Tadi sore saya dapat telpon dari seorang keuchik/ kepala kampung; "Bagaimana cara bisa masuk koran, kalau bisa tiap tiap hari, kalau bisa halaman satu."
Saya berpikir sejenak. Pak keuchik ini sudah pikun atau sedang demam panas. "Saya sudah 12 tahun jadi keuchik tak pernah masuk koran. Bapak Itu yang belum tiga tahun, hampir tiap hari masuk koran. Di halaman satu lagi," katanya. Saya terperangah.
Saya berpikir sejenak. Pak keuchik ini sudah pikun atau sedang demam panas. "Saya sudah 12 tahun jadi keuchik tak pernah masuk koran. Bapak Itu yang belum tiga tahun, hampir tiap hari masuk koran. Di halaman satu lagi," katanya. Saya terperangah.
"Mana ada begitu, kalau ada pernyataan yg bagus atau kegiatan penting Bapak Itu baru diberitakan," kata saya ----yang wartawan ini-'- sok tahu dan sedikit mengurui. "Droe neuh ka neumeusulet," pangkasnya. Anda sudah berbohong!
Lalu dia pun menyebutkan semua berita Bapak Itu yang masuk koran dan sering di halaman satu.
Setelah saya simak dan teliti lembaran demi lembaran edisi demi edisi koran, saya berujar: "Oh itu.... Itu bukan berita. Itu pariwara. Itu tidak layak jadi berita sehingga untuk masuk koran harus dibayar Rp 10 juta sampai Rp 14 juta sekali masuk. Kalau tiap hari masuk sebagai pariwara maka yang dibayar ke koran sebulan antara Rp 300 juta sampai Rp 420 juta."
Suasana agak senyap. Pak Keuchik mungkin kaget mendengar angka angka itu. Tapi kemudian; "Hana masalah nyan... Teunang teunang. ...mantong suai beulanja."
Kali ini saya yang linglung. Wah apa pula ini sehingga Pak Keuchik begitu bersemangat. "Yang penting saya sebagai keuchik harus masuk koran. Sebentar lagi setiap desa kan akan dikasih uang Rp 1,5 milyar. Kan boleh untuk pariwara. Sebab Bapak Itu juga ambil dari uang daerah. APBD," katanya dalam nada tanya.
Ternyata rakyat tidak salah pilih. Dia pintar dan belum pikun padahal 12 tahun sudah jadi keuchik, sedangkan yang lain belum tiga tahun sudah pikun. "Tidak boleh Pak Keuchik. Uang Rp 1,5 M itu -- kalaupun ada-- dimaksudkan untuk bangun desa. Tidak boleh untuk Keuchik jual muka di koran. Nanti ditangkap KPK," rinci saya.
"Nyan nyang han kupateh. Kok APBD bisa untuk nampang, uang desa tidak. Nyan bek neu neuk jak peungeut lon. Pokok jih Keuchik masuk koran halaman satu. Tiap hari. Padum nyang abeh abeh jih." tegasnya.
Lalu dia pun menyebutkan semua berita Bapak Itu yang masuk koran dan sering di halaman satu.
Setelah saya simak dan teliti lembaran demi lembaran edisi demi edisi koran, saya berujar: "Oh itu.... Itu bukan berita. Itu pariwara. Itu tidak layak jadi berita sehingga untuk masuk koran harus dibayar Rp 10 juta sampai Rp 14 juta sekali masuk. Kalau tiap hari masuk sebagai pariwara maka yang dibayar ke koran sebulan antara Rp 300 juta sampai Rp 420 juta."
Suasana agak senyap. Pak Keuchik mungkin kaget mendengar angka angka itu. Tapi kemudian; "Hana masalah nyan... Teunang teunang. ...mantong suai beulanja."
Kali ini saya yang linglung. Wah apa pula ini sehingga Pak Keuchik begitu bersemangat. "Yang penting saya sebagai keuchik harus masuk koran. Sebentar lagi setiap desa kan akan dikasih uang Rp 1,5 milyar. Kan boleh untuk pariwara. Sebab Bapak Itu juga ambil dari uang daerah. APBD," katanya dalam nada tanya.
Ternyata rakyat tidak salah pilih. Dia pintar dan belum pikun padahal 12 tahun sudah jadi keuchik, sedangkan yang lain belum tiga tahun sudah pikun. "Tidak boleh Pak Keuchik. Uang Rp 1,5 M itu -- kalaupun ada-- dimaksudkan untuk bangun desa. Tidak boleh untuk Keuchik jual muka di koran. Nanti ditangkap KPK," rinci saya.
"Nyan nyang han kupateh. Kok APBD bisa untuk nampang, uang desa tidak. Nyan bek neu neuk jak peungeut lon. Pokok jih Keuchik masuk koran halaman satu. Tiap hari. Padum nyang abeh abeh jih." tegasnya.
Disadur dari FB Barlian AW, Penulis Buku: Aneh Nya Aceh, Raja Dekat, Tuhan Jauh.
Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!
Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon