Sebelum dibicarakan tentang "Eksistensi Adat Aceh dalam Implementasi UU Desa". Kita akan ulang sedikit bagaimana kondisi adat di nusantara pada masa Orde Baru, ulangan ini sebagai bahan refleksi yang akan berguna dalam rangka penataan adat dan kejayaan Aceh ke masa depan dalam menyonsong implementasi UU Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Adat di Masa Orde Baru
Salah satu kesalahan Orde Baru, yaitu memberlakukan pemberangusan eksistensi adat di seluruh Nusantara melalui penerapan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan pemberlakuan undang-undang ini telah menyeragamkan bentuk pemerintahan adat di Indonesia.
Dalam UU ini tidak lagi diakui berbagai entitas adat yang termanifestasikan dalam berbagai desa adat di nusantara, karena hanya di kenal dua macam pemerintahan pada level grass root, yaitu pemerintahan Desa dan Kelurahan.
Dalam kontek Aceh, Gampong telah diubah dengan semena-mena menjadi Desa, dan di atasnya telah dicangkokkan struktur kecamatan sebagai majikan desa yang juga menyambungkan tangan kabupaten. Keberadaan kecamatan sebagai majikan baru tersebut secara otomatis juga telah mematikan mukim yang sebelumnya menjalankan peran koordinasi antara gampong.
Selama pemerintahan Orde Baru, gampong yang telah menjadi entitas adat selama beratus-ratus tahun dipaksa menjadi desa, yang dipimpin seorang kepala desa. Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa berkoordinasi dengan Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat,
Posisi pemerintahan desa dalam hal ini tak lebih dijadikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat melalui Bupati dan Camat. Dalam hal ini pemerintah pada level lebih rendah hanya merupakan pelaksana keputusan dari level pemerintah yang lebih tinggi.
Pemerintah pusat sebagai sentral kekuasaan akan membuat berbagai kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah provinsi, kemudian dimandatkan lagi level kabupaten, diteruskan oleh kecamatan, dan ujungnya dieksekusi oleh pemerintah desa, dan seterusnya. Demikianlah Orde Baru menjalankan dominasinya.
Desa sebagai basis adat yang selayaknya menjadi otoritas yang independen, telah dikebiri berbagai peran dan kewenangannya. Para imeum mukim yang sebelumnya memiliki peran dan fungsi yang cukup signifikan dalam ranah adat telah diabaikan dan seolah dianggap tidak ada.
Singkat kata, UU No 5 tahun 1979 yang mengatur tentang pemerintahan desa tidak lagi mengakui kemukiman sebagai suatu unit wilayah dan pemerintahan adat yang memiliki otoritas tersendiri. Mukim hanya menjalankan berbagai ritual dan pelaksanaan adat tanpa mendapat pengakuan, apa lagi dukungan dari pemerintah.
Namun, peran mukim tetap berjalan dalam ranah adat sehingga pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah No 2 Tahun 1990 yang memposisikan Mukim sebagai lembaga adat.
Namun tenyata pemberian status sebagai lembaga adat tersebut tak lebih dari pada stempel formal belaka, tanpa ada implikasi sama sekali dalam ranah kebijakan. Sehingga, dalam pola hubungan antara Geuchiek, Imeum Mukim dengan Camat, tak jarang muncul konflik tersembunyi antara Imeum Mukim dengan Geuchiek.
Sehingga posisi Geuchiek serba salah antara tuntutan formal dengan tuntutan adat. Secara formal, Geuchiek diharuskan untuk berkoordinasi langsung dengan Camat. Sedangkan secara adat, Geuchiek telah memiliki pola hubungan dan koordinasi dengan Mukim yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bersambung............
Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!
Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon