri secara keuangan. Sumber keuangan desa tidak bersifat bantuan tetapi sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk memberikannya kepada desa.

Cara pandang pemerintah dan pemerintah daerah terhadap hak desa untuk mengelola keuangan desa harus berubah, tidak dibenarkan lagi meletakkan pemerintah desa untuk selalu “menunggu perintah”. Cara pandang tersebut harus diubah dengan menempatkan desa menjadi pelaku utama, uang desa adalah uang rakyat bukan uang pemerintah/pemerintah daerah, dan seterusnya. Apabila kondisi ini terlaksana, cita-cita UU Desa untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa akan segera terwujud.

1. Desa Sebagai Pelaku Utama

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendudukkan desa tidak lagi sebagai bagian dari (subsistem) kabupaten/ kota, tetapi berada di kabupaten/kota. Artinya bahwa kedudukan desa tidak lagi hanya menjadi “pesuruh” pemerintah kabupaten/kota sebagaimana yang selama ini terjadi. Akan tetapi, desa diposisikan menjadi subyek utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. Desa telah memiliki kedaulatan untuk mengatur dan mengurus rumah tanggganya sendiri berdasarkan kewenangan desa yang dimiliki. Baik kewenangan yang berasal dari hak asal-usul maupun kewenangan lokal berskala desa.

Visi misi desa untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat yang dimandatkan UU Desa telah direalisasikan dalam wujud kewenangan desa. Sehingga desa saat ini mempunyai tugas dan tang gung jawab untuk mengungkit kewenangannya sendiri secara optimal yang kemudian dijadikan sebagai modal utama menuju kemandirian desa. Desa juga harus segera menemukan kembali jati dirinya yang sudah sangat lama “diamputasi dan dihilangkan” oleh sistem penyeragaman desa. Dengan demikian, menjadi sangat krusial bagi desa untuk mengawali perenungan, mengungkit kembali kekuatan sosial yang dimiliki sebagai wujud membangun kedaulatan. 

2. Uang Desa adalah Uang Rakyat

Uang desa hakikatnya adalah uang rakyat yang harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Keuangan desa merupakan alat yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintahan desa. Semakin bertambah uang desa maka sudah seharusnya tujuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dapat tercapai sesuai yang digambarkan dalam visi misi desa, yaitu kesejahte- raan dan kemandirian. 

Guna melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar rakyat, keuangan desa harus dikelola secara terbuka, partisipatif, bertanggungjawab, dan berkeadilan. Sehingga, sejak dari proses perencanaan anggaran desa, pelaksanaan, sampai pertanggungjawaban wajib melindungi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Pemanfaatan sumber daya keuangan desa tidak boleh didominasi dan dikuasai segelintir aktor/elit desa. Karenanya, setiap proses pengambilan keputusan terkait keua- ngan desa harus tetap mencerminkan keberpihakan dan keadilan untuk pemenuhan kebutuhan riil masyarakat desa.

Pertanyaannya, “mengapa uang desa adalah uang rakyat?” Jawabannya tegas, karena rakyat yang membayar pajak, retribusi, dan lain-lain sebagai sumber utama keuangan negara. Sehingga pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa mempunyai kewajiban membelajakan uangnya sesuai dengan kebutuhan riil rakyatnya. Mereka tidak boleh membelanjakan uang tersebut tanpa ada mandat dan persetujuan dari rakyat.

3. Jenis–Jenis Sumber Keuangan Desa

Sumber keuangan desa sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 76 ayat (1) terdiri dari : Pendapatan Asli Desa, Dana Transfer (Dana Desa, ADD, Bagi Hasil Pajak dan retribusi Daerah), Bantuan Keuangan, dan Lain-lain pendapatan desa yang sah. Jika hal ini dibandingkan dengan sumber keuangan desa yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperjelas dalam PP No.72 Tahun 2005 tentang Desa, maka perbedaannya cukup signifikan.

Meskipun seolah-olah jenis sumber keuangan hanya ditambah dengan dana desa, tetapi alokasi UU No.6/2014 lebih tegas dan tidak ada yang beda tafsir antara teks pasal dengan penjelasan pasal. Seperti, jika sesuai teks pasal 68 ayat (1) huruf c, PP 72/2005 tentang Desa turunan dari UU 32/2004 tentang Pemda besar ADD adalah 10% dari Dana Perimbangan (DAPER) atau (10% x (DBH +DAU ). Tetapi pada pasal penjelasan disebutkan 10% dari DAPER atau bagi hasil pajak dan sumber daya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai atau (10%x (DAU-Belanja Pegawai)).

Untuk selengkapnya bisa dibaca dalam Buku Modul Tata Kelola Keuangan Desa, Penulis Yusuf Murtiono, diterbitkan pertama kali tahun 2016 oleh Infest.(*)

24 April 2017

Kemendes PDTT Dorong Desa Banaran Jadi Model Desa Tangguh Bencana

Ayo Bangun Desa - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyerahkan bantuan berupa mobil operasional dan alat pengisap lumpur untuk Desa Banaran di Kabupaten Ponorogo. Bantuan tersebut sekaligus mendorong Desa Banaran untuk menjadi model Desa Tangguh Bencana.

“Desa Tangguh Bencana merupakan program nasional. Kami juga dorong para pemuda desa dibantu para aktivis untuk menjadi relawan tangguh bencana. Kita berharap peristiwa tanah longsor kemarin dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Ke depan, desa dapat mandiri menghadapi berbagai kemungkinan bencana,” ujar Kepala Sub Direktorat Wilayah V, Direktorat Penanganan Daerah Rawan Bencana, Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (PDTU), Kemendes PDTT, Ferry Syahminan, saat menyerahkan bantuan untuk Desa Banaran, Ponorogo, Minggu (23/4).

Ferry menambahkan, bantuan tersebut bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kemendes PDTT. Donasi yang terkumpul merupakan inisiatif jajaran Kemendes PDTT sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas kepada Desa Banaran yang tertimpa musibah tanah longsor beberapa waktu lalu.

“Kami juga menyerahkan bantuan berupa alat tanggap bencana seperti gergaji mesin dan sepatu boot. Selain itu juga ada kebutuhan dasar beribadah untuk warga diantaranya adalah sarung, mukena, dan baju koko. Hal ini juga telah kami konsultasikan kepada pemerintah desa setempat,” lanjutnya.

Kepala Desa Banaran, Sarnu, mengapresiasi adanya bantuan yang diberikan kepada masyarakatnya. Dirinya pun siap mengajak warganya untuk semakin waspada dan mandiri terhadap potensi bencana di masa yang akan datang.

“Desa kami ini sangat rawan longsor. Tentu kami sangat berterima kasih dengan adanya bantuan dari pemerintah. Kami akan terus menggerakkan masyarakat untuk semakin peduli terhadap lingkungannya agar benar-benar dapat menjadi model Desa Tangguh Bencana di Kabupaten Ponorogo ini,” ujar Sarnu.

Sebelumnya, para tenaga pendamping desa di wilayah Kabupaten Ponorogo juga telah mendirikan posko siaga bencana di kawasan Desa Banaran. Aksi kepedulian dan cepat tanggap tersebut diwujudkan melalui bantuan tenaga dan pos identifikasi pencarian jenazah.[]

Kemendesa PDTT

Pengurus BUMDes Tidak Harus Sarjana

Badan Usaha Milik Desa - Semua desa di nusantara bergegas mempersiapkan diri untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa, dalam rangka meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan pendapatan asli desa, pengelolaan potensi desa yang sesuai kebutuhan masyarakat, dan sebagai tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.

BUM Desa merupakan salah satu wadah bagi desa untuk meningkatkan dan memajukan ekonomi di desa. BUMDes selain berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) juga sebagai lembaga komersil (commercial institution).


Sebagai lembaga sosial maka segala aktivitas BUMDes harus berpihak kepada kepentingan masyarakat dalam penyediaan pelayanan sosial. Dengan demikian, masyarakat berhak mendapatkan akses dan manfaat dari BUM Desa yang didirikan. 

Sedangkan dalam posisi sebagai lembaga usaha komersil, BUMDes dapat membangun berbagai jenis usaha yang dikelola dengan manajerial profesional, akuntabel dan transparan. Melalui kegiatan-kegiatan yang diusahakan oleh BUMDes menjadi pendapatan bagi desa. 

BUMDes sebagai lembaga yang memiliki dua fungsi (sosial-ekonomi), maka dibutuhkan sosok figur yang kuat dalam mengelolan BUMDes. Meskipun demikian, pengurus BUMDes tidak harus sarjana. 

Bagi desa yang kekurangan SDM. Dapat memiliki orang-orang yang memiliki kapasitas, mampu memotivasi tim kerja, berkepribadian baik, bermental kuat dan berjiwa entrepreneur. 

Orang yang berjiwa entrepreneur biasanya lebih cepat dalam membaca peluang usaha-usaha yang inovatif dan kreatif. Supaya ikhtiar untuk BUM Desa yang berdaya dapat terwujud.[]