Ayo Bangun Desa - Pengalokasian dana desa senilai Rp60 triliun, yang digaungkan Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terancam tak efektif akibat ketidaksiapan pengelola di daerah. Pengalokasian dana desa tersebut merupakan upaya untuk menggenjot produktivitas perekonomian di daerah.
Ilustrasi: Prinsip Utama Pengelolaan Dana Desa |
Penyaluran dana desa sudah memasuki tahun kedua, namun transparansi masih menjadi persoalan yang tak jarang menyeret sejumlah kepala daerah menjadi pesakitan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adapun, Badan Pemeriksa Keuangan masih belum memperoleh formulasi yang tepat untuk masuk dan melakukan audit terhadap pengelolaan dana desa tersebut.
Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar menjelaskan penggunaan dana desa relatif belum banyak tersentuh tangan lembaga auditor negara tersebut. Padahal tanpa kontrol dari BPK, pengelolaan dana desa bakal lebih riskan dan rawan diselewengkan.
"Dimana ada anggaran dari negara seharusnya diaudit BPK. Khusus dana desa kami sedang mencari formulasinya," katanya saat berkunjung ke redaksi Bisnis Indonesia, Senin (10/7).
Bahrullah mengatakan pengawasan terhadap pengelolaan dana desa sangat penting karena potensi penyelewengannya cukup tinggi. Di samping itu, berdasarkan pengalaman audit anggaran dana desa yang berasal dari APBD, banyak kepala daerah yang ditahan lantaran menyelewengkan dana tersebut.
"Isu-isu seperti ini yang akan kami fokuskan, karena dana desa merupakan salah satu kebijakan dari sisi fiskal untuk menggenjot pembangunan daerah, karenanya patut dijaga," jelasnya.
Perbaikan kredibilitas APBN menjadi agenda utama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pada 2 tahun terakhir, pemerintah pusat juga sudah melakukan penghematan di kementerian agar belanja mengalir ke kegiatan yang produktif.
Kebijakan Sri Mulyani tak lepas dari program Nawacita poin ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran, di mana pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan di daerah dengan mendongkrak porsi belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).
Pada tahun ini porsi anggaran TKDD tercatat Rp759,8 triliun, dari Rp710,3 triliun pada tahun lalu. Sebagai perbandingan, belanja kementerian/lembaga dalam RAPBN-P 2017 sebesar Rp773,1 triliun, namun penyerapannya diproyeksikan hanya Rp743,7 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memaparkan ada dua skema audit yang harus dilakukan BPK untuk memastikan penggunaan dana desa tepat sasaran.
"Dua skema audit yang bisa diterapkan dan paling mendesak adalah audit efektivitas dana desa serta audit keuangan," katanya.
Proses audit diperlukan sebagai bagian dari pengawasan implementasi dana desa. Pasalnya, kendati sudah masuk ke tahun kedua, dampak terhadap pembangunan di daerah juga belum terlalu terasa.
Oleh karena itu, melihat fakta di lapangan tersebut, seharusnya sejak awal BPK diberi wewenang untuk mengaudit dana desa. Namun, kebutuhan sumber daya manusia di lembaga auditor negara itu juga perlu dipikirkan.
"Untuk mensiasatinya BPK bisa menggandeng akuntan publik, mumpung sedang pembahasan anggaran 2018 di DPR, usulan tambahan dana audit bisa dimasukkan," jelasnya.
Dia menengarai potensi penyelewengan dana desa yang cukup tinggi sebagian bisa disebabkan minimnya pengetahuan aparatur desa dalam menyusun laporan.
"Karena itu fungsi pendamping desa dioptimalkan. Edukasi dari kementerian Desa terkait penyusunan laporan juga harus terus ditingkatkan," tukasnya.
Sumber: koran.bisnis.com
Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!
Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon