Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan

08 September 2018

Kreasi Desa di Ruang Kewenangannya

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi harapan baru bagi masyarakat desa. Ditegaskan, kewenangan yang lebih luas dan jelas kepada desa. Dengan dukungan anggaran yang relatif besar, Desa dengan kewenangannya mampu melakukan upaya mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat Desa.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.
Berdasar UU Desa, inovasi dan kreasi Desa dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki telah berkembang menjadi praktik baik. Pengakuan negara terhadap Desa, penegasan tentang kewenangan Desa menjadikan kalimat Desa sebagai subyek pembangunan lebih bermakna.

Pada masa perjalanan sampai keempat UU Desa, ada beberapa catatan penting.

Pertama, sudah banyak muncul inovasi dan kreatifitas Desa dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pengembangan berbagai usaha desa yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), penguatan usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh masyarakat, layanan e-commerce, dan sebagainya.

Kedua, komitmen Pemerintah Desa untuk melakukan transparansi lebih kuat. Infografik APBDesa dibuat oleh desa-desa. Dipasang di tempat strategis yang mudah dibaca oleh masyarakat. Papan informasi kegiatan pembangunan juga dipasang dengan memuat uraian besaran anggaran. Termasuk, diunggahnya dokumen APBDesa dan informasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di website desa.

Ketiga, kendati demikian masih sering terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman dari para pelaksana. Baik di level Pemerintah Pusat, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa terkait aturan tentang proses pembangunan, pengelolaan keuangan, serta pengadaan barang dan jasa di Desa.

Keempat, upaya pembinaan dan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Desa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan belum optimal.

Kelima, titik perhatian dalam pelaksanaan UU Desa masih soal seputar Dana Desa. Soal bagaimana proses yang dilakukan oleh seluruh komponen yang ada di Desa dalam membangun Desa belum banyak mendapat perhatian.

Praktik baik telah berkembang melembaga dalam pembangunan Desa. Saat ini, berbagai praktik baik dalam tata kelola desa bermunculan. Praktik baik itu bisa terkait dengan upaya peningkatan pelayanan publik, proses perencanaan pembangunan, peningkatan partisipasi dan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, transparansi, pengembangan sistem informasi desa, dan pengembangan ekonomi desa. 

Kewenangan Desa yang menjadi amanat UU Desa telah memberi jalan bagi Desa untuk bergerak maju secara kreatif. Ada semangat yang tumbuh dalam diri desa untuk memanfaatkan potensi yang ada secara lebih optimal. Kewenangan desa telah memberikan ruang besar bagi Desa memberdayakan dirinya.

Namun demikian, harus diakui bahwa ditengah berbagai praktik baik itu masih banyak kekurangan. Problem masih kurang efektifnya koordinasi antar lembaga yang mengurusi desa, baik pada tingkat kementerian maupun Pemerintah Daerah masih menjadi problem serius yang mengakibatkan pelaksanaan UU Desa menjadi begitu rumit. Banyak regulasi yang dikeluarkan oleh kementerian untuk mengatur desa, tetapi seringkali regulasi tersebut kurang sinkron antara satu dengan yang lainnya. Sudah begitu, regulasi yang ada seringkali cepat berubah. Hal ini sangat menyulitkan desa.


Kekurangan lain adalah adanya pandangan yang melihat UU Desa sebagai sekedar pelaksanaan Dana Desa. Bahkan Dana Desa dianggap hanya sebuah program saja, dengan Desa sebagai pelaksananya. Pandangan semacam ini dalam berbagai hal mengakibatkan adanya kecenderungan pendekatan yang berlebihan kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam melihat Desa.

Dengan kondisi semacam itu apa yang bisa kita lakukan?

Desa harus terus bergerak secara kreatif dan inovatif sehingga ruang-ruang kewenangannya banyak terisi oleh gagasan-gagasan penguatan Desa itu sendiri.[*]

Ditulis oleh Bayu Setyo Nugroho
Kepala Desa Dermaji, Banyumas, Jawa Tengah

20 Desember 2017

Macam-Macam Metode Perencanaan Partisipatif

Sifat pengelolaan pembangunan desa meliputi banyak aspek dan memiliki keterkaitan dengan banyak pihak, maka tidak dapat dihindari jika metode perencanaan partisipatif yang diperkenalkan ke desa juga banyak jenisnya. 

Dengan berbagai macam metode atau cara perencanaan partisipatif ini tentu sangat dipengaruhi oleh masing-masing pihak, baik instansi pemerintah maupun lembaga lainnya sesuai dengan kepentingannya.
Berbagai metode perencanaan partisipatif yang langsung melibatkan peran masyarakat seperti ZOPP, PRA, dan RRA
Berbagai metode perencanaan partisipatif yang langsung melibatkan peran masyarakat, telah banyak dikenal. Berikut beberapa metode perencanaan partisipatif:

1. Metode ZOPP

Yaitu sebuah perencanaan proyek yang berorentasi kepada tujuan. ZOPP adalah singkatan dari kata-kata Ziel (tujuan), Orienterte (berorentasi), Projekt (proyek), dan Planung (perencanaan).

Perencanaan partisipatif melalui metode ZOPP ini dilakukan dengan menggunakan empat alat kajian dalam rangka mengkaji keadaan desa, yaitu kajian permasalahan, kajian tujuan, kajian alternatif (pilihan-pilihan) dan kajian peran.

Kajian permasalahan; dimaksudkan untuk menyidik masalah-masalah yang terkait dengan suatu keadaan yang ingin diperbaiki melalui suatu proyek pembangunan.

Kajian tujuan; untuk meneliti tujuan-tujuan yang dapat dicapai sebagai akibat dari pemecahan masalah-masalah tersebut.

Kajian alternatif (pilihan-pilihan); untuk menetapkan pendekatan proyek yang paling memberi harapan untuk berasil.

Kajian peran; untuk mendata berbagai pihak (lembaga, kelompok masyarakat dan sebagainya) yang berkaitan dengan proyek selanjutnya mengkaji kepentingan dan potensi.

Perencanaan dengan metode ZOPP mempuyai kegunaan untuk meningkatkan kerjasama semua pihak yang terkait, mengetahui keadaan yang ingin diperbaiki melalui proyek, merumuskan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan sebagai dasar pelaksanaan proyek. Mutu hasil dari perencanaan itu sangat tergantung pada informasi yang tersedia dan yang diberikan.

2. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)

Yaitu sebuah metode pendekatan belajar tentang kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan, dan oleh masyarakat desa sendiri. Pengertian belajar di sini mempuyai arti yang luas, karena meliputi juga kegiatan mengkaji, merencanakan, dan bertindak. 

Tujuan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) adalah untuk menghasilkan rancangan program yang lebih sesuai dengan hasrat dan keadaan masyarakat. PRA juga bertujuan memberdayaakan masyarakat, yakni dengan pengembangan kemampuan masyarakat dalam mengkaji keadaan mereka sendiri, kemudian melakukan perencanaan dan tindakan.

Sedangkan prinsip kerja metode PRA hampir sama dengan metode ZOPP. Perbedaanya, kalau metode PRA penekanannya lebih pada proses belajar masyarakat dan tujuan praktis untuk pembangunan program.

Penerapan metode PRA adalah untuk mendorong masyarakat turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat menyusun rencana dan tindakan. Metode PRA bersifat terbuka untuk menerima cara-cara dan metode baru yang dianggap cocok.

3. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)

yaitu sebuah metode yang digunakan sebagai langkah awal untuk memahami situasi setempat, pelaksanaanya dilakukan oleh suatu tim dan dilaksanakan dalam waktu yang singkat.

Metode ini dilaksanakan dengan menggali informasi terhadap hal-hal yang terjadi, kemudian mengamati dan melakukan wawancara langsung. Semua informasi tersebur diolah oleh tim untuk kemudian diumpanbalikkan kepada masyarakat sebagai dasar perencanaan.

Metode RRA ini lebih berfungsi sebagai perencanaan dari penelitian lebih lanjut, atau sebagai pelengkap penelitian yang lain, atau sebagai kaji-tindak untuk menyelaraskan antara keinginan masyarakat dan penentu kebijakan.

Pada prinsipnya ketiga jenis metode perencanaan partisipatif tersebut, mempunyai tujuan yang sama, yakni memberdayakan masyarakat dan kelembagaan desa serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.

Namun, metode perencanaan partisipatif yang telah ada ini, perlu diramu lebih sedemikian rupa dengan mendasarkan prinsip musyawarah dan gotong royong yang telah hidup berurat-berakar di masyarakat perdesaan. 

(Diringkas dari buku perencanaan partisipatif pembangunan masyarakat desa, P3MD, 1996).

20 Januari 2017

Mekanisme Transfer Dana Desa akan Diperbaiki

Pemerintah menyiapkan sejumlah skema untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan dana desa. Pada 2017, pemerintah akan mengalokasikan dana desa sebesar Rp 60 triliun atau naik hampir 10% dibanding alokasi tahun lalu yang sebesar Rp 47 triliun.

Membangun kemandirian desa

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Boediarso Teguh Widodo Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan, pihaknya akan meningkatkan koordinasi antarkementerian terkait, baik Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

"Selain itu, memperbaiki mekanisme penyaluran dana desa yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan, yaitu penyaluran didasarkan kepada kinerja pelaksanaan dan tidak lagi hanya berdasarkan kinerja penyerapan yang selama ini dilakukan," kata dia kepada Investor Daily, Rabu (18/1). 

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini penyaluran dana desa dilakukan dalam dua tahap, dimana tahap kedua bisa disalurkan apabila penyaluran dan penggunaan dana desa tahap pertama sudah disalurkan dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ke Rekening Kas Desa (RKD), dan digunakan di desa minimal 50%. Kedepan, persentase tersebut akan ditingkatkan, serta melihat capaian output.

Upaya lain, memperbaiki regulasi mengenai pengelolaan keuangan desa, melaksanakan pelatihan bagi perangkat desa dalam pengelolaan keuangan desa, mengoptimalkan peran tenaga pendamping desa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, hingga penyusunan pelaporan dan pertanggungjawaban. 

"Selain itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa, memperkuat peran camat dalam membina desa, dan tidak kalah pentingnya memberdayakan pengawasan masyarakat desa dalam pelaksanaan program/kegiatan di desa yang didanai oleh dana desa," tambah dia.

Untuk mencegah potensi overlapping pembangunan infrastruktur yang didanai melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dengan dana desa, menurut dia, pada dasarnya infrastruktur yang didanai melalui DAU dan DBH digunakan untuk mendanai kegiatan yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Berbeda dengan dana desa yang digunakan untuk mendanai infrastruktur berskala desa.

Adapun pengaturan mengenai penggunaan dana desa juga telah diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Selain itu, daerah didorong untuk menerbitkan peraturan kepala daerah mengenai pembagian kewenangan berskala desa untuk menghindari adanya duplikasi pendanaan.

"Dengan demikian, seharusnya ketiga jenis dana transfer untuk membiayai infrastruktur dasar publik dapat saling melengkapi dan mengisi, bukan justru menyebabkan overlapping apalagi crowding," tambah dia. 

Sementara terkait adanya dugaan penggunaan dana desa untuk pilkada, lanjut dia, perlu dilakukan penguatan pengawasan oleh aparat pengawasan fungsional di daerah serta penguatan pemantauan dan evaluasi.

Jalan Desa

Secara terpisah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengungkapkan dana desa yang disalurkan selama 2016 telah membangun 51.000 kilometer jalan desa di seluruh Indonesia.

Eko di Jakarta, Selasa (17/1), mengemukakan, dana desa juga telah membangun 412 ribu meter jembatan, 31 ribu unit MCK, dan 15.943 unit pengolahan air bersih yang dibangun oleh masyarakat desa. 

Selain itu, dana desa yang disalurkan pada 2016 juga telah membangun 9.727 sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 5.485 posyandu, dan 2.448 polindes.

Untuk sektor pertanian, lanjut Eko, sebanyak 11.626 sumur dibangun di desa daerah yang tidak ada sumber air, 1.058 tambatan perhau, 1.557 pasar desa, 628 embung desa dalam tiga bulan belakangan, serta 49.558 drainase saluran irigasi tersier.

Eko menyebutkan data tersebut merupakan laporan yang disampaikan desa-desa dengan persentase 70% data yang masuk dari total keseluruhan desa. Menurut dia, penyaluran dana desa pada 2016 naik signifikan dibanding 2015.

"Penyaluran dana desa dari pemerintah pusat ke kabupaten meningkat dari 80% di 2015 naik menjadi 99% lebih. Hanya ada beberapa daerah yang belum bisa dilakukan penyalurannya karena masalah hukum desa tersebut sudah berubah jadi kelurahan," kata dia.

Eko menyebutkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan survei dengan metode sampling pada desa di beberapa daerah yang menunjukkan peningkatan di beberapa aspek.

"Kami lakukan semacam sensus dengan sampling 449.393 desa. Kenaikan desa tertinggal menjadi desa mandiri dari 0,23% sekarang 2%, desa maju dari 4,83% menjadi 14%, desa berkembang 30,66% menjadi 45%, desa tertinggal turun dari 45,41% jadi 32%, desa sangat tertinggal dari 18,87% menjadi 7%," kata Eko.

Namun, Eko menekankan, data tersebut hanya merupakan survei dari sampel sejumlah desa. Oleh karena itu dia berharap adanya sensus langsung dari Badan Pusat Statistik untuk mengetahui data pasti. "Kami akan minta BPS lakukan sensus. Kalau ini benar-benar tercapai, berarti target RPJMN kita sampai 2019 sudah tercapai," kata Eko.(*)

09 Januari 2017

Penyerapan Dana Desa Tahun 2016 Sebesar 95 Persen

Siaran Pers Biro Humas Kemendesa, PDTT menyebutkan, penyerapan Dana Desa tahun 2016 lebih tinggi dibanding tahun 2015. Pada tahun 2016 penyerapan Dana Desa sebesar 95 persen meningkat dibanding tahun 2015 yaitu 83 persen. 
Siara Pers Biro Humas Kemendesa, PDTT menyebutkan, penyerapan Dana Desa tahun 2016 lebih tinggi dibanding tahun 2015. Pada tahun 2016 penyerapan Dana Desa sebesar 95 persen meningkat dibanding tahun 2015 yaitu 83 persen.
Image: Twitt Sekretariat Negara
Dengan meningkatnya penyerapan dana desa tahun 2016 berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga 5 persen dari tahun sebelumnya 4,8 persen.

Hal tersebut disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Eko Putro Sandjojo pada acara Sarasehan Desa dan peluncuran buku Pembangunan dan Pembaharuan Desa: Ekstrapolasi 2017 di Jakarta kemaren.

"Pelaksanaan Dana Desa itu ada unsur swadaya masyarakat, jadi costnya juga lebih murah. Dana Desa 2016 mampu membuat jalan desa sepanjang 50.378 kilometer", ujarnya. 

Menurut Menteri Desa, itu merupakan salah satu capaian dari implementasi Dana Desa sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sementara itu, terkait dengan prioritas penggunaan dana desa pada tahun 2016 berpedoman pada Permendesa PDTT Nomor 21/2015 yang direvisi melalui Permendesa PDTT No. 8/2016.


Sebagai informasi realisasi pemanfaatan Dana Desa, sebanyak 52.745 desa (70,56 persen) dari 74.754 jumlah desa pada 2016 telah melaporkan penggunaan Dana Desa tahun 2016. 

Sebagian besar dana desa dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembangunan desa (90,45 persen), pemanfaatan pada bidang pemberdayaan masyarakat sebesar 5,65 persen, penyelenggaraan pemerintahan 2,55 persen, dan pembinaan kemasyarakatan 1,35 persen.
Secara lebih spesifik, Dana Desa yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan sebagian besar dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur (82,73 persen), sedangkan 5,48 persen digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar, 1,6 persen untuk pengembangan ekonomi lokal dan 0,27 persen untuk pendayagunaan SDA dan teknologi tepat guna. 

Dalam pembangunan infrastruktur, Dana Desa tahun 2016 digunakan untuk pembangunan jalan desa sepanjang 50.378 kilometer, pembangunan jembatan 412,2 kilometer, pembuatan MCK sebanyak 12.614 unit, pembangunan sarana air bersih 15.943 unit.

Selanjutnya, pembangunan posyandu 5.485 unit, pembuatan sumur 11.626 unit, pembuatan tambatan perahu 1.068 unit, Pasar Desa 1.557 unit, embung sebanyak 628 unit, PAUD sebanyak 9.727 unit, polindes 2.448 unit, serta drainase 49.558 unit.

Seperti disebutkan, jumlah 
Dana Desa terus meningkat tiap tahun, tahun 2017 rencananya sebesar Rp60 triliun. Peningkatan jumlah Dana Desa tiap tahun, dimungkinkan untuk prioritas pembangunan yang lain, salah satunya pembangunan embung air dengan pertimbangan 80 persen penduduk Indonesia hidup di daerah pertanian.[MIN] 

Klasifikasi Jenis-Jenis Desa Berdasarkan Perkembangannya

Dalam Permendagri Nomor 84 Tahun 2016 Tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa disebutkan susunan organisasi pemerintah desa disesuaikan dengan tingkat perkembangan desa.
Berdasarkan klasifikasi desa. Maka desa di Indonesia dibagi dalam 3 jenis desa, yaitu Desa Swadaya, Desa Swakarya dan Desa Swasembada
Klasifikasi Jenis Desa/Image: SlideShare
Berdasarkan klasifikasi desa. Maka desa di Indonesia dibagi dalam 3 jenis desa, yaitu Desa Swadaya, Desa Swakarya dan Desa Swasembada. 


Berikut pengertian desa beserta ciri-cirinya berdasarkan klasifikasi desa sesuai tingkat perkembangan desa.

1. Desa Swadaya 

Desa swadaya adalah desa yang memiliki potensi tertentu tetapi dikelola dengan sebaik-baiknya. Ciri-ciri desa swadaya, sebagai berikut:
  • Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya
  • Penduduknya jarang.
  • Mata pencaharian homogen yang bersifat agraris.
  • Bersifat tertutup.
  • Masyarakat memegang teguh adat.
  • Teknologi masih rendah.
  • Sarana dan prasarana sangat kurang.
  • Hubungan antarmanusia sangat erat.
  • Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.
2. Desa Swakarya

Desa swakarya adalah peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada. Desa Swakarya dengan ciri-ciri, sebagai beriku:
  • Kebiasaan atau adat istiadat sudah tidak mengikat penuh.
  • Sudah mulai menpergunakan alat-alat dan teknologi
  • Desa swakarya sudah tidak terisolasi lagi walau letaknya jauh dari pusat perekonomian.
  • Telah memiliki tingkat perekonomian, pendidikan, jalur lalu lintas dan prasarana lain.
  • Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah agak lancar.
3.Desa Swasembada

Desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Ciri-ciri desa swasembada, sebagai berikut:
  • Kebanyakan berlokasi di ibukota kecamatan.
  • Penduduknya padat-padat.
  • Tidak terikat dengan adat istiadat
  • Telah memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai dan labih maju dari desa lain.
  • Partisipasi masyarakatnya sudah lebih efektif.
Permendagri Nomor 84 Tahun 2016 menjelaskan bahwa jumlah perangkat desa akan ditentukan sesuai klasifikasi desa menurut tingkat perkembangannya. Desa swasembada wajib memiliki 3 urusan dan 3 seksi. Desa Swakarya dapat memiliki 3 urusan dan 3 seksi, sedangkan untuk Desa Swadaya memiliki 2 urusan dan 2 seksi.

Nah, dari ciri-ciri desa diatas. Sekarang Anda berada di desa yang mana?[]

06 Januari 2017

Pemberdayaan Setengah Hati

Penambahan dana desa yang akan ditransfer langsung ke desa itu tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di daerah
Pemerintah berencana terus menambah alokasi dana desa dari APBN, untuk mengakselerasi pembangunan di daerah. Sayangnya, penambahan dana yang akan ditransfer langsung ke desa itu tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di daerah.

Tidak meratanya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dana desa, memang menjadi salah satu hambatan dalam penyalurannya. Padahal, pemerintah juga telah menyediakan pendamping desa untuk memastikan pengelolaan dana dapat dilakukan dengan baik hingga ke tahap pelaporannya.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus turun tangan untuk melakukan kajian mengenai potensi kelemahan akuntabilitas pengelolaan dana desa.

Hasilnya, lembaga tersebut disarankan untuk melakukan kajian setelah dana cair dan pelaksanaan pengelolaannya selesai. Tujuan kajian tersebut adalah agar diperoleh gambaran komprehensif mengenai potensi kelemahan akuntabilitas pengelolaan keuangan dana desa.

Kajian itu juga meminta BPKP memberikan masukan kepada Kementerian Dalam Negeri, untuk mendorong pemerintah daerah menyusun dan menerbitkan pedoman umum, serta pedoman teknis penggunaan dana desa.

Kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengawasan BPKP itu juga meminta semua pihak untuk memperhatikan keterlambatan penerbitan kebijakan mengenai dana desa, dan perubahan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Keterlambatan penerbitan kebijakan dan perubahan regulasi tersebut dapat menimbulkan kebingungan, serta ketidakpastian dalam pelaksanaan pengelolaan dana desa.

Selain itu, terdapat juga potensi kelemahan akuntabilitas, karena perbedaan jangka waktu rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) kabupaten/kota dengan RPJM desa, sehingga memunculkan disharmoni pelaksanaan pembangunan di lapangan.

Kurangnya keterbukaan juga dapat mengurangi kualitas akuntabilitas perencanaan dan penganggaran dana desa. Selain itu, dana desa berpotensi tidak efektif, karena perencanaan pembangunan desa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta kekhasan daerah.

Selanjutnya, kajian tersebut juga menyoroti tidak adanya indikator dan target pembangunan desa, yang berpotensi membuat pembangunan yang tidak terarah. Kemudian, pembangunan desa berpotensi menjadi tidak efektif, karena perencanaan dan penganggaran tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Hal penting lain yang menjadi sorotan adalah pertanggungjawaban publik oleh kepala daerah dalam perencanaan dan penyusunan anggaran belum dilakukan dengan baik. Terakhir, keterlambatan ketersediaan pedoman umum dan pedoman teknis berpotensi membuat pembangunan desa yang bersumber dari dana desa terlambat.

Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan selama ini upaya membangun ekonomi dari pinggir dan pemberdayaan desa masih setengah hati.

“Selama ini pengelolaan dana desa memang memenuhi regulasi dan seluruh aturan yang ada, tetapi dampak yang dirasakan masyarakat masih sangat kurang,” katanya, Kamis (29/12).

Menurut Enny, pemerintah telah bertindak sok tahu, dengan merekrut orang-orang yang tidak tepat sebagai pendamping desa. Harusnya, pemerintah melibatkan lembaga dan semua pihak yang selama ini melakukan program pemberdayaan masyarakat di setiap daerah.

Menurutnya, selama ini sebenarnya sudah ada lembaga sosial masyarakat yang melakukan program pemberdayaan masyarakat di desa. Tujuan lembaga tersebut pun relatif murni untuk kerja sosial, dan membangun masyarakat di daerah.

“Belum tentu pendamping desa yang direkrut dari para sukarelawan mengerti karakteristik desa. Kenapa pemerintah tidak bekerja sama dengan pihak yang selama ini sudah melaksanakan program pemberdayaan desa?” Katanya.

Kerja sama tersebut dapat dilakukan dengan sebuah sistem dan standar yang disepakati, serta pengawasan ketat. Sistem kerja sama itu pun harus memuat indikator yang dapat menjadi acuan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan dana desa.

Enny menambahkan, pemerintah selama ini juga terlalu fokus dengan pendekatan proyek dalam pengelolaan dana desa. Dampaknya, pengelolaan dana desa hanya dinilai berdasarkan serapannya, tanpa melihat multiplier effect yang dihasilkan.

Selain itu, Enny juga menekankan pentingnya perencanaan pembangunan dalam pengelolaan dana desa yang efektif. RPJM Desa harus disusun dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, bukan disusun oleh konsultan yang belum tentu mengerti kebutuhan daerah.

“Selama ini penyusunan RPJM Desa disusun secara tergesa-gesa, dan kerap diselesaikan oleh para konsultan, tanpa menyerap aspirasi masyarakat,” katanya.

Persoalan transparansi dalam pengelolaan dana desa sebenarnya juga telah menjadi perhatian pemerintah. Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, mengatakan pengelolaan dana desa memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, untuk mencegah penyelewengan.

“Saya akan ikut aktif mengawasi dana desa bersama seluruh masyarakat dan penegak hukum, agar tidak ada pemikiran yang aneh-aneh terkait program yang sedang dikerjakan. Kami juga membuka ruang transparansi kepada masyarakat,” katanya.

Eko juga mengingatkan pejabat desa untuk tidak takut dengan keterbukaan publik dalam pengelolaan dana desa. Keterbukaan merupakan salah satu langkah antisipasi pelanggaran yang mungkin dilakukan secara tidak disengaja.

Pengawasan, lanjut Eko, memang diperlukan agar pengelolaan dana desa semakin membaik setiap tahunnya. Pasalnya, dana desa akan terus meningkat agar mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di pedesaan.

Untuk tahun ini, Kemendesa PDTT mengarahkan penggunaan dana desa untuk empat program prioritas. Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendesa PDTT Ahmad Erani Yustika mengatakan, dana desa 2017 dapat digunakan untuk empat peruntukan besar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan mendesak tiap desa.

“Tahun 2017, bagi desa yang masih tertinggal, untuk bidang infrastruktur silakan dilanjutkan. Kedua, pelayanan sosial dasar, seperti akses air bersih, sanitasi, listrik, dan PAUD. Ketiga, pengembangan ekonomi untuk membuat BUMDes. Keempat, pemberdayaan dan pelatihan,” paparnya.

Sejak pertama kali dirilis pada 2015, alokasi dana desa terus meningkat. Pada 2015 total dana desa yang dialokasikan pemerintah ialah sebesar Rp20,7 triliun. Angka itu kemudian naik pada 2016 menjadi Rp46,9 triliun, dan direncanakan naik lagi menjadi Rp60 triliun pada 2017. Pemerintah juga berniat menggandakan alokasi dana desa pada 2018.

Peningkatan alokasi dana desa seharusnya diimbangi dengan peningkatan perbaikan kualitas pendampingan dan pengawasan. Kesiapan SDM, partisipasi masyarakat, transparansi menjadi beberapa suara sumbang program dana desa.[Sumber: Koran Bisnis]

05 Januari 2017

Apa itu SIGDes?

SIGDes adalah singkatan dari Sistem Informasi Geospasial Desa. Sesuai UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka diperlukan penyusunan Peta Desa sebagai dasar informasi dan pijakan dalam pembangunan.

SIGDes adalah singkatan dari Sistem Informasi Geospasial Desa.
Ilustrasi: Peta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Desa didefinisikan adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan definisi tersebut, desa mengharuskan memiliki Peta Desa sebagai acuan dalam merencanakan pembangunan di desa. "Peta Desa yang ideal yaitu peta yang sesuai standar BIG".

Baca: Pemetaan Skala Desa Butuh 80.000 Tenaga Kerja.

Dalam membuat peta desa, bisa menggunakan software Corel Draw, Adobe Illustrator atau software lainnya yang berbasis vector.

Batas Desa

Dalam Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman dan Penegasan Batas Desa, dijelaskan tujuan penetapan dan penegasan batas Desa untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu Desa yang memenuhi aspek teknis dan yuridis.

Batas Desa adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar Desa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta.

Tata cara penetapan, penegasan dan pengesahan batas desa diatur dalam Permendagri No 45/2016.[]

Desa dan Harga Pangan

Desa merupakan tempat produksi pangan. Namun, pangan justru berkontribusi besar atau menjadi sumber kemiskinan di perdesaan.
Beras adalah bahan pangan yang memberikan andil terbesar, yaitu 25,35 persen.
Petani Padi/Image: Ist
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, batas garis kemiskinan di perdesaan pada September 2016 sebesar Rp 350.420 per kapita per bulan. Dalam waktu setahun atau sejak September 2015, garis kemiskinan di perdesaan naik 5,2 persen. Bahan makanan masih berkontribusi terbesar terhadap garis kemiskinan di perdesaan, yaitu 77,08 persen. Adapun di kota, kontribusinya 69,84 persen.

Beras adalah bahan pangan yang memberikan andil terbesar, yaitu 25,35 persen. Hal ini diikuti bahan makanan lain yang juga dihasilkan di desa, seperti daging sapi (3,47 persen), gula pasir (3,01 persen), telur ayam ras (2,76 persen), daging ayam ras (2,19 persen), dan bawang merah (2,10 persen).

Hal itu tidak terlepas dari kenaikan harga pangan pokok yang selalu terjadi setiap tahun. Tidak ada perbaikan pendapatan masyarakat desa, terutama petani, secara signifikan. Saat petani hanya menikmati keuntungan 2 persen dari penjualan gabah kering panen, pedagang bisa meraup keuntungan hingga 10 persen dari hasil penjualan beras.

Atau ketika petani tebu bisa melelang harga gula pasir Rp 9.500-Rp 11.000 per kilogram tahun ini, petani harus membeli kembali gulanya seharga Rp 13.500-Rp 14.000 per kg. Semakin tinggi harga pangan, semakin banyak biaya yang dikeluarkan masyarakat ekonomi bawah untuk pangan.

Dari tahun ke tahun, pola konsumsi masyarakat kian meningkat. Rata-rata pengeluaran per kapita selama sebulan, menurut kelompok barang, pada 2015 sudah Rp 954.430. Dari jumlah tersebut, pengeluaran untuk makanan sekitar 49,91 persen atau Rp 478.062. Itu pun berdasarkan penghitungan komponen makanan secara normal atau tanpa memperhitungkan kenaikan harga.

Pengeluaran untuk beras meningkat dari Rp 55.216 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 64.759 per kapita per bulan pada 2015. Adapun pengeluaran untuk daging meningkat cukup signifikan, dari Rp 13.322 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 21.157 per kapita per bulan pada 2015.

Tahun ini, stabilitas stok dan harga pangan masih menjadi tantangan pemerintah. Faktor yang memengaruhi adalah penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.

Di sisi lain, pemerintah mulai mengurangi subsidi listrik 900 VA secara bertahap bagi masyarakat yang dianggap mampu. Kedua hal ini akan berdampak pada kenaikan harga pangan yang mudah bergejolak.

Ada cara yang bisa dilakukan, yakni dengan penyediaan stok pangan yang harganya mudah bergejolak itu. Pemerintah bisa bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi pedagang dan distributor.

Dengan demikian, pemerintah bisa membeli bahan pangan itu dari distributor saat harga pangan bergejolak. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan lumbung pangan. Harapannya, stok dan harga pangan terjaga. (Sumber: Kompas)

04 Januari 2017

Kemiskinan di Desa Tetap Besar

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mengalami penurunan. Namun, BPS mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai disparitas yang tinggi antara kemiskinan di perdesaan dan perkotaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mengalami penurunan.
Rumah Warga Miskin/Foto: Komunitas ABD
"Ini persoalan besar yang kita dihadapi," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa (3/1).

Dalam rilis terbaru BPS, jumlah penduduk miskin per September 2016 mencapai 27,76 juta orang (10,70 persen). Jumlah ini menurun 250 ribu orang dibandingkan Maret 2016 yang tercatat 28,01 juta orang (10,86 persen).

Penurunan jumlah penduduk miskin terus terjadi sejak Presiden Joko Widodo dilantik 20 Oktober 2014. Berturut-turut jumlahnya tercatat 28,59 juta orang (11,22 persen) pada Maret 2015 dan 28,51 juta orang (11,13 persen) per September 2015. 


Menurut Suhariyanto, disparitas jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan patut dicermati. Berdasarkan data September 2016, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,28 juta orang (13,96 persen), sedangkan di perkotaan 10,49 juta orang (7,73 persen).

Posisi ini tidak banyak berubah dibandingkan September 2015. Ketika itu, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,89 juta orang (14,09 persen), sedangkan di perkotaan 10,62 juta orang (8,22 persen).

Sementara data Maret 2016, memperlihatkan fakta identik. Jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,67 juta orang (14,11 persen), sedangkan di perkotaan 10,34 juta orang (7,79 persen).

"Ini tidak berubah. Masih banyak penduduk di desa yang miskin dan disparitas dengan perkotaan juga tinggi. Ini menjadi tantangan kita ke depan," kata Suhariyanto.

Dia menuturkan, disparitas jumlah penduduk miskin memang harus segera ditangani dengan baik oleh pemerintah. Sebab, jika dibiarkan, disparitas ini bisa semakin tinggi.

"Untuk itu, perlu kebijakan khusus untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan dari waktu ke waktu," ujar Suhariyanto.

Perbesar Dana Desa

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo menjelaskan, tingginya disparitas jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan tak lepas dari kesenjangan ekonomi.

"Memang faktanya gap antara kota dan desa, gapnya secara ekonomi masih sangat besar," kata Eko.

Menurut dia, Kementerian Desa dan PDTT terus berupaya mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan, dengan cara membangun Indonesia dari pinggiran sebagaimana Nawa Cita Jokowi-JK. Salah satunya, via program Dana Desa yang dimulai sejak 2015.

Eko mengatakan, dana tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dasar yang padat karya. Ia pun mengklaim, Dana Desa mampu menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi desa.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi desa pada 2015, yakni sekitar 12 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi nasional (5,0 persen). Angka tersebut meningkat dibandingkan 2014 yang tercatat 4.8 persen.

Bahkan, menurut Eko, Kementerian Desa dan PDTT menemukan sejumlah fakta di lapangan, seperti beberapa desa di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), pertumbuhan ekonomi mencapai 60 persen. Sebab, basis awalnya rendah.

"Terbukti juga pertumbuhan ekonomi desa jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau ini dipertahankan, desa akan pelan-pelan mengejar ketertinggalannya walaupun tidak akan menjadi sama dengan kota," kata Eko.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan, dia menjelaskan, pemerintah menaikkan alokasi Dana Desa pada 2016 menjadi Rp 46,96 triliun. Dari nominal tersebut, Dana Desa mampu membangun jalan sepanjang 50.378 km, drainase sepanjang 49,558 km, dan jembatan sepanjang 412,199 km.

Selain itu, masyarakat juga menggunakan Dana Desa untuk membangun sejumlah sarana dan prasarana desa, seperti, 12.614 MCK, 628 embung, dan 1.557 pasar.

Pada tahun ini, alokasi Dana Desa kembali meningkat hingga mencapai Rp 60 triliun.


Eko mengatakan, Kementerian Desa dan PDTT tidak memasang target khusus dalam mengurangi kesenjangan antara desa dan kota. Ini karena pemerintah akan fokus mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Kendati demikian, Eko meyakini, target peningkatan status desa yang diamanatkan oleh RPJM sampai 2019 akan jauh terlampaui.

"Kami mengadakan sensus di 6.000 desa dan hasilnya sangat baik. Nanti akan kita umumkan," ujarnya.

Belum optimal

Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto menilai, Dana Desa mulai memperlihatkan efektivitas untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di perdesaan. Namun, penurunan jumlah penduduk miskin di desa yang tidak lebih cepat dibandingkan kota.

"Efektivitas Dana Desa belum optimal karena ini program baru jadi masih mencari bentuk," ujar Teguh.

Oleh karena itu, dia mengharapkan, pada tahun ini efektivitas dana desa dapat ditingkatkan. Sebab, program tersebut merupakan salah satu solusi nyata untuk menurunkan tingkat kemiskinan di perdesaan.


Apalagi, menurut Teguh, di sejumlah desa, Dana Desa masih digunakan untuk anggaran rutin aparat desa. Sementara untuk anggaran infrastruktur yang memiliki dampak berganda (multiplier effect), alokasinya masih minim.

Teguh membenarkan pemerintah memiliki sejumlah program jaminan sosial untuk mencegah bertambahnya penduduk miskin, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun ke depan, pemerintah harus menginisiasi program-program yang tidak hanya bertujuan mengentaskan masyarakat miskin, tetapi juga menciptakan lapangan kerja.

"Dengan begitu, pendapatan akan meningkat sehingga beban hidup berkurang," kata Teguh yang juga menjabat sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UI ini. 

Terkait jumlah penduduk miskin di perkotaan, dia menilai, pertambahan per September 2016 tak lepas dari pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor formal. Akibatnya, para penganggur beralih ke sektor informal. 

Peralihan itu bukan tanpa konsekuensi. Sebab, pendapatan yang menurun berdampak pada peningkatan kemiskinan.[]

Diolah dari sumber republika.

29 Januari 2016

Dana Desa Percepat Pembangunan Desa

GampongRT - Dana Desa merupakan salah satu solusi dalam melakukan percepatan pembangunan desa. Sebab, dana desa mengandung keberpihakan bagi desa pesisir, khususnya dalam mendukung dan mengembangkan pembangunan wilayahnya sebagai upaya mewujudkan kemandirian.

Apalagi, menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, desa pesisir memiliki kekuatan besar pada sumber daya alam serta nilainilai budaya yang menjadi modal sosial utama dari pembangunan.

”Berkaitan dengan itu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, telah menyusun Peraturan Menteri No. 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016.”

kata Menteri Desa, Pembangunan Saerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar di Yogyakarta, Kamis (28/1). Peraturan itu, katanya, di dalamnya juga terkandung prinsip- prinsip penggunaan dana desa berdasarkan prinsip keadilan.

Selain itu juga kebutuhan prioritas serta tipologi desa, dengan mempertimbangkan keadaan dan kenyataan karakteristik geografis, sosiologis, antropologis, ekonomi, dan ekologi desa yang khas, serta perubahan atau perkembangan kemajuan desa.

Sebab, lanjut dia, setiap desa pasti memiliki karakteristik yang dapat didefinisikan secara bervariasi dari kombinasi karakteristik atau tipologi.

”Artinya, desa memiliki tipologi yang berbeda-beda atau beragam, dari desa satu dengan desa lainnya. Contohnya, Desa A mempunyai tipologi desa pesisir nelayan, Desa B tipologi desa lembah-pertanian/sawah, Desa C tipologi desa perbukitan perkebunan, dan lain seterusnya.”

Oleh karena itu, lanjutnya, dalam regulasi yang disusun oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, penggunaan dana desa memberikan ruang yang terbuka pada karakteristik yang khas di setiap desa, termasuk desa pesisir.

Artinya, program dan kegiatan pemberdayaan yang bersumber dari dana desa harus sesuai dengan karakter desa, sehingga nantinya setiap upaya yang dikerjakan sesuai dengan kebutuhan. Seperti diketahui, di Indonesia ada 74.784 desa yang tersebar diberbagai daerah. Pada wilayah pesisir terdapat 12.827 desa yang berbatasan langsung dengan laut.

Hal itu dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan penangkapan ikan, budi daya perikanan, menambak garam, dan untuk wisata bahari dan lain sebagainya. Desa pesisir, lanjut Marwan, juga memiliki kekuatan besar pada sumber daya alam serta nilai-nilai budaya yang menjadi modal sosial utama dari pembangunan.


Potensi lestari ikan laut di Indonesia, misalnya, diperkirakan 6,2 juta ton yang terdiri atas ikan pelangis besar 975,05 ribu ton, ikan pelangis kecil 3,236 juta ton.

Sedangkan ikan demersal 1,786 juta ton, ikan karang konsumsi 64 ribu ton, udang peneid 74 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi sebesar 28,25 ribu ton. Hingga 2008, potensi ini baru dimanfaatkan 76 persen (4,7 juta ton).

Indonesia, lanjut Menteri, juga merupakan pemasok terbesar mutiara laut selatan di dunia dengan kontribusi 53 persen. Dalam setahun, Indonesia dapat memproduksi 12 ton mutiara, di mana 5 ton diekspor ke luar negeri.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, sektor ini mempekerjakan 3.000 orang. Namun bukan rahasia lagi bahwa masyarakat desa pesisir masih hidup dalam kemiskinan.

Bila ditelusuri, kebijakan pembangunan masyarakat pesisir dan komunitas nelayan selama ini masih berorientasi pada peningkatan produksi dengan cara mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan.


Sumber: Suara Merdeka

04 Januari 2016

Waktunya Memperkuat Sang Penyokong

Membangun Indonesia dari pinggiran.
Membangun Indonesia dari pinggiran. Gagasan itulah yang menjadi prioritas utama pemerintahan baru ke depan. Pembangunan yang semula terpusat di ibu kota, akan tersebar rata ke seluruh pelosok nusantara. Sasarannya, mempersempit kesenjangan dan ketimpangan demi kesejahteraan bangsa. Salah satu caranya dengan penyaluran dana desa.
Tujuannya untuk mempercepat pemenuhan dana desa serta mempersempit kesenjangan dan ketimpangan alokasi. (Menteri Keuangan, Bambang P.S. Brodjonegoro)
Kaleidoskop 
Dalam dasawarsa terakhir, di kota-kota besar jamak terlihat gedung pencakar langit, jembatan, jalan raya, kawasan industri, hingga pusat perbelanjaan. Bisa dikatakan bahwa pembangunan Indonesia selama ini bias urban atau menitikberatkan pada kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan. Padahal sejatinya, di desa, kawasan pesisir, dan perbatasan negara merupakan penyokong kebutuhan masyarakat kota.

Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Penduduk desa tak menikmati kemudahan akses karena infrastruktur yang kurang memadai. Ditambah lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja jumlahnya terbatas sehingga pendapatan masyarakat desa lebih rendah.

Belum lagi kurang meratanya kualitas pendidikan hingga rendahnya aktivitas keuangan daerah. Data Badan Pusat Statistik mencatat gini rasio Indonesia sejak 2010 hingga 2013 mengalami peningkatan dari 0,38 menjadi 0,41. Angka ini menunjukkan bahwa porsi terbesar kekayaan Indonesia hanya dinikmati segelintir rakyatnya. Inilah yang mendasari pemerintahan baru menetapkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN.

Berperan
Dalam hal ini, Kementerian Keuangan memegang empat peranan. Pertama, menganggarkan dana desa dalam APBN. Kedua, mengalokasikan dana desa ke setiap kabupaten atau kota. Ketiga, menyalurkan dana desa ke kabupaten atau kota. Terakhir, melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap realisasi penggunaan dana desa.

Dalam APBN Perubahan 2015, tak kurang dari Rp20,7 triliun digelontorkan pada sekitar 74.093 desa yang tersebar dalam 434 kabupaten/kota. Nantinya dana tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Sementara fokus pembangunan akan disesuaikan dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Terkait cara pengalokasian, pemerintah telah mengatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2015 sebagai perubahan atas PP Nomor 60 Tahun 2014. Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan bahwa perubahan PP tersebut memiliki dua misi utama. “Tujuannya untuk mempercepat pemenuhan dana desa serta mempersempit kesenjangan dan ketimpangan alokasi,” ujarnya saat sosialiasi dana desa di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Jumat (15/5) silam.

Pada PP Nomor 22 tahun 2015, road map pemenuhan alokasi dana desa mencapai sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer ke daerah. Dari perhitungan itu, maka diperkirakan alokasi dana desa secara nasional mencapai rata-rata Rp1 miliar per desa di tahun 2017 mendatang. 

Selanjutnya, penyempurnaan formulasi pengalokasikan dana desa dilakukan melalui penerapan alokasi dasar dan perubahan formula. Alokasi dasar yang ditetapkan ialah sebesar 90 persen dari total pagu anggaran dana desa.

Sisanya, sebesar 10 persen dari pagu anggaran dana desa akan dialokasikan berdasarkan formula. Formula tersebut dihitung berdasarkan basis jumlah penduduk sebesar 25 persen, luas wilayah sebesar 10 persen, angka kemiskinan sebesar 35 persen dan tingkat kesulitan geografis sebesar 30 persen.

Setelah itu, alokasi dana desa akan disalurkan dari Rekening Kas Umum negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dalam tiga tahap. Tahap pertama, 40 persen dana tersalurkan paling lambat pada minggu kedua April dengan syarat Pemda Kabupaten/Kota telah menyampaikan Perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan peraturan bupati/walikota mengenai pembagian dana desa.

Tahap kedua, 40 persen dana disalurkan paling lambat pada minggu kedua Agustus. Tahap ketiga, dana tersalur sebesar 20 persen paling lambat minggu kedua November. Adapun syarat kedua tahap tersebut yakni Pemda Kabupaten/Kota telah menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa pada Semester I pada tahun berjalan.

Setelah dana desa masuk ke RKUD Kabupaten/Kota, Kepala Desa yang telah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan menganggarkan dana desa di dalamnya berhak menerima dana desa. Selambatnya tujuh hari kerja, dana tersebut telah dikirim oleh Pemda kabupaten/kota ke Rekening Kas Desa (RKD). Setelah dana diterima, barulah Kepala Desa dapat menjalankan program pembangunan desa.

Pasca dilaksanakannya program pembangunan desa, Kepala Desa wajib menyusun laporan realisasi penggunaan dana desa kepada Bupati/Walikota. Lalu, Bupati/Walikota menyampaikan laporan konsolidasi realisasi penyaluran dan penggunaan dana desa kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada sejumlah Kementerian teknis.

Pada tahap ini, Kementerian Keuangan berperan atas pemantauan dan evaluasi penggunaan dana desa. Bila ternyata pemerintah kabupaten/kota terbukti melakukan pelanggaran dalam mengelola dana desa, maka mereka akan diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran dan/atau pemotongan dana desa.

Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Boediarso Teguh Widodo, pemerintah Pusat sudah menyalurkan 80 persen pagu dana desa yaitu sebesar Rp16,6 triliun secara tepat waktu, kepada kabupaten dan kota. “Masing-masing untuk penyaluran tahap I dan tahap II ialah Rp8,3 triliun,” tuturnya seperti dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Senin (16/11).

Namun hingga 13 November 2015, dana desa yang sudah disalurkan dari RKUD ke RKD baru mencapai Rp6,2 triliun. Bahkan, dari 434 kabupaten/kota, baru 244 yang melaporkan penyaluran dari RKUD ke RKD. Sementara sisanya belum menyampaikan laporan.

Sebelumnya, pada penyaluran tahap pertama, dari 244 daerah sebanyak 136 daerah telah menyalurkan seluruh dana desa ke desa sebesar Rp2,89 triliun atau 34,7 persen. Sedangkan 84 daerah baru menyalurkan dana desa sebesar Rp1,16 triliun atau 14 persen. Sisanya sebanyak 24 daerah belum menyalurkan sama sekali.

Penyebabnya yakni keterlambatan penyampaian peraturan bupati (perbup) dan peraturan walikota (perwali) tentang pembagian dana desa. Keterlambatan ini ternyata disebabkan sebagian daerah baru memproses penetapan perbup/perwali setelah Peraturan Pemerintah (PP) No.22/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan No.93/2015 baru disahkan pada bulan Mei 2015.

Pada penyaluran tahap kedua, 129 daerah sudah menyampaikan laporan. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 59 daerah telah menyalurkan seluruh dana desa dengan jumlah Rp1,23 triliun atau 14,9 persen. Sementara 66 daerah baru menyalurkan sebagian dana desa kepada desa sebesar Rp968 miliar atau 11,7 persen. Sisanya, empat daerah belum menyalurkan sama sekali.

Untuk penyaluran tahap tiga, terjadi penundaan penyaluran dana desa karena ada sejumlah daerah yang terlambat atau belum menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa. Oleh karena itu, kata Boediarso, salah satu arah kebijakan dana desa tahun depan yakni menerapkan reward and punishment dalam menyalurkan dana desa kepada kabupaten/kota/desa.

Tantangan
Dalam penyaluran dana desa, Boediarso mengatakan bahwa pemerintah setidaknya menemui lima persoalan mendasar yang menjadi tantangan di lapangan. Pertama, adanya ketentuan hukum yang belum sejalan antar (peraturan) satu sama lain. Kedua, Bupati dan Walikota masih terlambat dalam menetapkan peraturan terkait dana dan keuangan desa sebagai dasar penyaluran dana desa dari rekening daerah.

Ketiga, masih ada keterlambatan penyaluran dana desa dari kabupaten atau kota ke desa. “Padahal pemerintah pusat sudah menyalurkan tepat waktu sebesar Rp16,6 triliun dana desa atau 80 persen dari pagu sebesar Rp20,7 triliun kepada Kabupaten atau Kota,” ujarnya.

Selanjutnya, Kabupaten dan Kota terlambat menyampaikan laporan realisasi penyaluran dan penyerapan dana desa dari rekening kas umum daerah ke rekening kas desa. Terakhir, belum terpenuhinya ketentuan besaran Alokasi Dana Desa (ADD) dan bagi hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), dari APBD Kabupaten/Kota.

“Data APBD 2015 dan info dari daerah, tahun 2015 masih ada sejumlah daerah yang belum memenuhi ADD 10 persen dan PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) 10 persen. Kalau ada yang belum dipenuhi, maka bisa jadi RAPBD kabupaten/kota tidak disahkan,” katanya.

(Sumber: Media Keuangan, Edisi 100).

11 April 2015

Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Koperasi sudah mencatatkan sejarah panjang dan mengawal masyarakat Indonesia sebagai salah satu bangun lembaga perekonomian yang paling dekat dengan rakyat.

Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Namun, kiprahnya kini akan semakin dipertanyakan setelah lahirnya Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi yang terkait dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

BUMDes ditegaskan sebagai sesuatu yang inklusif dan berbeda dengan koperasi, sehingga banyak yang mengharapkan keberadaannya lebih karena menginginkan sesuatu yang baru disamping juga karena jenuh pada koperasi.

Dalam praktiknya Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) justru dikecam karena tidak memasukkan koperasi dalam bisnis yang akan dikembangkan BUMDes.

Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) lembaga nirlaba yang mengkader calon pemimpin merupakan salah satu pihak yang memprotes keras dan mengecam Permen tersebut.

“Masalahnya adalah dalam Permen tersebut bisnis yang akan dikembangkan adalah hanya dalam bentuk Perseroan (PT) dan mengacu pada UU Perseroan,” kata Ketua Akses Suroto.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT &T) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 yang berisi tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Pengembangan BUMDes merupakan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Suroto menyayangkan Permen itu karena koperasi yang justru sesuai dengan filosofi gotong royong dan kultur masyarakat di desa, sama sekali diabaikan dan bahkan didiskriminasikan dengan tidak dimasukkan sebagai pilihan badan hukum. “Hal ini tentu akan berakibat fatal karena desa akan segera masuk dalam cengkeraman korporat kapitalis yang bertujuan untuk mengejar keuntungan semata itu,” katanya.

Ia menyarankan Menteri Desa, PDT &T segera mencabut Permen tersebut karena dikhawatirkan masyarakat desa akan jatuh dalam cengkeraman para pemilik modal besar yang sangat mungkin mengeksploitasi desa untuk kepentingan bisnis mereka sendiri.

Menurut dia, analogi pengembangan BUMDes itu adalah sama dengan BUMN di tingkat pusat dan BUMD di tingkat daerah.

“Tapi sepertinya ada yang belum dipahami oleh Menteri Desa PDT &T bahwa BUMN itu adalah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar dari atas yang tidak bisa dikerjakan oleh masyarakat alias difungsikan sebagai agen pembangunan untuk mendorong bisnis alamiah di masyarakat bukan menggantikannya,” katanya.

Ia berpendapat, begitu BUMDes dikelola dalam bentuk Persero maka semua asset desa bisa dikapitalisasikan dan tunduk pada UU Persero yang berlaku prinsip satu saham satu suara alias siapa yang punya saham dominan dia akan menguasai atau mengendalikan keputusan.

Hal itu berbeda dengan konsep koperasi yang bagaimanapun tetap menjamin hak suara anggota untuk mengambil keputusan dengan prinsip satu orang satu suara.

Kalau tetap dipaksakan dengan konsep tersebut bahkan akan mengoposisi natur bisnis di masyarakat. “BUMDes bisa menjadi kapitalis estatis dan bahayanya terjadi masif sampai di desa dan ini juga bertentangan dengan konstitusi yang menganut sistem demokrasi ekonomi,” katanya.

Ia menegaskan, ketika memilih badan hukum, sebaiknya BUMDes itu menggunakan koperasi karena motif maupun sistem organisasinya sesuai dengan kultur masyarakat desa.

Skemanya bisa dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah ( PMN/D) tapi tidak dominan. Fungsinya untuk mengakselerasi bisnis di kalangan masyarakat dalam bentuk badan hukum koperasi dan bukan mengoposisinya. “Jadi Permen ini jika dijalankan potensial menyebabkan ketidakpastian hukum,” katanya.

Jangan Khawatir Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar justru mengatakan Permen ini menjadi penting mengingat Nawa Kerja prioritas kementerian yang dikomandaninya ini adalah Pembangunan dan Pengembangan 5.000 BUMDes.

Jika idealnya setiap desa memiliki BUMDes, berarti masih ada sekitar 69.000 BUMDes lagi yang perlu diwujudkan. Secara teknis, BUMDes yang ada sekarang masih mengacu kepada Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.

“Permendagri tersebut sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan desa dan BUMDes saat ini pascalahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,” ujar Marwan.

Itulah sebabnya, kata Marwan, Peraturan Menteri Desa tentang Badan Usaha Milik Desa harus segera diterbitkan. “Melalui Permendesa ini, desa melalui BUMDes mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya dalam pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Marwan.

Permendesa tersebut akan mengatur ketentuan tentang BUMDes. Di antaranya, desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Usaha yang dapat dijalankan BUMDes yaitu usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendirian BUMDes disepakati melalui Musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

BUMDes juga diharapkan mampu menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi di desa yang juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan komersial. Sebagai lembaga komersial, BUMDes bertujuan mencari keuntungan untuk meningkatkan pendapatan desa.

“Dengan peran BUMDes sebagai akselerator perekonomian desa ini, saya optimis di desa-desa akan segera tercipta berbagai peluang usaha dan lapangan kerja baru, warga desa juga makin banyak punya kegiatan usaha, punya pendapatan jelas, pengangguran berkurang drastis, dan kesejahteraan desa akan meningkat pesat,” kata Menteri Marwan.

Saling Melengkapi Pada praktiknya koperasi dan BUMDes diharapkan bisa hadir bersamaan dan saling melengkapi. Pasca-lahirnya BUMDes bukan berarti akhir bagi perjalanan koperasi sebab BUMDes sejatinya juga masih memiliki kelemahan.

Pakar antropologi Yunanto dalam makalahnya Police Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada BUMDes, yaitu penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.

Selain itu keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. “Rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa,” katanya.

Ia juga menyoroti soal belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerja sama antar pihak terkait untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. Kurangnya responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat.

Secara substansial, UU No 6 tahun 2014 mendorong desa sebagai subjek pembangunan secara emansipatoris untuk pemenuhan pelayanan dasar kepada warga, termasuk menggerakan aset-aset ekonomi lokal. Oleh karena itu BUMDes diposisikan menjadi lembaga yang memunculkan sentra-sentra ekonomi di desa dengan semangat ekonomi kolektif.

Jadi, Yunanto berpendapat bedanya BUMDes dengan lembaga masyarakat lainnya termasuk koperasi sebenarnya tidak ada yang perlu dipertentangkan. “Semuanya saling melengkapi untuk menggairahkan ekonomi desa. Namun, BUMDes merupakan lembaga yang unik dan khas sepadan dengan keunikan desa,” katanya.

Yunanto menjelaskan keunikan BUMDes yakni merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat.

BUMDes merupakan bentuk ‘public and community partnership’ atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. BUMDes lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa.

Koperasi memang inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi tetap ekslusif karena hanya untuk anggota. Namun BUMDes bukan lantas menjadi babak akhir bagi perjalanan koperasi di Indonesia. Keduanya haruslah seiring sejalan untuk menyejahterakan bangsa. [tar]

Sumber: https://m.inilah.com/news/detail/2194251/nasib-koperasi-pascakelahiran-bumdes