Inklusi keuangan adalah jumlah populasi yang menggunakan produk dan atau layanan jasa keuangan formal. Peningkatan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan memiliki pengaruh yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketimpangan pendapatan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Paska kejadian krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 topik inklusi keuangan menjadi fokus kebijakan global. Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi tertinggi di dunia memiliki potensi tinggi dalam peningkatan inklusi keuangan dunia.
Oleh karena itu, dalam rangka mencapai target inklusi keuangan nasional sebesar 75 persen tahun 2019 masih diperlukan berbagai inovasi baik dalam penyusunan aturan, model inklusi keuangan ataupun pengoptimalan fungsi desa dalam rangka meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat. Salah satu langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan Indonesia adalah dengan melaksanakan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK).
Berdasarkan survei tahun 2016 menunjukan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat perdesaan sebesar 23,9 persen, lebih rendah dibandingkan indeks literasi masyarakat perkotaan yaitu sebesar 33,3 persen. Sedangkan, untuk indeks inklusi keuangan masyarakat perdesaan 2016 sebesar 63,2 persen, lebih rendah dibanding indeks inklusi keuangan masyarakat perkotaan yaitu sebesar 71,2 persen.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 ini meningkat bila dilihat data hasil survei tahun 2013 dengan indeks inklusi keuangan sebesar 59,7 persen dan indeks literasi keuangan sebesar 21,8 persen.
Dari hasil survei tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan cenderung memiliki awareness (kesadaran) rendah terhadap produk dan layanan jasa keuangan.
Padahal, Desa memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional karena desa yang mandiri secara ekonomi merupakan pondasi yang kuat dalam menopang ekonomi nasional. Desa-desa yang memiliki latar belakang suku dan budaya berbeda-beda memiliki potensi yang sangat besar terhadap munculnya keberagaman produk unggulan dengan ciri khas tertentu.
Terlebih lagi dengan keberadaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, suara desa kini semakin didengar. Desa kini tidak hanya menjadi fokus pembangunan, tetapi juga sebagai perancang pembangunan yang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Kini desa tidak boleh lagi menjadi obyek sasaran pembangunan, tetapi menjadi subyek yang berperan aktif sebagai motor penggerak pembangunan.
Pemerintah saat ini telah menempatkan pembangunan desa sebagai bagian terpenting dalam perwujudan cita-cita pembangunan. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan merupakan salah satu program prioritas Nawa Cita pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla.
Saat ini total desa yang tercatat di seluruh Indonesia adalah sebanyak 74.958 desa. Namun demikian berdasarkan data Potensi Desa BPS tahun 2014, akses keuangan di pedesaan relatif masih cukup rendah yaitu hanya 7.704 desa (10,3%) yang terdapat fasilitas bank HIMBARA dan BPD, 3.708 desa (49,5%) yang terdapat BPR dan 2.869 (3,8%) yang terdapat Bank Umum Swasta. Desa juga memiliki potensi pengembangan LKM/LKMS, yang terlihat dari banyaknya jumlah Koperasi Simpan Pinjam (Kospin). Terdapat 15.884 desa (21,2%) yang memiliki Kospin dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi LKM.
Potensi pengembangan kawasan pedesaan juga diperkuat dengan adanya Alokasi Dana Desa (ADD) sejak tahun 2015 yang merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Nominal Dana Desa yang diberikan setiap tahunnya relatif terus meningkat, dimana pada awalnya diberikan anggaran Rp.20,76 T pada 2015 dengan rata-rata sebesar Rp.280,3 juta per desa menjadi total anggaran Rp.60 T dengan rata-rata Rp.800,4 juta per desa pada tahun 2018.
Atas dasar berbagai hal tersebut di atas, OJK berinisiatif untuk kembali menyelenggarakan Kompetisi Inklusi Keuangan (KOINKU) di tahun 2018 dengan mengangkat tema “Model Inklusi Keuangan Perdesaan”. Kompetisi yang telah diselenggarakan sejak tahun 2014 ini menjadi salah satu strategi OJK dalam meningkatkan pemahaman dan awareness masyarakat terhadap inklusi keuangan dan dalam rangka mencari ide-ide kreatif serta inovatif terkait model inklusi keuangan.
Adapun hasil kompetisi ini diharapkan dapat direplikasikan guna memperluas akses keuangan sehingga dapat mendukung dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Kriterian peserta dan mekanisme kompetisi Inklusi Keuangan Perdesaan sebagai berikut:
1. Persyaratan Peserta:
- Peserta wajib mengikuti seluruh rangkaian kompetisi.
- Peserta dapat merupakan masyarakat umum dengan kepesertaan merupakan
- tim yang terdiri dari 2 (dua) atau 3 (tiga) orang.
- Peserta dapat mengirimkan lebih dari satu proposal model inklusi keuangan.
- Berdomisili di Indonesia.
- Pegawai organik OJK tidak diperkenankan untuk mengikuti kompetisi.
2. Mekanisme Pengumpulan Model Inklusi Keuangan
Dokumen yang dikumpulkan kepada panitia adalah sebagai berikut:
1) Curriculum Vitae (CV) seluruh anggota tim beserta nama tim.
2) Proposal model inklusi keuangan disampaikan dalam bentuk proposal
maksimum 20 halaman (tidak termasuk cover dan lampiran) serta tayangan
microsoft power point maksimal 10 slide (tidak termasuk cover dan lampiran).
Kedua dokumen tersebut di atas dituliskan dalam satu file berformat pdf,
dan diunggah ke website yang sudah ditentukan dengan format subject (JUDUL PROPOSAL MODEL INKLUSI KEUANGAN).
Informasi lengkap tentang pelaksanaan Lomba Inklusi Keuangan Perdesaan Tahun 2018 dapat dilihat disini atau melalui situs https://www.koinku2018.id/.
Adapun total hadiah kompetisi inklusi keuangan perdesaan 2018 sebesar Rp.80 juta rupiah.(*)
Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!
Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon